Laman

Selasa, 10 Januari 2012

Cerpen : KUNANG – KUNANG CINTA



Selamat tahun baru 2012 teman-teman....Mengawali tahun baru ini, aku ingin sharing cerpen duetku bersama sahabatku Riri Ansar yang sama-sama hobi menulis. Cerpen ini fiksi, tapi terinspirasi dari kisah nyata gadis cilik penderita kanker bernama sayitri. semoga bermanfaat bagi yang membaca. Enjoy it. :)


KUNANG – KUNANG CINTA
~ Riri Ansar & Arumi Ekowati ~

Gayatri melangkah terburu-buru keluar kelas, dengan langkah hampir setengah berlari. Ia harus segera sampai di rumah, menyiapkan santap siang untuk neneknya. Harus, karena hanya dia yang tinggal bersama neneknya. Tak ada waktu untuk bercengkrama dengan teman-temannya sepulang sekolah. Termasuk tak ada waktu untuk melayani rayuan Bisma. Sebenarnya, itu bukan rayuan, hanya permintaan Bisma untuk mengantarnya pulang bareng. Sudah berkali-kali ia menolaknya, tapi Bisma seperti tak pernah surut langkah membujuknya.
“Tri, kamu mau pulang bareng denganku?” tanya Bisma mencegat Gayatri.
“Nggak usah, Bisma, aku bisa pulang sendiri.” jawab Gayatri sopan.
“Rumah kita berdekatan. Nggak ada salahnya kan pulang bareng?” bujuk Bisma.
“Justru aku nggak enak kalau kita pulang bareng. Apa kata teman-teman nanti jika melihat kita boncengan.” sahut Gayatri sambil tersenyum, tak dikuranginya sedikit pun kecepatan langkahnya.
“Atri!” Bisma mengejar Gayatri, hingga menjejeri langkah Gayatri sambil tetap menuntun sepedanya.
“Kenapa sepedamu selalu kau tuntun begitu? Sepedamu jadi tak ada gunanya.” kata Gayatri, matanya melirik ke arah Bisma yang berjalan di samping kanannya.
“Aku tak akan mengayuhnya sampai kau mau aku bonceng.” sahut Bisma
“Apa kamu nggak capek, Bisma?” tanya Gayatri heran.
“Harusnya aku yang bertanya, apakah kamu nggak capek, Tri? Bukankah kau akan lebih cepat sampai ke rumahmu jika kau mau membonceng sepedaku?” Bisma balik bertanya.
“Aku nggak mau merepotkanmu, Bisma.”
“Aku nggak merasa repot.”
Gayatri enggan menyahut lagi. Ia mempercepat langkahnya tanpa memedulikan Bisma. Bisma membiarkan Gayatri berjalan di depannya. Sementara, ia mengikuti dari belakang sambil tetap menuntun sepeda tuanya. Bisma menghela nafas panjang. Ia kehabisan akal mencari cara mengembalikan keceriaan Gayatri. Ia menyesal tak bisa lagi melihat lekukan kecil di kanan kiri pipi gadis itu yang muncul tiap kali ia tersenyum.
Senyum khas Gayatri lenyap bersamaan dengan kepulangan ibunya dari Malaysia dalam keadaan sekarat. Bukan, ibu Gayatri bukan korban kekejaman majikan seperti yang sering diberitakan di televisi. Ibu Gayatri dipulangkan majikannya karena sakit-sakitan akibat kanker yang dideritanya. Tak lama setelah kepulangannya, ibu Gayatri wafat. Bisma ingat bagaimana Gayatri tak berhenti menangis melihat tubuh ibunya yang terbujur kaku. Sudah lima bulan berlalu sejak kematian ibunya, tapi keceriaan Gayatri tak pernah kembali.
***
Gayatri tak bisa melupakan kejadian tadi siang. Saat Argan tak sengaja menubruk tubuhnya. Ketika itu ia sibuk memerhatikan buku-buku yang baru saja dipinjamnya dari perpustakaan, hingga tak melihat ada seseorang melangkah tepat ke arahnya.
“Eh, maaf!” seru Argan tadi siang.
Lalu tanpa diminta, Argan segera mengambilkan buku-buku Gayatri yang berjatuhan di lantai. Gayatri tercengang. Ia tahu siapa Argan. Siapa yang tak kenal Argan di desa ini. Anak pak lurah. Pujaan banyak gadis di desanya ini. Yang membuat Gayatri tercengang, Argan yang selama ini seolah tak terjangkau olehnya, meminta maaf lebih dulu, bahkan bersedia memungut buku-bukunya yang berjatuhan.
“Terima kasih, Kak.” ucap Gayatri saat Argan menyerahkan buku-buku itu kepadanya.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Argan.
