Laman

Rabu, 25 September 2013

Cerpen Arumi E : Déjà vu



Déjà vu

 #CeritaPendek by Arumi E, termuat dalam kumpulan cerpen romantis yang disajikan secara unik "Heart Latte"


Crown Café, day #6

Lucu. Ini adalah kencanku yang pertama kali dengan Restu, setelah sebelumnya secara tak sengaja kami tiga kali bertemu ketika kami masih belum saling mengenal. Restu mengajakku ke kafe favoritnya ini.

“Kamu harus coba cappuccino di sini. Rasanya spesial,” kata Restu.
“Spesial bagaimana?” tanyaku
“Coba saja sendiri ya?” sahut Restu

Kemudian Restu memesankan secangkir cappuccino untukku. Dan saat minuman itu di hidangkan di meja kami, aku tertegun melihat hiasan lambang cinta di permukaannya.

“Ini bagaimana buatnya?” tanyaku lugu.

Restu tersenyum lebar.

“Itu namanya heart latte art. Sengaja aku pilih lambang cinta untukmu, melambangkan perasaanku padamu,” jawab Restu sambil tersenyum sedikit menggoda, lalu ia menyeruput minumannya yang berwarna lebih pekat.

Aku tersipu, berusaha menyembunyikan perasaan melambung yang tiba-tiba menyergap. Setelah sekian lama sendiri tanpa kekasih, baru kali ini ada lelaki yang memperlakukanku seperti ini. Membuat hatiku berbunga-bunga bagai kembali ke masa remaja. Aku merasa beruntung bertemu Restu. Takdir memang terkadang tak terjelaskan. Lucu, jika kuingat lagi bagaimana awal mula aku bertemu Restu.

Pertemuan pertama

Aku malas pulang. Walau sejak pukul satu siang tadi kantorku telah tutup. Hari ini hari Sabtu, inginnya bisa kuhabiskan untuk menghibur diri, setelah lima hari sebelumnya berkutat dengan tugas-tugas kantor. Biasanya aku tak mengeluh, makan sendiri, nonton bioskop sendiri, ke toko buku sendiri, tapi hari ini lain. Aku gundah, apakah karena beberapa hari lagi ulang tahunku yang ke tiga puluh lima?

Usia yang sangat matang, kata orang. Secara teori, harusnya aku sudah menikah dan memiliki dua atau tiga orang anak, seperti teman-teman seusiaku. Tapi prakteknya tidak, aku masih sendiri. Jomblo. Jangankan calon suami, seorang lelaki yang dekat denganku atau sekedar naksir pun tak ada. Sepanjang pengetahuanku tak ada. Hingga detik ini dan entah sampai kapan.

Biasanya aku tak terganggu dengan keadaanku ini. Sudah lama aku pasrah. Sungguh bukan mauku masih tetap melajang hingga usiaku kini. Jangan memaksaku untuk merasa bersalah, karena aku tak pernah merasa salah.

“Ibu enggak mau maksa kamu, Ibu enggak minta apa-apa, Ibu ikhlas, Git...” kata Ibu suatu kali ketika aku menjawab “Enggak tau” atas pertanyaan Ibu kapan aku akan menikah. Pertanyaan yang sudah ratusan kali diajukan kepadaku. Tetapi jawabanku selalu sama.

Aku memang tidak tahu. Manalah aku tahu, bukan aku yang menakdirkan jodoh dan matiku, kan? Jangan juga bilang aku terlalu pemilih atau aku kurang beramal, kurang bergaul, kurang usaha. Aku sudah cukup berusaha mencari belahan jiwaku, tapi jika hingga kini tak juga berujung indah, itu sama sekali bukan salahku.

Brukk!

Tubuh tinggi tegap yang membenturku lumayan keras membuyarkan lamunanku. Segera kurapikan kacamata minus yang hampir terlepas dari wajahku.

“Maaf, maaf Mbak...Saya enggak sengaja, saya terburu-buru.” kata sosok yang menabrakku itu. Aku hanya tersenyum kecil dipaksakan seraya berkata,
“Enggak apa-apa...” lalu memandang sekilas ke arahnya.

Sejurus kemudian aku hampir ternganga menatap sosok itu. Jika saja aku tak segera sadar, maka aku pasti sudah mempermalukan diriku sendiri. Aku sedikit tersentak ketika masih kusempatkan menoleh sekilas, kulihat ia mengambil empat bungkus pembalut sekaligus dari berbagai merk!

“Ah, ayolah Git, kau berkhayal lagi!! Tentu saja sosok menarik seperti dia pasti sudah ada yang punya. Ia pasti berbelanja barang-barang itu untuk pacarnya atau malah istrinya. Wanitanya pasti egois dan ia tipe lelaki yang dikendalikan wanitanya...” batinku sambil tergelak dalam hati. Seulas senyum kubuat untuk menertawai ketololanku sendiri.

oOo

Restu

Sudah sering aku direpotkan oleh Aruni, tapi baru kali ini aku benar-benar kewalahan. Keterlaluan, entah ia memang kelewat manja atau sekedar ingin mempermainkan aku? Tapi aku tetap harus menuruti permintaannya. Aku tak mau dipusingkan oleh rengekannya, atau mendengarkan ancamannya akan kabur dari rumah jika permintaannya tak aku turuti. Andai saja...ah, sudahlah, aku tak mau berandai-andai. Memang sudah takdirku harus menghabiskan hidup bersama Aruni.

Aku melangkah masuk ke dalam supermarket ini, kebingungan mencari barang yang diminta Aruni. Aku sama sekali tak paham soal barang ini. Di mana sih barang itu diletakkan? Ingin bertanya pada petugas toko, aku takut ditertawakan. Sudahlah biar kucari sendiri, walau itu artinya aku terpaksa harus menyusuri satu persatu deretan rak di supermarket ini. Aku sedang fokus mencari barang titipan Aruni ketika kemudian...

Brukk!

Aku menabrak seorang wanita. Segera aku meminta maaf. Ketika kulihat sekilas wanita itu berbalik beranjak pergi menjauh dariku, segera kuambil beberapa bungkus barang yang kuyakin itulah yang dimaksud Aruni. Kuambil empat bungkus sekaligus dari berbagai merk. Aku tak tahu mana yang paling disukai Aruni. Lalu diam-diam bergegas menuju meja kasir...

oOo

Aruni

Aruni mengembuskan nafas kesal. Kalut melihat darah keluar dari tubuhnya. Ia tahu tentang ini. Walau tak pernah dibahas secara detail di sekolahnya, ia tahu bahwa pada saatnya nanti, sebagai wanita normal, ia akan mengalami fase ini. Tapi sungguh ia tak menyangka ketika saat itu tiba, ia di dera rasa panik dan sakit luar biasa di bagian perutnya. Papa malah kebingungan ketika ia menceritakan kejadian ini.
Ah, andai saja ia punya Mama, selalu itu yang disesalkan Aruni.

“Pakai ini, Neng! Dulu Mbok Nah juga pakai ini...” kata Mbok Nah, perempuan setengah baya yang telah berpuluh tahun bekerja untuk Papa.
Aruni tertegun memandangi tumpukan kain kusam berwarna putih kekuningan yang diberikan Mbok Nah.
“Kain apa itu Mbok?”
“Dulu kalau Mbok datang bulan di”ganjel” pakai ini...” jawab Mbok Nah.
“Di”ganjel”? Ah, Mbok! Aku nggak mau pake kain kusam gitu. Aku mau pakai yang seperti iklan di TV, Mbok! Yang setipis kertas dan katanya serasa tak memakai apa-apa.”
“Wah, enggak pakai apa-apa telanjang dong, Neng?”

Aruni kesal, tapi terpaksa tertawa mendengar keluguan Mbok Nah. Mbok Nah memang wanita produk dulu, pasti di jamannya dulu, memang kain-kain itulah yang dipakainya setiap datang bulan. Kembali Aruni merindukan seorang Mama.

Andai saja ia punya Mama, Mama pasti mengerti soal ini. Pasti Mama akan menyiapkan yang terbaik untuknya. Tapi sekejap pun Aruni tak pernah melihat Mamanya secara langsung. Ia hanya tahu wajah Mama dari foto-foto yang masih disimpan Papa.

Mama wafat karena melahirkan Aruni. Itulah mengapa Nek Frida, Neneknya, selalu bersikap ketus dan tak ramah kepadanya. Tak berubah, setelah bertahun-tahun kemudian, hingga kini Aruni berusia tiga belas tahun, dendam Nek Frida padanya tak juga surut. Stempel itu tetap melekat pada sosok Aruni, seorang anak penyebab kematian ibunya. Laksana tato di kulit tubuh yang tak bisa dihapus.

“Ah, andai Papa memberikan aku hadiah seorang Mama...” batin Aruni menahan perih di hatinya, juga perih di perutnya yang tiba-tiba terasa melilit.
“Papa, cepat pulang, aku enggak tahan...sakit, Pa…” lanjutnya lirih.

oOo

Pertemuan kedua

Senin. Hari yang padat. Aku pasrah jika kemudian aku tak kebagian tempat duduk. Sudah biasa. Kedua kakiku telah terlatih berdiri lama. Kupilih tempat paling nyaman untuk berdiri bergantungan. Di bagian depan, tak jauh di belakang sopir, di depan deretan kursi yang sudah dipenuhi penumpang lain yang beruntung. Aku memantapkan posisi berdiriku. Cukup nyaman, tujuanku masih jauh, aku berharap beberapa orang yang duduk di depanku akan turun tidak lama lagi, kemudian aku bisa mendapatkan sebuah kursi kosong.

“Silakan duduk, mbak! Gantian...”

Aku terkejut ketika seorang lelaki yang duduk di depanku bangun berdiri dan memberikan kursinya untukku. Tak kusia-siakan kesempatan itu. Segera aku duduk. Memang sudah seharusnya wanita didahulukan. Itulah sikap lelaki yang gentleman. Bukan berarti aku perempuan lemah, tetapi jika memang ada kesempatan duduk nyaman, mengapa harus capek berdiri? Aku menyamankan letak dudukku, lalu baru kuingat belum mengucapkan terimakasih.

“Terima kasih...Mas...”

Kalimatku menggantung ketika memandang wajah lelaki yang kini berdiri di hadapanku itu. Seorang lelaki yang menarik. Terlihat matang, dewasa. Tubuhnya tinggi tegap. Dan sepertinya aku pernah melihatnya belum lama ini, di suatu tempat pada suatu waktu, tapi aku tak ingat di mana ....

oOo

Restu

Senin. Hari yang padat. Hari ini memang hari paling sial buatku. Aku tak pernah suka hari Senin. Terutama hari Senin ini. Mobilku mogok justru sesaat sebelum aku berangkat ke kantor. Terpaksa aku harus naik busway. Aku memilih tidak naik taksi karena kupikir jalur busway pasti lebih lancar dibanding jalur biasa. Namun kenyataannya aku harus mengantri lebih dari tiga puluh menit hanya untuk mendapat bus yang tak terlalu padat. Aku malas berdesak-desakan. Beruntung aku masih dapat duduk. Hingga beberapa detik kemudian, kulihat wanita tinggi langsing di depanku berdiri kerepotan. Dan baru aku sadar, di antara semua penumpang yang mendapat duduk di samping kanan-kiriku, hanya aku yang laki-laki.

Bukan karena malu, jika kemudian kurelakan tempat dudukku untuk wanita yang berdiri di depanku itu. Tapi karena itu adalah kewajibanku sebagai seorang laki-laki. Aku harus mendahulukan wanita. Dan aku yakin, sefiminis apa pun seorang wanita, pasti tak akan menolak diberikan tempat duduk di dalam bus penuh sesak seperti ini. Apalagi kemudian aku baru sadar, sepertinya aku pernah bertemu dengan gadis itu. Di suatu tempat, pada suatu waktu. Tapi aku tak ingat di mana ....
oOo

Pertemuan ketiga

Hari Minggu ini aku terlambat datang. Masih terengah ketika kutemui Suster Via.

“Maaf, suster, aku terlambat.”
“Tak apa Git. Tugasmu sudah dgantikan oleh yang lain. Tapi untunglah kau datang. Ada yang ingin bertemu denganmu.”

Aku mengangkat alis kananku, “Siapa?” tanyaku heran.

“Kau tunggu saja di depan Ruang Rontgen. Dia akan menemuimu.”
“Apakah aku kenal dia?”
“Belum, tapi dia kenal kamu.”

Aku masih ingin bertanya lagi, tapi Suster Via memberi isyarat bahwa dia sedang sibuk. Kuturuti saja permintaannya, aku melangkah menuju Ruang Rontgen. Hari ini banyak sekali antrian menunggu di depan Ruang Rontgen. Semua kursi telah terisi. Aku terpaksa berdiri menunggu. Kulihat sekeliling, memperhatikan kalau-kalau ada sosok yang aku kenal.

“Silakan duduk Mbak! Gantian...”

Suara itu berasal dari seorang lelaki yang duduk di kursi paling pinggir di samping aku berdiri. Aku memandanginya agak lama, mendadak kurasakan waktu berhenti untuk sesaat. Momen ini, rasanya kuingat pernah kualami. Deretan kursi yang penuh, aku tak kebagian duduk, lalu seorang lelaki menawarkan kursinya untukku. Rasanya seperti Déjà vu.

Lelaki itu! Ya, lelaki itu adalah Déjà vu.

Seingatku lebih dari dua kali aku melihat sosoknya, di suatu tempat, di suatu waktu. Aku tak menolak tawarannya. Segera aku duduk. Kali ini tak lupa kuucapkan terima kasih.

“Papa!”

Lelaki itu menoleh ke arah seorang anak dengan perban di kepala yang duduk di atas kursi roda. Suster Via yang mendorong kursi roda itu.

“Aruni, ini dia pahlawan penyelamatmu,” kata Suster Via sambil memandang ke arahku. Aku bangkit berdiri, sedikit terkejut melihat Suster Via sudah ada di sini.

Gadis belia itu menatapku tak berkedip. Memperhatikanku dari ujung rambut hingga ujung sepatu fantovelku.

“Terima kasih, Tante, atas sumbangan darahnya. Karena pertolongan Tante, aku akan segera sembuh. Kata dokter, tulang kakiku yang patah juga akan pulih beberapa bulan lagi,” katanya sambil tersenyum.
Mengertilah aku, dia adalah gadis yang kemarin mendapatkan darahku. Aku membalas senyumnya.

“Kebetulan saya ada saat dibutuhkan.” jawabku sedikit canggung.
“Oya, kenalkan, ini Papaku,” kata Aruni, ia menarik tangan lelaki yang tadi memberikan kursinya padaku.

Sekarang aku ingat lelaki itu. Pertemuan pertamaku dengannya di sebuah supermarket, ia membeli pembalut empat bungkus sekaligus. Pertemuan kedua terjadi dalam busway, ia memberikan tempat duduknya untukku. Dan kini aku kembali bertemu dengannya. Ah, andai saja ia belum menikah, pasti sudah kuanggap semua pertemuan tak disengaja itu sebagai pertanda.
Lelaki itu mengucapkan kalimat berirama sambil mengulurkan tangannya,

“Saya Restu, seorang duda beranak satu.”

Ah, duda! Mengapa tak terpikir olehku kemungkinan itu? Duda yang menarik, simpatik dan sopan. Masih terlihat muda. Mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku. Pasti dulu ia menikah di usia muda, hingga kini telah memiliki putri yang beranjak remaja. Tubuhnya tegap dan atletis, menunjukkan bahwa ia rajin berolahraga.

Kulirik sekilas wajah berbinar putrinya yang tak lepas memandangi kami sejak tadi. Aku punya firasat, gadis belia itu suka kepadaku. Dan dari cara lelaki itu memandangku, bolehlah aku sedikit berharap. Kusambut uluran tangan Restu, kugenggam hangat seraya kusebutkan namaku,

“Digita, panggil saja Gita, masih single, belum pernah menikah.”
Senyumku mengembang, membalas senyumnya yang menawan.

~ oOo ~

Note : 
Cerita lengkapnya silakan baca di bukuku "HEART LATTE" yaaa.... ada 12 cerpen yang disajikan secara unik, dengan setting yang sama, Crown Cafe. 
Rencananya, 12 cerpen tersebut akan kukembangkan masing-masing menjadi 12 novel. Setuju nggak teman-teman? ^_^

Terima kasih bagi yang sudah berkenan mampir dan membaca isi blogku ini yaaa ... 
Dank u weel, Gamsahamnida, Merci, Thank you so much, matur nuwun ... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar