Laman

Senin, 10 Maret 2014

Memory Kuliah part 1 : Jurusan Arsitektur? Siapa takut?

3D Max hasil karyaku. Simple banget ya ^_^
Foto by Arumi

Yup, aku ingin berbagi pengalaman saat kuliah dulu. Siapa tahu ada teman-teman yang tertarik masuk jurusan Arsitektur juga?

Sebelum memutuskan kecemplung dunia arsitektur, bolehlah baca kisahku ini dulu ... ^_^

Orang bilang, masa kuliah adalah saat yang menyenangkan. Hm, rasanya itu memang benar. Setelah sembilan tahun menjalani sekolah dasar sampai menengah atas selalu mengenakan seragam, masa kuliah menjadi begitu meyenangkan karena aku bisa ke kampus berpakaian bebas. Asalkan pantas, rapih dan sopan. Rasanya lega bisa tampil sesuai jati diri sendiri.

Lulus dari SMAN 78 Kemanggisan Jakarta Barat, aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikanku ke Universitas Trisakti Jakarta, jurusan Arsitektur. Mengapa aku memilih jurusan Arsitektur? Tentu saja karena aku sangat suka menggambar.

Sebenarnya, jurusan Arsitektur bangunan bukan pilihan utamaku. Itu pilihan kedua. Pilihan pertamaku adalah desain grafis. Aku mengikuti dua macam tes di kedua jurusan itu. Keduanya sama-sama harus melalui tes menggambar. Di jurusan Grafis, aku harus menggambar kaleng coca cola dan botol minuman dengan detail secara manual hanya menggunakan pensil, sedangkan di jurusan Arsitektur aku harus menggambar bangunan kampus juga secara manual hanya menggunakan pensil. Tapi akhirnya aku diterima di jurusan Arsitektur. Kuhadapi saja kenyataan ini dengan ikhlas, toh di jurusan Arsitektur juga dibutuhkan keterampilan menggambar, walau pun aku masih harus mempelajari matematika, mekanika tanah, fisika bangunan dan struktur konstruksi, pelajaran-pelajaran yang cukup bikin kening berkerut.

“Sudah nggak apa-apa, baguslah jurusan Arsitektur, kan keren nanti lulus jadi Arsitek. Lagian, nanti bisa bikin usaha bareng sama tante yang desainer interior.”

Tanteku ikut memanas-manasi aku. Tanteku adalah alumni Universitas Trisakti Jakarta jurusan desain interior. Dia yang menyarankan aku memilih jurusan Arsitektur. Ini maksudnya Arsitektur bangunannya ya, kalau bilang Arsitektur saja, artinya arsitektur bangunan. Bukan Arsitektur lansekap. Jurusan yang aku pilih ini arsitektur yang merancang bangunan dan gedung-gedung tinggi. Termasuk dalam Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan.

Aku memang suka menggambar. Itu adalah keahlian dasar yang dibutuhkan untuk menekuni ilmu Arsitektur. Maka, kujalani saja kuliahku di jurusan Arsitektur ini. Benar juga kata Tanteku, bakalan keren saat lulus nanti aku akan disebut Arsitek. Senyumku pun mengembang membayangkannya.

Pendidikanku di jurusan Arsitektur, dimulai dengan masa-masa mapram selama sebulan. Aku dan teman-temanku sesama mahasiswa-mahasiswi baru harus rela dan pasrah menjadi bulan-bulanan para senior. Kami harus meminta tandatangan semua kakak senior. Untuk mendapatkan satu tanda tangan saja, harus melalui berbagai ujian yang seringkali memalukan.
Tapi karena aku sudah bertekad ingin menikmati masa-masa mapram, cuek saja deh, buang jauh-jauh rasa malu.

Sebagai sesama mahasiswa-mahasiswi baru, kami saling dukung satu sama lain. Kami sadar, masa mapram di dunia kampus hanya akan kami alami sekali seumur hidup. Kelak akan menjadi momen bersejarah dalam hidup kami, menjadi kenangan tak terlupakan.

Aku dan teman-teman satu jurusan Arsitektur Trisakti saat masa ospek
Aku yang mana ya? ^_^
Foto by Arumi

Setelah selesai masa-masa penataran dan mapram yang menyenangkan, aku harus mulai konsentrasi menghadapi mata kuliah yang beragam. Berhadapan dengan dosen-dosen dengan berbagai karakter. Ada dosen ganteng, dosen baik hati, dosen galak, dosen yang jarang sekali datang dan macam-macam karakter dosen lainnya.

Seperti yang telah kusebutkan sebelumnya, kuliah Arsitektur tak luput dari pelajaran matematika. dan ternyata, banyak sekali teman-temanku yang sama denganku, kurang suka dengan pelajaran matematika.

“Heran, masih ada aja ya pelajaran matematika. Kirain terakhir waktu SMA,” keluh salah satu temanku.
“Iya, padahal gue juga paling alergi deh sama pelajaran matematika. Apalagi Trigonometri. Ampun deh,” aku ikut mengeluh.

Karena jurusan Arsitektur didominasi mahasiswa-mahasiswi yang lebih mahir menggambar daripada matematika, maka pelajaran matematika menjadi momok yang mengerikan bagi kami. Nilai matematika kami pun jarang yang bagus. Aku hanya mendapat nilai C. Itu saja sudah lumayan, karena beberapa temanku ada yang harus mengulang mata kuliah matematika ini.

“Memangnya apa hubungannya sih, matematika sama bangunan?” protes salah satu temanku yang pernah mengulang mata kuliah ini.

“Saudara-saudara, tolong jangan sepelekan mata pelajaran matematika. Ingat, matematika itu penting! Apalagi kalian mempelajari Arsitektur. Nanti akan banyak terlibat dengan hitung menghitung. Menghitung struktur, menghitung anggaran biaya proyek, semua butuh ilmu matematika.”

Begitu penjelasan Dosen matematikaku yang prihatin melihat nilai anak didiknya yang sangat payah.

Jangan heran ketika Dosen menyebut mahasiswa-mahasiswinya dengan sebutan saudara-saudara atau anda. Karena begitulah di dunia perkuliahan. Kami dianggap telah cukup dewasa dan tak pantas lagi disebut anak-anak.

Jika matematika adalah pelajaran yang bikin aku ketar-ketir, mata kuliah Apresiasi budaya menjadi mata kuliah yang bikin aku deg-deg-an setengah mati. Bukan karena materinya sulit, tetapi karena dosennya super duper sangat galak sekali >.<

Entah mengapa dosen yang satu ini senang sekali marah-marah. Jangan pernah telat ketika mengikuti mata kuliahnya. Terlambat semenit saja, tak bakal diijinkannya mengikuti mata kuliahnya.

Beliau juga seringkali menggebrak-gebrak meja. Jangan-jangan dosenku itu terinspirasi penjual soto gebrak yang top itu ^_^

Tak ada satu pun dari kami yang berani protes. Kami mahasiswa-mahasiswi baru, tak mungkin berani protes. Dan ujiannya, entah mengapa sulitnya bukan main. Dengan teganya dosenku yang satu itu memberi kami nilai yang menakjubkan. Ada yang mendapat nilai C, D bahkan E. Yang mendapat nilai A dan B? Tentu saja tak ada.

Anehnya, dosenku yang satu ini sangat ramah dan baik hati pada satu temanku, Lia. Kami semua selalu ketakutan jika tanpa sengaja bertemu dengan dosen itu di luar jam kuliah. Tetapi kepada Lia, dosen itu malah menyapa dengan ramah. Membuat kami terbengong-bengong saking herannya.

“Eh, Lia. Kuliah apa hari ini?” tanya dosenku itu ketika tanpa sengaja beliau bertemu dengan Lia, aku dan dua temanku lainnya di dalam lift.
“Eh, pagi, Pak. Ada kuliah Metode penelitian, Pak.” jawab Lia sambil memasang senyum yang tampak oleh kami berusaha dimanis-maniskan.
“Oh...” hanya itu sahut dosenku.
“Saya duluan Lia.” kata dosenku lagi begitu pintu lift membuka  di lantai 2.
“Oh, iya Pak. Silakan.” jawab Lia sambil terus tersenyum.

Kami ikut tersenyum dan mengangguk ke arah Pak Dosen walau pun jelas-jelas tidak ikut disapa.
Setelah Pak Dosen berlalu dari hadapan kami, seketika kami membombardir Lia dengan bermacam pertanyaan.

“Nah ya? Lo ada hubungan apa tuh sama Pak Dosen.” seru Indah.
“Iya ih, mencurigakan, kok dia ramah banget sih sama elo? Udah gitu cuma elo yang disapa.”

Lala ikut berseru.

“Jangan-jangan Pak Dosen naksir lo ya?” Aku ikut menuduh.
“Yee, mana gue tau. Nggak tau gue, sumpah, gue juga kaget tadi disapa sama dia. Sekarang malah gue yang takut nih, kenapa dia ramah gitu sama gue?” Lia segera membela diri.

“Wah, nggak ada penjelasan lain nih, berarti memang Pak Dosen naksir elo nih. Pake jampi-jampi apa lo, Dosen paling galak justru ramah sama elo.” seru Indah lagi kelihatan penasaran banget.
“Sumpah, gue nggak tau..” Wajah Lia tampak kebingungan.

Tapi kemudian, Lia pun menjadi bulan-bulanan ledekan kami.

“Hati-hati Lia, malam minggu siap-siap aja diapelin Pak Dosen. Hehehe...” goda Lala.
“Ih, ogah banget. Dia kan udah punya anak istri,” sahut Lia.

Dan ledekan kami semakin menjadi-jadi ketika pada ujian akhir mata kuliah Apresiasi Budaya, Lia mendapat nilai B! Dan hanya dia yang mendapat nilai B! Nah lho!

“Liaaa...gue semakin curiga nih!” seru Indah yang protes keras karena lagi-lagi ia mendapat nilai D.
“Eeeh, nih ya, gue jelasin. Behenti deh curiga macem-macem sama gue. Pak Dosen tuh ternyata temennya mama gue waktu SMA dulu. Makanya dia ramah sama gue. Trus kalo soal gue dapet nilai B, itu mah karena memang gue belajar serius kalee...”

Lia membela diri.

“Ah, yang bener lo belajar serius?” tanyaku kurang yakin.

Lia mengangguk mantap.

“Hiks, kenapa sih nyokap gue bukan teman SMAnya Pak Dosen jugaa...masa nilai gue D terus...” ratap Indah.

“Udahlah, Ndah. Tabahkan hatimu. Kan nanti lo bisa ulang lagi tuh mata kuliah semester depan,” hibur Lia.

Indah malah meratap semakin keras.

Bersambung ...

Segini dulu kisah susahnya masa kuliahku dulu yaa ... tunggu lanjutannya.

Seru juga kalau ingat masa-masa dulu saat aku masih bergumul dengan dunia Arsitektur. Kalau sekarang sih aku lebih bersemangat menulis.

Dan ... terbitnya novel baruku di Gramedia Pustaka Utama semakin memantapkan aku untuk berkarir sebagai penulis. Aku senang sekali setiap kali mendapat respon dari pembaca yang menyukai tulisanku. Buat yang hobi membaca kisah romantis, yuuuuk, koleksi novel terbaruku : 
"HATIKU MEMILIHMU"



Jangan lupa, buat teman-teman yang berminat membaca buku-buku karyaku, yuuuk, silakan ... ^_^

Buku-buku karya Arumi E. yang telah terbit

Rabu, 05 Februari 2014

Pengalamanku : Kenangan Saat Menjadi Pengusaha Sepatu Lukis

Halo teman-teman. Apa kabar semua di musim hujan ini?

Semoga teman-teman selalu diberikan kesehatan, walau tantangan musim ini cukup berat. Walau bagaimana pun, hujan adalah anugerah Tuhan. Bersabarlah jika air yang melimpah ini memberi banyak cobaan. Semoga kita bisa melewatinya, dan tak ada lagi yang kebanjiran. Aamiin.

Kali ini aku ingin berbagi pengalamanku saat aku memutuskan tidak lagi mencari kerja sebagai arsitek, dan berpikir ingin menjadi pengusaha. Inilah kisahku ... yuk, baca sama-sama ^_^

Aku, melukis sepatu dan menulis buku ^_^

Tahun 2009, aku terpekur menghadapi kenyataan kembali kehilangan pekerjaan. Padahal rasanya saat itu adalah job description yang paling sesuai dengan yang aku inginkan. Namun apa daya, karena suatu masalah yang menimpa perusahaan tempatku bekerja, menyebabkan bosku terpaksa menutup usahanya.

Tiba-tiba saja aku enggan melamar menjadi pegawai lagi. Aku lelah jika harus memulai dari awal lagi. Di mana pun aku bekerja, rasanya tetap sama, aku hanyalah anak buah, yang harus menuruti ketentuan kantor dan menuruti perintah bos. Sudah lama memang aku bercita-cita kelak ingin memiliki usaha sendiri sehingga tak perlu lagi menjadi pegawai orang lain. Sesungguhnya aku tak betah dengan rutinitas kantor yang menjemukan. Apalagi jalanan di ibukota yang semakin padat membuatku kelelahan menempuh jarak pulang pergi dari rumahku ke kantor dan sebaliknya.

Anehnya, setelah selama sepuluh tahun berkecimpung di dunia Arsitektur, akhir tahun 2009 itu mendadak aku merasa jenuh dengan dunia itu. Aku tak punya niat sedikit pun memulai usaha sendiri di bidang Arsitektur. Tidak. Aku ingin mencoba sesuatu yang lain. Sesuatu yang beda dengan yang selama ini aku kerjakan. Aku pun memutuskan untuk mencoba usaha dari sesuatu yang menjadi hobiku. Kupelajari begitu banyak buku dan majalah mengenai usaha mandiri, mencoba mencari bidang usaha yang cocok untuk kutekuni dan modalnya terjangkau olehku. Selama berbulan-bulan aku mengadakan survei pribadi.

Awalnya aku tertarik untuk berbisnis jualan pernak-pernik aksesoris wanita, khususnya remaja putri. Karena aku sendiri sesungguhnya menyukai aksesoris-aksesoris funky itu. Aku pun mengadakan survei ke tempat yang banyak menjual pernak-pernik aksesoris wanita seperti Pusat Grosir Jatinegara dan Pasar Pagi Asemka. Menimbang-nimbang apakah modal yang aku punya cukup untuk memulai usaha itu.

Tapi ternyata butuh modal yang tak sedikit untuk memulai usaha berjualan aksesoris wanita. Aku pun mengurungkan niatku berusaha di bidang itu. Apalagi kemudian aku membaca sebuah informasi satu usaha yang sangat menarik minatku karena usaha itu bisa memanfaatkan keahlianku menggambar, yaitu usaha membuat sepatu lukis. Ya, aku bisa menggambar dan yang paling penting, aku suka menggambar. Lalu, bagaimana caranya aku memulai usaha ini?

Aku tak bertanya pada siapa pun bagaimana cara membuat sepatu lukis. Aku mencari sendiri segala informasi mengenai sepatu lukis melalui google. Mencari informasi bahan sepatu apa yang dapat dilukis dan cat apa yang biasa digunakan. Setelah semua informasi kukumpulkan, maka aku pun nekat memulai usaha ini. Aku memesan satu lusin sepatu kanvas putih polos dan seperangkat cat acrylic via online.

Perlahan aku mulai mencoba kemampuanku melukis di sepatu kanvas itu.
Terlebih dahulu kubuat sketsa dengan pensil 2B. Lalu sketsa yang kubuat itu kuwarnai dengan cat acrylic yang telah aku siapkan. Awalnya sangat sulit. Aku harus melapisi sepatu itu dengan tiga kali cat ulang. Terkadang aku salah mencampur warna. Aku mengalami beberapa kali kegagalan, walau akhirnya cat di sepatu kanvas itu bisa dikoreksi. Satu lusin sepatu kanvas polos yang pertama kubeli itu kupakai untuk bahan eksperimen.

Hasil karya sepatu lukisku yang pertama. Masih sederhana gambarnya

Setelah semua kulukis dengan warna-warni yang menurutku cukup menarik, lalu kucoba menitipkannya di toko pernak-pernik milik tetangga. Selama berbulan-bulan, tak ada yang berminat. Ternyata gambar di sepatu itu masih kurang menarik minat orang yang melihatnya untuk membeli. Akhirnya selusin sepatu lukis hasil lukisanku pertama itu kupakai sendiri, beberapa kuberikan untuk saudara-saudara dan ibuku. Aku hampir menyerah. Modal yang kukeluarkan cukup banyak, tapi tak satu pun sepatu yang menghasilkan uang.

Namun pesanan sepasang sepatu lukis dari seorang temanku menjadi awal yang baik yang kemudian memompa semangatku untuk terus berusaha mewujudkan mimpiku. Apalagi setelah sepatu temanku itu aku selesaikan, temanku sangat puas dengan sepatu lukis buatanku itu.

“Bagus, Rum! Rapi banget seperti gambar aslinya.” kata temanku itu.

Ia memesan sepatu lukis bergambar tokoh Snoopy karakter favoritnya.

Pesanan temanku yang membuatku semangat dan yakin ^_^

Lukisan Snoopy pesanan temanku. Katanya dipakai saat ia jalan-jalan ke Singapura loh ^_^

Aku sangat berterima kasih kepada temanku itu, ia telah mengembalikan semangatku untuk kembali fokus dengan cita-cita memiliki usaha mandiri. Ia telah memberi aku kepercayaan. Apalagi kemudian ia mengajakku untuk ikut memamerkan sepatu lukisku di garage sale yang akan diselenggarakannya.
Selama seminggu penuh aku membuat tujuh sepatu lukis untuk dipamerkan dan dijadikan contoh.


Sepatu yang kubuat dalam seminggu untuk diikutsertakan dalam garage sale
Maaf ya, waktu difotonya salah setting. Ini dibuat tanggal 08/09/2009 ^_^

Garage sale itu hanya berlangsung selama dua hari. Tetapi hasilnya, aku mendapat sepuluh pesanan sepatu lukis sekaligus! Repot dan melelahkan karena aku harus begadang setiap malam agar sepatu-sepatu pesanan itu dapat selesai tepat waktu. Tapi aku senang. Semua itu mengembalikan lagi semangatku yang semula sempat jatuh. Semakin meyakinkan aku bahwa dengan kemauan dan kerja keras, sepertinya aku bisa mengembangkan usaha membuat sepatu lukis ini. Memang semua butuh proses, bahkan memajang foto-foto sepatu lukis yang telah aku buat di facebook-ku pun baru terpikir setelah beberapa bulan aku memiliki akun facebook.

Aku mulai mengolah tampilan facebook-ku menjadi lebih menarik. Foto-foto sepatu lukis yang telah kubuat, kukumpulkan dalam satu album. Kuberi nama album itu Arumi Painted Shoes. Kuberi sedikit keterangan mengenai sepatu lukisku berikut harganya. Kemudian untuk mempromosikannya, secara berkala aku tinggal men-share album itu. Mudah sekali!

Favoritku, si ganteng Shinichi Kudo ^_^


Katara dan Pangeran Zuko
dari serial Avatar

Ditantang membuat mata yang persis sama dengan gambar manga-nya
Alhamdulillah, pemesan puas dengan hasil lukisku ini ^_^

Benarlah, setelah beberapa waktu, keampuhan facebook mulai tampak. Ada beberapa pengguna facebook yang melihat foto-foto sepatuku itu menghubungiku dan menyatakan berminat untuk memesan. Aku senang sekali. Facebook membantuku untuk berani memulai usaha onlineku. Tapi usaha melalui facebook juga memberi pengalaman buatku bahwa kita harus hati-hati dengan pengguna facebook yang belum sungguh kita kenal.



Aku melukisnya sendiri secara manual dengan hati looh ^_^

Tips dariku untuk teman-teman yang mungkin juga ingin membuka usaha via facebook, usaha online adalah usaha yang berbasis pada kepercayaan. Karena itu kita harus tegas. Awalnya, aku merasa tak enak jika orang yang memesan sepatu lukis buatanku harus membayar terlebih dahulu padahal sepatunya belum aku buat. Maka, kubuat dulu sepatu mereka, aku kirim, baru kemudian mereka bayar.
Tetapi, ternyata tak semua pengguna facebook mempunyai niat yang baik. Ada seseorang yang telah memesan sepatu lukis buatanku, aku buat dengan susah payah sebaik mungkin, kemudian aku kirimkan kepadanya melalui jasa titipan kilat. Tapi ternyata kemudian ia tak membayar sepatu lukis pesanannya itu. Ada saja alasannya. Aku pun tak bisa berbuat apa-apa. Hanya menyesali mengapa ia tega berbuat itu.

Berdasarkan pengalaman itu, maka untuk pesanan selanjutnya, aku buat sepatunya sebaik mungkin, setelah sepatu jadi, aku up load fotonya di facebook lalu aku tag kepada si pemesan. Jika mereka sudah puas dengan hasilnya, barulah aku kirim melalui jasa titipan kilat. Karena pengalaman terdahulu, maka aku mengirim sepatu pesanan itu sesudah sang pemesan mentransfer pembayaran ke rekeningku.

Masih ada pengalaman pahit lainnya. Ada seseorang yang telah memesan empat pasang sepatu lukis. Dengan antusias, kubuat pesanan itu dengan sebaik-baiknya. Aku selalu berusaha agar sepatu lukis buatanku bagus hasilnya dan memuaskan pemesan. Karena aku berjanji akan menyelesaikannya hanya dalam waktu seminggu, aku pun rela mengerjakan sepatu-sepatu lukis itu hingga bergadang semalaman.

Tapi apakah yang terjadi? Setelah sepatu-sepatu itu selesai kubuat, lama sang pemesan tak memberi kabar. Aku tak akan mengirim sepatu lukis pesanannya itu  sebelum ia mentransfer uang pembayarannya. Namun ia tak juga mentransfer uang pembayaran sampai berbulan-bulan kemudian. Dan ternyata ia membatalkan pesanan.

Aku sempat merasa sangat kecewa karena merasa hasil kerja kerasku sia-sia. Pengalaman ini memberiku pelajaran, bahwa memang dalam usaha online, kita harus bertindak tegas. Untuk pesanan selanjutnya, aku selalu mengingatkan kepada pemesan agar mentransfer terlebih dahulu harga sepatu yang ingin dipesan, barulah nanti pesanan aku kerjakan. Jika sudah dibayar, bekerja seharian tanpa berhenti pun aku rela. Aku pasti akan memberikan hasil yang terbaik.

Pernah juga terjadi sepatu yang dipesan seorang konsumen ternyata kebesaran, sehingga aku harus melukis ulang gambar yang sama di sepatu lain. Kendala juga pernah muncul dari pengadaan bahan baku. Beberapa kali aku terpaksa berganti supplier, karena mereka mengecewakan dan merugikan aku, seringkali barang yang dikirimkan padaku tak sesuai dengan yang aku pesan. Sampai akhirnya aku memutuskan membeli sendiri bahan baku langsung di pasar grosir. Lebih melelahkan, karena aku harus berbelanja sendiri ke Pasar Jatinegara untuk mendapatkan sepatu dengan harga grosir. Apalagi aku tak bisa mengendarai motor. Setiap saat berbelanja, aku berangkat pagi-pagi naik biskota. Biasanya aku hanya sanggup membawa sepatu sebanyak enam sampai tujuh pasang saja.




Pernah suatu kali aku nekat membeli sembilan pasang sekaligus. Semua sepatu yang kubeli kumasukkan ke dalam tas sangat besar. Kembali ke rumah aku tetap naik bis sambil membawa tas besar berisi sembilan pasang sepatu kanvas polos itu. Ternyata berat sekali. Lenganku seketika saja merasa kelelahan. Apalagi dari ujung jalan menuju rumahku, aku masih harus berjalan sejauh lebih dari enam ratus meter. Apesnya, begitu aku turun dari angkot, hujan deras mendadak muncul. Payung kecil yang kubawa tak mampu melindungiku dari terpaan air hujan yang sangat keras. Tapi aku tetap berjalan sambil menenteng tas berat itu. Kujadikan itu sebagai cobaan untuk menguatkan mental pantang menyerahku. Sesungguhnya dalam kesengsaraan, ada kenikmatan yang tersembunyi, tatkala segala jerih payah kita kelak membuahkan hasil. Walau rasanya lelah sekali membeli sendiri bahan baku langsung ke pusat grosir, tapi aku puas karena aku bisa memilih bahan baku yang aku butuhkan.

Aku juga mulai belajar membuat blog sebagai sarana untuk memperkenalkan karya sepatu lukisku. Pesanan semakin banyak. Bahkan ada beberapa yang ingin menjadi reseller. Aku tak bisa menerima semuanya, karena aku membuat sepatu-sepatu itu hanya sendirian. Semua kulakukan sendiri, mulai dari membeli bahan baku, melukisnya, mempromosikannya bahkan mengirimnya via titipan kilat. Aku memang merasa lebih nyaman untuk mengerjakan semuanya sendiri. Saat itu aku memutuskan baru menerima satu reseller saja. Hingga lebih dari setahun aku bekerja sama dengannya. Saat itu, kunikmati menjalankan usaha ini, sekaligus menekuni hobi.






Inilah beberapa karya lukisku. Alhamdulillah, pemesan selalu puas ^_^

Sampai kemudian aku mulai merasakan kemajuan usaha sepatu lukisku. Aku tak menyesal dengan keputusanku memilih berusaha mandiri. Dengan memiliki usaha sendiri, aku masih punya waktu dan kesempatan melakukan banyak hal menarik diluar pekerjaanku sehari-hari. Selain menekuni usaha sepatu lukisku ini, aku juga bisa kembali mengasah hobi menulisku. Keuntungan lain memiliki usaha sendiri di rumah, aku tak lagi terikat oleh jam kerja yang mengharuskan masuk kantor pukul setengah sembilan hingga pukul lima sore. Artinya aku tak perlu lagi berjibaku dalam kemacetan jalan raya Jakarta setiap jam sibuk pergi dan pulang kerja. Bila ingin bepergian pun aku tak perlu repot mengambil cuti karena aku bisa mengatur waktu kerjaku dengan fleksibel. Inilah asyiknya menjadi bos bagi diri sendiri.


Ada yang pesan gambar batik pun kuterima,
walau ternyata susah juga membatik dengan cat acrylic





Melukis logo-logo klub sepakbola ini adalah tantangan terberat

Pesanan gambar aktor Korea

Melukis aktor Korea pun bisa ^_^


Melukis Michael Jackson pun bisa ^_^

Seiring berjalannya waktu, ternyata sekarang ini kesempatan menulis semakin terbuka untukku. Passion terbesarku pun akhirnya beralih ke menulis. Walau sampai saat ini masih saja ada yang memesan sepatu lukis kepadaku, tetapi sayangnya aku belum mampu memenuhi.

Namun bagi teman-teman yang berminat membuka usaha melukis sepatu, semoga pengalamanku ini bisa menambah informasi, bagaimana lika-liku sebuah usaha. Memang berat pada awalnya, banyak tantangan yang harus dilalui, tapi jika kita berhasil melewati semuanya, maka kejayaan insya Allah akan digapai.

Semangat ya! ^_^

Kisah pengalamanku jatuh bangun membuka usaha sepatu lukis ini termuat dalam buku "Bye-Bye Office" terbitan MIC Publishing.



Namun kini, aku memilih menjadi penulis novel saja ... ^_^

Dan ini adalah salah satu mimpiku yang terwujud tahun ini. Akhirnya, novelku terbit di penerbit idamanku, Gramedia Pustaka Utama. "HATIKU MEMILIHMU" Koleksi yuuuk... ^_^




Sekarang, aku memutuskan menulis novel saja
Entah kapan aku akan melukis sepatu lagi ... ^_^

Sabtu, 01 Februari 2014

February Wishes : My dreams come true

Tak terasa, akhirnya kita tinggalkan bulan Januari penuh kenangan dan kini mulai memasuki bulan Februari penuh harapan...

Aku masih bersabar menunggu semua rencana-rencana tahun lalu terwujud di bulan ini.

Editorku menjanjikan, bulan ini akan terbit novelku terbaru, berjudul "Hatiku Memilihmu". Alhamdulillah, novelku ini akan terbit di salah satu penerbit idamanku.

Untuk sementara covernya seujung dulu yaa ... karena masih dalam proses revisi ^_^



Untuk sementara ini aku belum akan menceritakannya secara detail. Yang jelas, ini adalah buah karyaku yang kuharap lebih baik dari sebelumnya, karena aku menuliskan kisah ini setelah aku mendapat begitu banyak pengalaman berharga. Ditambah sentuhan editorku yang cemerlang, membuat kisah ini semakin nyaman dibaca dan aku berharap semoga terhindar dari kesalahan fatal dan kelak pembaca novelku ini menyukai kisah ini.

Kemudian ada lagi satu novelku yang akan terbit berjudul "Monte Carlo", ini juga akan terbit di penerbit idamanku lainnya, Gagas Media. Tapi aku belum tahu kepastian waktu terbitnya. Ini pun naskah yang sudah mengalami begitu banyak pembelajaran. Insya Allah jauh lebih bagus dari karya-karyaku sebelumnya. Sungguh suatu anugerah tak terkira saat nanti akhirnya aku menerima bukti terbit novelku yang satu ini.

Dan satu lagi berita bahagia yang masih aku simpan rapat-rapat tentang novelku "Tahajud Cinta di Kota New York", aku masih bersabar untuk membagi kabar bahagia ini. Clue-nya ini adalah impian terbesar seorang penulis novel ... Hm, bisa menebak? ^_^

Baiklah ... sekarang saatnya aku kabarkan, "Tahajud Cinta di Kota New York" akan diadaptasi menjadi film oleh MD Pictures. Alhamdulillah ... mohon doanya ya teman-teman ^_^




Tunggu ya, sampai nanti akhirnya kontrak ditandatangani, barulah aku berani menyampaikan kepada teman-teman satu kabar bahagia yang dua bulan terakhir ini membuatku merasa sangat bersyukur telah dikaruniai rezeki demikian banyaknya.

Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Insya Allah ini semua adalah buah dari kerja keras, pantang menyerah, keinginan untuk selalu terus mengasah kemampuan dan bersedia belajar menulis yang lebih baik lagi, serta tentu saja doa yang tak pernah putus, baik doaku sendiri maupun dari orangtua, saudara-saudaraku dan teman-teman semua.

Terima kasih, sungguh aku merasa berlimpah berkah. Semoga apa pun kebahagian yang kelak kuterima, aku selalu ingat untuk tetap bersikap rendah hati, menyadari sekuat apa pun aku bekerja, hasilnya tentu tak akan bisa seratus persen sempurna. Aku masih jauh dari hebat, masih harus terus mengasah kemampuan dan ingat, bahwa di atas langit, masih ada langit ...

Ini dia, salah satu mimpiku yang menjadi kenyataan. Novel terbaruku diterbitkan Gramedia Pustaka Utama. Terbit 12 Mei 2014. Yang suka baca novel romance Islami, yuk, koleksi ^_^



Yuk, semangat mengisi bulan Februari ini dengan karya terbaik kita ^_^

Oya, satu lagi info yang ingin kubagi, kemarin saat perayaan imlek, keluargaku mendapat rezeki kiriman banyak sekali kue keranjang dari teman dan tetangga yang merayakan imlek. Sungguh indah kebersamaan, sungguh damai saling berbagi kebahagiaan.

Selamat tahun baru, selamat bulan baru ^_^



Novelku yang sudah edar di toko buku ^_^


Senin, 20 Januari 2014

Catatan Perjalanan 8 : From Jogja To Jakarta



7 Januari 2014

Akhirnya ... Kembali ke Jakarta ...

Begitu sampai di pintu keluar Stasiun Senin, aku berpisah dengan Bulik Tatik, Mbak Nany dan Erma. Mereka akan ke rumah Budeku dulu di daerah percetakan, sementara aku harus kembali pulang secepatnya karena ada email yang harus segera kukirim untuk editorku.

Ah, Jakarta. Pulang ke rumah di pukul setengah 4 sore saja sudah terjebak macet. Masih untung aku dijemput bapakku dengan motor. Masih bisa menyelip-nyelip di antara kemacetan jalanan yang mulai disesaki kendaraan roda empat.

Hm, okay keadaan jalan di sini sangaaaat berbeda dengan Singapura dan Jogja. Welcome to Jakarta, yang sekarang ini kemacetannya sudah tidak mengenal waktu lagi.

Tapi masih ada untungnya lagi, saat itu belum mulai hujan terus menerus setiap hari. Saat itu Jakarta malah sedang panas sekali ...

Sampai rumah, aku segera mengirim email untuk editorku. Ini penting sekali, supaya novelku selanjutnya bisa segera terbit. Ternyata ada sedikit perubahan rencana, Sepertinya penerbitannya akan diundur bulan berikutnya. Nggak apa-apa deh, yang penting segera terbit di awal-awal tahun ini. Aamiin.

Keesokan paginya, tepatnya pukul 4 pagi, Mei sepupuku dari Jogja sudah datang bersama anaknya Marianqa. Mereka baru saja berlibur selama seminggu di rumah kakek dan nenek Marianqa di daerah Depok.

Sorenya, rombongan Mbak Nany, Erma dan Bulik Tatik juga datang ke rumahku. Mereka dari daerah Pondok Cabe seusai menjenguk ibunda Mbak Nany.

Wuaaah, asyiiik, makin rame. Dimulailah liburan tahap ke berapa yaa? Ketiga atau keempat >.< Saking banyaknya liburan kali ini ;)

Kami berdiskusi, sebaiknya jalan-jalan ke mana, kami hanya punya waktu seharian besok, karena lusa Bulik Tatik, Mbak Nany, Erma dan Mei akan kembali ke Jogja.

Setelah menimbang-nimbang, Mei punya usul ke Monas saja, karena Marianqa, keponakanku yang baru berusia 5 tahun itu belum pernah melihat Monas.

Sepertinya itu usul yang bagus. Yang terpenting adalah kebersamaan kami, Monas cukup asyik juga kok, walau sampai sekarang lift untuk mencapai puncak Monas belum selesai direnovasi.

8 Januari 2014


Hari itu, Jakarta masih cerah, bahkan cenderung panas. Sebelum kami menuju Monas, adikku mengajak kami makan es krim di toko es krim legendaris di Jakarta, Ragusa. Setelah selama ini aku hanya mendengar tentang es krim ini, akhirnya merasakan juga rasanya.

Setelah puas makan es krim, kami segera menuju Monas. Sudah lama aku tidak menyambangi Monas. Rasanya kok terlihat berbeda ya, lebih gersang dibandingkan terakhir yang kulihat. Maksudku, Taman yang ada di sekeliling Monas dulu rasanya ditumbuhi rumput hijau dan tanaman hias, kenapa kali itu meranggas?

Karena kereta yang mengantar pengunjung Monas dari pintu gerbang menuju pintu masuk Monas penuuuh sekali antriannya, kami memutuskan berjalan kaki saja. ternyata jauh juga yaaaa.... ^_^

Tapi kami tetap bersemangat, yang penting kami nikmati saja kebersamaan kami ini.

Kami semua sudah pernah ke Monas, tapi ini menjadi pengalaman pertama buat Marianqa melihat Monas. Keponakanku yang masih TK itu terlihat sangat antusias. Juga saat naik menuju cawan Monas. Dari cawan Monas, kami melihat pemandangan aneh, ada pocong mejeng di tepi jalan yang menuju pintu masuk Monas di tengah hari bolong!

Saat Marianqa kuberitahu ada pocong tengah hari bolong, dia langsung antusias ingin melihat si pocong dari dekat. Waah, malah nggak takut yaaa...

Kebetulan kami memang tak lama berada di cawan, yang penting Marianqa sudah melihat tempat itu seperti apa. Kami pun turun kembali. Tujuannya? Mendekati sang pocong ...

Ternyata itu adalah orang yang berdandan menjadi pocong. Siapa saja boleh berfoto setelah membayar seikhlasnya, dimasukkan ke kotak yang disediakan dekat tempatnya berdiri.

Hm, kreatif juga caranya mencari uang. Selain pocong, di sebelah pocong ada laki-laki yang berdandan sebagai Kuntilanak lengkap menggendong boneka sebagai anaknya.

Lalu satu lagi ada tentara berwarna biru. Yang ini mirip seperti yang beraksi di kota tua Jakarta. Hanya saja yang di kota tua, tentaranya berwarna hijau.

Marianqa agak malu untuk berfoto, tapi setelah ditemani ibunya, dia mau juga. Berani juga ya dia ...


Marianqa dan mamanya mejeng bareng Mr. Pocong

Marianqa dan mamanya mejeng bareng Om kuntilanak ^_^
Saat aku tanya pada Marianqa kenapa dia kok berani foto sama yang seram gitu?
"Aku tahu itu bohongan," jawab Marianqa
"Kok bisa tahu?" tanyaku lagi.
"Soalnya setannya bilang gini, ayo sini foto sama om ..." jawab Marianqa lagi.

Hahaha, kami yang mendengarnya pun tertawa. Marianqa keponakan ini memang cerdas. Padahal baru 5 tahun loh ^_^





Gaya Maianqa bersama tentara biru

Setelah kami puas melihat-lihat Monas dan Marianqa puas berfoto bersama pocong, kuntilanak dan tentara biru, kami kembali ke parkiran. Kali ini naik kereta mobil yang disediakan gartis mengantar pengunjung  Monas dari pintu masuk menuju pintu gerbang.


Mejeng dalam kereta mobil
Dari Monas, kami makan siang di Sate Senayan. Semula kami berencana ingin lanjut ke kota tua, tapi tau sendiri deh lalu lintas Jakarta supeeeer macet walau bukan jam sibuk, saat sampai di kota tua pun kami tak menemukan tempat parkir. Akhirnya kami memutuskan pulang saja.

Sampai rumah tepat menjelang magrib. Kami beristirahat dan menikmati sehari lagi kebersamaan kami dengan ngobrol panjang lebar.

Ah, besok sore saudara-saudaraku aku akan kembali ke Jogja. Dan tanggal 14 Januari Mbak Nany akan kembali ke Belanda. Liburan panjang yang seru ini benar-benar harus berakhir sekarang ini.

9 Januari 2014

Pagi-pagi aku mengajak Erma ke pasar dekat wilayah tempat tinggalku untuk membeli bekal yang nanti akan dibawa saudara-saudaraku dalam perjalanan kembali ke Jogja. Suasana pasar sudah mulai dipenuhi suasana imlek. Di pasar ini memang banyak yang berjualan keturunan China. Banyak kue-kue khas China, pernak-pernik imlek, dan pakaian merah khas imlek.

Erma berinisiatif membeli sebuah pakaian ala imlek untuk Marianqa. Sesampai di rumah, Marianqa langsung memakainya dan sibuk bergaya untuk difoto. Wow, baru tahu keponakanku ini jago gaya juga yaa ...



Marianqa bergaya dengan pakaian imlek


Masih ada waktu bagi kami untuk ngobrol-ngobrol sampai pukul empat sore. Sesudah itu, adikku mengantarkan rombongan saudaraku yang akan ke Jogja menuju pool bus malam.

Goodbye everyone ... Semoga kami selalu sehat dan dilancarkan dalam segala urusan sehingga kami dapat berkumpul lagi tahun depan. Aamiin

***