Laman

Kamis, 26 September 2013

Korean Story : Four Seasons Of Love (2)

Annyeonghaseyo teman-teman penyuka cerita Korea.

 Kali ini aku ingin berbagi salah satu bab dalam novel "Four Seasons Of Love"




Ini adalah novel Korean Story karya Karumi Iyagi nama penaku untuk novel cerita Korea.
Silakan membaca ... ^_^

Four Seasons Of Love
Penulis : Karumi Iyagi (Arumi E)

Bab 4
Autumn Love

Musim panas telah berakhir. Musim gugur sudah mulai memperlihatkan ronanya. Dedaunan mulai berubah warna menjadi kuning keemasan. Beberapa berwarna merah tembaga. Memberi nuansa pemandangan yang berbeda dari musim sebelumnya. Penuh warna, semarak namun romantis. Udara pun mulai terasa lebih dingin dari biasanya.

Yu Ri mengancing cardigan rajutnya yang berwarna hijau tosca cerah, agar tubuhnya terasa lebih hangat. Ia baru saja menjejakkan kaki di Kota Gyeongju. Hari ini Yu Ri menepati janjinya pada Ji Seok. Ia sengaja datang untuk merayakan ulang tahun Ji Seok yang ke tujuh belas. Walau hari ulang tahun Ji Seok tepatnya sudah lebih dari seminggu yang lalu, tetapi Yu Ri baru sempat datang sekarang. Selain itu mereka juga ingin merayakan kelulusan mereka dari Godeunghakgyo (senior high school).

Yu Ri lulus dengan gemilang. Dan punya rencana melanjutkan pendidikannya ke jurusan arsitektur. Tapi ia masih merahasiakan akan kuliah di kampus mana. Ji Seok juga berhasil lulus dengan sukses. Ia telah membuktikan sendiri tekad kuatnya membuahkan hasil. Membuat Ji Seok semakin yakin ingin meraih cita-citanya menjadi seorang ahli keuangan.
“Kuliah di universitas yang sama denganku, Yu Ri. Supaya kita bisa sering bertemu,” saran Ji Seok yang menjemputnya di terminal bus di tengah kota Gyeongju.

Yu Ri memandang senang ke arah Ji Seok yang terlihat semakin dewasa dan menawan. Apalagi sekarang usianya sudah tujuh belas tahun. Dua bulan lebih tua dari Yu Ri. Ji Seok terlihat berbeda dari biasanya. Lebih trendi. Mungkin karena ia melengkapi penampilannya dengan jaket kulit berwarna coklat tua yang tampak masih baru.

“Kau yakin akan diterima di jurusan ekonomi Universitas Korea? Itu adalah salah satu kampus terbaik di Korea. Tidak mudah masuk ke sana,” ledek Yu Ri.
“Aku harus bisa. Itu sudah cita-citaku. Setelah lulus, aku akan mencari kerja di Seoul,” sahut Ji Seok.
“Kau tidak mau tetap tinggal di Gyeongju? Menurutku hidup di sini lebih enak. Lebih tenang. Udara di sini juga lebih hangat. Gyeongju adalah tempat yang nyaman untuk tinggal,” kata Yu Ri.
“Kalau memang di sini nyaman, mengapa kau malah pindah ke Busan?” ledek Ji Seok.
“Karena aku lebih baik tinggal dengan bibiku. Lagipula aku harus tinggal di Busan karena kota itu lebih besar dari kota ini. Ada tempat yang secara teratur harus kukunjungi di sana dan tempat itu tak ada di sini,” jawab Yu Ri.

“Ah, aku sebal jika kau sudah mulai sok misterius. Aku tidak akan bertanya tempat seperti apa yang kau maksud itu. Percuma, kau pasti tak mau bilang padaku. Sepertinya itu semua hanya alasanmu untuk sengaja menghindar dariku,” tuduh Ji Seok dengan nada suara sedikit sebal,  lalu ia mengalihkan pandangannya dari Yu Ri.

Yu Ri malah tertawa geli.

“Aku takut bila terlalu sering bersamamu, Ji Seok,” sahut Yu Ri.
“Takut? Kenapa? Memangnya aku menakutkan?”
“Aku takut bosan,”
“Oh, jadi aku membosankan?”
“Bukan begitu maksudku, Ji Seok. Aku lebih suka tinggal di tempat yang jauh denganmu. Supaya sesekali aku bisa merasa kangen. Baru kemudian aku mencarimu. Jika kita terlalu sering bersama, pasti akan sulit sekali merasa kangen,” jawab Yu Ri.

Ji Seok mengerutkan keningnya. Alasan Yu Ri itu terdengar tidak masuk akal baginya.

“Baiklah, kita tidak usah satu kampus. Tapi kalau bisa kita sama-sama kuliah di Seol. Kau pandai, Yu Ri. Aku yakin kau pasti diterima jika mendaftar di Universitas Nasional Seoul. Bagaimana?” usul Ji Seok.

Yu Ri tersenyum misterus.

“Kita lihat saja nanti,” sahut Yu Ri.

Ji Seok hanya diam menahan rasa sebal.

“Sekarang, kita akan piknik ke mana?” tanya Yu Ri, berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

Ji Seok menghela nafas sedikit keras.

“Kita akan ke Taman Nasional Gyeongju. Di sana juga ada observatorium,” jawab Ji Seok beberapa saat kemudian.
“Ah ya, aku belum sempat ke sana,” sahut Yu Ri.
“Kau harus lebih memahami kota kelahiran orangtuamu ini, Yu Ri. Banyak tempat menarik dan bersejarah di kota Gyeongju,” kata Ji Seok.

Yu Ri mengangguk setuju. Ia tahu sedikit tentang sejarah Kota Gyeongju dari pelajaran sekolah. Tapi ia hanya sebentar tinggal di kota ini. Belum banyak tempat menarik yang dikunjunginya.

Dengan naik bus, Ji Seok mengajak Yu Ri menuju Daenungwon Royal Tombs, bukan untuk masuk ke dalamnya, tetapi Ji Seok ingin mengajak Yu Ri ke seberang jalan dari Daenungwon Royal Tombs. Awal bulan oktober ini, di tempat itu dirayakan Gyeongju Tteok & Sul Festival atau festival makanan dan minuman keras tradisional Korea. Yang juga dimeriahkan dengan berbagai pertunjukan budaya tradisional Korea.

Di bagian makanan, tersedia berbagai macam makanan tradisional khas Korea dengan harga yang cukup murah. Kebanyakan kue-kue tradisional Korea adalah rice cake yang berwarna-warni. Ji Seok membeli beberapa untuknya dan Yu Ri. Lalu mereka menikmati kue-kue itu sambil menyaksikan tarian tradisional Korea yang dipertunjukkan di tengah-tengah area festival.

Di bagian minuman keras, selain menjual jenis-jenis minuman keras tradisional, di festival ini juga didemonstrasikan bagaimana cara membuat rice wine khas Korea. Semua prosesnya dibuat secara tradisional dan tidak menggunakan bahan bakar atau listrik. Ada stand yang menjual tomato wine. Ji Seok menerima segelas yang diberikan penjaga stand untuk dicoba pengunjung. Tapi Yu Ri segera mencegahnya. Ia merebut gelas berisi wine itu lalu mengembalikannya kepada penjaga stand.

“Maaf, dia belum boleh minum alkohol. Masih di bawah umur,” ucap Yu Ri sopan.
“Yu Ri, tapi itu hanya tomato wine. Terbuat dari tomat,” bisik Ji Seok.
“Tidak boleh! Tetap saja itu mengandung alkohol. Dan kau masih kecil, tidak boleh minum minuman beralkohol,” ucap Yu Ri tegas.