Gayatri bengong sesaat dan sedikit gelagapan saat menjawab,
“Saya nggak apa-apa, Kak!”
“Maaf, ya, aku yang salah, berjalan sambil sms-an, jadi tak melihat ada orang lain.”
“Eh, saya juga salah, Kak. Jalan sambil menunduk.”
Syukurlah kalau kamu nggak apa-apa. Sudah ya?” kata Argan seraya tersenyum, lalu melangkah pergi. Meninggalkan jejak di hati Gayatri. Membuat ia memikirkan Argan hingga malam ini. Lalu, buku hariannya hari ini terasa berbeda dibanding hari-hari sebelumnya yang suram. Ia tersenyum, kemudian menuliskan kejadian siang tadi dalam buku hariannya dengan kalimat pembuka,
Hari ini aku senang sekali…
***
Hari minggu ini Gayatri menemani neneknya bekerja di sawah. Ia tak tega membiarkan neneknya sendirian bekerja keras di usianya yang telah lebih dari separuh baya. Andaikan bisa, ingin rasanya ia menggantikan neneknya bekerja. Tapi ia harus sekolah. Neneknya yang selalu menyemangatinya sekolah. Belum lagi ia ingat pesan terakhir ibunya, agar ia tak berhenti menuntut ilmu, karena ilmu itu adalah harta yang tak ternilai. Untunglah bapaknya yang bekerja sebagai buruh serabutan di Jakarta masih bisa mengirimkan uang untuk biaya sekolahnya.
Sawah ini hanya sepetak kecil. Peninggalan kakeknya dahulu. Saat ini adalah saat menanam, setelah selesai menanam, neneknya tak perlu datang ke sawah sepanjang hari, kecuali melihat keadaan sawahnya dan memberi pupuk. Gayatri melirik neneknya yang terus menanam bibit-bibit padi dengan cekatan. Ada rasa kasihan di hatinya melihat neneknya itu. Ia bertekad akan membantu neneknya sebisa mungkin, di sela-sela tugas-tugas sekolahnya.
Sinar mentari semakin menyengat. Tiba-tiba saja Gayatri merasakan nyeri di kepalanya. Rasanya bagaikan ada ribuan kunang-kunang menyerangnya. Lalu semua tampak gelap dan beberapa detik kemudian tubuhnya merosot jatuh di atas pematang sawah.
***
“Atuh kumaha, Neng? Kamu kenapa tiba-tiba pingsan tadi?” Suara halus neneknya dengan logat sunda yang kental lamat-lamat terdengar di telinga Gayatri.
Gayatri membuka matanya. Kepalanya masih terasa berdenyut.
“Entahlah Nek, tadi rasanya kepala Atri pusing sekali. Seperti diserbu ribuan kunang-kunang.” sahut Gayatri.
“Sini, nenek kerik badan kamu pakai ramuan bawang. Masuk angin ini kamu, Neng.” kata neneknya lagi.
Gayatri tak menolak ketika neneknya membuka pakaiannya, lalu melumuri punggungnya dengan minyak kelapa bercampur tumbukan bawang merah. Sesekali ia mengernyit menahan perih, saat kulit punggungnya dikerik dengan uang logam lima ratus rupiah. Mungkin benar kata neneknya, ia hanya masuk angin.
***
“Gayatri!”
Gayatri ragu untuk menoleh. Tapi seingatnya itu bukan suara Bisma yang ia kuatirkan akan memaksanya pulang bareng lagi. Gayatri melongo tak percaya melihat sosok yang menyebutkan namanya tadi.
“Kak Argan?” Dia heran, bagaimana anak pak lurah itu bisa tahu namanya? Ia bukan siapa-siapa. Berkenalan pun tidak pernah.
“Mau kuantar pulang?” tanya Argan dengan senyumnya yang menawan. Ia duduk di atas sebuah motor matik yang tampak baru.
“Saya, Kak? Tapi…eh, maaf, kenapa kak Argan mau mengantar saya pulang?” tanya Gayatri semakin heran.
“Karena kulihat kamu jalan sendiri hampir setengah berlari. Rumahmu cukup jauh juga, kan? Kuantar kamu sampai depan kantor kelurahan, dari situ kau hanya tinggal berjalan sedikit lagi ke rumahmu.”
Gayatri kembali melongo. Argan tahu di mana rumahnya? Bagaimana bisa?
“Tapi Kak…”
“Sudahlah! Nggak apa-apa. Ayo membonceng di motorku.” kata Argan.
