Laman

Minggu, 18 Maret 2012

Korean Story : LONGEST LOVE LETTER




Novel "Longest Love Letter", pembatas bukunya cute, kuning cerah juga ^_^


Inilah naskahku yang berhasil terpilih dalam 31 karya yang layak diterbitkan dalam ajang PSA (Publisher Searching for Author) yang diselenggarakan Penerbit Grasindo.

Yuk, beli dan baca yaaa... ceritanya romantisssss ^_^















Judul : Longest Love Letter
Penulis : Arumi E
Penerbit : Grasindo Publisher
Tebal : 288 halaman
Harga : Rp 47.000
Genre : romance Korean Story

Buat yang susah dapat novel ini, bisa pesan langsung ke aku, kirim saja email pemesanan ke rumieko@yahoo.com. Ada diskon 10% menjadi 42.000. Plus tandatangan ^_^

Sinopsis:

“Kau mengingatkanku pada seseorang,” ucap Ryu Jin Soo.

Gadis itu, dengan latar belakang rumah mungil di ujung hamparan bunga canola kuning. Ryu Jin Soo merasa mengenalnya. Cara gadis itu tertawa, cara gadis itu bicara, bahkan cara gadis itu menggigit-gigit tusuk gigi hingga pipih seusai makan, mengingatkan Ryu Jin Soo pada Jang Mi Ra, kekasih masa remajanya. Tetapi gadis itu sama sekali bukan Jang Mi Ra, dia adalah Jo Eun Hye, artis papan atas Korea Selatan, yang sedang dekat dengan lawan mainnya, aktor Lee Jun Pyo.

Jo Eun Hye yang diombang-ambing perasaannya antara Ryu Jin Soo dan Lee Jun Pyo. Penulis novel best seller dan aktor idamannya. Ada rasa bersalah tiap kali ia memandang Ryu Ji Soo, ada rasa tak yakin saat ia menatap Lee Jun Pyo. Ada kisah gelap masa lalu yang ia sembunyikan dari keduanya. Sampai kemudian ia sadar, harus jujur pada salah satunya, menceritakan siapa dirinya sebenarnya, seusai ia membaca Longest Love Letter, novel terbaru Ryu Jin Soo.

Novel itu bagai surat cinta terpanjang yang pernah ia baca. Sayangnya, surat cinta itu bukan untuknya, melainkan untuk Jang Mi Ra yang kini entah berada di mana. Ryu Jin Soo berharap, kekasihnya yang telah lama hilang itu membaca ungkapan perasaannya dan menyadari ia masih menunggu di tempat yang sama, di hamparan bunga canola kuning dengan rumah mungil di ujungnya.



Salah satu ilustrasi dalam novel "Longest Love Letter"
yang cute, ini Kim Hye Ri yang ngefans berat sama Pororo ^_^

Cuplikan Novel "Longest Love Letter"

“Jo Eun Hye! Lee Jun Pyo mencarimu. Ia ingin bertemu denganmu. Katanya ada hal penting yang ingin ia sampaikan padamu,” kata Han Seung Yi lagi.
“Jun Pyo?” tanya Jo Eun Hye dengan mata terbelalak.

Sejak kemarin ia memang sengaja mematikan ponselnya karena sedang tak ingin diganggu siapa pun. Pagi ini ia lupa belum menyalakan kembali ponselnya. Ia segera meraih tasnya, lalu mengambil ponselnya dan mengaktifkannya kembali. Benar saja, beruntun belasan sms masuk. Dan semuanya dari Lee Jun Pyo! Tak sabar Jo Eun Hye membacanya satu persatu.

“Kau di mana Eun Hye? Bisakah kita bertemu? Aku ingin bicara denganmu,”
“Eun Hye, kau belum membalas sms-ku,”
“Eun Hye!!!!”
“Eun Hye….kau pingsan ya?”
“Eun Hye, apakah kau diculik?”
“Eun Hye…kau mulai membuatku putus asa,”
“Eun Hye, jika kau tidak membalas sms-ku dalam lima menit, aku akan…”
‘EUN HYEEEEE….”
“Eun Hye, ayah dan ibuku ingin mengundangmu makan malam di rumah mereka,”
“Eun Hye, manajermu bilang kau ada di Jeju? Sedang apa kau di Jeju? Apakah kau menemui Ryu Jin Soo? Kau tak boleh bertemu dengannya,”
“Eun Hye, Saranghaeyo…aku mencintaimu…”
“Eun Hye, aku akan menjemputmu ke Jeju,”
“Eun Hye, maukah kau menikah denganku?”

Tubuh Jo Eun Hye bergetar membaca semua sms dari Lee Jun Pyo itu. Ia tertawa sambil menangis. Ia begitu terharu. Mengapa ia bodoh sekali? Mengapa ia mematikan ponselnya semalam? Mengapa ia langsung kembali ke Seoul? Mengapa…?

“Han Seung Yi, Jun Pyo bilang dia mencintaiku…” ucap Jo Eun Hye dengan suara bergetar, wajahnya tersenyum tetapi matanya menangis bahagia.
“Aku memang sudah lama menduga kalian benar-benar saling mencintai,” sahut Han Seung Yi.
“Jun Pyo bilang ayah dan ibunya ingin mengundangku makan malam di rumah mereka,” kata Jo Eun Hye lagi dengan mata masih berkaca-kaca.
“Oh, itu bagus sekali, berarti ayah dan ibu Jun Pyo menyetujui hubungan kalian,” sahut Han Seung Yi lagi.
“Jun Pyo bertanya, maukah aku menikah dengannya?” kata Jo Eun Hye lagi, suaranya semakin bertegetar.

Kali ini Han Seung Yi tidak menyahut. Ia tersenyum lebar dan bertepuk tangan sekali.

“Jo Eun Hye, segeralah susul Lee Jun Pyo ke Jeju detik ini juga! Katakan kau bersedia menjadi istrinya!” teriak Han Seung Yi tak bisa menahan histeris ...

yang sudah baca novel "Longest Love Letter" boleh nih kasih review dan rating di goodreads yaaa : https://www.goodreads.com/book/show/24992429-longest-love-letter  Terima kasih banyaak ^_^







“Novel yang memikat! Pembaca akan dibawa untuk menikmati keindahan Pulau Jeju lewat tokoh dengan racikan emosi yang pas, alur yang menarik, dan setting cerita cantik yang dikolaborasikan dengan ciamik oleh sang penulis. Very recommended!”
-@cayyicayyi Penulis buku travelling Lost in Korea, Lost in Japan, dan Lost in Raja Ampat & Sorong-

“Khas cerita romantis Korea yang mengangkat cinta segi empat. Dibungkus suasana romantis pulau Jeju, pembaca seakan dapat menvisualisasikan setiap suasana yang digambarkan penulis dalam novel ini. Cerdas memainkan emosi, menarik dan menghanyutkan.”
-Fridha Kusumawardani, admin @KangJiHwanIndo, Kang Ji Hwan Indonesia

“Longest Love Letter" benar-benar menunjukkan sisi lain dari kisah romantis, selalu ada alasan yang lebih baik ketika jalan takdir memutuskan dan memilih agar "dia" pergi dari hidup kita.”
– Pearlita, admin @SJELFindo, Super Junior = ELF Indonesia

“Lagu Missing You dari G-Dragon melengkapi kisah dalam novel ini, membuat pembaca seolah-olah sedang berada di Jeju dengan suasananya yang romantis. Swagga!”
- Afnilian Hosari @sariemegumi, founder Bigbang For Indonesia, @bigbangforindo

“Membaca novel ‘Longest Love Letter’ ini serasa menonton K-drama. Konflik perasaan tokohnya memikat. Kisah pencarian cinta sejati yang menemukan jawaban di akhirnya, tanpa melukai siapa-siapa.”
–Ervan Joniawan, pecinta drama Korea


Endorsement dari :
Sari, founder Bigbang For Indo,
Fridha, admin Kang Ji Hwan Indo.
Pearlita, admin Supe Junior-ELF Indonesia,
Cayi, penulis Lost in Korea,
Ervan, pecinta drama Korea
Waah, alhamdulillah, Longest Love Letter masuk ke rak buku laris di Gramedia Medan ^_^

Longest Love Letter ada di rak buku laris di Gramedia Medan ^_^


Me and my new novel

Amy, pembaca dari Bukittinggi, yang langsung memesan novel
"Longest Love Letter" begitu terbit. Makasih ya, Amy ^_^
@riztagumilar juga sudah beli dan baca "Longest Love Letter" loh.
Makasih ya Rizta ^_^
Devi Faradila juga beli dan baca
"Longest Love Letter"
Makasih ya Devi ^_^

Selain novel ini, novel-novel karyaku lainnya yang telah terbit adalah :

Ini daftarnya yaa ...

Unforgotten Dream.

Penerbit Elex Media.

Harga Rp 39.800. diskon 10% menjadi 35.000. Belum termasuk ongkos kirim yaaa ^_^





Hatiku Memilihmu, penerbit Gramedia, terbit 2014
Harga 53.000 diskon 10% menjadi 47.000





























Monte Carlo, penerbit Gagas Media, terbit 2014
Harga 55.000 diskon 10% menjadi 49.000





























Cinta Valenia, penerbit Elex Media, terbit 2014
Harga 43.800 diskon 10% menjadi 39.000




Amsterdam Ik Hou Van Je, penerbit Grasindo, terbit 2013
Harga 51.000 diskon 10% menjadi 45.000






























JOJOBA, penerbit DeTeens (imprint Diva Press), terbit 2013
Harga 40.000 diskon 10% menjadi 36.000






























Bagi yang berminat, kirim saja email pemesanan ke rumieko@yahoo.com yaa.

Terima kasih teman-teman ^_^



Koleksi juga yuuuk. Semuanya kisah yang romantis banget ^_^


Sedangkan ini adalah novel romance Korea karyaku yang pertama kali. Di sini aku menggunakan nama pena Karumi Iyagi. Iyagi adalah bahasa Korea yang artinya dongeng. Karumi = Kak Arumi. Inilah asal muasal nama pena Karumi Iyagi untuk novelku yang ber- genre Romance Korean story



Judul : Saranghaeyo (Aku Cinta Kamu)
Penulis : Karumi Iyagi (Nama pena Arumi E untuk novel Korea)
Penerbit : Zettu
Tebal : 200 halaman
Genre : Romance Korea


SINOPSIS


“Sial! Mengapa gadis mabuk ini memilih tinggal di tempat yang tertinggi? Tak ada lift pula! Berarti aku harus lewat tangga,” gerutu Jae Joon.
Sebenarnya bisa saja Jae Joon meninggalkan gadis itu begitu saja di bawah sini. Tetapi ia tak setega itu. Sudah menjadi prinsip hidupnya untuk selalu menolong orang lain hingga tuntas. Gadis itu masih tertidur, atau pingsan? Entahlah, yang jelas ia tak mungkin dibawa berjalan menaiki tangga. Mau tak mau Jae Joon harus menggendongnya. Susah payah Jae Joon menggendong gadis itu di punggungnya.
“Aih, berat juga! Makan apa saja sih dia hingga seberat ini?” keluh Jae Joon.
 Perlahan kakinya melangkah menaiki tangga satu persatu. Bukan hal yang mudah menggendong seorang yang tak sadarkan diri sambil menaiki tangga. Beberapa kali Jae Joon berhenti sebentar tiap kali ia mencapai bordes tangga. Lalu setapak demi setapak ia melanjutkan langkahnya.
“Akhirnya! Lantai lima!” seru Jae Joon lega.
Ia mencari nomor ruang flat gadis itu, seperti yang tertera di kartu identitasnya. Dan lagi-lagi ia merasa sial karena nomor ruang flat gadis itu terletak paling ujung, jauh dari tangga.
“Hei, mengapa kau tidak bangun juga? Benar kan ini rumahmu?” tanya Jae Joon setelah menurunkan tubuh gadis itu dari punggungnya, lalu ia menepuk-nepuk pipi gadis itu sedikit keras.
Tapi gadis itu tak bereaksi, ia tak bergerak sama sekali, kecuali masih bernafas dengan teratur.

ooo

Hyo Ri masuk ke salah satu bilik ganti itu. Ia mengganti pakaiannya dengan seragam pegawai La Moda. Kemeja berwarna merah maroon dan rok hitam sepanjang lutut. Sambil mengancingkan kemejanya, ia keluar bilik dan mematut diri di depan cermin. Tapi tiba-tiba saja ia tersentak ketika melalui pantulan di cermin, ia melihat ada seorang lelaki berada dalam salah satu bilik ganti pakaian yang berpintu rendah itu. Lelaki itu lumayan tinggi sehingga kepalanya terlihat jelas.
“Hei, siapa kamu! Laki-laki kenapa masuk ruang ganti perempuan?” tegur Hyo Ri dengan suara keras.
Laki-laki itu segera menoleh dan terkejut melihat Hyo Ri.
“Jae Joon!” teriak Hyo Ri lagi.
Hyo Ri tampak panik dan buru-buru menutup bagian depan kemejanya yang belum terkancing dengan kedua tangannya. Sementara dengan santai Jae Joon keluar dari bilik ganti pakaian. Kemejanya sendiri juga belum dikancing. Masih bergaya santai, Jae Joon berkaca di depan cermin besar sambil mengancing kemejanya satu persatu-satu. Hyo Ri melotot melihatnya.
“Sepertinya kau terpesona melihat tubuhku,” ledek Jae Joon sambil tersenyum sinis. Hyo mencibir kesal.
“Jangan mimpi! Kenapa kau masuk ruang ganti perempuan sembarangan?” bantah Hyo Ri dengan nada kesal.
Jae Joon menoleh dan kembali tersenyum meledek.
“Siapa bilang ini ruang ganti perempuan?” sahut Jae Joon cuek.
Hyo Ri celingak-celinguk. Tiba-tiba saja ia khawatir ia yang salah masuk. Tapi pegawai di depan tadi menunjukkan ruang ini sebagai ruang ganti.
“Ini ruang ganti bersama. Tidak dibedakan lelaki atau perempuan!” bisik Jae Joon di dekat telinga Hyo Ri.
Lalu dengan cueknya ia berjalan keluar ruang ganti melewati Hyo Ri begitu saja. Lagi-lagi Hyo Ri hanya bisa mencibir. Ia heran, mengapa nasibnya sial selalu bertemu Jae Joon yang seringkali membuatnya kesal dengan sikap sok pentingnya itu.

ooo

Annyeonghaseyo. Terima kasih, Rae Mi,” sahut Jae Joon yang juga tersenyum.
“Terima kasih untuk apa?” tanya Rae Mi heran.
“Kau masih ada di La Moda. Kau tahu apa akibatnya jika kau benar-benar pergi dari sini? Kau pasti menghancurkan hati eomma. Ia sangat menyayangimu, Rae Mi. Kau sudah dianggapnya sebagai anak perempuannya sendiri. Kemarin saat ia menelponku memintaku mencarimu, suaranya terdengar sangat cemas,” jawab Jae Joon
Rae Mi tersenyum.
“Jadi, jika aku pergi dari La Moda, hanya eomma yang akan hancur hatinya?” tanya Rae Mi dengan nada suara menyiratkan sesuatu.
Jae Joon tak menyahut. Ia hanya memandangi Rae Mi.
“Lalu bagaimana denganmu, Han Jae? Apakah jika aku pergi dari La Moda hatimu juga akan hancur?” tanya Rae Mi lagi, pandangannya pada Jae Joon sungguh-sungguh menantikan sebuah jawaban.


***
Memendam cinta itu meyakitkan. Tetapi tidak mudah untuk mengucapkan tiga kata itu, 사랑해요 (saranghaeyo) aku cinta kamu, walau seseorang yang dicinta itu tepat berada di hadapannya. Ia harus merelakan dua lelaki mendahuluinya menyatakan cinta.
Saat kesempatan untuk menyatakan cinta itu datang, ia justru merasa bimbang dengan perasaannya sendiri. Ada cinta lain yang mulai menyusup perlahan dalam hatinya. Memenuhi rongga-rongga di hatinya yang sempat tak terisi beberapa tahun lamanya.
Saranghaeyo, tetap menjadi kalimat yang sulit. Jika kemudian ia memilih cintanya dulu, benarkah karena ia memang masih merasakan cinta? Ataukah hanya sebagai bentuk rasa tanggungjawab?
Saranghaeyo…
Takdir jugalah yang akhirnya memutuskan kepada siapa kalimat itu pantas ia ucapkan.

Han Jae Joon adalah seorang pemuda tampan yang diam-diam menyimpan cintanya kepada Sung Rae Mi, seorang gadis perancang pakaian di butik La Moda yang pernah menjadi tunangan kakaknya yang kini telah meninggal. Tapi belum sempat Han Jae Joon menyatakan cintanya, Sung Rae Mi sudah mengenalkannya dengan pacar barunya Jung Dong Hee. Tanpa sengaja Han Jae Joon bertemu dengan Shin Hyo Ri, seorang gadis pengangguran sekaligus baru saja dicampakkan pacarnya yang ternyata adalah Jung Dong Hee. Shin Hyo Ri bertekad ingin merebut pacarnya kembali dari Sung Rae Mi.
Takdir mempertemukan keempatnya di tempat yang sama, butik La Moda. Dimulailah persaingan untuk saling memenangkan cinta. Shin Hyo Ri yang semula ingin merebut kembali Jung Dong Hee malah jatuh cinta pada Han Jae Joon. Tapi untuk yang kedua kalinya, ia harus bersaing dengan Sung Rae Mi untuk mendapatkan cinta dari pria yang sama.

Pada akhirnya, siapakah yang akan dipilih Han Jae Joon? Benarkah ia masih setia mencintai Sung Rae Mi setelah melalui banyak hal bersama Shin Hyo Ri?
Cinta, tak bisa lepas dari rasa sakit hati. Tetapi cinta tak pernah membuat pelakunya kapok untuk jatuh cinta lagi. Karena cinta, sepahit apa pun, selalu menyisakan rasa manis.
Saranghaeyo…aku cinta kamu.

Saranghaeyo, berkisah tentang cinta dengan setting Kota Seoul, Korea Selatan.
Kisah cinta ala Korea memang selalu menarik disimak. Romantismenya tergambarkan tidak hanya dari jalinan ceritanya, konflik antar tokoh-tokohnya, tetapi juga dari keindahan setting lokasinya ditambah perubahan suasana sesuai perubahan musim. Walau dalam kisah ini hanya berlangsung selama musim panas hingga musim gugur, tetapi keindahan Suasana tetap terasa.
Ini kisah tentang cinta, tentang kasih tak sampai, tentang sakit hati karena cinta, tentang cinta terpendam. Pada akhirnya, biarkan hati yang memandu ke mana cinta akan dilabuhkan. Hati tidak akan pernah berbohong. Jika hati berkata saranghaeyo, aku cinta kamu, maka ucapkanlah tanpa ragu.


NOTES
Novel ini bisa didapatkan di toko buku Gramedia dan di toko buku online : http://www.bukukita.com/Buku-Novel/Romance/105176-Saranghaeyo-(Koreas-Story).html

Bagi teman-teman yang menanyakan apakah novel ini ada e-booknya, novel ini tidak tersedia dalam bentuk e-book, hanya tersedia dalam versi novel yang dicetak. Yuk, yang mau baca novel ini, silakan dapatkan di toko buku Gramedia ya...Dijamin enggak nyesel deh bacanya, ceritanya seru, super romantis dan berasa banget Koreanya.


INTERMEZZO
Buat teman-teman yang membaca novel-novel Korea dengan nama penaku Karumi Iyagi dan butuh biografi penulis, ini biografi Karumi Iyagi alias Arumi Ekowati.

Biografi Karumi Iyagi

Nama pena : Karumi Iyagi, nama asli : Arumi E.
Lahir di Jakarta tanggal 6 Mei. Lulusan Arsitektur ini merasa lebih asyik menekuni hobinya melukis sepatu dan menulis cerita fiksi.

Beberapa cerpennya telah dimuat di Majalah Aneka Yess!, Kawanku, Hai, majalah Teen, tabloid Gaul, majalah Kreatif, majalah Say!, majalah STORY, majalah Bobo, majalah Girls dan Kompas Anak.
Beberapa buku antologi, diantaranya: Anak Kos Gokil, Dua Sisi Susi, Dark Stories.

Novel karyanya yang sudah terbit : Cinta Bersemi di Putih Abu-AbuSaranghaeyoSymphony Of LoveFour Seasons Of  LoveSweet SonataSakura Wish, Tahajud Cinta di Kota New York, Jojoba, Amsterdam Ik Hou Van Je, Longest Love Letter.

Juga menulis kisah G-Dragon dan Bigbang dalam comic book Swag With G-Dragon Bigbang

Bagi yang ingin menyapa, sila add : facebook.com/arumi.ekowati , follow twitternya @rumieko dan kunjungi blognya di www.arumi-stories.blogspot.com

Buku-buku karya Arumi E. yang sudah terbit




Best seller di Gramedia Puri Mal Jakarta





Best seller di Gramedia Batam

Buat teman-teman yang sudah pernah membacanya, boleh kasih testimoni di sini. Terima kasih... ^_^






Kamis, 23 Februari 2012

Bye Bye Office



Telah terbit buku antologi karyaku terbaru.

Bye-Bye Office

Butuh keberanian untuk mengucapkan :Bye Bye Office.

Dan memang tak mudah memulai usaha mandiri. Banyak rintangan dan halangan yang terkadang meruntuhkan mental. Tetapi dengan semangat pantang menyerah, maka segala masalah dapat terlewati.

Kini nikmati saja menekuni hobi sembari mendapatkan penghasilan. Jalani dengan riang gembira, maka hidup terasa ringan. Di sini terangkum kisahku memulai usaha mandiri sekaligus menekuni hobi, melukis sepatu kanvas.

Bersama 14 belas wanita lainnya, kami berbagi cerita...

Bagi teman-teman yang ingin memesan buku ini silahkan. banyak info serta pengalaman bagaimana memulai usaha yang bisa dibaca di sini.

Harga : Rp 39.000,-
Penerbit : MIC Publishing

Selasa, 10 Januari 2012

Menjadi Volunter Sea Games 2011



Berfoto bersama Rio, atlit sailing wanita kebanggaan Indonesia yang memperoleh medali emas.


Pengalamanku menjadi volunteer dimuat di harian Republika.


September 2011 aku mencoba pengalaman menjadi volunter hajatan akbar Sea Games 2011 yang diselenggarakan di dua kota, Jakarta dan Palembang. Karena aku tinggal di Jakarta,aku ditugaskan di venue sailing di Pantai Marina Ancol.

Serunya mendapat pengetahuan tentang sailing. Ini olahraga yang ternyata menarik. Aku takjub saat mengetahui ada kategori anak-anak yang baru berusia 8 tahun. Sekecil itu sudah bisa membawa perahu layar di laut lepas. Hebat sekali.

Selain mendapat honor yang lumayan, pengalaman, aku juga mendapat banyak teman baru. Serta kenang-kenangan pin dari berbagai negara peserta.

1. Persiapannya cukup sederhana saja. SDM Inasoc sebagai yang bertanggung jawab dalam perekrutan tenaga volunteer dan LO, mentraining kami terlebih dahulu selama satu hari. Dalam training itu kami diberikan materi tentang bagaimana bersikap yang baik dalam pergaulan, tentang interpersonal relationship,tentang bagaimana berkomunikasi yang efektif dan sedikit pengetahuan tentang wisata kota Jakarta, sebagai bekal kami untuk berinteraksi yang baik dengan para atlit tamu dan officialnya.Aku mendapat info tentang menjadi volunteer ini dari seorang teman.

Aku bertugas sebagai volunteer di venue sailing yang berlokasi di Pantai Marina. Sejak awal aku tahu tempat tugasku ini, aku sudah sangat antusias. Pantai Marina tentu saja identik dengan rekreasi dan bersenang-senang. Sehingga aku pun yakin bahwa tugasku nantinya pasti akan sangat bernuansa fun. Kenyataannya memang benar. Satu timku berjumlah 22 orang. Masing-measing diberi tugas yang berbeda, tapi sejalan waktu, kami pun saling bertugas tugas, sehingga hampir semua dari kami merasakan semua pengalaman tugas yang berbeda-beda. Seperti misalnya aku pernah ditugaskan mambantu di rauang secretariat untuk menerjemahkan surat undangan acara closing ceremony. Aku juga pernah ikut serta dalam kapal wasit menuju tengah laut menyaksikan bagaimana menentukan garis start dan finish di tengah laut. Di hari pertandingan, aku bertugas di pos check in/out, tempat para atlit wajib menyerahkan id cardnya sebelum turun ke laut.

Intinya, sebagai volunteer, tugas kami adalah membantu apa saja untuk melancarkan jalannya kegiatan yang berlangsung di venue sailing. Beberapa dari kami ada juga yang membantu mendorong kapal atlit menuju laut, atau menarik kapal atlit yang selesai berlayar di laut menuju tempat pencucian kapal. Kami hanya membantu meringankan atlit, karena semua atlit sebenarnya telah terbiasa membawa sendiri kapalnya, kecuali kapal-kapal yang besar yang memang butuh batuan untuk didorong dan ditarik. Ada juga yang bertugas ikut mengantar makanan ke kapal wasit di laut yang berjumlah sekitar Sembilan kapal sesuai dengan jumlah kelas yang dipertandingkan. Banyak pengalaman yang tak terlupakan selama aku bertugas di pantai Marina.

Kejadian paling lucu adalah ketika kami sedang istirahat siang di kantin yang terletaK di belakanng venue, ternyata ada dua atlit Singapura yang memesan mi ayam di kantin itu. Mereka bilang mi ayam di situ lebih enak daripada spaghetti menu makan siang mereka. Mereka bahkan tanpa ragu menuangkan saos botolan yang merahnya ngejreng itu. Tentu saja itu tanpa sepengetahuan pelatih mereka. Karena sebagai atlit, makanan mereka sebenarnya sudah diatur oleh ahli gizi. Mereka tak ragu berbaur dengan kami dan ngobrol santai. Ternyata tak hanya kedua atlit Singapur itu, tim Malaysia bahkan dating lengakap ke kantin juga memesan mi ayam itu berikut pelatihnya! Padahal itu hanya mi ayam gerobak biasa yang harganya 7000 rupiah per porsi. Atlit Malaysia itu ternyata friendly dan kami pun ngobrol asyik sembari bercanda, seolah segala pemberitaan tentang permusuhan dengan orang Malaysia seperti dalam banyak berita tak terbukti di situ. Bahkan kami masing-masing diberikan pin kontingen Malaysia sebagai kenag-kenangan. Kami juga mendapat pin kontingen Thailand dari atlit Thailand kelas junior yang memperoleh medali perak.Secara keseluruhan, lebih banyak suka selama bertugas di venue sailing. Hanya saja kami harus rela kulit kami menghitam karena terbakar matahari selama 13 hari bertugas di Pantai Marina. Tapi tentu saja itu tidak sebanding dengan serunya bertugas di sana. Semakin hitam, siapa takut? Hehehe

Awalnya aku melamar sebagai volunteer sea Games, aku tak mengira bahwa aku akan mendapatkan honor juga. Karena volunteer tentu saja artinya sukarelawan. Mendapatkan 3 buah kaos seragam berlogo Sea games, dua buah celana, sepasang sepatu, sebuah tas, sebuah topi, satu set alat tulis saja sudah membuat aku senang. Tetapi ternyata Inasoc sebagai panitia penyelenggaraan Sea Games, tidak memperkerjakan kami dengan Cuma-Cuma. Kami mendapatkan honor yang cukup layak, yang sangat lumayan untuk menambah asaldo tabungan kami. Sungguh sangat beruntung aku ikut serta menjadi volunteer dalam Sea Games ini, karena bukan hanya uang, tapi juga aku mendapat banyak pengalaman berharga dan tentu saja banyak menambah teman.

Terlibat dalam acara sebesar Sea games, tentu saja artinya harus siap berinteraksi dengan banyak orang, bukan hanya dengan sesame petugas VO dan LO, tapi juga dengan panitia, terutama dengan panitia penyelenggara di setiap venue tempat kami ditugaskan. Dan yang paling penting, kami juga pastinya akan berinteraksi dengan atlit dan official masing-masing Negara peserta. Yang utama adalah, kami harus menjaga sikap sopan santun dan ramah tamah. Juga sikap sigap untuk siap sedia membantu siapa saja yang butuh bantuan. Ini juga menjadi kesempatan untuk berinteraksi dengan orang-orang dari negara yang berbeda-beda. Untuk yang bisa berbahasa Inggris, kami bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Tapi atlit Myanmar umumnya tidak bisa berbahasa inggris, sehingga kami pun berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Toh itu tak menjadi kendala, karena kami bisa saling mengerti, asalkan kami tetap bersikap sopan dan yang paling penting adalah murah senyum, karena senyum pasti artinya positif, apa pun bahasa yang kami gunakan. Bahkan ada atlit Thailand yang setiap pagi justru mengucapkan selamat pagi, dan dia juga belajar dari kami bagaimana cara mengucapkan selamat sore.

Cerpen : KUNANG – KUNANG CINTA



Selamat tahun baru 2012 teman-teman....Mengawali tahun baru ini, aku ingin sharing cerpen duetku bersama sahabatku Riri Ansar yang sama-sama hobi menulis. Cerpen ini fiksi, tapi terinspirasi dari kisah nyata gadis cilik penderita kanker bernama sayitri. semoga bermanfaat bagi yang membaca. Enjoy it. :)


KUNANG – KUNANG CINTA
~ Riri Ansar & Arumi Ekowati ~

Gayatri melangkah terburu-buru keluar kelas, dengan langkah hampir setengah berlari. Ia harus segera sampai di rumah, menyiapkan santap siang untuk neneknya. Harus, karena hanya dia yang tinggal bersama neneknya. Tak ada waktu untuk bercengkrama dengan teman-temannya sepulang sekolah. Termasuk tak ada waktu untuk melayani rayuan Bisma. Sebenarnya, itu bukan rayuan, hanya permintaan Bisma untuk mengantarnya pulang bareng. Sudah berkali-kali ia menolaknya, tapi Bisma seperti tak pernah surut langkah membujuknya.
“Tri, kamu mau pulang bareng denganku?” tanya Bisma mencegat Gayatri.
“Nggak usah, Bisma, aku bisa pulang sendiri.” jawab Gayatri sopan.
“Rumah kita berdekatan. Nggak ada salahnya kan pulang bareng?” bujuk Bisma.
“Justru aku nggak enak kalau kita pulang bareng. Apa kata teman-teman nanti jika melihat kita boncengan.” sahut Gayatri sambil tersenyum, tak dikuranginya sedikit pun kecepatan langkahnya.
“Atri!” Bisma mengejar Gayatri, hingga menjejeri langkah Gayatri sambil tetap menuntun sepedanya.
“Kenapa sepedamu selalu kau tuntun begitu? Sepedamu jadi tak ada gunanya.” kata Gayatri, matanya melirik ke arah Bisma yang berjalan di samping kanannya.
“Aku tak akan mengayuhnya sampai kau mau aku bonceng.” sahut Bisma
“Apa kamu nggak capek, Bisma?” tanya Gayatri heran.
“Harusnya aku yang bertanya, apakah kamu nggak capek, Tri? Bukankah kau akan lebih cepat sampai ke rumahmu jika kau mau membonceng sepedaku?” Bisma balik bertanya.
“Aku nggak mau merepotkanmu, Bisma.”
“Aku nggak merasa repot.”
Gayatri enggan menyahut lagi. Ia mempercepat langkahnya tanpa memedulikan Bisma. Bisma membiarkan Gayatri berjalan di depannya. Sementara, ia mengikuti dari belakang sambil tetap menuntun sepeda tuanya. Bisma menghela nafas panjang. Ia kehabisan akal mencari cara mengembalikan keceriaan Gayatri. Ia menyesal tak bisa lagi melihat lekukan kecil di kanan kiri pipi gadis itu yang muncul tiap kali ia tersenyum.
Senyum khas Gayatri lenyap bersamaan dengan kepulangan ibunya dari Malaysia dalam keadaan sekarat. Bukan, ibu Gayatri bukan korban kekejaman majikan seperti yang sering diberitakan di televisi. Ibu Gayatri dipulangkan majikannya karena sakit-sakitan akibat kanker yang dideritanya. Tak lama setelah kepulangannya, ibu Gayatri wafat. Bisma ingat bagaimana Gayatri tak berhenti menangis melihat tubuh ibunya yang terbujur kaku. Sudah lima bulan berlalu sejak kematian ibunya, tapi keceriaan Gayatri tak pernah kembali.
***
Gayatri tak bisa melupakan kejadian tadi siang. Saat Argan tak sengaja menubruk tubuhnya. Ketika itu ia sibuk memerhatikan buku-buku yang baru saja dipinjamnya dari perpustakaan, hingga tak melihat ada seseorang melangkah tepat ke arahnya.
“Eh, maaf!” seru Argan tadi siang.
Lalu tanpa diminta, Argan segera mengambilkan buku-buku Gayatri yang berjatuhan di lantai. Gayatri tercengang. Ia tahu siapa Argan. Siapa yang tak kenal Argan di desa ini. Anak pak lurah. Pujaan banyak gadis di desanya ini. Yang membuat Gayatri tercengang, Argan yang selama ini seolah tak terjangkau olehnya, meminta maaf lebih dulu, bahkan bersedia memungut buku-bukunya yang berjatuhan.
“Terima kasih, Kak.” ucap Gayatri saat Argan menyerahkan buku-buku itu kepadanya.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Argan.
Gayatri bengong sesaat dan sedikit gelagapan saat menjawab,
“Saya nggak apa-apa, Kak!”
“Maaf, ya, aku yang salah, berjalan sambil sms-an, jadi tak melihat ada orang lain.”
“Eh, saya juga salah, Kak. Jalan sambil menunduk.”
Syukurlah kalau kamu nggak apa-apa. Sudah ya?” kata Argan seraya tersenyum, lalu melangkah pergi. Meninggalkan jejak di hati Gayatri. Membuat ia memikirkan Argan hingga malam ini. Lalu, buku hariannya hari ini terasa berbeda dibanding hari-hari sebelumnya yang suram. Ia tersenyum, kemudian menuliskan kejadian siang tadi dalam buku hariannya dengan kalimat pembuka,
Hari ini aku senang sekali…
***
Hari minggu ini Gayatri menemani neneknya bekerja di sawah. Ia tak tega membiarkan neneknya sendirian bekerja keras di usianya yang telah lebih dari separuh baya. Andaikan bisa, ingin rasanya ia menggantikan neneknya bekerja. Tapi ia harus sekolah. Neneknya yang selalu menyemangatinya sekolah. Belum lagi ia ingat pesan terakhir ibunya, agar ia tak berhenti menuntut ilmu, karena ilmu itu adalah harta yang tak ternilai. Untunglah bapaknya yang bekerja sebagai buruh serabutan di Jakarta masih bisa mengirimkan uang untuk biaya sekolahnya.
Sawah ini hanya sepetak kecil. Peninggalan kakeknya dahulu. Saat ini adalah saat menanam, setelah selesai menanam, neneknya tak perlu datang ke sawah sepanjang hari, kecuali melihat keadaan sawahnya dan memberi pupuk. Gayatri melirik neneknya yang terus menanam bibit-bibit padi dengan cekatan. Ada rasa kasihan di hatinya melihat neneknya itu. Ia bertekad akan membantu neneknya sebisa mungkin, di sela-sela tugas-tugas sekolahnya.
Sinar mentari semakin menyengat. Tiba-tiba saja Gayatri merasakan nyeri di kepalanya. Rasanya bagaikan ada ribuan kunang-kunang menyerangnya. Lalu semua tampak gelap dan beberapa detik kemudian tubuhnya merosot jatuh di atas pematang sawah.
***
“Atuh kumaha, Neng? Kamu kenapa tiba-tiba pingsan tadi?” Suara halus neneknya dengan logat sunda yang kental lamat-lamat terdengar di telinga Gayatri.
Gayatri membuka matanya. Kepalanya masih terasa berdenyut.
“Entahlah Nek, tadi rasanya kepala Atri pusing sekali. Seperti diserbu ribuan kunang-kunang.” sahut Gayatri.
“Sini, nenek kerik badan kamu pakai ramuan bawang. Masuk angin ini kamu, Neng.” kata neneknya lagi.
Gayatri tak menolak ketika neneknya membuka pakaiannya, lalu melumuri punggungnya dengan minyak kelapa bercampur tumbukan bawang merah. Sesekali ia mengernyit menahan perih, saat kulit punggungnya dikerik dengan uang logam lima ratus rupiah. Mungkin benar kata neneknya, ia hanya masuk angin.
***
“Gayatri!”
Gayatri ragu untuk menoleh. Tapi seingatnya itu bukan suara Bisma yang ia kuatirkan akan memaksanya pulang bareng lagi. Gayatri melongo tak percaya melihat sosok yang menyebutkan namanya tadi.
“Kak Argan?” Dia heran, bagaimana anak pak lurah itu bisa tahu namanya? Ia bukan siapa-siapa. Berkenalan pun tidak pernah.
“Mau kuantar pulang?” tanya Argan dengan senyumnya yang menawan. Ia duduk di atas sebuah motor matik yang tampak baru.
“Saya, Kak? Tapi…eh, maaf, kenapa kak Argan mau mengantar saya pulang?” tanya Gayatri semakin heran.
“Karena kulihat kamu jalan sendiri hampir setengah berlari. Rumahmu cukup jauh juga, kan? Kuantar kamu sampai depan kantor kelurahan, dari situ kau hanya tinggal berjalan sedikit lagi ke rumahmu.”
Gayatri kembali melongo. Argan tahu di mana rumahnya? Bagaimana bisa?
“Tapi Kak…”
“Sudahlah! Nggak apa-apa. Ayo membonceng di motorku.” kata Argan.
Sesungguhnya Gayatri memang tak ingin menolak. Ini seperti mimpi di siang hari. Argan yang beberapa hari ini membuatnya senang, yang membuatnya sering mencuri pandang saat kebetulan berpapasan di lingkungan sekolah, justru menawarkan mengantarnya pulang. Segera ia duduk di boncengan motor Argan dan sedikit ragu menggenggam ikat pinggang Argan di kanan kiri sebagai pegangan.
Bisma patah hati melihat adegan itu. Ia kecewa pada Gayatri. Gayatri menolak membonceng di sepedanya yang memang sudah tak mentereng lagi. Tapi tak menolak membonceng di motor baru Argan anak pak lurah. Hati Bisma terasa ngilu.
***
Pagi ini Gayatri berjalan menuju sekolahnya dengan hati riang. Hari-hari belakangan ini ia semakin semangat berangkat ke sekolah. Tentu saja karena Argan. Tak bisa dipungkiri, hatinya melambung menerima segala perlakuan Argan kemarin. Walau ia masih tak tahu apa maksud Argan sebenarnya, ia tak peduli. Itu sudah cukup membuat keceriaannya kembali. Lesung pipinya kembali sering terlihat. Sapaan ramahnya kembali mencerahkan hari setiap orang yang ditemuinya.
“Atri!”
Gayatri tahu, kali ini Bisma yang memanggilnya. Ia menoleh dan tersenyum manis.
“Kuantar ke sekolah yuk!” ajak Bisma.
Hati Gayatri sedang senang. Ia tak keberatan berbagi kebahagiaan. Maka tak ditolaknya tawaran Bisma itu. Ia segera duduk di boncengan sepeda Bisma. Membuat Bisma bahagia dan melupakan kekecewaannya kemarin. Bisma tersenyum lebar sambil mengayuh sepedanya penuh semangat. Ia bertekad, sepulang sekolah, ia akan mengantar Gayatri pulang.
Tapi nyatanya Bisma ragu menghampiri Gayatri yang berjalan cepat-cepat sejak keluar kelas seusai jam pelajaran terakhir. Ia hanya memerhatikan dari belakang. Ingin tahu, apakah Argan akan menawarkan mengantar Gayatri pulang lagi.
Argan baru muncul setelah mereka cukup jauh meninggalkan sekolah. Gayatri mengenal suara motor Argan. Segera ia menoleh dengan hati berbunga-bunga. Tapi bunga-bunga di hatinya itu mendadak layu saat dilihatnya Argan tidak sendiri di atas motornya. Ada gadis lain yang juga mengenakan seragam putih abu-abu membonceng di motor Argan. Gadis itu memeluk pinggang Argan tanpa malu-malu. Argan berlalu begitu saja melewati Gayatri tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Senyum manis segera lenyap dari wajah Gayatri
Bisma cepat-cepat menghampiri Gayatri yang kini melangkah gontai.
“Atri, aku antar yuk!” sapa Bisma.
Gayatri hanya menoleh sekilas. Ia terlihat enggan menjawab. Tiba-tiba saja Gayatri merasakan kepalanya kembali berdenyut. Lalu, pandangannya kabur, bagaikan ribuan kunang-kunang menyerangnya. Tubuhnya lunglai hampir jatuh. Dengan sigap Bisma menangkap tubuh Gayatri.
“Tri, kamu kenapa?” tanya Bisma bingung.
Gayatri masih sempat berucap, “Kunang-kunang…” sebelum akhirnya ia jatuh tak sadarkan diri dalam pelukan Bisma.
Susah payah Bisma mendudukkan Gayatri di boncengan sepedanya, lalu ia biarkan tubuh Gayatri bersandar di bahu kanannya. Sekuat tenaga Bisma menuntun perlahan sepedanya menuju rumah Gayatri.
***
“Terima kasih, Bisma. Kamu sudah menolongku dan mengantarkan aku sampai rumah. Kalau nggak ada kamu, apa jadinya aku pingsan di jalan.” ucap Gayatri.
“Kamu nggak mungkin pingsan di jalan sendirian, Tri. Karena sebenarnya, aku selalu ada di belakangmu.” sahut Bisma sambil tersenyum.
Gayatri menatap mata Bisma dalam-dalam. Ia memang merasakan ada rasa sayang di situ. Yang selama ini tak pernah ia gubris.
“Kamu memang teman yang baik, Bisma.” kata Gayatri membalas tersenyum.
“Ada apa denganmu, Tri? Kenapa mendadak pingsan?” tanya Bisma.
“Entahlah. Sekarang ini kepalaku sering terasa sakit sekali. Jika sakit itu menyerang, rasanya seperti ada ribuan kunang-kunang menyerbuku. Lalu semua menjadi gelap dan aku tak ingat apa-apa lagi.” jelas Gayatri.
“Sejak kapan kau merasa begitu?” tanya Bisma tampak cemas.
“Beberapa bulan yang lalu. Akhir-akhir ini aku semakin sering pingsan. Setiap kali aku merasa sedikit lelah, kepalaku rasanya langsung berdenyut.” jawab Gayatri.
“Mulai besok dan seterusnya, aku akan memboncengmu pergi dan pulang sekolah. Kamu nggak boleh menolak, Tri. Aku nggak mau kamu terlalu capek.” kata Bisma.
Gayatri tersenyum. Ia bisa membaca ketulusan hati Bisma. Ah, kenapa selama ini ia tak menyadarinya?
“Baiklah aku tak akan menolak.” sahut Gayatri.
Bisma tersenyum senang. Ia bertekad akan selalu menjaga Gayatri. Tak akan dibiarkannya Gayatri kembali diserbu ribuan kunang-kunang.
***
“Kau bawakan aku kunang-kunang, Bisma?” tanya Gayatri heran.
Ini malam minggu. Aneh, Bisma mendadak berkunjung ke rumahnya, membawa setandan pisang raja dan sebuah toples kaca bening berisi kunang-kunang.
“Apakah seperti ini kunang-kunang yang sering menyerbu kepalamu?” tanya Bisma.
“Tidak, kunang-kunang ini jauh lebih cantik. Darimana kau mendapatkannya?”
“Di lereng bukit, aku menangkapnya kemarin malam.”
Gayatri tertegun, memandangi Bisma hampir tanpa kedip.
“Aku tak menyangka kau menangkap kunang-kunang untukku.”
“Karena kau bilang sering diserbu kunang-kunang, aku jadi penasaran bagaimana rupa kunang-kunang sebenarnya. Aku dengar di lereng bukit masih banyak kunang-kunang di malam hari. Aku berusaha menangkapnya beberapa. Hanya dapat sepuluh ekor.”
“Tentu saja bukan kunang-kunang seperti ini yang menyerbu kepalaku, Bisma. Kunang-kunang yang menyerbu kepalaku adalah kunang-kunang yang mematikan.”
Bisma tercekat mendengar kalimat Gayatri itu.
“Tri, kenapa kamu bicara begitu?” tanya Bisma gundah.
“Terima kasih kau sudah membuat aku melihat kunang-kunang sungguhan. Ini sudah cukup, mereka bisa mati kalau dibiarkan di dalam toples terlalu lama.”
Gayatri meraih tangan Bisma, menuntunnya ke pinggiran kebun depan rumahnya. Suara jangkrik yang bersahutan menghiasi malam. Tak ada cahaya di hamparan kebun itu. Bulan tak sedang purnama. Hanya kerlap-kerlip bintang tampak di langit.
“Bukalah toples ini, Bisma.”
Bisma menurut. Ia membebaskan sepuluh kunang-kunang yang dengan susah payah ia kumpulkan kemarin malam. Membiarkan mereka terbang ke arah hamparan kebun. Menciptakan titik-titik cahaya kuning di beberapa tempat.
“Pernahkah kau mendengarkan nyanyian kunang-kunang?” tanya Gayatri.
“Ah, tak mungkin kunang-kunang bisa bernyanyi.” jawab Bisma.
“Jika aku sudah tak ada, aku akan menjelma menjadi kunang-kunang dan akan bernyanyi untukmu.” ucap Gayatri.
“Gayatri, jangan bicara seperti itu.” sahut Bisma kembali gundah.
“Sakit kepalaku semakin sering menyerang. Mungkin ini sakit yang sama dengan sakit yang diderita ibuku dulu. Katanya penyakit seperti itu bisa menurun.”
“Gayatri… Aku sayang kamu.” ucap Bisma hampir lirih.
Gayatri meraih tangan Bisma dan menggenggamnya erat.
“Terima kasih sudah menyayangi aku, Bisma.”
Hanya itu jawaban Gayatri. Ia enggan menjanjikan terlalu banyak kepada Bisma. Ia takut tak bisa menepatinya. Tiba-tiba Gayatri meringis menahan sakit. Sekali lagi, rasanya seperti ada ribuan kunang-kunang menyerbu kepalanya. Padahal ia sedang tak merasa lelah. Ia justru sedang merasa bahagia karena merasakan kasih sayang Bisma.
Pandangan Gayatri mulai mengabur. Ia tak bisa melihat apa-apa, hanya titik-titik warna kuning laksana ribuan kunang-kunang mengelilinginya. Lalu semua berubah gelap.
“Bisma, ini kunang-kunang cinta…” ucap Gayatri lirih, kemudian ia jatuh dalam pelukan Bisma.
~ Tamat ~

Dedicated to : Gadis manis bernama Sayitri

Selasa, 20 September 2011


Mengapa Edelweis Harus Mati?

Cerpen Misterius sekaligus megharukan karyaku yang dimuat di STORY Teenlit Magazine edisi 22, terbit 25 Mei 2011

Tatkala malaikat mempertanyakan tugasnya : Mengapa Edelweis Harus Mati?


Kupandangi sosok cantik itu dari kejauhan. Wajahnya halus bak pualam. Rambut hitam lurus panjangnya diikat ekor kuda. Memperlihatkan leher jenjangnya dengan jelas. Jika ada manusia yang terlahir mendekati sempurna, maka gadis itu adalah salah satunya. Anugerah kecantikan dan keindahan ragawi rasanya sudah cukup menjadi jaminan kesuksesan hidupnya kelak. Andai aku seorang cast director, pasti aku sudah mengontraknya menjadi model iklan, model profesional atau pemeran utama sebuah film romantis.

Keberuntungannya masih ditambah dengan otak yang brilian. Lulus dari sekolah menengah atas dengan nilai hampir sempurna. Jika ia mau, ia telah diterima di sebuah perguruan tinggi negeri ternama tanpa melalui tes. Sekiankah keberuntungannya? Belum, masih ditambah bahwa gadis itu adalah anak satu-satunya keluarga Pambudi, seorang pengusaha retail terkenal, pewaris kekayaan melimpah. Bahkan kedua orangtuanya telah menyiapkan sebuah perusahaan untuknya hingga kelak ia tak perlu capek-capek mencari pekerjaan.

“Coba bacakan kakak buku barumu, Priska.”
Suaranya terdengar lembut dan halus. Jari jemarinya yang lentik segera menuntun jari-jari mungil gadis kecil yang disebutnya Priska pada sederetan huruf-huruf braille.

“Pada zaman dahulu kala, ada seorang putri cantik yang kesepian…” Priska melafalkan kata-kata bacaannya dengan artikulasi yang kurang jelas.

Aku tersenyum melihat pemandangan indah itu. Kuperhatikan lagi sosok gadis cantik itu. Aku tahu namanya Edelweis. Nama yang indah, andai ia bisa hidup abadi seperti bunga Edelweis. Sayangnya, aku tahu ia tak akan hidup abadi. Bahkan aku tahu kapan tepatnya ia akan mati.
“Sayang sekali jika gadis secantik dan sebaik itu harus mati muda.” batinku.

Ya, usianya baru menginjak tujuh belas tahun. Baru saja kuliah semester satu di sebuah sekolah tinggi keguruan dan ia mengambil jurusan pendidikan untuk guru Sekolah Luar Biasa, yang mengkhususkan diri pada pendidikan untuk anak-anak penyandang cacat.

Bukankah itu pilihan yang luar biasa untuk gadis seusianya? Sejak orangtuanya mengajaknya berkunjung ke sebuah panti yang merawat anak-anak cacat ketika ia kecil dulu, ia langsung jatuh hati dengan anak-anak penghuni panti itu. Kemudian secara rutin ia mengunjungi panti. Keberadaan anak-anak itu telah memberinya ide untuk kemudian memilih malanjutkan pendidikannya di bidang keguruan untuk anak-anak berkebutuhan khusus.

Awalnya, keinginannya itu tentu ditentang kedua orangtuanya. Mereka mengharapkan ia menjadi penerus usaha mereka, jika bisa sekaligus menjadi publik figur. Mengikuti ajang Puteri Indonesia atau apalah, kontes-kontes semacam itu, aku yakin ia pasti menang.

Tapi keputusan gadis itu tak tergoyahkan. Maka di sinilah ia sering menghabiskan waktu, di panti asuhan Kasih Ibu, yang merawat tak kurang dari empat puluh anak penyandang cacat, beberapa ada yang menyandang cacat ganda. Buta sekaligus pendengarannya sedikit terganggu, autis sekaligus jantungnya tak sempurna, lumpuh sekaligus gagal ginjal di usia dini. Gadis itu, tak bosan-bosannya menjadi teman setia anak-anak itu. Menghabiskan waktunya seusai kuliah untuk mengajari anak-anak itu berbagai keterampilan dan pengetahuan.

Untuk kesekian kalinya aku menyambangi gadis itu di panti ini. Kuputuskan, sudah saatnya aku berinteraksi langsung dengan Edelweis, bercakap-cakap, menggali lebih dalam informasi tentang dia langsung dari sumbernya.

“Maaf, Nona, aku tak sengaja!” kataku sambil buru-buru membereskan buku-buku yang berantakan karena aku dengan sengaja menabrak sosok yang membawa setumpuk buku itu.
“Nggak apa-apa, Mas! Saya juga terlalu terburu-buru, jadi nggak lihat kanan kiri.” sahut gadis yang sengaja kutabrak itu sambil mengumbar seulas senyum manis.
Mungkin cara yang kupilih untuk berkenalan dengannya terlalu norak dan kampungan. Tapi caraku itu terbukti ampuh. Karena kemudian aku terlibat perbincangan akrab dengan gadis yang sejak awal aku melihatnya sudah menarik minatku.

“Please, jangan panggil aku Mas dong, aku nggak seperti mas-mas, kan?” protesku sedikit nakal.
“Oh, maaf, jangan sebut aku Nona juga, ya? Sebutan yang terlalu hebat untukku.” sahutnya, senyum indah di wajahnya tak jua surut.
“Baiklah, jadi aku harus menyebutmu apa?”
Cara berkenalan yang jelas aku rekayasa, tapi toh gadis itu menjawab juga.
“Panggil saja aku Edel.” jawabnya.
“Edel? Namamu Edel?”
Ia tertawa kecil. Cantiknya semakin kentara.
“Itu nama panggilanku, nama panjangku Edelweis.” jawabnya lagi.
“Oh, mengapa nama secantik itu kau penggal menjadi Edel?” sudah pasti pertanyaanku barusan terdengar gombal. Tapi aku tak peduli. Apa pun akan kukatakan untuk menarik perhatian mahluk cantik ini.
Ia kembali tertawa kecil.
“Supaya praktis saja, kalau memanggil Edelweis akan terlalu panjang.”
“Hm, aku lebih suka memanggilmu Edelweis. Aku tak merasa membuang-buang waktu menyebut namamu secara lengkap.” jawabku masih bernada gombal.
“Silahkan, jika memang kamu lebih suka menyebutku begitu. Dan namamu?” tanyanya kemudian.
“Panggil saja aku Iz…”jawabku.
Ia terlongo sesaat. Wajah cantiknya berubah terlihat lucu dan menggemaskan.
“Namamu sependek itu?”
“Sebut saja begitu biar praktis.” jawabku lagi.
“Ah, kau curang. Kau tak mau menyebut nama pendekku supaya praktis.”
Tak tega aku memandang wajahnya yang kemudian terlihat gusar.
“Oke, namaku Izra.”
“Izra apa?”
“Izra saja. Kali ini tidak kupenggal supaya pendek dan praktis dipanggil. Tapi karena namaku memang hanya Izra. Jangan tanya padaku kenapa namaku cuma segitu. Tanyakan saja kepada yang memberiku nama.” jawabku.
“Baiklah, akan kupanggil kamu Izra. Maaf, apakah kamu ingin berkunjung ke panti ini?”
“Iya, aku tertarik ingin menulis tentang kegiatan panti ini. Aku kontributor satu majalah remaja di Ibu kota. Boleh, kan?” kataku seraya memperlihatkan kartu pers-ku.
Ia hanya melihat sekilas. Kartu itu palsu atau asli tampaknya ia tak peduli.
“Tentu saja boleh, kami senang jika semakin banyak yang tahu tentang panti ini. Agar semakin banyak masyarakat yang peduli dan mau berbagi kasih dengan anak-anak cacat yang ada di panti ini.” jawab Edelweis.
“Kau bekerja di sini?” tanyaku.
“Aku hanya sukarelawan. Kebetulan aku kuliah di bidang keguruan untuk sekolah luar biasa. Di sini aku dapat berlatih berkomunikasi dan berhubungan dengan anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus.”
“Wah, kamu luar biasa. Jarang loh, ada remaja yang peduli dengan anak-anak cacat.” pujiku tulus. Ini bukan gombal, aku sungguh-sungguh kagum pada gadis ini.
“Ah, biasa saja. Kebetulan aku berminat dan berbakat di bidang pengajaran. Dan membuat anak-anak ini tertawa senang adalah kebahagiaan tersendiri buatku. Ayo masuk, biar kukenalkan kau dengan mereka satu persatu.” katanya, lalu ia melangkah perlahan masuk ke dalam panti. Kuikuti ia dari belakang.

“Gadis cantik ini namanya Priska. Halo Priska, kenalkan ini Kak Izra.” kata Edelweis sambil menuntun Priska mendekatiku dan membantu tangan mungil Priska menyalamiku.
“Halo Priska.” sapaku lembut.
“Priska tak bisa melihat, tapi ia pandai membaca. Maksudku, membaca huruf braille tentu saja. Usianya baru sembilan tahun. Priska bukannya tak bisa melihat sejak lahir, tapi karena ia menjadi korban kekerasan ayahnya sendiri ketika baru berusia satu tahun. Kalau saja ada yang berbaik hati mendonorkan kornea matanya untuk Priska, maka ia mungkin bisa melihat lagi.” Edelweis menjelaskan panjang lebar.
Aku mengangguk dan tersenyum.
“Nah, cowok ganteng ini namanya Zidan. Umurnya sudah sepuluh tahun. Ada kelainan pada jantungnya, sehingga Zidan tak boleh terlalu capek.” kata Edelweis sambil membelai seorang anak laki-laki yang tak bisa diam. Mata anak itu bergerak ke sana ke mari.

Edelweis mengenalkan aku pada anak-anak yang lain, ada Tegar seorang bocah lelaki yang baru berusia sebelas tahun tapi sebelah ginjalnya tak berkembang sehingga tak berfungsi dengan baik. Sementara ginjalnya yang sebelah lagi juga kurang sempurna. Kakinya mengecil hingga ia tak bisa berjalan. Untunglah ada seorang baik hati yang menyumbangkan kursi roda untuknya.

Edelweis juga mengenalkan aku dengan semua pengajar, pengasuh, pengelola dan kepala panti anak cacat ini. Anak-anak yang diasuh di sini, ada yang masih memiliki orang tua tapi sangat miskin sehingga tak mampu merawat mereka. Ada juga yang sudah yatim piatu, bahkan ada yang sengaja dibuang orangtuanya.
“Bayangkan, bagaimana aku tak terenyuh melihat mereka. Harus ada yang peduli kepada mereka. Dan aku ingin menjadi salah satunya.” celoteh Edelweis.
Aku mengangguk takjub.

“Dan bagaimana mungkin aku sanggup mencabut nyawa gadis sebaik hati ini?” batinku.
Pengamatanku terus berlanjut. Setiap hari aku berkunjung ke panti itu, menyaksikan Edelweis dengan tulus memberikan perhatian dan kasih sayangnya pada semua anak penghuni panti. Aku semakin jatuh hati padanya. Bagaimana tidak, sudah kuceritakan tentang kesempurnaan gadis itu sebelumnya, tak ada alasan untuk membiarkannya mati muda. Bagaimana kelak nasib anak-anak itu yang tampak sudah terlanjur mencintainya?

“Kau sudah punya pacar?” tanyaku pada Edelweis di kunjunganku yang ke sekian kali ke panti Kasih Ibu.

Edelweis tak langsung menjawab. Mata indahnya sedikit membelalak, ia tak menduga aku akan mengajukan pertanyaan seperti itu.

“Tak ada yang jatuh cinta padaku.” jawab Edelweis beberapa menit kemudian.
“Tak mungkin...Pasti banyak cowok yang naksir pada gadis cantik dan baik hati seperti kamu.” sahutku.

“Ah, aku tak sehebat itu...” kata Edelweis, semu merah di kedua pipinya jelas menunjukkan ia sedikit malu kupuji seperti itu.
“Sungguh tak ada yang benar-benar cinta padaku. Ada beberapa yang mengaku suka, tapi tindakan mereka tak menunjukkan bahwa mereka benar-benar suka. Mereka menganggapku gadis aneh, karena aku lebih suka menghabiskan waktu di panti ini daripada jalan-jalan ke mal, makan di cafe atau nonton film.” lanjut Edelweis.
Lalu ia menoleh, menatapku agak lama.

“Baru kau saja cowok yang aku tahu juga menaruh minat dengan kegiatan di panti ini.” kata Edelweis, senyumnya merekah manis.
Oh, andai ia tahu siapa aku sebenarnya, masihkah ia sudi memberiku senyum semanis itu? Esok hari menjelang sore, aku diperintahkan untuk mengambil nyawanya. Keteguhkan dalam hati, jika memang gadis itu harus mati, akan kupilihkan cara mati yang terbaik, yang tak akan membuatnya merasakan sakit.
* * *

Priska masih rajin membaca. Ada banyak yang menyumbangkan buku-buku bacaan berhuruf braille untuk Priska. Edelweis seringkali menge-print cerita-cerita atau pengetahuan untuk anak-anak yang diambilnya dari internet di perpustakaan Gedung Depdiknas. Di sana, telah tersedia printer yang hasil print-out-nya dalam bentuk huruf braille. Priska selalu menerimanya dengan suka cita. Pengetahuannya semakin bertambah. Ia mulai senang mengarang cerita dongeng anak-anak. Edelweis dengan sabar membantu menuliskan ide-ide cerita Priska dalam sebuah buku.

“Priska pasti menjadi penulis hebat kelak jika ia sudah bisa melihat.” kata Edelweis bangga.
Tiba-tiba saja Zidan mengamuk. Anak itu menyandang autis, sungguh heboh jika ia ngambek. Ia berteriak-teriak keras dan melempar barang apa saja yang ada di dekatnya. Edelweis mendekati Zidan dan berusaha membuat anak itu tenang.
“Kenapa, sayang? Zidan mau apa?” ucap Edelweis lembut.
“Mau coklat, mau coklat, mau coklaaaaaat!!” teriak Zidan sambil menunjuk-nunjuk arah luar.
“Mm, coklatnya diganti mainan saja ya? Zidan nggak boleh makan coklat. Nanti Kak Edel belikan Zidan mobil-mobilan.” kata Edelweis masih dengan suara lembutnya.

Awalnya Zidan menggeleng, tapi setelah Edelweis berjanji akan membelikan mainan saat itu juga, ia mengangguk. Kata-kata lembut dan janji Edelweis telah melunakkan hatinya. Edelweis bangkit lalu beranjak keluar panti. Aku mengikuti langkah cepat-cepat gadis itu. Keinginannya untuk segera memenuhi permintaan Zidan membuatnya melangkah terburu-buru dan tak memperhatikan keadaan sekelilingnya.

Kubiarkan ia melangkah menyeberangi jalan raya. Walau aku tahu beberapa detik kemudian akan ada sebuah mobil sedan sporty yang melaju sangat cepat menabrak tubuh langsingnya. Niatku untuk memilihkan cara mati yang lebih baik tak kesampaian. Aku tak punya kuasa untuk itu. Aku juga terlarang untuk menunda sekejap saja proses kematiannya. Tapi aku masih boleh mencegahnya mati dalam keadaan terlalu parah. Segera kutangkap tubuhnya yang terpental. Tak kan kubiarkan kepala indahnya jatuh membentur aspal dan remuk tak berbentuk.

Dalam sekejap, sudah banyak orang mengerumuni kami. Setelah aku yakin ada seorang yang mengambil alih menolongnya, menghentikan sebuah taxi dan membawanya ke rumah sakit terdekat, kutinggalkan ia dan kuperhatikan dari jauh. Kuikuti ia hingga ruang UGD rumah sakit itu. Namun hanya beberapa jam saja Edelweis mampu bertahan. Kemudian, kutuntun lembut jiwanya terbang ke langit...
* * *

“Aku sangat mencintai anak-anak ini. Aku rela memberikan segalanya demi melihat mereka bahagia. Diam-diam aku telah mendaftarkan jantungku, ginjalku, mataku untuk didonorkan bagi anak-anak yang membutuhkan. Kalau-kalau saja nanti umurku tak panjang, mereka bisa mengambilnya dariku.” papar Edelweis dalam perbincanganku terakhir dengannya, sebelum Zidan mengamuk, sebelum ia melangkah ke jalan raya...

Keinginan Edelweis telah terwujud. Matanya kini telah menjadi milik Priska. Gadis kecil itu semakin rajin membaca semenjak ia dapat melihat. Jantung Edelweis yang sehat telah berdetak lembut dalam rongga dada Zidan. Satu ginjalnya telah menggantikan ginjal Tegar yang telah rusak.

Kedua orangtua Edelweis yang telah membiayai operasi itu, selain juga gencar mencari bantuan sponsor. Walau mereka berduka, tapi mereka mendukung niat suci Edelweis. Mereka sering mengunjungi panti, memandang Priska, Zidan dan Tegar seolah seperti memandang langsung Edelweis putri terkasih mereka.

Aku tersenyum lega. Inilah ternyata alasan mengapa Edelweis harus mati muda. Bisa kupastikan, Edelweis pun tersenyum bahagia di langit.

~ Tamat ~

Inspired by : “ Touched by An Angel television series”

Rabu, 06 Juli 2011

KONTES PRINCESS WORLD


Reconstruksi Dongeng Princess
By : Arumi E

Robin melihat ke kanan dan ke kiri, tampak sangat kebingungan.
“Ah, aku tersesat, aku terlalu jauh melintasi hutan. Sepertinya ini bukan lagi wilayah Kerajaanku.” katanya pada diri sendiri.
Robin memutuskan untuk terus berjalan. Hingga lama kemudian, dari kejauhan ia melihat kastil berdinding batu granit.
“Hei, sepertinya itu sebuah Istana. Tapi mengapa Istana itu terlihat begitu muram?” kata Robin sambil terus berjalan menuju Istana.
“Berhenti!”

Tiba-tiba saja dua orang pria bertubuh tegap menghadang langkah Robin.
“Ada keperluan apa anda kemari?” tanya salah satu pria itu. Dari seragam yang mereka pakai, Robin menduga mereka adalah penjaga Istana.
“Maaf, Teman. Aku tersesat. Jika diperkenankan aku ingin beristirahat sejenak di sini.” jawab Robin.
“Dari mana asalmu?” tanya pria satunya.
“Aku ksatria pengembara dari Kerajaan seberang gunung.” jawab Robin.
Kedua penjaga itu memperhatikan seluruh tubuh Robin dari kepala hingga kaki. Lalu mereka saling berbisik.
“Benarkah kau seorang ksatria?”
“Ya, benar. Aku seorang pejuang dan pandai memanah.”
“Jika memang kau seorang ksatria, silakan masuk. Kami akan menguji keahlian memanahmu.”

Robin mengangguk setuju. Robin diantar menuju lapangan di alun-alun Istana. Dengan disaksikan Raja, Ratu dan Panglima Kerajaan itu, Robin menunjukkan keahliannya memanah. Dengan mudah Robin memanah sasaran tepat di tengah dari jarak cukup jauh. Anak panah selanjutnya melesat, tepat membelah anak panah yang telah tertancap sebelumnya di sasaran. Semua yang melihatnya berdecak kagum dan bertepuk tangan riuh.
“Sepertinya kau memang seorang ksatria. Tapi untuk mengetahui apakah kau seorang ksatria sejati, hanya ada satu cara. Siapakah namamu?” tanya Raja.
“Aku Robin Hood, Paduka.” jawab Robin.

“Oh, Robin Hood. Mari, kuantar menemui putriku.” ajak Raja.
Robin mengikuti langkah Raja yang juga diikuti Ratu dan Panglima Kerajaan. Mereka sampai di depan sebuah pintu dua daun yang tinggi, lebar dan tebal. Panglima Kerajaan membuka pintu itu. Raja diikuti yang lainnya memasuki kamar yang sangat luas. Langit-langitnya tinggi mencapai hingga lima meter. Di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah tempat tidur besar. Di atasnya terbaring seorang putri cantik.
“Ini adalah Putriku, Aurora. Kami menyebutnya sleeping beauty. Telah setahun lamanya Putri Aurora tertidur karena dikutuk penyihir jahat musuh Kerajaan kami. Kutukan itu hanya dapat hilang jika ada seorang ksatria sejatu yang mencium jari jemari tangan Putri Aurora. Sudah begitu banyak pemuda yang mengaku ksatria, tapi tak juga ada yang bisa membuat Putri Aurora terbangun dari tidurnya.” kata Raja menjelaskan.
“Jika berkenan, bersediakah kamu mencium jemari Putri Aurora?” pinta Raja.
Robin Hood mengangguk. Tentu saja ia tak keberatan. Ia memandang kasihan melihat Putri cantik itu hanya tertidur tak bergerak. Robin meraih jemari tangan kanan Putri Aurora lalu menciumnya lembut agak lama. Tak ada reaksi apa-apa. Putri Aurora tetap tertidur dengan nafas teratur. Robin Hood menghela nafas panjang. Ia menyesal sekali karena tak bisa membangunkan Putri Aurora.

“A…ayah?” tiba-tiba saja terdengar suara lembut. Semua terperangah melihat Putri Aurora bangun dari tidurnya.
“Aurora sayang!” teriak Ratu langsung memeluk Aurora.
“Oh, Aurora putriku, kau akhirnya bangun juga…” kata Raja terharu.
“Apakah ini sudah musim semi?” tanya Putri Aurora.
“Ini musim semi kedua yang hampir saja kau lewati, sayang.”
“Oh, sudah berapa lamakah aku tidur? Apakah aku sudah terlambat untuk ikut kontes Princess World?”

“Kau tidur lama sekali putriku. Untunglah ada Robin Hood yang telah menolongmu. Kau belum terlambat untuk ikut kontes Princess World. Robin Hood, bersediakah kau mengantar putriku ke Istana Putih tempat acara kontes itu diselenggarakan?” tanya Raja pada Robin Hood.

“Tentu saja aku bersedia, Paduka Raja.” jawab Robin Hood yang memang langsung terkesima melihat kecantikan Putri Aurora.
Ditemani Robin Hood, Putri Aurora berangkat menuju Kerajaan putih, tempat Putri Snow white dan Ratu Serena, ibu tirinya tinggal. Setiap tahun, di awal musim semi, Ratu Serena mengadakan kontes Princess World. Ia mempunyai cermin ajaib yang bisa tahu siapa Putri tercantik di dunia.

Sesampai di Istana Putih, telah banyak Putri yang hadir. Ada Cinderella, yang ditemani Tinkerbell, Belle si beauty dari Kerajaan Beast, Putri Jasmin datang dengan karpet terbangnya bersama Aladin kekasihnya. Ariel si Little Mermaid juga ikut serta. Putri Mulan dari Cina juga tak ketinggalan.
Setelah semua Putri dari berbagai Kerajaan telah semuanya hadir, para Putri berdiri berjejer rapi di atas panggung mengenakan gaun mereka yang terbaik. Semuanya tampak cantik. Pasti sulit sekali memilih putri yang tercantik di antara mereka. Tapi cermin ajaib milik Ratu Serena selalu tahu jawabannya. Dan semua percaya dengan pilihan cermin ajaib itu.
“Terima kasih atas kehadiran semua Putri di Istanaku ini. Kalian semua terlihat sangat cantik. Tapi siapa putri tercantik akan dipilih oleh cermin ajaibku ini.” kata Ratu Serena.

Dua orang pelayannya membawa sebuah cermin besar setinggi dua meter dengan lebar delapan puluh senti. Cermin itu di letakkan di sisi panggung sebelah kanan. Satu persatu putri berkaca di cermin itu. Bergaya, berputar ke kiri dan ke kanan. Setelah semua putri bercermin, tibalah saat bagi cermin ajaib untuk memutuskan siapa putri yang tercantik di dunia.

“Mirror...the magic mirror, siapakah putri yang tercantik di dunia?” tanya Ratu Serena.
Cermin tak langsung menjawab. Baru beberapa menit kemudian terdengar suara sang cermin ajaib.
“Hm...putri tercantik di dunia tentu saja Snow White si Putri Salju, siapa lagi?” kata cermin ajaib.
Segera saja suasana menjadi riuh.
“Tapi aku tak melihat Putri Salju ikut dalam kontes ini.” protes Aladin.
Ratu melihat sekeliling ruangan. Benar, ia baru menyadari sejak tadi tak melihat Putri salju.
“Di mana Putri Salju?” tanya Ratu Serena.
“Maaf, Ratu, Putri Salju baru saja pergi bersama Putri Ayu utusan dari Indonesia pemenang kedua Indonesia mencari bakat.” jawab pelayan penjaga Putri salju.
“Apa? Mengapa ia tak minta ijin padaku? Ke mana dia pergi?” tanya Ratu Serena sedikit marah.

“Putri Salju hanya meninggalkan selembar surat, Ratu.” jawab sang pelayan penjaga sambil menyerahkan surat yang ditinggalkan Putri Salju di atas tempat tidurnya.

Ratu Serena ibuku yang terhormat.

Mohon maaf aku harus pergi segera mengejar pesawat menuju Amerika Serikat. Aku dan Putri Ayu dari Indonesia memutuskan pergi ke Amerika untuk mendaftar ikut serta dalam kontes menyanyi American Idol. Aku tak suka ikut kontes kecantikan, Ratu. Aku suka menyanyi. Dan banyak yang bilang suaraku merdu sekali. Putri Ayu juga bilang begitu. Karena itu aku dan Putri Ayu sepakat untuk memilih ikut serta dalam kompetisi American Idol. Maafkan aku, Ratu.

Your beloving Snow White.


Ratu Serena terkejut membaca surat itu.
“Snow Whiteeeee!!!! Tapi kan kamu bukan warga Amerika serikat, mana boleh ikut American Idol???!!” omel Ratu, lalu segera memerintahkan pengawalnya mengejar Putri Salju ke bandara.
~ End ~

Inilah kumpulan Princess hasil lukisanku di sepatu kanvas ^_^








Selasa, 28 Juni 2011

Dua Sisi Susi


Telah terbit! Buku antologiku selanjutnya. Kali ini bertema horor dan misteri. 21 pemenang kompetisi menulis cerita horor dan misteri yang diselenggarakan oleh penerbit Universal Nikko. Cerpenku berjudul ; TERATAI HITAM, terpilih menjadi salah satu pemenang.

Tersedia di toko-toko buku terkemuka di seluruh indonesia.

Rabu, 01 Juni 2011

SURAT UNTUK BAPAK

Dear Bapak,
Bapak, aku mohon maaf ya, mungkin jarang sekali aku mengucapkan terima kasih secara langsung pada Bapak, walau Bapak sudah memberi aku banyak. Tapi sungguh, rasa terima kasihku tak terkira pada Bapak. Mungkin aku tak mampu mengucapkan langsung, baiklah akan kuungkapkan rasa terima kasihku pada Bapak dalam suratku ini.
Terima kasih Pak, karena selalu mendukung aku. Aku tahu itu walau sering kali Bapak tidak terang-terangan menunjukkan dukungan Bapak untukku. Aku anak perempuan Bapak satu-satunya, di antara kedua adikku yang laki-laki. Walau aku anak pertama, tapi Bapak paling memperhatikan aku. Bapak rela mengantar aku ke mana saja atau menjemputku. Bapak selalu bilang, karena aku anak perempuan satu-satunya, maka Bapak harus menjagaku lebih. Ya, karena kedua adikku yang laki-laki gagah pastinya lebih mampu menjaga diri mereka sendiri.
Bapak telah mewarisikan bakat menggambar dan seni rupa kepadaku. Bapak juga yang dahulu pernah mengajari cara membuat patung dari tanah liat. Kita punya hobi yang sama, senang menggambar dan membuat relief atau patung. Aku ingat, kita pernah sama-sama mendesain kolam ikan di depan rumah kita, membuat gua-gua, bunga-bunga karang juga membuat air terjun mini. Aku senang membantu pekerjaan Bapak itu. Kolam ikan itu adalah hasil kerja sama kita berdua. Senangnya setelah kolam ikan itu jadi, hasilnya terlihat bagus sekali.

Senin, 16 Mei 2011

Telah terbit, Kumpulan Dongeng BOBO no.69, ada cerpenku looh... ^^


Di sini untuk pertama kalinya dongengku berjudul TONGKAT AJAIB PERI LILI ikut terangkum dalam Kumpulan Dongeng BOBO. Dengan ilustrasi yang apik dan full colour, membaca kumpulan dongeng ini pun menjadi lebih menarik.

Tersedia di toko buku Gramedia.

Minggu, 15 Mei 2011

Kutunggu kehadiranmu, sayang!


Oleh : Arumi Ekowati

Cinta. Aku gamang bicara soal cinta. Sudah terlalu lama aku tak merasakan jatuh cinta. Bagiku, jatuh cinta itu sulit. Mungkin karena aku takut jatuh cinta, maka setiap kali muncul perasaan berbeda sedikit saja pada seorang lelaki, segera aku berusaha menepisnya.

Aku takut...Karena aku masih ingat rasa sakitnya saat cintaku yang terdahulu kandas. Bukannya sesudah itu aku tak pernah mencoba lagi. Seringkali, tapi semua gagal. Entah mengapa aku selalu jatuh cinta pada lelaki yang salah, dan dicintai lelaki yang salah. Hingga kini aku tak pernah bertemu cinta yang tepat.
Rasa iri kadang menelusup tatkala melihat saudara sepupuku yang usianya sepantar denganku, telah menemukan cinta sejatinya. Sudah lama ia menikah. Kini telah memiliki seorang anak perempuan berusia lima tahun dan seorang anak laki-laki berusia tiga tahun.

Bukan iri yang negatif tentu saja, aku hanya...ah, terkadang ingin juga merasakan indahnya memiliki anak yang lahir dari rahimku sendiri, kemudian ia memanggilku ibu. Entah kapan itu akan terjadi. Hingga kini aku belum bertemu laki-laki yang menunjukkan tanda-tanda akan menjadi suamiku kelak.

“Ibu, ini gambar hasil karyaku.” kata anak pertama sepupuku itu kepada sepupuku.
Aih, aku juga ingin ada seorang anak perempuan mungil secantik itu menyebutku ibu. Rasanya tak percaya memandang sepupuku itu, teman sepermainan ketika aku kecil dulu telah menjelma menjadi seorang ibu.

Keponakanku itu bernama Tayara. Umurnya baru lima tahun. Tapi sekarang telah bersekolah di sekolah dasar. Kulitnya putih bersih. Rambutnya keriting ikal berwarna kemerahan. Hidungnya memang tidak terlalu mancung, tapi kulitnya yang putih dan rambutnya yang kemerahan membuatnya sering disebut si “bule”.
Cantik dan pintar. Begitulah keponakanku itu. Aku jarang sekali berkunjung ke rumahnya. Tapi anehnya, setiap kali aku datang dan bertemu si kecil Tayara, ia tanpa sungkan langsung menggandeng tanganku.

“Aku mau sama Tante.” katanya.
Ah, senangnya hatiku, ada anak kecil yang menyukai aku. Tanpa sungkan juga ketika aku duduk, ia langsung saja menyandarkan tubuhnya di pangkuanku.
Ia suka menggambar. Sama seperti aku. Segera saja ia pamerkan kemahirannya menggambar. Ia ambil selembar kertas dan pensil, lalu mulai menggambar di hadapanku dengan penuh percaya diri. Gambarnya lucu. Menurutnya, itu adalah gambar dirinya dan dua temannya di sekolah.

Aku tersenyum melihatnya. Kukatakan saja padanya gambarnya bagus sekali. Itu cukup membuatnya tertawa senang. Lalu ia pamerkan kemahirannya menuliskan namanya serta nomor telepon rumahnya.
“Wah, Tayara pntar sekali.” pujiku.
Lalu berganti aku yang pamer padanya.
“Lihat, ini cerita anak hasil karya Tante loh.Mau Tante bacakan?” tanyaku sambil menunjukkan cerita anak hasil karyaku yang dimuat di sebuah majalah anak-anak.
“Mau Tante, ayo bacain...” katanya sambil ikut memegang majalah anak-anak itu.
“Ini judulnya Marianka.”
“Namanya sama seperti nama adik Marianka.” sahut Tayara.

Ah iya, aku jadi tak enak pada Tayara. Cerpen anak karyaku itu memang terinspirasi dari keponakanku yang lain, Marianka. Usianya baru dua tahun. Marianka adalah anak dari sepupuku yang lain. Tentu saja aku juga sayang pada si cerewet dan centil, Marianka. Marianka seringkali membuatku gemas. Gadis kecil itu tak bisa berhenti bergerak. Ia sangat aktif, senang sekali berlari-lari dan meloncat-loncat. Sering membuatku kewalahan jika mengajaknya pergi berjalan-jalan.
“Tante juga bikin cerita berjudul Tayara. Jika nanti dimuat di majalah ini, pasti akan Tante bacakan untuk Tayara.” kataku, kembali beralih kepada keponakan cantikku, Tayara,
Tayara hanya mengangguk. Lalu ia mendesakku untuk segera membacakan cerita berjudul Marianka itu.

Ah, ternyata tak mudah bercerita kepada seorang anak kecil. Aku tak menyangka anak kecil zaman sekarang sudah lebih kritis. Ia sering protes jika ceritaku tak sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Atau baru saja satu kalimat aku bacakan, ia sudah banyak bertanya. Tapi aku menikmatinya. Aku senang.
Beginikah kiranya kelak jika aku menjadi ibu dan memiliki anak? Tuhan, kapankah itu akan terjadi? Aku ingin segera bertemu dengan belahan jiwaku, berikrar janji lalu dikaruniai beberapa orang anak. Akan aku bacakan cerita-cerita menarik pada anakku kelak. Jika ia suka menggambar, akan kuajarkan ia menggambar. Ah, akan aku ajarkan apa saja yang aku bisa.

Kupandangi lagi Tayara. Keponakanku yang cantik dan pintar itu.
“Tayara mau sepatu bergambar putri cantik?” tanyaku.
“Mau, Tante. Warnanya pink ya?” sahutnya.
Ibunya bilang, Tayara memang sangat suka warna pink. Semua pakaiannya berwarna merah muda. Tas sekolahnya, tempat pensil, tempat kue, tempat air minumnya, semua berwarna merah muda.
“Oh, tentu saja. Tayara kan Putri Pinky...” kataku.
“Apa itu Putri Pinky, Tante?’
“Putri Pinky adalah gadis kecil yang suka sekali warna pink, seperti Tayara.”
Tayara hanya tersenyum sipu.
Aku senang melukis di sepatu kanvas. Bahkan itu kujadikan usaha kecil-kecilan. Ingin kuhadiahkan sepatu berwarna pink yang kugambar sendiri untuk keponakanku tercinta itu.

Ia memilih gambar Belle si beauty dalam dongeng Beauty and The Beast dan gambar Putri Aurora si Putri tidur untuk digambar di sepatunya nanti. Aku berjanji akan segera membuatkan sepatu pesanannya itu.
Setelah sepatu untuknya selesai kubuat, kuminta Tayara beserta Ayah, Ibu dan adiknya datang ke rumahku. Ia senang sekali menerima sepatu bergambar putri cantik berwarna pink itu. Aku tak kalah senangnya melihat ia senang.
Bangga sekali rasanya, aku bisa menghadiahkan sesuatu yang spesial untuk keponakan cantikku itu.

“Tante, cerita tentang Putri Tayara sudah ada?” tanyanya menagih ceritaku yang tokohnya memakai namanya kepadaku.
“Sabar ya sayang, semoga segera dimuat. Nanti pasti akan Tante bacakan untuk Tayara” jawabku.
Ia mengangguk dan tersenyum senang.
Tuhan, setiap melihat keponakan cantikku itu, kerinduanku akan hadirnya belahan jiwaku semakin membuncah. Kapankah Engkau pertemukan aku dengannya, Tuhan? Izinkanlah aku merasakan jatuh cinta lagi.
Melihat keponakan cantikku itu, mulai memunculkan keyakinanku untuk tak lagi takut jatuh cinta. Aku mulai berani berharap, segera kutemukan cinta sejatiku. Cinta yang tak lagi salah alamat. Cinta yang jatuh pada lelaki yang tepat, yang memang layak untuk aku cintai.

Akan kutunggu saat itu tiba. Sementara waktu menunggu kehadiran sang “belahan jiwa” dalam hidupku, biarlah kutebarkan cinta yang memenuhi hatiku ini untuk keponakan-keponakanku, Bapak Ibuku, adik-adikku, saudara-saudaraku serta teman-temanku.
Kuyakinkan dalam hati, saat itu pasti datang, saat-saat indah perjumpaanku dengan belahan jiwaku yang kini entah masih berada di mana.
Cepatlah datang, belahan jiwa. Kutunggu kehadiranmu, sayang!

Minggu, 13 Maret 2011

Tahun 2010, Tahun terima kasih

Apa yang bisa kusebut tentang tahun 2010 yang baru saja kita tinggalkan? Bagiku adalah tahun terima kasih. Walau statusku masih belum berubah, tetep single and very happy, tapi begitu banyak pihak yang membantuku melebihi dari yang aku harapkan.

Setelah tahun sebelumnya, 2009, rasanya menjadi tahun yang paling kelam, jatuh bangun beradaptasi dengan keputusanku sendiri mengubah profesi dari menjadi orang gajian menjadi orang yang harus mampu menggaji dirinya sendiri.

Awal tahun 2010, aku masih tak tahu apa yang ingin aku kerjakan. Tapi dimuatnya cerpenku berturut-turut di awal bulan Januari, satu di majalah Kawanku dan satunya di Kompas Anak, mulai memberikan titik terang bahwa aku harus mulai menulis lebih banyak lagi. Apalagi kemudian aku bertemu kembali dengan Achi TM teman yang dulu sama2 menggali ilmu kepenulisan, bedanya Achi telah menjadi penulis hebat, sementara aku masih baru memulai lagi. Achi lah yang pertama meyakinkan aku untuk berani mulai membukukan karyaku yang selama ini hanya baru berupa cerpen. Maka aku pun ikut serta dalam proyeknya, Kolase.

Dengan kerja keras bersama semua teman yang terlibat dalam Kolase, pada bulan Juni akhirnya Kolase lahir. Senangnya bukan main. Dan anehnya, rasanya itu menjadi pencetus pertama untuk lahirnya buku-bukuku selanjutnya, berturut-turut terbitlah antologiku yang lain, Anak Kos Gokil, Crazy Moment, Lovely Ramadhan, dan di penghujung tahun Be Strong #5.

Sungguh tak menyangka aku bisa mencapainya, karena semua itu mengalir begitu saja tak kubayangkan akan terjadi ketika memasuki awal tahun 2010 dulu. Apalagi kemudian cerpen-cerpen yang sudah kutabung di tahun 2009, bermunculan berturut-turut dimuat di majalah TEEN, STORY, SAY dan majalah BOBO, total cerpenku yang dimuat mencapai 16 cerpen selama tahun 2010. Lumayanlah untuk aku yang masih pemula ini.

Selain itu, sudah berapa banyakkah sepatu lukis yang telah kubuat? Tak pernah kuhitung, rasanya sudah hampir mencapai seratus lebih, aku bisa melihatnya dari foto-foto sepatu lukis yang kupajang di albumku di FB. Pun sudah berkelana ke mana-mana, Bogor, Sukabumi, Garut, Cirebon, Semarang, Jogja, Solo, Kebumen, Kediri, Surabaya, Medan, Balikpapan, Samarinda, Makassar hm, dan kemana lagi yaaa... tak pernah kuhitung. Bahkan ada juga sepatu lukisku yang sampai ke Amsterdam, Holland (karena dipesan oleh sepupuku yang tinggal di sana, dan katanya semua temannya yang melihatnya berkomentar : “Your shoes is so cuteeee!!”, tapi sayangnya cuma komentar doang ga ada yang ikutan pesen, hehehe).

Maka tahun 2010 adalah tahun aku berterima kasih pada banyak teman yang telah mendukungku dalam semua pencapaianku ini, rasanya pasti tak cukup bila kusebutkan satu persatu. Begitu banyak yang telah membantuku, jika teman-teman membaca noteku ini, pasti tahu bahwa terima kasih ini kusampaikan untuk teman-teman. Yang telah memberikan selalu dukungan, yang telah memesan sepatu lukis hasil karyaku. Ah, daftarnya akan terlalu panjang jika kutulis di sini.

Terima kasih kepada Allah SWT tentunya atas segala karunia ini. Terima kasih kepada kedua orangtuaku dan kedua adikku yang selalu mendukung apa saja kegiatanku karena mereka percaya aku bisa

Terima kasih untuk teman-teman semua yang telah berkenan menjadi temanku, yang selalu memberiku semangat untuk terus maju dan percaya bahwa aku bisa jika mau.Semoga pertemanan kita akan terus berlanjut di tahun ini, bahkan mungkin lebih erat lagi. (Hehehe, terima kasihnya panjang banget lagaknya kayak menang oscar... ^_^ )

Lalu apa tekadku tahun ini? Menerbitkan buku dan memuat cerpen lebih banyak lagi? Insya Allah. Turun sepuluh kilo? Masih tetep. Dan tentu saja ingin segera pensiun jadi single(gimana caranya, ya??? ^_^ )

Biar kujalani saja tahun ini dengan semangat untuk selalu menghasilkan karya dalam bentuk apa pun asalkan positif. Hasilnya bagaimana? Biarkan waktu yang menjawab...



KOLASE SEASON 2, kumpulan cerpen



KOLASE SEASON 2!!


Tebal : 289 halaman
Penerbit: Rumah Pena, Indie Publishing
Harga : Rp 44.000,-, pre order diskon 10 % = Rp 40.000,-

Lebih banyak kisah, lebih banyak intrik, lebih banyak perjuangan hidup...
Mengusung kenyataan bahwa LIFE IS NEVER FLAT....
Hidup itu bergelombang...(kriuk,kriuk!...sambil makan kripik yang bentuknya bergelombang, hehehe)




KOLASE SEASON 2...merangkum 25 cerpen ciamik dari 25 penulis yang tersebar dari berbagai daerah di Indonesia.

Dimulai dari Perjalanan...

Kebimbangan seorang gadis untuk memilih, meneruskan perjalanannya atau justru mengurungkannya, beranjak ke sebuah kisah cinta di panti asuhan, cinta yang mengusik naluri keibuan seorang perempuan, cerita beralih pada belati yang memiliki kisah panjang dan berakhir melenceng dari niat awal pembuatannya.

Apa jadinya jika seorang anak yang resah menghadapi perubahan bentuk tubuhnya, seorang duda yang kebingungan menghadapi putrinya yang beranjak remaja dan seorang perempuan dewasa yang lelah mencari belahan jiwanya bertemu?

Perjuangan seorang anak menyatukan kembali kedua orangtuanya, kisah perebutan sebutir telur di penjara, elegi kembang desa yang kecantikannya tak abadi, misteri di hutan belantara Kalimantan, perselisihan dua saudara yang berakhir pilu, kisah penjual pigura bertangan satu, perjalanan tobat seorang mantan narapidana, kisah dua lelaki bias gender, ketegaran seorang gadis menghadapi penyakit mematikan, lalu ada apa dengan Rum dan sepotong singkong?

Ada pula curhatan seorang ibu muda yang kadang berubah menjadi monster saat menghadapi jagoan ciliknya, kebingungan seorang tukang becak ketika harus memilih pemimpinnya, seorang anak yang mencari ibunya yang telah lama menghilang,di sisi lain justru ada seorang anak yang menolak bertemu dengan ayahnya yang dulu tega meninggalkannya...

Hati tersentuh kala mendengar kisah miris dua gadis kembar, perebutan warisan yang berakhir mengejutkan, keinginan seorang gadis sekarat untuk kembali ke jalan yang benar, apa yang terjadi saat senja terakhir di taman kota?

Apakah ada persamaan antara almanak dan ramalan Jayabaya? Ada apa dengan indera keenam Jesica? Bagaimana nasib seorang penebang pohon yang tersesat dalam belantara hutan lalu dikeroyok seluruh penghuni hutan? Kemudian pepohonan hutan melilitnya menuntut balas...

Begitu banyak kisah menarik yang layak untuk disimak. Dan ketika kita membacanya, bagaikan menyaksikan potret kehidupan...DARI BALIK JENDELA.

1. Perjalanan ~ Tochterty
2. Memilihmu Bukan Karena Mata Indahmu ~ Reni Erina
3. Belati Pak Pande ~ Retno Adjie
4. Deja vu ~ Arumi Ekowati
5. Mencari Ayah ~ Mpok Mercy Sitanggang
6. Sebutir Telur, Setangkup Kopi dan Secangkir Roti ~ Achi TM
7. Coblos Senyum ~ Fadila Hanum
8. Elegi Samirah Ayam Kampung Kondang ~ Mokes Smokes
9. Sampai Mama Sembuh ~ V-Lizia
10. Oh, Boy! ~ Nando
11. Belantara ~ Yessita Dewi
12. Penjual Pigura Bertangan Satu ~ Widuri Al-Fath
13. Pinang Sebelah ~ Jowindi
14. Rum dan Sepotong Singkong ~ Dewi Irianti
15. Dis-Euqilibrium ~ Lulu El Maknun
16. Sebilah Pisau Tumpul ~ Sarah El-Zohra
17. Senja Terakhir di Taman Kota ~ Wahyu Widyaningrum
18. Warisan Ambu ~ Ina Inong
19. Hari Bersamanya ~ Evie
20. Si Bengis, Malaikat Pelindungku ~ ABee
21. Di Bawah Langit-Mu ~ Riri Ansar
22. Mencari Jalan Pulang ~ Putri Zakiyyah
23. Almanak ~ Poncowae Lou
24. Human Nature ~ Rachma MJ
25. Jesica ~ Youneeq

Buat temen2 yang berminat pesen buku ini, email aja ya ke rumieko@yahoo.com...Thanks yaa...