Lalu ia menarik tangan kanan Ji Seok, membawanya menjauhi bagian minuman keras. Ji Seok mengikuti di belakang Yu Ri yang berjalan agak cepat

“Aku bukan anak kecil lagi, Yu Ri! Aku sudah mulai dewasa…” bantah Ji Seok.
“Tetap saja masih di bawah umur,” sahut Yu Ri.
“Yu Ri, aku kan baru saja ulang tahun yang ke tujuh belas,” bantah Ji Seok lagi.

Yu Ri berhenti sebentar. Lalu berbalik menghadap Ji Seok.

“Bukan berarti sudah tujuh belas tahun kau boleh minum alkohol,” ujar Yu Ri tegas. Ji Seok tertegun memandang wajah serius Yu Ri.
“Baiklah, jika menurutmu begitu…”sahut Ji Seok akhirnya.

Yu Ri tersenyum senang.

“Tadi kau bilang akan mengajakku ke sebuah observatorium?” tanya Yu Ri.
“Oh iya, kita jalan kaki saja. Tempatnya tidak jauh dari sini. Sebenarnya itu adalah observatorium tertua di dunia,” jawab Ji Seok.

Ia mulai melangkah meninggalkan area festival itu diikuti Yu Ri. Setelah tiga puluh menit berjalan kaki, akhirnya mereka sampai di Cheomseongdae Observatory. Bangunan yang mirip cerobong asap ini adalah salah satu tempat pengamatan astronomi tertua di dunia yang dibangun pada abad ke tujuh di masa kerajaan Silla berkuasa.

Ji Seok dan Yu Ri melihat-lihat di situ sebentar. Mengagumi peninggalan leluhur mereka dahulu. Setelah itu Ji Seok mengajak Yu Ri menuju Wolseong Forrest yang sangat indah terhampar luas di luar Cheomseongde Observatory.

Di musim gugur ini, daun-daun pepohonannya juga berubah warna. Kuning keemasan berpadu merah tembaga dan coklat terang. Entah mengapa, warna-warni dedaunan ini selalu saja memberi kesan yang berbeda. Nuansa magis dan romantis serasa menyelimuti hutan itu.

Ji Seok dan Yu Ri berhenti melangkah. Mereka beristirahat sejenak sambil menikmati pemandangan Wolseong Forest yang berpadu dengan Rape Flowers Complex di tepinya. Suasana di tempat itu terasa sangat damai. Setelah cukup beristirahat, Ji Seok dan Yu Ri melanjutkan perjalanannya menyusuri jalan kecil yang membelah Wolseong Forrest.

Di seberang Wolseong Forrest terdapat Anapji Pond, yaitu kolam buatan dengan tiga pulau yang terlihat sangat indah. Di atas kolam ada bangunan tradisional Korea dihiasi lampu-lampu yang ditata sedemikian rupa. Lampu-lampu itu akan dinyalakan saat hari sudah menjelang malam. Ji Seok mengajak Yu Ri duduk di tepian kolam itu untuk menikmati indahnya pemandangan.

“Yu Ri, apakah aku sudah bilang padamu kalau nilai ujian matematikaku mendapat nilai delapan dan bahasa Inggrisku mendapat nilai delapan juga?” tanya Ji Seok.

Yu Ri menoleh, menatap Ji Seong dengan ekspresi wajah ikut senang.

“Oh ya? Wah, kau hebat sekali. Aku memang sudah yakin kau pasti bisa. Aku kan yang sudah mengajarimu,” jawab Yu Ri.

Ji Seok tertawa ringan.

“Dan kau pasti ingat dengan janjimu, kan? Kau pasti tak akan ingkar janji, kan?” tanya Ji Seok lagi.
Pandangan Yu Ri tampak kebingungan.
“Janji apa? Apakah aku pernah berjanji akan memberimu hadiah?” Yu Ri balik bertanya.

Ji Seok menghela nafas sambil memandang Yu Ri dengan gemas.

“Kau berjanji, jika aku lulus sekolah dengan nilai matematika dan bahasa Inggris bagus, kau akan menerimaku sebagai pacarmu kan?” ucap Ji Seok mengingatkan.
Yu Ri tampak sedikit tersentak, lalu tersenyum lebar. Ia ingat janji itu.

“Sebenarnya, andaikan nilai matematika dan bahasa Inggrismu jelek, atau kau tidak lulus sekali pun, aku tetap menerimamu sebagai pacarku, Ji Seok. Karena 사랑해 saranghae (aku mencintaimu) juga. Ji Seok, kau adalah 첫사랑 cheossarang (cinta pertama) bagiku,” sahut Yu Ri.

Ji Seok memandangi Yu Ri tak percaya. Kemudian ia tersenyum.

“Ah, aku memang sudah menduga kau naksir aku juga. Selama ini kau hanya pura-pura jual mahal dan mengerjaiku saja. Yu Ri, dari dulu aku mencintaimu, kau juga 첫사랑 cheossarang (cinta pertama) bagiku,” kata Ji Seok dengan raut wajah tampak senang sekali.

Ji Seok mengulurkan tangannya ingin meraih jemari Yu Ri. Tapi Yu Ri buru-buru menghindar.

“Yu Ri…”
“Kita jadian, bukan berarti boleh pegang-pegangan,” kata Yu Ri.
Ji Seok melongo.
“Hah? Tidak boleh pegangan tangan? Terus, buat apa kita pacaran?”
“Memangnya pacaran harus pegang-pegangan tangan? Sori ya, aku bukan perempuan sembarangan,” jawab Yu Ri.

Tiba-tiba saja ia bangkit berdiri dari duduknya. Lalu ia berbalik dan melangkah meninggalkan Ji Seok. Ji Seok tertegun sesaat, sebelum akhirnya ikut bangkit berdiri dan setengah berlari ia mengejar langkah Yu Ri.

“Yu Ri!” panggil Ji Seok sambil meraih lengan kanan Yu Ri.
Yu Ri tersentak kaget.
“Ji Seok! Aku bilang jangan pegang aku! Lepaskan tanganmu dariku! Kalau tidak…”
“Kalau aku tidak mau melepasmu, kenapa Yu Ri?”
“Lebih baik kita putus!”

Ji Seok menatap Yu Ri seolah tak percaya dengan pendengarannya.

“Putus? Tapi kita baru jadian beberapa menit lalu…”
“Karena itu, lepaskan tanganmu dariku dan jangan berani-berani menyentuhku lagi.”

Ji Seok menatap Yu Ri tak mengerti. Tapi melihat wajah serius Yu Ri, ia segera melepaskan tangannya dari lenganYu Ri.

“Yu Ri, apa salahnya hanya pegangan tangan? Sesekali sebagai pacar, pasti aku ingin juga berjalan bergandeng tangan denganmu.”
“Kita tak perlu begitu,”
“Tapi kalau sesekali aku ingin, aku boleh menciummu, kan?” tanya Ji Seok lugu.
Yu Ri mendelik.
“Jangan pernah terlintas di kepalamu niat seperti itu sedikit pun! Kalau kau nekat melakukannya, lebih baik aku tak mengenalmu lagi!” ucap Yu Ri dengan suara tegas.

Ji Seok semakin kebingungan. Yu Ri belum berubah. Ia tetap seperti dulu. Takut sekali bersentuhan dengan orang lain. Seolah ia memiliki trauma tertentu yang membuatnya anti bersentuhan dengan orang lain.

“Kau tidak berubah, Yu Ri. Tetap saja galak.”
“Memang harus galak menghadapi kamu, Ji Seok. Karena kau keras kepala.”
“Kau sendiri juga keras kepala,” sahut Ji Seok tak mau kalah.

Mereka masih saling berbantah hingga waktunya kembali pulang. Ji Seok mengantar Yu Ri pulang ke rumah neneknya. Kali ini waktu kunjungan Yu Ri lebih lama. Hari minggu besok ia baru berencana pulang ke Busan.

Sepanjang jalan Ji Seok berusaha menggandeng tangan Yu Ri. Ia membayangkan pasti romantis sekali berjalan kaki menuju bukit sambil menggandeng tangan kekasihnya. Tapi Yu Ri selalu mengelak tiap kali Ji Seok ingin meraih tangan Yu Ri. Membuat Ji Seok gemas, tapi akhirnya ia capek sendiri dan berhenti berusaha menggandeng Yu Ri.

Langit mulai gelap. Menjelang musim dingin, memang seringkali Kota Gyeongjo diguyur hujan. Ji Seok dan Yu Ri tak ada yang membawa payung. Hingga akhirnya hujan benar-benar turun, sementara rumah nenek Yu Ri masih jauh.

“Seharusnya kau bawa jas hujanmu yang berwarna pink dulu,” ledek Ji Seok.

Yu Ri hanya mencibir, lalu berjalan cepat meninggalkan Ji Seok. Ia menutupi atas kepalanya dengan tasnya. Tapi sepertinya percuma karena hujan turun semakin deras. Ji Seok mengejar Yu Ri. Lalu melepas jaket kulitnya dan menaungi kepala Yu Ri dengan jaketnya itu, tak peduli ia sendiri kebasahan.

“Ji Seok, apa yang kau lakukan?” tanya Yu Ri terkejut dengan tindakan Ji Seok yang tiba-tiba ini.
“Melindungimu supaya tak kehujanan,” jawab Ji Seok sambil tersenyum lebar.
“Lindungi juga kepalamu,” sahut Yu Ri.

Ia menarik tubuh Ji Seok merapat ke tubuhnya. Berganti Ji Seok yang terkejut tak mengira Yu Ri akan berbuat begitu. Yu Ri ikut memegangi jaket Ji Seok hingga menutupi atas kepala keduanya yang kini menempel satu sama lain. Ji Seok melirik ke arah kepala Yu Ri yang kini benar-benar menempel di samping kiri kepalanya. Ia meraih tangan Yu Ri, menggenggam jari jemarinya erat-erat. Hujan turun semakin deras. Jaket Ji Seok tak mampu melindungi tubuh mereka lebih lama dari terpaan air hujan. Dalam sekejap keduanya sudah basah kuyup.

Ji Seok kembali melirik Yu Ri yang tampak sedikit menggigil. Ingin sekali ia menghangatkan tubuh Yu Ri. Ji Seok merangkul tubuh Yu Ri dan merapatkannya ke tubuhnya. Yu Ri tak menolak. Ia biarkan Ji Seuk berbuat begitu. Ji Seok merasakan tubuh Yu Ri sangat dingin.

“Kau kedinginan Yu Ri?” tanya Ji Seok.

Langkah mereka mulai terseok-seok karena jalanan yang semakin licin. Yu Ri mengangguk perlahan, membuat iba Ji Seok yang melihatnya.

“Sebaiknya kita mencari tempat berteduh,” kata Ji Seok sambil matanya menatap sekelilingnya mencari-cari tempat yang bisa dipakai untuk sedikit berteduh dari curahan hujan yang semakin lebat.
“Di mana?” tanya Yu Ri dengan suara bergetar karena tubuhnya yang gemetar.

Ji Seok juga tak tahu di mana. Jalan menuju bukit tempat tinggal nenek Yu Ri masih panjang dan jauh, tak dilihatnya ada tempat berteduh dalam jangkauan pandangannya. Sekali lagi Ji seok melirik ke arah Yu Ri, memantau keadaannya. Bibir Yu Ri yang biasanya berwarna merah muda alami, kini terlihat membiru dan bergetar karena kedinginan. Wajah Yu Ri tampak sangat pucat. Baru kali ini Ji Seok melihat wajah Yu Ri sepucat itu.

Hujan masih enggan berhenti. Sekarang bahkan mulai disertai suara gemuruh. Tiba- tiba saja muncul kilat sangat terang membelah langit, disusul suara menggelegar. Suara itu mengejutkan Yu Ri, tanpa sadar ia melompat ke depan Ji Seok, merapatkan tubuhnya di dada Ji Seok, seolah ingin bersembunyi di sana. Ji Seok terhenyak, tak menduga sama sekali gerakan tiba-tiba Yu Ri itu.

“Ah, kau masih saja takut petir ya?” ucap Ji Seok sambil tersenyum.

Ia mempererat pelukannya. Ia biarkan hangat tubuhnya menjalar ke tubuh Yu Ri. Mereka tak bisa berteduh di bawah pohon. Karena petir masih saja muncul bersusulan. Yu Ri membenamkan wajahnya ke dada Ji Seok. Ji Seok tersenyum geli. Yu Ri yang sebelumnya galak, kini terlihat bagai putri lemah yang butuh perlindungannya. Membuat Ji Seok merasa menjadi heroik.

Lama mereka saling peluk di bawah hujan. Tubuh keduanya semakin dingin. Tapi Ji Seok merasakan tubuh Yu Ri lebih dingin. Ia menyentuh pipi Yu Ri, lalu memegangnya dengan kedua tangannya. Mata Yu Ri terpejam. Wajahnya pucat sekali. Bibirnya semakin biru. Ji Seok dilanda panik.

“Yu Ri, kau masih sadar, kan? Jangan pingsan di sini…” ucap Ji Seok cemas sambil sedikit mengguncang tubuh Yu Ri.

Yu Ri masih berdiri tegak, tapi tubuhnya menggigil hebat. Ji Seok segera merangkul Yu Ri erat dan membawanya melangkah perlahan. Ji Seok merasakan tubuh Yu Ri semakin lemah, wajahnya semakin pucat. Entah mengapa Ji Seok terpikir untuk mencium bibir Yu Ri, ia berharap itu akan membuat Yu Ri merasa sedikit hangat. Dan keputusannya tidak salah. Yu Ri tersentak bangun saat merasakan ada kehangatan di bibirnya…

~ oOo ~

Yang ingin tahu kisah selanjutnya, baca saja novelnya yaa ...
Bukunya bisa dibeli via online di :  http://www.bukukita.com/Buku-Novel/Drama/105184-Four-Seasons-of-Love-(Korean-Story).html

Terima kasih teman-teman  ^_^

Rabu, 25 September 2013

Cerpen Arumi E : Déjà vu



Déjà vu

 #CeritaPendek by Arumi E, termuat dalam kumpulan cerpen romantis yang disajikan secara unik "Heart Latte"


Crown Café, day #6

Lucu. Ini adalah kencanku yang pertama kali dengan Restu, setelah sebelumnya secara tak sengaja kami tiga kali bertemu ketika kami masih belum saling mengenal. Restu mengajakku ke kafe favoritnya ini.

“Kamu harus coba cappuccino di sini. Rasanya spesial,” kata Restu.
“Spesial bagaimana?” tanyaku
“Coba saja sendiri ya?” sahut Restu

Kemudian Restu memesankan secangkir cappuccino untukku. Dan saat minuman itu di hidangkan di meja kami, aku tertegun melihat hiasan lambang cinta di permukaannya.

“Ini bagaimana buatnya?” tanyaku lugu.

Restu tersenyum lebar.

“Itu namanya heart latte art. Sengaja aku pilih lambang cinta untukmu, melambangkan perasaanku padamu,” jawab Restu sambil tersenyum sedikit menggoda, lalu ia menyeruput minumannya yang berwarna lebih pekat.

Aku tersipu, berusaha menyembunyikan perasaan melambung yang tiba-tiba menyergap. Setelah sekian lama sendiri tanpa kekasih, baru kali ini ada lelaki yang memperlakukanku seperti ini. Membuat hatiku berbunga-bunga bagai kembali ke masa remaja. Aku merasa beruntung bertemu Restu. Takdir memang terkadang tak terjelaskan. Lucu, jika kuingat lagi bagaimana awal mula aku bertemu Restu.

Pertemuan pertama

Aku malas pulang. Walau sejak pukul satu siang tadi kantorku telah tutup. Hari ini hari Sabtu, inginnya bisa kuhabiskan untuk menghibur diri, setelah lima hari sebelumnya berkutat dengan tugas-tugas kantor. Biasanya aku tak mengeluh, makan sendiri, nonton bioskop sendiri, ke toko buku sendiri, tapi hari ini lain. Aku gundah, apakah karena beberapa hari lagi ulang tahunku yang ke tiga puluh lima?

Usia yang sangat matang, kata orang. Secara teori, harusnya aku sudah menikah dan memiliki dua atau tiga orang anak, seperti teman-teman seusiaku. Tapi prakteknya tidak, aku masih sendiri. Jomblo. Jangankan calon suami, seorang lelaki yang dekat denganku atau sekedar naksir pun tak ada. Sepanjang pengetahuanku tak ada. Hingga detik ini dan entah sampai kapan.

Biasanya aku tak terganggu dengan keadaanku ini. Sudah lama aku pasrah. Sungguh bukan mauku masih tetap melajang hingga usiaku kini. Jangan memaksaku untuk merasa bersalah, karena aku tak pernah merasa salah.

“Ibu enggak mau maksa kamu, Ibu enggak minta apa-apa, Ibu ikhlas, Git...” kata Ibu suatu kali ketika aku menjawab “Enggak tau” atas pertanyaan Ibu kapan aku akan menikah. Pertanyaan yang sudah ratusan kali diajukan kepadaku. Tetapi jawabanku selalu sama.

Aku memang tidak tahu. Manalah aku tahu, bukan aku yang menakdirkan jodoh dan matiku, kan? Jangan juga bilang aku terlalu pemilih atau aku kurang beramal, kurang bergaul, kurang usaha. Aku sudah cukup berusaha mencari belahan jiwaku, tapi jika hingga kini tak juga berujung indah, itu sama sekali bukan salahku.

Brukk!

Tubuh tinggi tegap yang membenturku lumayan keras membuyarkan lamunanku. Segera kurapikan kacamata minus yang hampir terlepas dari wajahku.

“Maaf, maaf Mbak...Saya enggak sengaja, saya terburu-buru.” kata sosok yang menabrakku itu. Aku hanya tersenyum kecil dipaksakan seraya berkata,
“Enggak apa-apa...” lalu memandang sekilas ke arahnya.

Sejurus kemudian aku hampir ternganga menatap sosok itu. Jika saja aku tak segera sadar, maka aku pasti sudah mempermalukan diriku sendiri. Aku sedikit tersentak ketika masih kusempatkan menoleh sekilas, kulihat ia mengambil empat bungkus pembalut sekaligus dari berbagai merk!

“Ah, ayolah Git, kau berkhayal lagi!! Tentu saja sosok menarik seperti dia pasti sudah ada yang punya. Ia pasti berbelanja barang-barang itu untuk pacarnya atau malah istrinya. Wanitanya pasti egois dan ia tipe lelaki yang dikendalikan wanitanya...” batinku sambil tergelak dalam hati. Seulas senyum kubuat untuk menertawai ketololanku sendiri.

oOo

Restu

Sudah sering aku direpotkan oleh Aruni, tapi baru kali ini aku benar-benar kewalahan. Keterlaluan, entah ia memang kelewat manja atau sekedar ingin mempermainkan aku? Tapi aku tetap harus menuruti permintaannya. Aku tak mau dipusingkan oleh rengekannya, atau mendengarkan ancamannya akan kabur dari rumah jika permintaannya tak aku turuti. Andai saja...ah, sudahlah, aku tak mau berandai-andai. Memang sudah takdirku harus menghabiskan hidup bersama Aruni.

Aku melangkah masuk ke dalam supermarket ini, kebingungan mencari barang yang diminta Aruni. Aku sama sekali tak paham soal barang ini. Di mana sih barang itu diletakkan? Ingin bertanya pada petugas toko, aku takut ditertawakan. Sudahlah biar kucari sendiri, walau itu artinya aku terpaksa harus menyusuri satu persatu deretan rak di supermarket ini. Aku sedang fokus mencari barang titipan Aruni ketika kemudian...

Brukk!

Aku menabrak seorang wanita. Segera aku meminta maaf. Ketika kulihat sekilas wanita itu berbalik beranjak pergi menjauh dariku, segera kuambil beberapa bungkus barang yang kuyakin itulah yang dimaksud Aruni. Kuambil empat bungkus sekaligus dari berbagai merk. Aku tak tahu mana yang paling disukai Aruni. Lalu diam-diam bergegas menuju meja kasir...

oOo

Aruni

Aruni mengembuskan nafas kesal. Kalut melihat darah keluar dari tubuhnya. Ia tahu tentang ini. Walau tak pernah dibahas secara detail di sekolahnya, ia tahu bahwa pada saatnya nanti, sebagai wanita normal, ia akan mengalami fase ini. Tapi sungguh ia tak menyangka ketika saat itu tiba, ia di dera rasa panik dan sakit luar biasa di bagian perutnya. Papa malah kebingungan ketika ia menceritakan kejadian ini.
Ah, andai saja ia punya Mama, selalu itu yang disesalkan Aruni.

“Pakai ini, Neng! Dulu Mbok Nah juga pakai ini...” kata Mbok Nah, perempuan setengah baya yang telah berpuluh tahun bekerja untuk Papa.
Aruni tertegun memandangi tumpukan kain kusam berwarna putih kekuningan yang diberikan Mbok Nah.
“Kain apa itu Mbok?”
“Dulu kalau Mbok datang bulan di”ganjel” pakai ini...” jawab Mbok Nah.
“Di”ganjel”? Ah, Mbok! Aku nggak mau pake kain kusam gitu. Aku mau pakai yang seperti iklan di TV, Mbok! Yang setipis kertas dan katanya serasa tak memakai apa-apa.”
“Wah, enggak pakai apa-apa telanjang dong, Neng?”

Aruni kesal, tapi terpaksa tertawa mendengar keluguan Mbok Nah. Mbok Nah memang wanita produk dulu, pasti di jamannya dulu, memang kain-kain itulah yang dipakainya setiap datang bulan. Kembali Aruni merindukan seorang Mama.

Andai saja ia punya Mama, Mama pasti mengerti soal ini. Pasti Mama akan menyiapkan yang terbaik untuknya. Tapi sekejap pun Aruni tak pernah melihat Mamanya secara langsung. Ia hanya tahu wajah Mama dari foto-foto yang masih disimpan Papa.

Mama wafat karena melahirkan Aruni. Itulah mengapa Nek Frida, Neneknya, selalu bersikap ketus dan tak ramah kepadanya. Tak berubah, setelah bertahun-tahun kemudian, hingga kini Aruni berusia tiga belas tahun, dendam Nek Frida padanya tak juga surut. Stempel itu tetap melekat pada sosok Aruni, seorang anak penyebab kematian ibunya. Laksana tato di kulit tubuh yang tak bisa dihapus.

“Ah, andai Papa memberikan aku hadiah seorang Mama...” batin Aruni menahan perih di hatinya, juga perih di perutnya yang tiba-tiba terasa melilit.
“Papa, cepat pulang, aku enggak tahan...sakit, Pa…” lanjutnya lirih.

oOo

Pertemuan kedua

Senin. Hari yang padat. Aku pasrah jika kemudian aku tak kebagian tempat duduk. Sudah biasa. Kedua kakiku telah terlatih berdiri lama. Kupilih tempat paling nyaman untuk berdiri bergantungan. Di bagian depan, tak jauh di belakang sopir, di depan deretan kursi yang sudah dipenuhi penumpang lain yang beruntung. Aku memantapkan posisi berdiriku. Cukup nyaman, tujuanku masih jauh, aku berharap beberapa orang yang duduk di depanku akan turun tidak lama lagi, kemudian aku bisa mendapatkan sebuah kursi kosong.

“Silakan duduk, mbak! Gantian...”

Aku terkejut ketika seorang lelaki yang duduk di depanku bangun berdiri dan memberikan kursinya untukku. Tak kusia-siakan kesempatan itu. Segera aku duduk. Memang sudah seharusnya wanita didahulukan. Itulah sikap lelaki yang gentleman. Bukan berarti aku perempuan lemah, tetapi jika memang ada kesempatan duduk nyaman, mengapa harus capek berdiri? Aku menyamankan letak dudukku, lalu baru kuingat belum mengucapkan terimakasih.

“Terima kasih...Mas...”

Kalimatku menggantung ketika memandang wajah lelaki yang kini berdiri di hadapanku itu. Seorang lelaki yang menarik. Terlihat matang, dewasa. Tubuhnya tinggi tegap. Dan sepertinya aku pernah melihatnya belum lama ini, di suatu tempat pada suatu waktu, tapi aku tak ingat di mana ....

oOo

Restu

Senin. Hari yang padat. Hari ini memang hari paling sial buatku. Aku tak pernah suka hari Senin. Terutama hari Senin ini. Mobilku mogok justru sesaat sebelum aku berangkat ke kantor. Terpaksa aku harus naik busway. Aku memilih tidak naik taksi karena kupikir jalur busway pasti lebih lancar dibanding jalur biasa. Namun kenyataannya aku harus mengantri lebih dari tiga puluh menit hanya untuk mendapat bus yang tak terlalu padat. Aku malas berdesak-desakan. Beruntung aku masih dapat duduk. Hingga beberapa detik kemudian, kulihat wanita tinggi langsing di depanku berdiri kerepotan. Dan baru aku sadar, di antara semua penumpang yang mendapat duduk di samping kanan-kiriku, hanya aku yang laki-laki.

Bukan karena malu, jika kemudian kurelakan tempat dudukku untuk wanita yang berdiri di depanku itu. Tapi karena itu adalah kewajibanku sebagai seorang laki-laki. Aku harus mendahulukan wanita. Dan aku yakin, sefiminis apa pun seorang wanita, pasti tak akan menolak diberikan tempat duduk di dalam bus penuh sesak seperti ini. Apalagi kemudian aku baru sadar, sepertinya aku pernah bertemu dengan gadis itu. Di suatu tempat, pada suatu waktu. Tapi aku tak ingat di mana ....
oOo

Pertemuan ketiga

Hari Minggu ini aku terlambat datang. Masih terengah ketika kutemui Suster Via.

“Maaf, suster, aku terlambat.”
“Tak apa Git. Tugasmu sudah dgantikan oleh yang lain. Tapi untunglah kau datang. Ada yang ingin bertemu denganmu.”

Aku mengangkat alis kananku, “Siapa?” tanyaku heran.

“Kau tunggu saja di depan Ruang Rontgen. Dia akan menemuimu.”
“Apakah aku kenal dia?”
“Belum, tapi dia kenal kamu.”

Aku masih ingin bertanya lagi, tapi Suster Via memberi isyarat bahwa dia sedang sibuk. Kuturuti saja permintaannya, aku melangkah menuju Ruang Rontgen. Hari ini banyak sekali antrian menunggu di depan Ruang Rontgen. Semua kursi telah terisi. Aku terpaksa berdiri menunggu. Kulihat sekeliling, memperhatikan kalau-kalau ada sosok yang aku kenal.

“Silakan duduk Mbak! Gantian...”

Suara itu berasal dari seorang lelaki yang duduk di kursi paling pinggir di samping aku berdiri. Aku memandanginya agak lama, mendadak kurasakan waktu berhenti untuk sesaat. Momen ini, rasanya kuingat pernah kualami. Deretan kursi yang penuh, aku tak kebagian duduk, lalu seorang lelaki menawarkan kursinya untukku. Rasanya seperti Déjà vu.

Lelaki itu! Ya, lelaki itu adalah Déjà vu.

Seingatku lebih dari dua kali aku melihat sosoknya, di suatu tempat, di suatu waktu. Aku tak menolak tawarannya. Segera aku duduk. Kali ini tak lupa kuucapkan terima kasih.

“Papa!”

Lelaki itu menoleh ke arah seorang anak dengan perban di kepala yang duduk di atas kursi roda. Suster Via yang mendorong kursi roda itu.

“Aruni, ini dia pahlawan penyelamatmu,” kata Suster Via sambil memandang ke arahku. Aku bangkit berdiri, sedikit terkejut melihat Suster Via sudah ada di sini.

Gadis belia itu menatapku tak berkedip. Memperhatikanku dari ujung rambut hingga ujung sepatu fantovelku.

“Terima kasih, Tante, atas sumbangan darahnya. Karena pertolongan Tante, aku akan segera sembuh. Kata dokter, tulang kakiku yang patah juga akan pulih beberapa bulan lagi,” katanya sambil tersenyum.
Mengertilah aku, dia adalah gadis yang kemarin mendapatkan darahku. Aku membalas senyumnya.

“Kebetulan saya ada saat dibutuhkan.” jawabku sedikit canggung.
“Oya, kenalkan, ini Papaku,” kata Aruni, ia menarik tangan lelaki yang tadi memberikan kursinya padaku.

Sekarang aku ingat lelaki itu. Pertemuan pertamaku dengannya di sebuah supermarket, ia membeli pembalut empat bungkus sekaligus. Pertemuan kedua terjadi dalam busway, ia memberikan tempat duduknya untukku. Dan kini aku kembali bertemu dengannya. Ah, andai saja ia belum menikah, pasti sudah kuanggap semua pertemuan tak disengaja itu sebagai pertanda.
Lelaki itu mengucapkan kalimat berirama sambil mengulurkan tangannya,

“Saya Restu, seorang duda beranak satu.”

Ah, duda! Mengapa tak terpikir olehku kemungkinan itu? Duda yang menarik, simpatik dan sopan. Masih terlihat muda. Mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku. Pasti dulu ia menikah di usia muda, hingga kini telah memiliki putri yang beranjak remaja. Tubuhnya tegap dan atletis, menunjukkan bahwa ia rajin berolahraga.

Kulirik sekilas wajah berbinar putrinya yang tak lepas memandangi kami sejak tadi. Aku punya firasat, gadis belia itu suka kepadaku. Dan dari cara lelaki itu memandangku, bolehlah aku sedikit berharap. Kusambut uluran tangan Restu, kugenggam hangat seraya kusebutkan namaku,

“Digita, panggil saja Gita, masih single, belum pernah menikah.”
Senyumku mengembang, membalas senyumnya yang menawan.

~ oOo ~

Note : 
Cerita lengkapnya silakan baca di bukuku "HEART LATTE" yaaa.... ada 12 cerpen yang disajikan secara unik, dengan setting yang sama, Crown Cafe. 
Rencananya, 12 cerpen tersebut akan kukembangkan masing-masing menjadi 12 novel. Setuju nggak teman-teman? ^_^

Terima kasih bagi yang sudah berkenan mampir dan membaca isi blogku ini yaaa ... 
Dank u weel, Gamsahamnida, Merci, Thank you so much, matur nuwun ... 

Selasa, 24 September 2013

Single's Diary : Kalau Bulan Bisa Ngomong ....




By : Arumi E.


Dulu cowok idaman gue itu adalah cowok yang tinggi, atletis, macho dan kalo bisa insinyur sipil. Secara waktu itu gue lagi giat-giatnya kerja jadi arsitek. Gue ngebayangin kalo punya pacar insinyur sipil, bakal jadi kolaborasi yang mantep banget tuh. Gua bisa bikin desain bangunan, nanti dia yang ngitung struktur bangunannya. Bisa bikin usaha konsultan desain dan kontraktor bareng.

Nah, kebayang kan betapa girangnya gue ketika pada suatu hari gue ketemu cowok yang pas banget dengan apa yang gue idamkan itu. Waktu itu gue kebagian ngerjain proyek di Puncak. Dan dia adalah pimpinan proyek dari kontraktor yang bakal ngebangun proyek itu. Kontraktor gede lagi, BUMN. Mupeng banget deh gue liatnya.

Tiap ada jadwal meeting bareng kontraktor, persiapan gue ribet banget deh. Dandan secakep-cakepnya. Pilih baju yang paling keren. Dan deg-degannya bukan main tiap mau ketemu dia. Nggak ada yang tau kalo diem-diem gue suka banget sama tu cowok.

Tapi kebiasaan gue emang payah. Kalo naksir cowok, gue jadi mendadak pendiem dan pemalu. #padahal kalo dalam keadaan normal gue diem-diem malu-maluin, hehehe. Gue nggak berani ngajak dia ngobrol kecuali dia yang mulai percakapan duluan. Tapi setelah meeting bareng berkali-kali, ngobrolnya ya cuma seputar masalah proyek aja. Kayaknya nggak ada tanda-tanda sedikit pun tuh cowok naksir gue. Padahal gue udah dandan pol banget setiap meeting sama dia.

Mulai lagi deh gue mikir apa yang salah sama diri gue? Dan sekali lagi gue nyalahin bentuk tubuh gue yang montok dibagian yang kurang tepat itu. Tapi berhubung gue udah kapok diet ketat, jadinya kali ini gue pasrah aja deh. Kalo emang dia jodoh gue, pastilah dia naksir gue apa adanya. Tapi kalo dia nggak naksir gue juga, apa yang harus gue lakukan? Masa iya gue harus ke dukun sih? Nggak banget lah yaw! Tapi beneran, gue naksir banget sama dia. Pasti tau sendirilah gimana rasanya menemukan sosok yang selama ini kita idamkan kemudian hadir tepat di depan mata kita.#deket amat dong???

Gue : Tuhan, mengapa ini harus terjadi? Mengapa giliran gue ketemu cowok yang gue taksir berat, eh dianya nggak balik naksir gue? Apa salah daku ya Tuhan?

Walau pun gue udah berusaha nutupin perasaan gue ke dia, eh, temen sekantor gue, Kiko, tukang ngitung anggaran proyek, tau aja kalo gue naksir dia.

Kiko : Elo suka ya sama dia?
Gue : Dia siapa?
Kiko : Alah, pura-pura lo. Pimpro proyek Puncak.
Gue : Kata siapa?
Kiko : Ketauan lah dari sikap lo yang gugup gitu kalo pas ada dia.
Gue : Ah, itu hanya perasaan lo aja kali, Ki.
Kiko : Jadi, elo nggak mau nih, kalo gue comblangin? Kasian gue liat tampang lo yang nahan mupeng tiap liat dia.
Gue : Siaul lo. Emang mupeng gue ampe segitu keliatannya. Eh, yang bener nih, elo mau bantuin nyomblangin gue sama dia?
Kiko : Nah, kan tebakan gue bener.
Gue : Iya deh, bener, emang gue suka sama dia. Tapi kayaknya dia cuek banget sama gue. Sok cool gitu. Tapi malah bikin gue makin penasaran sih...
Kiko : Ntar gue bilangin dia yaaa.
Gue : Eh, bilangin apaan nih? Elo jangan ngejatohin reputasi gue dong. Malu gue entar...
Kiko : Kalo lo suka, ngaku aja kenapa. Daripada ntar lo nyesel...
Gue : Yeee, kalo dianya mau juga sama gue. Kalo enggak, gue bisa malu seumur hidup.
Kiko :Tenang aja deh, ntar gue bantuin cari info tentang dia ya, kebetulan besok gue tugas ke proyek puncak, ngitung anggaran bareng kontraktor, pastinya bareng dia deh, hehehe.

Uh, Ngirinya gue sama si Kiko. Jadwal gue emang cuma seminggu sekali meeting bareng dia. Harus nahan kangen deh, baru minggu depan gue bisa liat dia lagi. Besoknya Kiko sms

Kiko : Gue lagi sama dia nih. hehehe.

Tu anak emang sengaja mau manas-manasin gue. Sampe malem Kiko terus ngelaporin tentang dia ke gue.

Kiko : Elo pasti ngiri sama gue. Kayaknya gue terpaksa nginep di puncak nih. Itung-itungan anggaran proyek belom kelar. Lo tau apa artinya? Artinya gue nginep bareng dia. Elo sih nggak ikut...
Gue : Yeee, gue sih pengen ikut, tapi kan jadwal tugas gue ke proyek puncak bukan hari ini. Eh, terus lo labain ya dia?
Kiko : Yah, kalo nanti nggak taunya dia naksir gue, lo ikhlas aja ya? Kan bukan salah gue...

Glekk! Kiko siaul banget!! Akhirnya gue pasrah aja deh. Ya udah kalo emang nggak ada jalan bagi gue buat bisa lebih deket lagi sama dia, artinya emang belom jodoh. Ihiks, huahua...
Besok paginya, Kiko ngasih kabar yang bikin gue makin patah hati...

Kiko : Rum, sori ye, gue ngasih kabar duka...
Gue : Hah? kabar duka apaan Ki? Siapa yang meninggal?
Kiko : Yeee, emangnya berita duka tuh cuma kalo ada yang meninggal doang. Ini tentang si pimpro proyek Puncak
Gue : Kenapa dia? Nggak apa-apa kan? #asli deg-degan kuatir banget...segitunya...
Kiko : Dia mah nggak kenapa-napa. Gue takut elonya nih ntar pingsan kalo denger kabar ini...

Ih, si kiko bikin gemes aja, makin penasaran jadinya

Gue : Ada apa sih?
Kiko : Dia udah punya pacar...pantesan aja dia nyuekin elo...hehehe, tabah ya Rum...

Tuuh kaaan, feeling gue bener. Kan gue udah bilang, pasrah aja dari semalem...hiks!

Kiko : Tapi tenang aja Rum. Selama janur kuning belom melengkung, elo masih boleh tuh, cari-cari perhatian dia dan sekalian pedekate sama dia.
Gue : Elo ngajarin yang nggak bener nih.
Kiko : Bro, nggak ada yang adil dalam perang dan cinta kata pepatah kan...
Gue : Bro, bro, emangnya gue brother lo? Ngaco lo...huahuahua

Akhirnya gue putusin untuk nggak lagi ngarepin dia. Nggak gue ikutin dah saran ngaconya si Kiko. Biar gini-gini gue nggak mau menjadi penyebab rusaknya hubungan dua sejoli, halah, lagian dia juga nggak naksir gue sama sekali. Tapi ketika gue masih harus meeting bareng dia lagi, alamak! Kok rasa-rasanya gue masih nggak ikhlas ngelepas dia ya?

Gue : Tuhan, mengapakah tak ENGKAU takdirkan dia menjadi jodohku? Sayang seribu kali sayang...Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai...ya udah meluk guling aja deh...ihiks!!

Suatu kali ...

Dia : Rum, kamu pulang kemana?

Degg!! Dag dig dug dag dig dug DHUEERR!! O-em-ji....nggak salah denger nih, dia nanya gitu ke gue????

Gue : Mm, eh...mm, ke Cengkareng. Mau nganterin ya? Hehehe...#nekat soksok ngajak becanda...
Dia : Kalo mau, bareng aku aja, aku juga mau pulang ke Jakarta...

Oh may may...Apakah ini ulam dicinta pucuk tiba...? Eh, pucuk dicinta ulam tiba???

Gue : #mau banget!! sumpah!! Boleh, kalo emang sekalian jalan...#mesem-mesem kagok, kikuk, degdegan pastinya
Dia : Habis dari sini kamu langsung pulang atau ke kantor kamu dulu?
Gue : Langsung pulang aja. Nanti aku nebeng sampe depan UKI aja yaaa...makasih banget #degdeg, dagdigdug...
Dia : Oke deh!

Maka, kejadian selanjutnya adalah seperti mimpi menjadi nyata. Nggak kebayang bisa semobil berdua sama dia, duduk di sampingnya. Pertanda apakah ini??

Sepanjang perjalanan kami ngobrol soal proyek. #yah, proyek lagi, proyek lagi...Apakah harapan itu masih ada? Ataukah udah nggak ada? Rasanya gue pengen UKI itu pindah ke Cirebon biar agak lamaan gue bisa semobil sama dia, hehehehe.
Tapi ternyata harapan nggak masuk akal gue itu nggak terkabul. Hari itu jalanan lancar, UKI pun berhasil dicapai dalam waktu nggak lama.

Dia : Kamu mau turun sini? Gimana kalo sekalian aja ku anter sampe kantor kamu, kan jadinya kamu udah nggak terlalu jauh lagi pulangnya.

Hah??? O-em-ji lagi deh...jarang-jarang dapet rejeki nomplok gini.

Gue : Boleh juga, kalo nggak ngerepotin

Aku malu tapi mauuuu....Eh, begitu deket kantor gue di Sudirman, dan gue udah siap-siap mau turun...

Dia : Gimana kalo sekalian aja sampe deket rumah kamu, di Cengkareng kan?
Hah? Hah? #Dobel ah, Hah-nya, saking nggak nyangkanya.
Gue : Waah, Cengkareng masih jauh banget, nanti ngerepotin...
Dia : Ya enggaklah, kan aku bawa mobil. Nggak ngerepotinlah, sekali-kali kan nggak apa-apa...
Wuaaah, seneng bener...Jadilah gue dianter sampe deket rumah gue. Nggak sampe rumah gue sih, tapi itu aja gue udah seneng banget deh. Badan gue langsung meriang. Dan malem itu gue sukses nggak bisa tidur mikirin dia...Hm

Besoknya, dengan wajah ceria Kiko ngedatengin gue.

Kiko : Kali ini gue bener-bener turut berbelasungkawa, Rum. Tabah ya Rum...

Apaan sih nih Kiko, ngasih kabar duka tapi tampangnya ceria kayak mau nyengir gitu. Hobi banget dia bikin gue panik.

Gue : Apaan lagi nih? Siapa lagi yang meninggal?
Kiko : Yee, siapa bilang ada yang meninggal. Nih, surat undangan pernikahan buat elo sama gue.
Gue : Nikahan siapa? Emangnya gue kenal? Kok gue diundang?
Kiko : Yaaah, pastinya elo kenal banget lah! Baca dong namanya!

Kiko meletakkan sebuah kartu undangan pernikahan berwarna coklat muda keemasan. Awalnya gue masih nggak ngerti maksud Kiko. Tapi begitu gue baca nama pasangan yang akan menikah di sampul surat undangan pernikahan itu, nama pimpro proyek puncak terpampang di situ...

Gue : Dia mau nikah? #terbelalak kaget, langsung lemas, lesu tak bergairah...
Pimpro idaman gue yang semalem nganter gue pulang itu mau nikah? Huahua...
Kiko : Elo sih, telat Rum. Sekarang janur kuning udah terlanjur melengkung deh. Elo udah nggak bisa ngapa-ngapin lagi.

Gue masih terbengong-bengong berusaha mencerna kenyataan pahit ini. Nyesel nggak ngikutin feeling gue sejak awal. Emang kayaknya dia bukan jodoh gue...

Kiko : Nanti kita datengnya bareng aja ya Rum.
Gue : Hah? Lo pikir gue bakalan dateng ke resepsi pernikahan dia?
Kiko : Kan kita diundang, Rum. Dan biar gimana dia partner kerja kita.
Gue : Nggak mau lah yauw! Bodo banget deh, dia siapa. Lo dateng sendiri aja gih.
Kiko : Ya udah kalo elo nggak mau dateng. Gue ngerti perasaan lo. Tapi lo mau nitip amplop nggak?
Gue : Hah??? Ogaaah! Nggak sudi lah yaw nitip amplop, rugiii...!!
Kiko : Kalo nitip salam?
Gue : Ogaaaah!!

Dan pada saat itu, kalo bulan bisa ngomong, bulan pasti ngomong gini: KACIAAAAN DEH LO...!!

Sabtu, 14 September 2013

Novel Korea : Longest Love Letter (PSA Pilihan GRASINDO)


Annyeonghaseyo teman-teman....

Kabar gembira di bulan September.

Telah terbit novel terbaru karya Arumi E.

Novel "Longest Love Letter", pembatas bukunya cute, kuning cerah juga ^_^


Inilah naskahku yang berhasil terpilih dalam 31 karya yang layak diterbitkan dalam ajang PSA (Publisher Searching for Author) yang diselenggarakan Penerbit Grasindo.

Yuk, beli dan baca yaaa... ceritanya romantisssss ^_^







Judul : Longest Love Letter
Penulis : Arumi E
Penerbit : Grasindo Publisher
Tebal : 288 halaman
Harga : Rp 47.000
Genre : romance Korean Story

Sinopsis:

“Kau mengingatkanku pada seseorang,” ucap Ryu Jin Soo.

Gadis itu, dengan latar belakang rumah mungil di ujung hamparan bunga canola kuning. Ryu Jin Soo merasa mengenalnya. Cara gadis itu tertawa, cara gadis itu bicara, bahkan cara gadis itu menggigit-gigit tusuk gigi hingga pipih seusai makan, mengingatkan Ryu Jin Soo pada Jang Mi Ra, kekasih masa remajanya. Tetapi gadis itu sama sekali bukan Jang Mi Ra, dia adalah Jo Eun Hye, artis papan atas Korea Selatan, yang sedang dekat dengan lawan mainnya, aktor Lee Jun Pyo.

Jo Eun Hye yang diombang-ambing perasaannya antara Ryu Jin Soo dan Lee Jun Pyo. Penulis novel best seller dan aktor idamannya. Ada rasa bersalah tiap kali ia memandang Ryu Ji Soo, ada rasa tak yakin saat ia menatap Lee Jun Pyo. Ada kisah gelap masa lalu yang ia sembunyikan dari keduanya. Sampai kemudian ia sadar, harus jujur pada salah satunya, menceritakan siapa dirinya sebenarnya, seusai ia membaca Longest Love Letter, novel terbaru Ryu Jin Soo.

Novel itu bagai surat cinta terpanjang yang pernah ia baca. Sayangnya, surat cinta itu bukan untuknya, melainkan untuk Jang Mi Ra yang kini entah berada di mana. Ryu Jin Soo berharap, kekasihnya yang telah lama hilang itu membaca ungkapan perasaannya dan menyadari ia masih menunggu di tempat yang sama, di hamparan bunga canola kuning dengan rumah mungil di ujungnya.

"Missing You" G-Dragon menjadi salah satu inspirasi 
kisah dalam novel ini 

Salah satu ilustrasi dalam novel "Longest Love Letter"
yang cute, ini Kim Hye Ri yang ngefans berat sama Pororo ^_^

Cuplikan Novel "Longest Love Letter"

“Jo Eun Hye! Lee Jun Pyo mencarimu. Ia ingin bertemu denganmu. Katanya ada hal penting yang ingin ia sampaikan padamu,” kata Han Seung Yi lagi.
“Jun Pyo?” tanya Jo Eun Hye dengan mata terbelalak.

Sejak kemarin ia memang sengaja mematikan ponselnya karena sedang tak ingin diganggu siapa pun. Pagi ini ia lupa belum menyalakan kembali ponselnya. Ia segera meraih tasnya, lalu mengambil ponselnya dan mengaktifkannya kembali. Benar saja, beruntun belasan sms masuk. Dan semuanya dari Lee Jun Pyo! Tak sabar Jo Eun Hye membacanya satu persatu.

“Kau di mana Eun Hye? Bisakah kita bertemu? Aku ingin bicara denganmu,”
“Eun Hye, kau belum membalas sms-ku,”
“Eun Hye!!!!”
“Eun Hye….kau pingsan ya?”
“Eun Hye, apakah kau diculik?”
“Eun Hye…kau mulai membuatku putus asa,”
“Eun Hye, jika kau tidak membalas sms-ku dalam lima menit, aku akan…”
‘EUN HYEEEEE….”
“Eun Hye, ayah dan ibuku ingin mengundangmu makan malam di rumah mereka,”
“Eun Hye, manajermu bilang kau ada di Jeju? Sedang apa kau di Jeju? Apakah kau menemui Ryu Jin Soo? Kau tak boleh bertemu dengannya,”
“Eun Hye, Saranghaeyo…aku mencintaimu…”
“Eun Hye, aku akan menjemputmu ke Jeju,”
“Eun Hye, maukah kau menikah denganku?”

Tubuh Jo Eun Hye bergetar membaca semua sms dari Lee Jun Pyo itu. Ia tertawa sambil menangis. Ia begitu terharu. Mengapa ia bodoh sekali? Mengapa ia mematikan ponselnya semalam? Mengapa ia langsung kembali ke Seoul? Mengapa…?

“Han Seung Yi, Jun Pyo bilang dia mencintaiku…” ucap Jo Eun Hye dengan suara bergetar, wajahnya tersenyum tetapi matanya menangis bahagia.
“Aku memang sudah lama menduga kalian benar-benar saling mencintai,” sahut Han Seung Yi.
“Jun Pyo bilang ayah dan ibunya ingin mengundangku makan malam di rumah mereka,” kata Jo Eun Hye lagi dengan mata masih berkaca-kaca.
“Oh, itu bagus sekali, berarti ayah dan ibu Jun Pyo menyetujui hubungan kalian,” sahut Han Seung Yi lagi.
“Jun Pyo bertanya, maukah aku menikah dengannya?” kata Jo Eun Hye lagi, suaranya semakin bertegetar.

Kali ini Han Seung Yi tidak menyahut. Ia tersenyum lebar dan bertepuk tangan sekali.

“Jo Eun Hye, segeralah susul Lee Jun Pyo ke Jeju detik ini juga! Katakan kau bersedia menjadi istrinya!” teriak Han Seung Yi tak bisa menahan histeris ...

"Loving You" menjadi inspirasi 
adegan Jo Eun Hye saat menerima lamaran Lee Jun Pyo







“Novel yang memikat! Pembaca akan dibawa untuk menikmati keindahan Pulau Jeju lewat tokoh dengan racikan emosi yang pas, alur yang menarik, dan setting cerita cantik yang dikolaborasikan dengan ciamik oleh sang penulis. Very recommended!”
-@cayyicayyi Penulis buku travelling Lost in Korea, Lost in Japan, dan Lost in Raja Ampat & Sorong-

“Khas cerita romantis Korea yang mengangkat cinta segi empat. Dibungkus suasana romantis pulau Jeju, pembaca seakan dapat menvisualisasikan setiap suasana yang digambarkan penulis dalam novel ini. Cerdas memainkan emosi, menarik dan menghanyutkan.”
-Fridha Kusumawardani, admin @KangJiHwanIndo, Kang Ji Hwan Indonesia

“Longest Love Letter" benar-benar menunjukkan sisi lain dari kisah romantis, selalu ada alasan yang lebih baik ketika jalan takdir memutuskan dan memilih agar "dia" pergi dari hidup kita.”
– Pearlita, admin @SJELFindo, Super Junior = ELF Indonesia

“Lagu Missing You dari G-Dragon melengkapi kisah dalam novel ini, membuat pembaca seolah-olah sedang berada di Jeju dengan suasananya yang romantis. Swagga!”
- Afnilian Hosari @sariemegumi, founder Bigbang For Indonesia, @bigbangforindo

“Membaca novel ‘Longest Love Letter’ ini serasa menonton K-drama. Konflik perasaan tokohnya memikat. Kisah pencarian cinta sejati yang menemukan jawaban di akhirnya, tanpa melukai siapa-siapa.”
–Ervan Joniawan, pecinta drama Korea


Endorsement dari :
Sari, founder Bigbang For Indo,
Fridha, admin Kang Ji Hwan Indo.
Pearlita, admin Supe Junior-ELF Indonesia,
Cayi, penulis Lost in Korea,
Ervan, pecinta drama Korea
Waah, alhamdulillah, Longest Love Letter masuk ke rak buku laris di Gramedia Medan ^_^

Longest Love Letter ada di rak buku laris di Gramedia Medan ^_^


Me and my new novel

Amy, pembaca dari Bukittinggi, yang langsung memesan novel
"Longest Love Letter" begitu terbit. Makasih ya, Amy ^_^
@riztagumilar juga sudah beli dan baca "Longest Love Letter" loh.
Makasih ya Rizta ^_^
Devi Faradila juga beli dan baca
"Longest Love Letter"
Makasih ya Devi ^_^