Sesungguhnya Gayatri memang tak ingin menolak. Ini seperti mimpi di siang hari. Argan yang beberapa hari ini membuatnya senang, yang membuatnya sering mencuri pandang saat kebetulan berpapasan di lingkungan sekolah, justru menawarkan mengantarnya pulang. Segera ia duduk di boncengan motor Argan dan sedikit ragu menggenggam ikat pinggang Argan di kanan kiri sebagai pegangan.
Bisma patah hati melihat adegan itu. Ia kecewa pada Gayatri. Gayatri menolak membonceng di sepedanya yang memang sudah tak mentereng lagi. Tapi tak menolak membonceng di motor baru Argan anak pak lurah. Hati Bisma terasa ngilu.
***
Pagi ini Gayatri berjalan menuju sekolahnya dengan hati riang. Hari-hari belakangan ini ia semakin semangat berangkat ke sekolah. Tentu saja karena Argan. Tak bisa dipungkiri, hatinya melambung menerima segala perlakuan Argan kemarin. Walau ia masih tak tahu apa maksud Argan sebenarnya, ia tak peduli. Itu sudah cukup membuat keceriaannya kembali. Lesung pipinya kembali sering terlihat. Sapaan ramahnya kembali mencerahkan hari setiap orang yang ditemuinya.
“Atri!”
Gayatri tahu, kali ini Bisma yang memanggilnya. Ia menoleh dan tersenyum manis.
“Kuantar ke sekolah yuk!” ajak Bisma.
Hati Gayatri sedang senang. Ia tak keberatan berbagi kebahagiaan. Maka tak ditolaknya tawaran Bisma itu. Ia segera duduk di boncengan sepeda Bisma. Membuat Bisma bahagia dan melupakan kekecewaannya kemarin. Bisma tersenyum lebar sambil mengayuh sepedanya penuh semangat. Ia bertekad, sepulang sekolah, ia akan mengantar Gayatri pulang.
Tapi nyatanya Bisma ragu menghampiri Gayatri yang berjalan cepat-cepat sejak keluar kelas seusai jam pelajaran terakhir. Ia hanya memerhatikan dari belakang. Ingin tahu, apakah Argan akan menawarkan mengantar Gayatri pulang lagi.
Argan baru muncul setelah mereka cukup jauh meninggalkan sekolah. Gayatri mengenal suara motor Argan. Segera ia menoleh dengan hati berbunga-bunga. Tapi bunga-bunga di hatinya itu mendadak layu saat dilihatnya Argan tidak sendiri di atas motornya. Ada gadis lain yang juga mengenakan seragam putih abu-abu membonceng di motor Argan. Gadis itu memeluk pinggang Argan tanpa malu-malu. Argan berlalu begitu saja melewati Gayatri tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Senyum manis segera lenyap dari wajah Gayatri
Bisma cepat-cepat menghampiri Gayatri yang kini melangkah gontai.
“Atri, aku antar yuk!” sapa Bisma.
Gayatri hanya menoleh sekilas. Ia terlihat enggan menjawab. Tiba-tiba saja Gayatri merasakan kepalanya kembali berdenyut. Lalu, pandangannya kabur, bagaikan ribuan kunang-kunang menyerangnya. Tubuhnya lunglai hampir jatuh. Dengan sigap Bisma menangkap tubuh Gayatri.
“Tri, kamu kenapa?” tanya Bisma bingung.
Gayatri masih sempat berucap, “Kunang-kunang…” sebelum akhirnya ia jatuh tak sadarkan diri dalam pelukan Bisma.
Susah payah Bisma mendudukkan Gayatri di boncengan sepedanya, lalu ia biarkan tubuh Gayatri bersandar di bahu kanannya. Sekuat tenaga Bisma menuntun perlahan sepedanya menuju rumah Gayatri.
***
“Terima kasih, Bisma. Kamu sudah menolongku dan mengantarkan aku sampai rumah. Kalau nggak ada kamu, apa jadinya aku pingsan di jalan.” ucap Gayatri.
“Kamu nggak mungkin pingsan di jalan sendirian, Tri. Karena sebenarnya, aku selalu ada di belakangmu.” sahut Bisma sambil tersenyum.
Gayatri menatap mata Bisma dalam-dalam. Ia memang merasakan ada rasa sayang di situ. Yang selama ini tak pernah ia gubris.
“Kamu memang teman yang baik, Bisma.” kata Gayatri membalas tersenyum.
“Ada apa denganmu, Tri? Kenapa mendadak pingsan?” tanya Bisma.
“Entahlah. Sekarang ini kepalaku sering terasa sakit sekali. Jika sakit itu menyerang, rasanya seperti ada ribuan kunang-kunang menyerbuku. Lalu semua menjadi gelap dan aku tak ingat apa-apa lagi.” jelas Gayatri.
“Sejak kapan kau merasa begitu?” tanya Bisma tampak cemas.
“Beberapa bulan yang lalu. Akhir-akhir ini aku semakin sering pingsan. Setiap kali aku merasa sedikit lelah, kepalaku rasanya langsung berdenyut.” jawab Gayatri.
“Mulai besok dan seterusnya, aku akan memboncengmu pergi dan pulang sekolah. Kamu nggak boleh menolak, Tri. Aku nggak mau kamu terlalu capek.” kata Bisma.
Gayatri tersenyum. Ia bisa membaca ketulusan hati Bisma. Ah, kenapa selama ini ia tak menyadarinya?
“Baiklah aku tak akan menolak.” sahut Gayatri.
Bisma tersenyum senang. Ia bertekad akan selalu menjaga Gayatri. Tak akan dibiarkannya Gayatri kembali diserbu ribuan kunang-kunang.
***
“Kau bawakan aku kunang-kunang, Bisma?” tanya Gayatri heran.
Ini malam minggu. Aneh, Bisma mendadak berkunjung ke rumahnya, membawa setandan pisang raja dan sebuah toples kaca bening berisi kunang-kunang.
“Apakah seperti ini kunang-kunang yang sering menyerbu kepalamu?” tanya Bisma.
“Tidak, kunang-kunang ini jauh lebih cantik. Darimana kau mendapatkannya?”
“Di lereng bukit, aku menangkapnya kemarin malam.”
Gayatri tertegun, memandangi Bisma hampir tanpa kedip.
“Aku tak menyangka kau menangkap kunang-kunang untukku.”
“Karena kau bilang sering diserbu kunang-kunang, aku jadi penasaran bagaimana rupa kunang-kunang sebenarnya. Aku dengar di lereng bukit masih banyak kunang-kunang di malam hari. Aku berusaha menangkapnya beberapa. Hanya dapat sepuluh ekor.”
“Tentu saja bukan kunang-kunang seperti ini yang menyerbu kepalaku, Bisma. Kunang-kunang yang menyerbu kepalaku adalah kunang-kunang yang mematikan.”
Bisma tercekat mendengar kalimat Gayatri itu.
“Tri, kenapa kamu bicara begitu?” tanya Bisma gundah.
“Terima kasih kau sudah membuat aku melihat kunang-kunang sungguhan. Ini sudah cukup, mereka bisa mati kalau dibiarkan di dalam toples terlalu lama.”
Gayatri meraih tangan Bisma, menuntunnya ke pinggiran kebun depan rumahnya. Suara jangkrik yang bersahutan menghiasi malam. Tak ada cahaya di hamparan kebun itu. Bulan tak sedang purnama. Hanya kerlap-kerlip bintang tampak di langit.
“Bukalah toples ini, Bisma.”
Bisma menurut. Ia membebaskan sepuluh kunang-kunang yang dengan susah payah ia kumpulkan kemarin malam. Membiarkan mereka terbang ke arah hamparan kebun. Menciptakan titik-titik cahaya kuning di beberapa tempat.
“Pernahkah kau mendengarkan nyanyian kunang-kunang?” tanya Gayatri.
“Ah, tak mungkin kunang-kunang bisa bernyanyi.” jawab Bisma.
“Jika aku sudah tak ada, aku akan menjelma menjadi kunang-kunang dan akan bernyanyi untukmu.” ucap Gayatri.
“Gayatri, jangan bicara seperti itu.” sahut Bisma kembali gundah.
“Sakit kepalaku semakin sering menyerang. Mungkin ini sakit yang sama dengan sakit yang diderita ibuku dulu. Katanya penyakit seperti itu bisa menurun.”
“Gayatri… Aku sayang kamu.” ucap Bisma hampir lirih.
Gayatri meraih tangan Bisma dan menggenggamnya erat.
“Terima kasih sudah menyayangi aku, Bisma.”
Hanya itu jawaban Gayatri. Ia enggan menjanjikan terlalu banyak kepada Bisma. Ia takut tak bisa menepatinya. Tiba-tiba Gayatri meringis menahan sakit. Sekali lagi, rasanya seperti ada ribuan kunang-kunang menyerbu kepalanya. Padahal ia sedang tak merasa lelah. Ia justru sedang merasa bahagia karena merasakan kasih sayang Bisma.
Pandangan Gayatri mulai mengabur. Ia tak bisa melihat apa-apa, hanya titik-titik warna kuning laksana ribuan kunang-kunang mengelilinginya. Lalu semua berubah gelap.
“Bisma, ini kunang-kunang cinta…” ucap Gayatri lirih, kemudian ia jatuh dalam pelukan Bisma.
~ Tamat ~

Dedicated to : Gadis manis bernama Sayitri

1 komentar: