Laman

Jumat, 27 September 2013

Cerpen Arumi E : Anakku, Bukan Anakku

Photo from DaisyBlossomCreation


Anakku, Bukan Anakku

Sebuah #ceritapendek karya Arumi E


Baru saja aku mengempaskan tubuh penatku ke atas tempat tidurku yang empuk, Raka langsung melompat ke atas tubuhku.

“Ayah pulangnya lama!” teriak anak laki-laki berusia enam tahun itu.
“Hei, kok Raka masih bangun? Jam berapa ini?” ucapku berusaha tetap bersikap lembut padanya.

Walau sebenarnya aku lelah bukan main. Pekerjaan di kantor yang menumpuk membuatku harus lembur setiap hari dan pulang ke rumah hampir selalu larut malam.

“Ayah kan udah janji mau ajak Raka ke kota,” rajuk anak itu, tetap tak mau pindah dari atas tubuhku.

Aku menghela napas panjang. Aku ingat janjiku padanya. Janji itu kuucapkan sejak dua minggu yang lalu. Tapi hingga hari ini aku belum bisa menepatinya. Sesungguhnya aku tak ingin mengecewakannya. Anak itu adalah pelipur laraku. Walau aku tahu, dia bukan darah dagingku, tapi aku sudah ikut merawatnya sejak ia lahir.

“Nanti kalau pekerjaan ayah sudah selesai ya,” bujukku, lalu kuangkat tubuhnya, sambil aku bangun dari pembaringanku.
“Kapan, Yah? Besok?” desak Raka.
“Bukan besok, besok kan ayah masih harus kerja.”
“Hari minggu?” desak anak itu lagi memandangiku penuh harap.

Aku tak tega melihat wajah lugunya. Walau aku tak yakin hari minggu besok aku bisa memenuhi janjiku, aku tetap mengangguk untuk membuatnya diam.

“Asyik! Hari minggu jalan-jalan ke kota!” seru anak itu tampak gembira sekali.
“Dan sekarang Raka harus tidur. Mau ayah ceritakan dongeng sebelum tidur?”

Biasanya anak itu paling suka mendengarkan aku mendongeng untuknya sebelum tidur. Tapi ia terlalu gembira mendengar janjiku akan mengajaknya ke kota. Hingga ia menggeleng, lalu turun dari pangkuanku dan melesat pergi menyampaikan berita yang membuatnya gembira itu kepada ibuku.

Aku kembali menghela napas panjang. Aku lelah. Sangat lelah. Bukan hanya fisikku yang lelah, tetapi juga hatiku. Kalau saja…ah, aku malas mengenang masa lalu. Terlalu menyakitkan. Terkadang wajah Raka mengingatkan aku akan luka yang dibuat wanita itu di hatiku. Tapi aku tak pernah menyalahkan Raka. Raka pribadi yang lain, walau orangtua kandungnya membuatku muak.

Ini salahku sendiri…bukan, mungkin salah ayahku, entahlah. Berkali-kali aku ingin berhenti menyalahkan siapa pun atas nasib yang kualami sekarang, tetapi di saat pikiranku penat, perasaan kecewa itu muncul lagi.
Kubawa tubuh lelahku ke kamar mandi. Ingin kubasuh tubuh penat ini, berharap air malam yang sejuk akan membuat tubuhku terasa lebih segar dan membuat kepalaku yang mulai panas menjadi dingin.

***
“Kau masih mau menikah denganku walau pun aku sudah hamil? Kamu sudah gila ya?” ucap wanita itu dengan suara tinggi.

Heran, mengapa ia tidak malu mengucapkan kalimat itu dengan suara keras di tempat umum seperti ini? Walau pun ini di taman dan tak terlalu ramai orang, tetapi masih ada satu dua orang yang berlalu lalang. Aku melirik ke sekelilingku, memantau apakah ada yang mendengar suara keras wanita di hadapanku ini.

“Aku sudah berjanji pada ayahku, akan memenuhi permintaannya.”
“Kamu laki-laki lemah. Nggak punya prinsip. Mau saja diatur orangtua!” teriaknya lagi, tatapannya menyiratkan kebencian.

Aku mendengus menahan kesal. Aku tak peduli ia menyebutku apa. Aku hanya ingin berbakti kepada orangtua. Sesungguhnya aku juga tak sudi menikah dengan wanita ini. Di mataku dia bukan wanita yang baik. Hamil di luar nikah, dilakukan dengan sengaja bersama kekasihnya, sudah cukup bagiku untuk menilai wanita seperti apa dia. Tapi menikah dengannya adalah pesan terakhir ayahku. Dan demi memenuhi permintaan ayahku itu, aku sampai rela kehilangan kekasihku sendiri yang sesungguhnya lebih aku cintai.
Fania. Aku membiarkan kekasihku itu menangis saat kusampaikan niatku untuk meninggalkannya.

“Memangnya kau tak bisa menolak keinginan ayahmu itu, Dam?” tanya Fania di sela-sela isak tangisnya.

Aku menatapnya pilu. Tapi sekali lagi tak bisa berbuat apa-apa.

“Jika ayahku masih hidup, aku berani menentangnya, Fania. Tapi ayahku berpesan seperti itu di saat-saat akhir hidupnya. Apa yang bisa aku perbuat? Jika aku menolak, bukan saja mungkin aku dilaknat arwah mendiang ayahku, tapi itu artinya aku juga menyakiti hati ibuku yang sangat ingin aku menuruti permintaan terakhir ayahku.”

Sebut saja aku laki-laki pengecut, Fania. Sama seperti wanita satunya lagi yang menyebutku lelaki lemah, batinku.

Aku tahu Fania sangat terluka. Pasti ia kini sangat membenciku. Tapi lagi-lagi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku tetap meninggalkannya, kemudian menikah dengan wanita yang dijodohkan denganku yang sudah hamil lebih dulu dengan pacarnya. Ya, sebut saja aku laki-laki bodoh. Aku memang bodoh. Karena ternyata pilihanku untuk menikahi wanita hamil itu memang sebuah keputusan salah. Yang kemudian hari aku sesali, hingga detik ini. Luka yang ditinggalkan wanita itu masih menganga. Aku memang tak pernah mencintainya.

Tapi anehnya, aku jatuh cinta pada Raka. Buah hati wanita itu dengan pacar bejatnya. Aku melihat wajah Raka saat baru saja menyapa dunia ini. Dan aku langsung jatuh hati padanya. Aku melihat kemurnian di wajah mungilnya. Sejak saat itu, aku tak ingin lepas dari Raka. Bahkan aku lebih memerhatikan Raka dibanding ibu kandungnya sendiri. Ayah kandungnya? Jangan tanya! Sekali pun ia tak pernah mengunjungi darah dagingnya itu! Tapi memang lebih baik begitu, karena jika laki-laki brengsek itu berani datang ke rumahku, aku akan menghajarnya hingga babak belur.

Aku menyayangi Raka seperti darah dagingku sendiri. Kupenuhi segala kebutuhannya. Bahkan aku rela bangun tengah malam untuk mengganti popoknya yang sudah penuh dan membuatnya berhenti menangis. Tak ada yang tahu bahwa Raka sesungguhnya bukan anakku. Termasuk ibu. Aku telah membuat perjanjian tak tertulis dengan ibunya Raka, ia boleh melakukan apa saja, asal jangan bilang siapa pun bahwa Raka sebenarnya bukan anakku. Bahkan di akte kelahiran Raka pun tertera namaku sebagai ayah kandungnya.

Wanita yang kemudian menjadi istriku itu setuju saja. Apalagi saat ia sadar, ayah kandung Raka tak peduli sedikit pun pada Raka. Lelaki brengsek itu pergi begitu saja dan tak pernah lagi menampakkan batang hidungnya. Tapi aku salah. Laki-laki brengsek itu memang tak pernah muncul di hadapanku, tapi diam-diam ia menemui istriku dan mereka kembali bermain gila di belakangku. Aku tahu, bahkan memergoki mereka, saat tanpa sengaja melihat mereka berdua di sebuah hotel yang sama dengan hotel tempat aku mewakili kantorku mengikuti sebuah seminar.

Saat itu aku marah besar. Tentu saja aku marah. Sebenarnya aku bukan lelaki lemah, bukan juga pengecut, apalagi lelaki bodoh. Aku hampiri mereka berdua, dan aku damprat mereka di depan umum. Tak peduli ketika itu kami jadi bahan tontonan orang-orang yang lalu lalang di lobby hotel itu.

Sejak kejadian itu, sikapku pada istriku berubah. Aku tak mau lagi menyentuhnya. Sebelumnya aku memang jarang menyentuhnya. Kecuali jika hasrat memang sudah tak bisa dibendung lagi. Dan itu sama sekali bukan atas nama cinta. Tapi sesudah kejadian aku memergoki mereka berselingkuh di belakangku, aku tak sudi lagi menyentuh tubuh istriku. Jangankan menyentuhnya, bicara dengannya saja aku malas. Hingga akhirnya ia bosan sendiri hidup bersamaku dan menuntut cerai. Dengan senang hati kuturuti permintaannya dengan satu syarat, ia tak boleh membawa Raka. Ia setuju saja setelah aku membekalinya sejumlah uang. Ia sepertinya tak terlalu keberatan meninggalkan Raka. Aku yakin, aku pasti lebih mencintai Raka dibanding dia, ibu kandung Raka.

Aku menghela napas panjang. Membuka mataku sehabis mengenang kembali kejadian itu. Semua kejadian masa lalu itu terulang kembali secara berurutan dalam benakku, bagaikan film yang diputar ulang.
Dan kemudian nasib membawaku kembali ke sini. Setelah menceraikan wanita itu, aku memutuskan pulang ke desa, menemani ibu yang kini tinggal sendiri. Ibu senang sekali menyambut kedatanganku. Apalagi aku datang bersama Raka, anak yang ia kira cucunya. Ibu menyesali keputusanku bercerai. Tapi ibu maklum ketika kukemukakan alasanku bercerai karena aku semakin tak menemukan kecocokan dengan wanita itu. Kami jelas tak saling mencintai, sejak awal hingga akhir hubungan kami.
Aku melihat kesedihan menggelayut di wajah tua ibuku. Aku tak tega melihatnya. Tapi beginilah memang nasibku adanya.

“Ibu merasa bersalah pada Fania,” ucap ibu kemudian setelah terdiam agak lama.

Aku sedikit tersentak saat mendengar nama itu lagi. Fania. Apa kabarnya kini?

“Fania?” sahutku datar.
“Kau pasti masih ingat Fania kan, Damar?” tanya ibu tiba-tiba, matanya yang masih saja tampak teduh menatapku dalam-dalam. Aku menelan ludah.
“Tentu saja aku ingat, Bu. Bagaimana bisa aku melupakan Fania? Tapi sudah lama aku tak mendengar kabarnya. Aku takut mengganggunya jika aku mencarinya. Aku pasrah jika hingga kini dia masih membenciku.” jawabku, lalu menyandarkan tubuhku ke sandaran kursi kayu di ruang tamu rumah ibuku.

Ibu tersenyum. “Besok ibu akan ke rumah orangtua Fania,”  ucap ibu lembut.

Aku kembali terkesiap. “Untuk apa, Bu?’” tanyaku cemas.

“Untuk apa? Kamu ini aneh, Damar. Kami tinggal di desa yang sama. Tentu saja kami masih sering saling mengunjungi. Walau pun kau tak jadi menikah dengan Fania, bukan berarti kami putus hubungan tetangga. Ibu akan ceritakan pada ibunya Fania kalau kamu sudah bercerai.”
“Tapi, untuk apa ibu memberitahu aku sudah bercerai?” tanyaku lagi sedikit keberatan dengan rencana ibuku.
“Hubungan kami masih baik. Kami biasa saling memberi kabar satu sama lain.” jawab ibu dengan suara tenang.

Lalu ibu bangkit dari duduknya dan meninggalkan aku sendiri merenungi rencana ibu itu. Aku baru tahu kemudian, ibu bukan hanya menceritakan tentang perceraianku kepada ibunya Fania. Tetapi juga menyampaikan bahwa aku berniat menyambung kembali hubunganku dengan Fania. Ah, andai saja aku tahu ibu akan mengatakan semua itu, pasti sudah kucegah. Aku hanya bisa pasrah, jika kelak Fania dan ibunya memakiku sebagai lelaki tak tahu diri.

***
Hari Minggu itu aku tak jadi mengajak Raka ke Kota Jogja. Anak itu sempat merajuk hebat. Aku tak tega lagi-lagi membuat anak itu kecewa. Tapi aku memang tak bisa pergi terlalu jauh. Butuh waktu satu jam perjalanan untuk pergi ke kota. Sementara tengah hari nanti, ada urusan yang harus aku selesaikan di kantor. Kantorku itu adalah usaha yang aku rintis sendiri. Di desa ini tak banyak lowongan kerja yang tersedia. Maka kuputuskan membuka usaha sendiri. Aku menghimpun beberapa warga desa yang mahir membuat kerajinan tangan semacam tas dari bahan eceng gondok yang dikeringkan. Lalu aku salurkan barang-barang itu ke kota. Usahaku itu sudah mulai menunjukkan hasil. Orderan kini semakin membanjir. Bahkan hingga ke luar pulau.

Sekarang ini aku semakin sibuk karena mulai merintis pengiriman barang ke luar negeri. Dengan mempromosikan usahaku ini secara online, kini orderan yang kuterima lebih luas lagi, hingga ke negara lain. Tak kusangka banyak warga Eropa yang tertarik dengan tas yang terbuat dari bahan alami itu. Tapi ternyata tidak mudah mengekspor barang ke luar negeri. Aku harus mengurus perijinan dan sebagainya. Karena itulah beberapa hari terakhir ini aku sibuk sekali di kantor dan seringkali pulang larut malam.

“Bagaimana kalau kita ke Wates saja yuk!” bujukku pada Raka yang masih menangis dan menyebutku pembohong berkali-kali.

Wates adalah kota kecil ibukota Kabupaten Kulon Progo. Kota ini sejak dahulu hingga kini keramaiannya tak pernah bertambah. Tentu jauh lebih ramai daripada Desa Glagah. Tetapi jelas masih kalah ramai dibandingkan Kota Jogja.

“Ayah janjinya ke kota!” teriak Raka masih bernada marah.
“Iya sayang, tapi hari ini ayah belum bisa mengajak ke kota. Kita ke pasar Wates saja yuk, kamu boleh minta apa saja. Nanti ayah belikan es krim kesukaanmu,” bujukku lagi.

Raka masih sesegukan. Perlahan tangisnya mereda. Lalu menatapku. Aku tak tega melihat ekpresi kecewa di matanya.

“Nanti dibeliin es krim?” tanyanya penuh harap.
“Iya,” janjiku.
“Raka lagi pilek,” bisik ibuku tiba-tiba.

Aku tertegun. Ah, saking sibuknya, aku sampai tidak paham keadaan anakku tersayang saat ini. Aku tidak tahu Raka sedang pilek. Pantas sejak tadi hidungnya berair. Aku kira itu karena ia menangis.

“Kata nenek, Raka lagi pilek? Mm, berarti es krimnya diganti coklat saja ya? Sama susu kotak kesukaan Raka,” kataku meralat janji yang telah terlanjur kuucapkan.

Dan itu hanya membuat Raka kembali menangis.

“Nggak mau! Raka mau es krim!”
“Bagaimana kalau coklat dan mainan baru? Robot-robotan?” bujukku sambil memeluk tubuhnya yang basah oleh air mata.

Kubelai rambutnya lembut. Aku merasa sangat bersalah.

“Robot!” teriaknya.

Aku mengangguk. Lalu kumandikan ia dan kupakaikan baju terbaiknya yang bergambar tokoh hero favoritnya. Ia berhenti menangis dan berubah bersemangat karena kujanjikan membelikannya mainan robot. Aku mengutuk diriku sendiri yang terlalu banyak berjanji pada anak ini, tapi kemudian aku sendiri yang mengingkarinya. Kali ini aku bertekad sungguh-sungguh akan membelikannya mainan favoritnya itu.

Walau aku memiliki mobil, tetapi aku sengaja mengajak Raka mengendarai angkutan umum menuju Kota Wates. Aku ingin Raka banyak berinteraksi dengan orang lain. Anak itu tampak sangat bersemangat, tak sabar ingin segera mendapatkan mainan yang kujanjikan. Aku tersenyum melihat perubahan drastis sikapnya. Ah, anak kecil, betapa mudahnya berubah suasana hatinya. Beberapa saat yang lalu ia masih menangis hebat, sekarang ia sudah meloncat-loncat ceria.

Sesampainya di Kota Wates, aku segera mengajak Raka masuk ke sebuah toko serba ada terbesar di sini. Aku tidak salah, berbagai mainan anak-anak tersedia di tempat ini. Kubiarkan Raka memilih mainan yang disukainya. Segera saja ia memilih sebuah mainan robot berukuran lumayan besar. Kubelikan mainan itu, lalu ia memeluk erat kotak mainannya dan tertawa senang. Ia juga memilih beberapa coklat dan susu coklat dalam kotak kesukaannya. Lalu kami beranjak keluar. Tapi Raka langsung tertarik melihat gerobak es dawet tak jauh dari toko.

“Aku mau itu!” teriaknya sambil berjalan cepat mendekat ke gerobak es dawet itu.
“Kamu lagi pilek, jangan minum es!” cegahku buru-buru saat kemudian kulihat seseorang memberi segelas es dawet pada Raka.
 “Damar..Damara…” ujar wanita yang menyodorkan segelas es dawet pada Raka.

Aku tersentak, kemudian memerhatikan sosok wanita itu lebih seksama.

“Fania!” sahutku dengan suara sedikit keras karena terkejut.

Sungguh aku tak menduga akan bertemu dengannya di sini. Setelah enam tahun lamanya terakhir kali aku bertemu dengannya, baru kini aku melihatnya lagi. Aku tak lupa dengan sosoknya. Wanita manis bertinggi sedang dan bertubuh ramping. Ia tak banyak berubah. Hanya terlihat lebih matang. Segera saja mataku menelusuri jari tangannya, mencari-cari adakah cincin yang tersemat di sana.
Apakah kau sudah menikah Fania?

Setelah berbasa basi sebentar, aku ajak ia ke sebuah rumah makan sederhana. Berbincang di tempat ini pasti lebih nyaman daripada di pinggir jalan. Kubiarkan Raka sibuk dengan mainan barunya tak jauh dari tempat kami duduk.

“Itu anakmu?” tanya Fania.

Aku menatapnya dan mengangguk. Tak perlu kukatakan anak siapa dia sebenarnya. Lagipula, aku memang sudah menganggap Raka sebagai anak kandungku sendiri. Tak peduli betapa salahnya itu.

“Apa kabar, Fania? Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Kamu tidak berubah,” kataku sambil kuperhatikan sekali lagi sosoknya yang telah sekian lama tak aku lihat.
“Aku baik. Tentu saja aku berubah. Sekarang tambah tua. Kau sendiri, bagaimana kabarmu?” jawabnya disertai tanya.
“Kau tak berubah, tetap tampak manis dan ramping. Kabarku? Hm, mungkin kau sudah mendengar apa yang terjadi padaku dari ibumu,” jawabku seraya tersenyum pasrah.
Fania tak menyahut. Ia hanya tersenyum tipis.
“Maafkan ibuku yang telah datang ke rumahmu dan menceritakan tentang aku pada ibumu. Aku pasrah jika kau masih membenciku,” ucapku.

Fania mengalihkan pandangannya, terlihat jengah kutatap sekian lama.

“Siapa bilang aku membencimu?” tanyanya kemudian.
“Aku sadar aku telah menyakiti hatimu, Fania,” sahutku pilu.
“Apakah kau masih saja merasa bersalah, Dam? Itu masa lalu. Aku tak mau terpaku pada masa lalu. Ini aku yang lain, aku yang sekarang, aku yang baru.”

Ucapan Fania itu hanya membuat rasa pilu di hatiku semakin membuncah. Aku tak berani lagi memandang ke arahnya. Kualihkan pandanganku kepada Raka yang masih saja asyik mengutak-atik mainan barunya, tak peduli sedikit pun pada kami berdua.

“Kamu sedang cuti?” tanya Fania tiba-tiba mengejutkan aku.

Aku kembali menoleh ke arahnya.

“Sudah sejak setahun lalu aku kembali tinggal dengan ibuku. Aku membuka usaha sendiri di sini,” jawabku.

Walau telah enam tahun berlalu tanpa Fania, saat aku melihatnya lagi di sini, aku sadari perasaanku padanya tak pernah hilang. Jika selama ini aku menjauh darinya, itu hanya karena aku merasa bersalah padanya dan tak punya nyali untuk berhadapan langsung dengannya.

“Setahun lalu aku sudah bercerai dengan istriku secara agama, tetapi surat resmi perceraian kami dari pengadilan baru kuterima sebulan yang lalu,” lanjutku
Fania masih diam tak menyahut.
“Kapan kamu  pulang ke Jakarta?” tanyaku, mencoba memilih pertanyaan yang tak lagi menyinggung perasaan Fania.
“Besok sore.”
“Kalau begitu mampirlah ke rumahku sebentar dan jangan menolak karena sudah begitu lama kita tidak bertemu, banyak hal yang ingin kuceritakan padamu,” ujarku setengah memaksa.

Namun ternyata tanpa dipaksa, Fania setuju ikut denganku mengunjungi rumah ibuku. Kami naik andong, sejenis delman, sembari kembali berbincang. Raka senang sekali dan langsung minta duduk di samping pak kusir. Aku tersenyum melihat tingkah anak itu. Lalu perhatianku kembali kepada Fania yang duduk di hadapanku. Ah, Fania, entah terbuat dari apa hatimu. Kau masih berkenan bersikap baik padaku, lelaki yang telah menyakiti hatimu sekian waktu lalu.

Ibu tampak sumringah melihat kedatanganku bersama Fania. Tapi kemudian kuberi isyarat pada ibu agar membiarkan kami berbincang berdua saja. Ibu hanya mengangguk, lalu masuk ke dalam rumah membawa Raka yang tampak gembira karena mendapatkan mainan robot baru. Kupersilakan Fania duduk di ruang tamu, sementara kutinggal ia untuk menyiapkan minuman. Ketika aku kembali, kulihat ia membuka-buka album foto keluargaku yang kuletakkan di rak bawah meja tamu.

“Ah, kau melihat album foto kami. Pasti kau penasaran ingin tahu wajah mantan istriku, ya?” tegurku sedikit menggodanya.
“Maaf, aku melihat tanpa permisi. Album fotonya tergeletak di bawah meja. Membuatku ingin melihat isinya,” sahutnya tampak jelas menahan sipu.
“Tak ada foto mantan istriku di situ. Aku sudah lama membuangnya,” ujarku.
“Siapa bilang aku ingin tahu wajah istrimu? Tak ada gunanya juga kan? Ah, ternyata kau tak berubah,”
“Apanya yang tak berubah?”
“Tetap saja sering terlalu percaya diri.”

Aku tertawa kecil. Lalu kupersilakan ia minum. Segera saja ia minum seteguk sirup jeruk dingin yang kuhidangkan. Tampaknya ia memang kehausan setelah berjalan kaki dari pasar ke rumah ini. Lalu aku ingat, ada sedikit makanan kecil yang sebaiknya juga kuhidangkan. Aku permisi kembali ke dapur. Kutinggalkan Fania yang tampaknya beralih tertarik dengan tumpukan majalah wanita langganan ibuku yang juga tergeletak di rak bawah meja tamu. Aku baru saja hendak melangkah menghampiri Fania sambil membawa satu toples makanan kecil saat kulihat sehelai foto melayang jatuh dari majalah yang ada di pangkuannya.

Fania mengambil foto yang terjatuh itu. Dengan mimik wajah serius ia amati foto itu. Lalu tiba-tiba saja kulihat ekspresi wajahnya berubah. Sepertinya ia sangat terkejut. Aku sudah berdiri di dekatnya, kemudian ikut melihat foto yang dipegangnya. Aku ikut terkejut. Mengapa foto itu masih ada di situ? Harusnya foto itu sudah musnah. Foto itu hanya mengusik luka di hatiku yang baru saja mulai pulih.
Terekam dalam sehelai foto itu, aku bersama Nina, mantan istriku saat ia masih mengandung Raka.

“Jadi, perempuan ini adalah mantan istrimu?” tanya Fania membuatku terkejut.
“Iya. Wajahmu tampak terkejut melihat foto itu. Apakah kau mengenalnya?” tanyaku curiga.
“Aku tidak mengenalnya. Tapi aku tahu namanya Nina. Dia teman seperjalananku di kereta dua hari yang lalu,” jawab Fania, lalu ia tersenyum sinis.

Aku tercengang. Takdir sungguh tak dapat diduga. Siapa yang mengira Fania bisa duduk berdampingan dengan mantan istriku yang telah menyakiti hatinya. Aku tak tahu apakah Nina menceritakan tentang aku pada Fania. Tetapi melihat raut wajahnya dan kekukuhannya untuk segera pamit pulang seolah menjadi petunjuk yang jelas bagiku. Masihkah aku punya kesempatan untuk bersama Fania lagi?

~ oOo ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar