Laman

Rabu, 25 September 2013

Cerpen Arumi E : Déjà vu



Déjà vu

 #CeritaPendek by Arumi E, termuat dalam kumpulan cerpen romantis yang disajikan secara unik "Heart Latte"


Crown Café, day #6

Lucu. Ini adalah kencanku yang pertama kali dengan Restu, setelah sebelumnya secara tak sengaja kami tiga kali bertemu ketika kami masih belum saling mengenal. Restu mengajakku ke kafe favoritnya ini.

“Kamu harus coba cappuccino di sini. Rasanya spesial,” kata Restu.
“Spesial bagaimana?” tanyaku
“Coba saja sendiri ya?” sahut Restu

Kemudian Restu memesankan secangkir cappuccino untukku. Dan saat minuman itu di hidangkan di meja kami, aku tertegun melihat hiasan lambang cinta di permukaannya.

“Ini bagaimana buatnya?” tanyaku lugu.

Restu tersenyum lebar.

“Itu namanya heart latte art. Sengaja aku pilih lambang cinta untukmu, melambangkan perasaanku padamu,” jawab Restu sambil tersenyum sedikit menggoda, lalu ia menyeruput minumannya yang berwarna lebih pekat.

Aku tersipu, berusaha menyembunyikan perasaan melambung yang tiba-tiba menyergap. Setelah sekian lama sendiri tanpa kekasih, baru kali ini ada lelaki yang memperlakukanku seperti ini. Membuat hatiku berbunga-bunga bagai kembali ke masa remaja. Aku merasa beruntung bertemu Restu. Takdir memang terkadang tak terjelaskan. Lucu, jika kuingat lagi bagaimana awal mula aku bertemu Restu.

Pertemuan pertama

Aku malas pulang. Walau sejak pukul satu siang tadi kantorku telah tutup. Hari ini hari Sabtu, inginnya bisa kuhabiskan untuk menghibur diri, setelah lima hari sebelumnya berkutat dengan tugas-tugas kantor. Biasanya aku tak mengeluh, makan sendiri, nonton bioskop sendiri, ke toko buku sendiri, tapi hari ini lain. Aku gundah, apakah karena beberapa hari lagi ulang tahunku yang ke tiga puluh lima?

Usia yang sangat matang, kata orang. Secara teori, harusnya aku sudah menikah dan memiliki dua atau tiga orang anak, seperti teman-teman seusiaku. Tapi prakteknya tidak, aku masih sendiri. Jomblo. Jangankan calon suami, seorang lelaki yang dekat denganku atau sekedar naksir pun tak ada. Sepanjang pengetahuanku tak ada. Hingga detik ini dan entah sampai kapan.

Biasanya aku tak terganggu dengan keadaanku ini. Sudah lama aku pasrah. Sungguh bukan mauku masih tetap melajang hingga usiaku kini. Jangan memaksaku untuk merasa bersalah, karena aku tak pernah merasa salah.

“Ibu enggak mau maksa kamu, Ibu enggak minta apa-apa, Ibu ikhlas, Git...” kata Ibu suatu kali ketika aku menjawab “Enggak tau” atas pertanyaan Ibu kapan aku akan menikah. Pertanyaan yang sudah ratusan kali diajukan kepadaku. Tetapi jawabanku selalu sama.

Aku memang tidak tahu. Manalah aku tahu, bukan aku yang menakdirkan jodoh dan matiku, kan? Jangan juga bilang aku terlalu pemilih atau aku kurang beramal, kurang bergaul, kurang usaha. Aku sudah cukup berusaha mencari belahan jiwaku, tapi jika hingga kini tak juga berujung indah, itu sama sekali bukan salahku.

Brukk!

Tubuh tinggi tegap yang membenturku lumayan keras membuyarkan lamunanku. Segera kurapikan kacamata minus yang hampir terlepas dari wajahku.

“Maaf, maaf Mbak...Saya enggak sengaja, saya terburu-buru.” kata sosok yang menabrakku itu. Aku hanya tersenyum kecil dipaksakan seraya berkata,
“Enggak apa-apa...” lalu memandang sekilas ke arahnya.

Sejurus kemudian aku hampir ternganga menatap sosok itu. Jika saja aku tak segera sadar, maka aku pasti sudah mempermalukan diriku sendiri. Aku sedikit tersentak ketika masih kusempatkan menoleh sekilas, kulihat ia mengambil empat bungkus pembalut sekaligus dari berbagai merk!

“Ah, ayolah Git, kau berkhayal lagi!! Tentu saja sosok menarik seperti dia pasti sudah ada yang punya. Ia pasti berbelanja barang-barang itu untuk pacarnya atau malah istrinya. Wanitanya pasti egois dan ia tipe lelaki yang dikendalikan wanitanya...” batinku sambil tergelak dalam hati. Seulas senyum kubuat untuk menertawai ketololanku sendiri.

oOo

Restu

Sudah sering aku direpotkan oleh Aruni, tapi baru kali ini aku benar-benar kewalahan. Keterlaluan, entah ia memang kelewat manja atau sekedar ingin mempermainkan aku? Tapi aku tetap harus menuruti permintaannya. Aku tak mau dipusingkan oleh rengekannya, atau mendengarkan ancamannya akan kabur dari rumah jika permintaannya tak aku turuti. Andai saja...ah, sudahlah, aku tak mau berandai-andai. Memang sudah takdirku harus menghabiskan hidup bersama Aruni.

Aku melangkah masuk ke dalam supermarket ini, kebingungan mencari barang yang diminta Aruni. Aku sama sekali tak paham soal barang ini. Di mana sih barang itu diletakkan? Ingin bertanya pada petugas toko, aku takut ditertawakan. Sudahlah biar kucari sendiri, walau itu artinya aku terpaksa harus menyusuri satu persatu deretan rak di supermarket ini. Aku sedang fokus mencari barang titipan Aruni ketika kemudian...

Brukk!

Aku menabrak seorang wanita. Segera aku meminta maaf. Ketika kulihat sekilas wanita itu berbalik beranjak pergi menjauh dariku, segera kuambil beberapa bungkus barang yang kuyakin itulah yang dimaksud Aruni. Kuambil empat bungkus sekaligus dari berbagai merk. Aku tak tahu mana yang paling disukai Aruni. Lalu diam-diam bergegas menuju meja kasir...

oOo

Aruni

Aruni mengembuskan nafas kesal. Kalut melihat darah keluar dari tubuhnya. Ia tahu tentang ini. Walau tak pernah dibahas secara detail di sekolahnya, ia tahu bahwa pada saatnya nanti, sebagai wanita normal, ia akan mengalami fase ini. Tapi sungguh ia tak menyangka ketika saat itu tiba, ia di dera rasa panik dan sakit luar biasa di bagian perutnya. Papa malah kebingungan ketika ia menceritakan kejadian ini.
Ah, andai saja ia punya Mama, selalu itu yang disesalkan Aruni.

“Pakai ini, Neng! Dulu Mbok Nah juga pakai ini...” kata Mbok Nah, perempuan setengah baya yang telah berpuluh tahun bekerja untuk Papa.
Aruni tertegun memandangi tumpukan kain kusam berwarna putih kekuningan yang diberikan Mbok Nah.
“Kain apa itu Mbok?”
“Dulu kalau Mbok datang bulan di”ganjel” pakai ini...” jawab Mbok Nah.
“Di”ganjel”? Ah, Mbok! Aku nggak mau pake kain kusam gitu. Aku mau pakai yang seperti iklan di TV, Mbok! Yang setipis kertas dan katanya serasa tak memakai apa-apa.”
“Wah, enggak pakai apa-apa telanjang dong, Neng?”

Aruni kesal, tapi terpaksa tertawa mendengar keluguan Mbok Nah. Mbok Nah memang wanita produk dulu, pasti di jamannya dulu, memang kain-kain itulah yang dipakainya setiap datang bulan. Kembali Aruni merindukan seorang Mama.

Andai saja ia punya Mama, Mama pasti mengerti soal ini. Pasti Mama akan menyiapkan yang terbaik untuknya. Tapi sekejap pun Aruni tak pernah melihat Mamanya secara langsung. Ia hanya tahu wajah Mama dari foto-foto yang masih disimpan Papa.

Mama wafat karena melahirkan Aruni. Itulah mengapa Nek Frida, Neneknya, selalu bersikap ketus dan tak ramah kepadanya. Tak berubah, setelah bertahun-tahun kemudian, hingga kini Aruni berusia tiga belas tahun, dendam Nek Frida padanya tak juga surut. Stempel itu tetap melekat pada sosok Aruni, seorang anak penyebab kematian ibunya. Laksana tato di kulit tubuh yang tak bisa dihapus.

“Ah, andai Papa memberikan aku hadiah seorang Mama...” batin Aruni menahan perih di hatinya, juga perih di perutnya yang tiba-tiba terasa melilit.
“Papa, cepat pulang, aku enggak tahan...sakit, Pa…” lanjutnya lirih.

oOo

Pertemuan kedua

Senin. Hari yang padat. Aku pasrah jika kemudian aku tak kebagian tempat duduk. Sudah biasa. Kedua kakiku telah terlatih berdiri lama. Kupilih tempat paling nyaman untuk berdiri bergantungan. Di bagian depan, tak jauh di belakang sopir, di depan deretan kursi yang sudah dipenuhi penumpang lain yang beruntung. Aku memantapkan posisi berdiriku. Cukup nyaman, tujuanku masih jauh, aku berharap beberapa orang yang duduk di depanku akan turun tidak lama lagi, kemudian aku bisa mendapatkan sebuah kursi kosong.

“Silakan duduk, mbak! Gantian...”

Aku terkejut ketika seorang lelaki yang duduk di depanku bangun berdiri dan memberikan kursinya untukku. Tak kusia-siakan kesempatan itu. Segera aku duduk. Memang sudah seharusnya wanita didahulukan. Itulah sikap lelaki yang gentleman. Bukan berarti aku perempuan lemah, tetapi jika memang ada kesempatan duduk nyaman, mengapa harus capek berdiri? Aku menyamankan letak dudukku, lalu baru kuingat belum mengucapkan terimakasih.

“Terima kasih...Mas...”

Kalimatku menggantung ketika memandang wajah lelaki yang kini berdiri di hadapanku itu. Seorang lelaki yang menarik. Terlihat matang, dewasa. Tubuhnya tinggi tegap. Dan sepertinya aku pernah melihatnya belum lama ini, di suatu tempat pada suatu waktu, tapi aku tak ingat di mana ....

oOo

Restu

Senin. Hari yang padat. Hari ini memang hari paling sial buatku. Aku tak pernah suka hari Senin. Terutama hari Senin ini. Mobilku mogok justru sesaat sebelum aku berangkat ke kantor. Terpaksa aku harus naik busway. Aku memilih tidak naik taksi karena kupikir jalur busway pasti lebih lancar dibanding jalur biasa. Namun kenyataannya aku harus mengantri lebih dari tiga puluh menit hanya untuk mendapat bus yang tak terlalu padat. Aku malas berdesak-desakan. Beruntung aku masih dapat duduk. Hingga beberapa detik kemudian, kulihat wanita tinggi langsing di depanku berdiri kerepotan. Dan baru aku sadar, di antara semua penumpang yang mendapat duduk di samping kanan-kiriku, hanya aku yang laki-laki.

Bukan karena malu, jika kemudian kurelakan tempat dudukku untuk wanita yang berdiri di depanku itu. Tapi karena itu adalah kewajibanku sebagai seorang laki-laki. Aku harus mendahulukan wanita. Dan aku yakin, sefiminis apa pun seorang wanita, pasti tak akan menolak diberikan tempat duduk di dalam bus penuh sesak seperti ini. Apalagi kemudian aku baru sadar, sepertinya aku pernah bertemu dengan gadis itu. Di suatu tempat, pada suatu waktu. Tapi aku tak ingat di mana ....
oOo

Pertemuan ketiga

Hari Minggu ini aku terlambat datang. Masih terengah ketika kutemui Suster Via.

“Maaf, suster, aku terlambat.”
“Tak apa Git. Tugasmu sudah dgantikan oleh yang lain. Tapi untunglah kau datang. Ada yang ingin bertemu denganmu.”

Aku mengangkat alis kananku, “Siapa?” tanyaku heran.

“Kau tunggu saja di depan Ruang Rontgen. Dia akan menemuimu.”
“Apakah aku kenal dia?”
“Belum, tapi dia kenal kamu.”

Aku masih ingin bertanya lagi, tapi Suster Via memberi isyarat bahwa dia sedang sibuk. Kuturuti saja permintaannya, aku melangkah menuju Ruang Rontgen. Hari ini banyak sekali antrian menunggu di depan Ruang Rontgen. Semua kursi telah terisi. Aku terpaksa berdiri menunggu. Kulihat sekeliling, memperhatikan kalau-kalau ada sosok yang aku kenal.

“Silakan duduk Mbak! Gantian...”

Suara itu berasal dari seorang lelaki yang duduk di kursi paling pinggir di samping aku berdiri. Aku memandanginya agak lama, mendadak kurasakan waktu berhenti untuk sesaat. Momen ini, rasanya kuingat pernah kualami. Deretan kursi yang penuh, aku tak kebagian duduk, lalu seorang lelaki menawarkan kursinya untukku. Rasanya seperti Déjà vu.

Lelaki itu! Ya, lelaki itu adalah Déjà vu.

Seingatku lebih dari dua kali aku melihat sosoknya, di suatu tempat, di suatu waktu. Aku tak menolak tawarannya. Segera aku duduk. Kali ini tak lupa kuucapkan terima kasih.

“Papa!”

Lelaki itu menoleh ke arah seorang anak dengan perban di kepala yang duduk di atas kursi roda. Suster Via yang mendorong kursi roda itu.

“Aruni, ini dia pahlawan penyelamatmu,” kata Suster Via sambil memandang ke arahku. Aku bangkit berdiri, sedikit terkejut melihat Suster Via sudah ada di sini.

Gadis belia itu menatapku tak berkedip. Memperhatikanku dari ujung rambut hingga ujung sepatu fantovelku.

“Terima kasih, Tante, atas sumbangan darahnya. Karena pertolongan Tante, aku akan segera sembuh. Kata dokter, tulang kakiku yang patah juga akan pulih beberapa bulan lagi,” katanya sambil tersenyum.
Mengertilah aku, dia adalah gadis yang kemarin mendapatkan darahku. Aku membalas senyumnya.

“Kebetulan saya ada saat dibutuhkan.” jawabku sedikit canggung.
“Oya, kenalkan, ini Papaku,” kata Aruni, ia menarik tangan lelaki yang tadi memberikan kursinya padaku.

Sekarang aku ingat lelaki itu. Pertemuan pertamaku dengannya di sebuah supermarket, ia membeli pembalut empat bungkus sekaligus. Pertemuan kedua terjadi dalam busway, ia memberikan tempat duduknya untukku. Dan kini aku kembali bertemu dengannya. Ah, andai saja ia belum menikah, pasti sudah kuanggap semua pertemuan tak disengaja itu sebagai pertanda.
Lelaki itu mengucapkan kalimat berirama sambil mengulurkan tangannya,

“Saya Restu, seorang duda beranak satu.”

Ah, duda! Mengapa tak terpikir olehku kemungkinan itu? Duda yang menarik, simpatik dan sopan. Masih terlihat muda. Mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku. Pasti dulu ia menikah di usia muda, hingga kini telah memiliki putri yang beranjak remaja. Tubuhnya tegap dan atletis, menunjukkan bahwa ia rajin berolahraga.

Kulirik sekilas wajah berbinar putrinya yang tak lepas memandangi kami sejak tadi. Aku punya firasat, gadis belia itu suka kepadaku. Dan dari cara lelaki itu memandangku, bolehlah aku sedikit berharap. Kusambut uluran tangan Restu, kugenggam hangat seraya kusebutkan namaku,

“Digita, panggil saja Gita, masih single, belum pernah menikah.”
Senyumku mengembang, membalas senyumnya yang menawan.

~ oOo ~

Note : 
Cerita lengkapnya silakan baca di bukuku "HEART LATTE" yaaa.... ada 12 cerpen yang disajikan secara unik, dengan setting yang sama, Crown Cafe. 
Rencananya, 12 cerpen tersebut akan kukembangkan masing-masing menjadi 12 novel. Setuju nggak teman-teman? ^_^

Terima kasih bagi yang sudah berkenan mampir dan membaca isi blogku ini yaaa ... 
Dank u weel, Gamsahamnida, Merci, Thank you so much, matur nuwun ... 

Selasa, 24 September 2013

Single's Diary : Kalau Bulan Bisa Ngomong ....




By : Arumi E.


Dulu cowok idaman gue itu adalah cowok yang tinggi, atletis, macho dan kalo bisa insinyur sipil. Secara waktu itu gue lagi giat-giatnya kerja jadi arsitek. Gue ngebayangin kalo punya pacar insinyur sipil, bakal jadi kolaborasi yang mantep banget tuh. Gua bisa bikin desain bangunan, nanti dia yang ngitung struktur bangunannya. Bisa bikin usaha konsultan desain dan kontraktor bareng.

Nah, kebayang kan betapa girangnya gue ketika pada suatu hari gue ketemu cowok yang pas banget dengan apa yang gue idamkan itu. Waktu itu gue kebagian ngerjain proyek di Puncak. Dan dia adalah pimpinan proyek dari kontraktor yang bakal ngebangun proyek itu. Kontraktor gede lagi, BUMN. Mupeng banget deh gue liatnya.

Tiap ada jadwal meeting bareng kontraktor, persiapan gue ribet banget deh. Dandan secakep-cakepnya. Pilih baju yang paling keren. Dan deg-degannya bukan main tiap mau ketemu dia. Nggak ada yang tau kalo diem-diem gue suka banget sama tu cowok.

Tapi kebiasaan gue emang payah. Kalo naksir cowok, gue jadi mendadak pendiem dan pemalu. #padahal kalo dalam keadaan normal gue diem-diem malu-maluin, hehehe. Gue nggak berani ngajak dia ngobrol kecuali dia yang mulai percakapan duluan. Tapi setelah meeting bareng berkali-kali, ngobrolnya ya cuma seputar masalah proyek aja. Kayaknya nggak ada tanda-tanda sedikit pun tuh cowok naksir gue. Padahal gue udah dandan pol banget setiap meeting sama dia.

Mulai lagi deh gue mikir apa yang salah sama diri gue? Dan sekali lagi gue nyalahin bentuk tubuh gue yang montok dibagian yang kurang tepat itu. Tapi berhubung gue udah kapok diet ketat, jadinya kali ini gue pasrah aja deh. Kalo emang dia jodoh gue, pastilah dia naksir gue apa adanya. Tapi kalo dia nggak naksir gue juga, apa yang harus gue lakukan? Masa iya gue harus ke dukun sih? Nggak banget lah yaw! Tapi beneran, gue naksir banget sama dia. Pasti tau sendirilah gimana rasanya menemukan sosok yang selama ini kita idamkan kemudian hadir tepat di depan mata kita.#deket amat dong???

Gue : Tuhan, mengapa ini harus terjadi? Mengapa giliran gue ketemu cowok yang gue taksir berat, eh dianya nggak balik naksir gue? Apa salah daku ya Tuhan?

Walau pun gue udah berusaha nutupin perasaan gue ke dia, eh, temen sekantor gue, Kiko, tukang ngitung anggaran proyek, tau aja kalo gue naksir dia.

Kiko : Elo suka ya sama dia?
Gue : Dia siapa?
Kiko : Alah, pura-pura lo. Pimpro proyek Puncak.
Gue : Kata siapa?
Kiko : Ketauan lah dari sikap lo yang gugup gitu kalo pas ada dia.
Gue : Ah, itu hanya perasaan lo aja kali, Ki.
Kiko : Jadi, elo nggak mau nih, kalo gue comblangin? Kasian gue liat tampang lo yang nahan mupeng tiap liat dia.
Gue : Siaul lo. Emang mupeng gue ampe segitu keliatannya. Eh, yang bener nih, elo mau bantuin nyomblangin gue sama dia?
Kiko : Nah, kan tebakan gue bener.
Gue : Iya deh, bener, emang gue suka sama dia. Tapi kayaknya dia cuek banget sama gue. Sok cool gitu. Tapi malah bikin gue makin penasaran sih...
Kiko : Ntar gue bilangin dia yaaa.
Gue : Eh, bilangin apaan nih? Elo jangan ngejatohin reputasi gue dong. Malu gue entar...
Kiko : Kalo lo suka, ngaku aja kenapa. Daripada ntar lo nyesel...
Gue : Yeee, kalo dianya mau juga sama gue. Kalo enggak, gue bisa malu seumur hidup.
Kiko :Tenang aja deh, ntar gue bantuin cari info tentang dia ya, kebetulan besok gue tugas ke proyek puncak, ngitung anggaran bareng kontraktor, pastinya bareng dia deh, hehehe.

Uh, Ngirinya gue sama si Kiko. Jadwal gue emang cuma seminggu sekali meeting bareng dia. Harus nahan kangen deh, baru minggu depan gue bisa liat dia lagi. Besoknya Kiko sms

Kiko : Gue lagi sama dia nih. hehehe.

Tu anak emang sengaja mau manas-manasin gue. Sampe malem Kiko terus ngelaporin tentang dia ke gue.

Kiko : Elo pasti ngiri sama gue. Kayaknya gue terpaksa nginep di puncak nih. Itung-itungan anggaran proyek belom kelar. Lo tau apa artinya? Artinya gue nginep bareng dia. Elo sih nggak ikut...
Gue : Yeee, gue sih pengen ikut, tapi kan jadwal tugas gue ke proyek puncak bukan hari ini. Eh, terus lo labain ya dia?
Kiko : Yah, kalo nanti nggak taunya dia naksir gue, lo ikhlas aja ya? Kan bukan salah gue...

Glekk! Kiko siaul banget!! Akhirnya gue pasrah aja deh. Ya udah kalo emang nggak ada jalan bagi gue buat bisa lebih deket lagi sama dia, artinya emang belom jodoh. Ihiks, huahua...
Besok paginya, Kiko ngasih kabar yang bikin gue makin patah hati...

Kiko : Rum, sori ye, gue ngasih kabar duka...
Gue : Hah? kabar duka apaan Ki? Siapa yang meninggal?
Kiko : Yeee, emangnya berita duka tuh cuma kalo ada yang meninggal doang. Ini tentang si pimpro proyek Puncak
Gue : Kenapa dia? Nggak apa-apa kan? #asli deg-degan kuatir banget...segitunya...
Kiko : Dia mah nggak kenapa-napa. Gue takut elonya nih ntar pingsan kalo denger kabar ini...

Ih, si kiko bikin gemes aja, makin penasaran jadinya

Gue : Ada apa sih?
Kiko : Dia udah punya pacar...pantesan aja dia nyuekin elo...hehehe, tabah ya Rum...

Tuuh kaaan, feeling gue bener. Kan gue udah bilang, pasrah aja dari semalem...hiks!

Kiko : Tapi tenang aja Rum. Selama janur kuning belom melengkung, elo masih boleh tuh, cari-cari perhatian dia dan sekalian pedekate sama dia.
Gue : Elo ngajarin yang nggak bener nih.
Kiko : Bro, nggak ada yang adil dalam perang dan cinta kata pepatah kan...
Gue : Bro, bro, emangnya gue brother lo? Ngaco lo...huahuahua

Akhirnya gue putusin untuk nggak lagi ngarepin dia. Nggak gue ikutin dah saran ngaconya si Kiko. Biar gini-gini gue nggak mau menjadi penyebab rusaknya hubungan dua sejoli, halah, lagian dia juga nggak naksir gue sama sekali. Tapi ketika gue masih harus meeting bareng dia lagi, alamak! Kok rasa-rasanya gue masih nggak ikhlas ngelepas dia ya?

Gue : Tuhan, mengapakah tak ENGKAU takdirkan dia menjadi jodohku? Sayang seribu kali sayang...Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai...ya udah meluk guling aja deh...ihiks!!

Suatu kali ...

Dia : Rum, kamu pulang kemana?

Degg!! Dag dig dug dag dig dug DHUEERR!! O-em-ji....nggak salah denger nih, dia nanya gitu ke gue????

Gue : Mm, eh...mm, ke Cengkareng. Mau nganterin ya? Hehehe...#nekat soksok ngajak becanda...
Dia : Kalo mau, bareng aku aja, aku juga mau pulang ke Jakarta...

Oh may may...Apakah ini ulam dicinta pucuk tiba...? Eh, pucuk dicinta ulam tiba???

Gue : #mau banget!! sumpah!! Boleh, kalo emang sekalian jalan...#mesem-mesem kagok, kikuk, degdegan pastinya
Dia : Habis dari sini kamu langsung pulang atau ke kantor kamu dulu?
Gue : Langsung pulang aja. Nanti aku nebeng sampe depan UKI aja yaaa...makasih banget #degdeg, dagdigdug...
Dia : Oke deh!

Maka, kejadian selanjutnya adalah seperti mimpi menjadi nyata. Nggak kebayang bisa semobil berdua sama dia, duduk di sampingnya. Pertanda apakah ini??

Sepanjang perjalanan kami ngobrol soal proyek. #yah, proyek lagi, proyek lagi...Apakah harapan itu masih ada? Ataukah udah nggak ada? Rasanya gue pengen UKI itu pindah ke Cirebon biar agak lamaan gue bisa semobil sama dia, hehehehe.
Tapi ternyata harapan nggak masuk akal gue itu nggak terkabul. Hari itu jalanan lancar, UKI pun berhasil dicapai dalam waktu nggak lama.

Dia : Kamu mau turun sini? Gimana kalo sekalian aja ku anter sampe kantor kamu, kan jadinya kamu udah nggak terlalu jauh lagi pulangnya.

Hah??? O-em-ji lagi deh...jarang-jarang dapet rejeki nomplok gini.

Gue : Boleh juga, kalo nggak ngerepotin

Aku malu tapi mauuuu....Eh, begitu deket kantor gue di Sudirman, dan gue udah siap-siap mau turun...

Dia : Gimana kalo sekalian aja sampe deket rumah kamu, di Cengkareng kan?
Hah? Hah? #Dobel ah, Hah-nya, saking nggak nyangkanya.
Gue : Waah, Cengkareng masih jauh banget, nanti ngerepotin...
Dia : Ya enggaklah, kan aku bawa mobil. Nggak ngerepotinlah, sekali-kali kan nggak apa-apa...
Wuaaah, seneng bener...Jadilah gue dianter sampe deket rumah gue. Nggak sampe rumah gue sih, tapi itu aja gue udah seneng banget deh. Badan gue langsung meriang. Dan malem itu gue sukses nggak bisa tidur mikirin dia...Hm

Besoknya, dengan wajah ceria Kiko ngedatengin gue.

Kiko : Kali ini gue bener-bener turut berbelasungkawa, Rum. Tabah ya Rum...

Apaan sih nih Kiko, ngasih kabar duka tapi tampangnya ceria kayak mau nyengir gitu. Hobi banget dia bikin gue panik.

Gue : Apaan lagi nih? Siapa lagi yang meninggal?
Kiko : Yee, siapa bilang ada yang meninggal. Nih, surat undangan pernikahan buat elo sama gue.
Gue : Nikahan siapa? Emangnya gue kenal? Kok gue diundang?
Kiko : Yaaah, pastinya elo kenal banget lah! Baca dong namanya!

Kiko meletakkan sebuah kartu undangan pernikahan berwarna coklat muda keemasan. Awalnya gue masih nggak ngerti maksud Kiko. Tapi begitu gue baca nama pasangan yang akan menikah di sampul surat undangan pernikahan itu, nama pimpro proyek puncak terpampang di situ...

Gue : Dia mau nikah? #terbelalak kaget, langsung lemas, lesu tak bergairah...
Pimpro idaman gue yang semalem nganter gue pulang itu mau nikah? Huahua...
Kiko : Elo sih, telat Rum. Sekarang janur kuning udah terlanjur melengkung deh. Elo udah nggak bisa ngapa-ngapin lagi.

Gue masih terbengong-bengong berusaha mencerna kenyataan pahit ini. Nyesel nggak ngikutin feeling gue sejak awal. Emang kayaknya dia bukan jodoh gue...

Kiko : Nanti kita datengnya bareng aja ya Rum.
Gue : Hah? Lo pikir gue bakalan dateng ke resepsi pernikahan dia?
Kiko : Kan kita diundang, Rum. Dan biar gimana dia partner kerja kita.
Gue : Nggak mau lah yauw! Bodo banget deh, dia siapa. Lo dateng sendiri aja gih.
Kiko : Ya udah kalo elo nggak mau dateng. Gue ngerti perasaan lo. Tapi lo mau nitip amplop nggak?
Gue : Hah??? Ogaaah! Nggak sudi lah yaw nitip amplop, rugiii...!!
Kiko : Kalo nitip salam?
Gue : Ogaaaah!!

Dan pada saat itu, kalo bulan bisa ngomong, bulan pasti ngomong gini: KACIAAAAN DEH LO...!!

Sabtu, 14 September 2013

Novel Korea : Longest Love Letter (PSA Pilihan GRASINDO)


Annyeonghaseyo teman-teman....

Kabar gembira di bulan September.

Telah terbit novel terbaru karya Arumi E.

Novel "Longest Love Letter", pembatas bukunya cute, kuning cerah juga ^_^


Inilah naskahku yang berhasil terpilih dalam 31 karya yang layak diterbitkan dalam ajang PSA (Publisher Searching for Author) yang diselenggarakan Penerbit Grasindo.

Yuk, beli dan baca yaaa... ceritanya romantisssss ^_^







Judul : Longest Love Letter
Penulis : Arumi E
Penerbit : Grasindo Publisher
Tebal : 288 halaman
Harga : Rp 47.000
Genre : romance Korean Story

Sinopsis:

“Kau mengingatkanku pada seseorang,” ucap Ryu Jin Soo.

Gadis itu, dengan latar belakang rumah mungil di ujung hamparan bunga canola kuning. Ryu Jin Soo merasa mengenalnya. Cara gadis itu tertawa, cara gadis itu bicara, bahkan cara gadis itu menggigit-gigit tusuk gigi hingga pipih seusai makan, mengingatkan Ryu Jin Soo pada Jang Mi Ra, kekasih masa remajanya. Tetapi gadis itu sama sekali bukan Jang Mi Ra, dia adalah Jo Eun Hye, artis papan atas Korea Selatan, yang sedang dekat dengan lawan mainnya, aktor Lee Jun Pyo.

Jo Eun Hye yang diombang-ambing perasaannya antara Ryu Jin Soo dan Lee Jun Pyo. Penulis novel best seller dan aktor idamannya. Ada rasa bersalah tiap kali ia memandang Ryu Ji Soo, ada rasa tak yakin saat ia menatap Lee Jun Pyo. Ada kisah gelap masa lalu yang ia sembunyikan dari keduanya. Sampai kemudian ia sadar, harus jujur pada salah satunya, menceritakan siapa dirinya sebenarnya, seusai ia membaca Longest Love Letter, novel terbaru Ryu Jin Soo.

Novel itu bagai surat cinta terpanjang yang pernah ia baca. Sayangnya, surat cinta itu bukan untuknya, melainkan untuk Jang Mi Ra yang kini entah berada di mana. Ryu Jin Soo berharap, kekasihnya yang telah lama hilang itu membaca ungkapan perasaannya dan menyadari ia masih menunggu di tempat yang sama, di hamparan bunga canola kuning dengan rumah mungil di ujungnya.

"Missing You" G-Dragon menjadi salah satu inspirasi 
kisah dalam novel ini 

Salah satu ilustrasi dalam novel "Longest Love Letter"
yang cute, ini Kim Hye Ri yang ngefans berat sama Pororo ^_^

Cuplikan Novel "Longest Love Letter"

“Jo Eun Hye! Lee Jun Pyo mencarimu. Ia ingin bertemu denganmu. Katanya ada hal penting yang ingin ia sampaikan padamu,” kata Han Seung Yi lagi.
“Jun Pyo?” tanya Jo Eun Hye dengan mata terbelalak.

Sejak kemarin ia memang sengaja mematikan ponselnya karena sedang tak ingin diganggu siapa pun. Pagi ini ia lupa belum menyalakan kembali ponselnya. Ia segera meraih tasnya, lalu mengambil ponselnya dan mengaktifkannya kembali. Benar saja, beruntun belasan sms masuk. Dan semuanya dari Lee Jun Pyo! Tak sabar Jo Eun Hye membacanya satu persatu.

“Kau di mana Eun Hye? Bisakah kita bertemu? Aku ingin bicara denganmu,”
“Eun Hye, kau belum membalas sms-ku,”
“Eun Hye!!!!”
“Eun Hye….kau pingsan ya?”
“Eun Hye, apakah kau diculik?”
“Eun Hye…kau mulai membuatku putus asa,”
“Eun Hye, jika kau tidak membalas sms-ku dalam lima menit, aku akan…”
‘EUN HYEEEEE….”
“Eun Hye, ayah dan ibuku ingin mengundangmu makan malam di rumah mereka,”
“Eun Hye, manajermu bilang kau ada di Jeju? Sedang apa kau di Jeju? Apakah kau menemui Ryu Jin Soo? Kau tak boleh bertemu dengannya,”
“Eun Hye, Saranghaeyo…aku mencintaimu…”
“Eun Hye, aku akan menjemputmu ke Jeju,”
“Eun Hye, maukah kau menikah denganku?”

Tubuh Jo Eun Hye bergetar membaca semua sms dari Lee Jun Pyo itu. Ia tertawa sambil menangis. Ia begitu terharu. Mengapa ia bodoh sekali? Mengapa ia mematikan ponselnya semalam? Mengapa ia langsung kembali ke Seoul? Mengapa…?

“Han Seung Yi, Jun Pyo bilang dia mencintaiku…” ucap Jo Eun Hye dengan suara bergetar, wajahnya tersenyum tetapi matanya menangis bahagia.
“Aku memang sudah lama menduga kalian benar-benar saling mencintai,” sahut Han Seung Yi.
“Jun Pyo bilang ayah dan ibunya ingin mengundangku makan malam di rumah mereka,” kata Jo Eun Hye lagi dengan mata masih berkaca-kaca.
“Oh, itu bagus sekali, berarti ayah dan ibu Jun Pyo menyetujui hubungan kalian,” sahut Han Seung Yi lagi.
“Jun Pyo bertanya, maukah aku menikah dengannya?” kata Jo Eun Hye lagi, suaranya semakin bertegetar.

Kali ini Han Seung Yi tidak menyahut. Ia tersenyum lebar dan bertepuk tangan sekali.

“Jo Eun Hye, segeralah susul Lee Jun Pyo ke Jeju detik ini juga! Katakan kau bersedia menjadi istrinya!” teriak Han Seung Yi tak bisa menahan histeris ...

"Loving You" menjadi inspirasi 
adegan Jo Eun Hye saat menerima lamaran Lee Jun Pyo







“Novel yang memikat! Pembaca akan dibawa untuk menikmati keindahan Pulau Jeju lewat tokoh dengan racikan emosi yang pas, alur yang menarik, dan setting cerita cantik yang dikolaborasikan dengan ciamik oleh sang penulis. Very recommended!”
-@cayyicayyi Penulis buku travelling Lost in Korea, Lost in Japan, dan Lost in Raja Ampat & Sorong-

“Khas cerita romantis Korea yang mengangkat cinta segi empat. Dibungkus suasana romantis pulau Jeju, pembaca seakan dapat menvisualisasikan setiap suasana yang digambarkan penulis dalam novel ini. Cerdas memainkan emosi, menarik dan menghanyutkan.”
-Fridha Kusumawardani, admin @KangJiHwanIndo, Kang Ji Hwan Indonesia

“Longest Love Letter" benar-benar menunjukkan sisi lain dari kisah romantis, selalu ada alasan yang lebih baik ketika jalan takdir memutuskan dan memilih agar "dia" pergi dari hidup kita.”
– Pearlita, admin @SJELFindo, Super Junior = ELF Indonesia

“Lagu Missing You dari G-Dragon melengkapi kisah dalam novel ini, membuat pembaca seolah-olah sedang berada di Jeju dengan suasananya yang romantis. Swagga!”
- Afnilian Hosari @sariemegumi, founder Bigbang For Indonesia, @bigbangforindo

“Membaca novel ‘Longest Love Letter’ ini serasa menonton K-drama. Konflik perasaan tokohnya memikat. Kisah pencarian cinta sejati yang menemukan jawaban di akhirnya, tanpa melukai siapa-siapa.”
–Ervan Joniawan, pecinta drama Korea


Endorsement dari :
Sari, founder Bigbang For Indo,
Fridha, admin Kang Ji Hwan Indo.
Pearlita, admin Supe Junior-ELF Indonesia,
Cayi, penulis Lost in Korea,
Ervan, pecinta drama Korea
Waah, alhamdulillah, Longest Love Letter masuk ke rak buku laris di Gramedia Medan ^_^

Longest Love Letter ada di rak buku laris di Gramedia Medan ^_^


Me and my new novel

Amy, pembaca dari Bukittinggi, yang langsung memesan novel
"Longest Love Letter" begitu terbit. Makasih ya, Amy ^_^
@riztagumilar juga sudah beli dan baca "Longest Love Letter" loh.
Makasih ya Rizta ^_^
Devi Faradila juga beli dan baca
"Longest Love Letter"
Makasih ya Devi ^_^

Jumat, 13 September 2013

Cerpen : Too Young to Have A Baby

Credit photo from We Made

Too Young To Have A Baby

Karya Arumi E.
Sebuah cerpen yang termuat dalam buku Antologi Kolase


Crown Café, day #13, 19.17 WIB


Aku baru saja memutuskan ingin mengaduk secangkir cappuccino berhias heart latte art di hadapanku, kemudian niatku itu urung kulaksanaan ketika aku melihat berita itu. Tak biasanya televisi datar yang menggantung di atas meja racik kopi itu menayangkan berita. Biasanya yang dipilih saluran musik hits dari tv kabel.

Aku sudah lama enggan menonton berita tentang negeri ini, tetapi saat ini aku melihatnya tak sengaja. Entah siapa yang mengganti saluran musik menjadi saluran berita televisi nasional. Berita itu mengabarkan tentang ditemukannya seorang bayi dalam kardus terapung yang tersangkut sampah di sungai kotor. Kamerawan tanpa rasa iba menyorot wajah sang bayi yang membiru, ditambah reporter mengatakan bayi itu masih hidup walau detak jantungnya sangat lemah. Pemandangan itu bagai mengoyak batinku, seolah dengan mesin waktu aku terlempar ke masa lalu. Mengembalikan ingatanku pada sebuah dosa besar yang pernah kuperbuat…

Beib

Sejak sebuah roh ditiupkan ke dalam tubuh mungilku ini, aku dapat merasakan hangatnya tempat ini. Ada sebuah saluran yang menghubungkan perutku entah kemana, hingga setiap saat aku selalu mendapat sumber energi dan protein untuk terus tumbuh dan berkembang. Semakin sempurna dalam bentuk. Semakin besar dalam ukuran. Tempat ini penuh air, membuat aku terombang ambing, jungkir balik kadang ke atas, kadang ke bawah.

Aku punya hubungan istimewa dengan pemilik tempat ini. Sering kudengar samar bisikan sedu sedan dan helaan nafasnya yang letih. Kadang pula kudengar suara berdetak cepat dan keras yang menggangguku, membuatku lama terjaga.
Kadangkala, tempat ini terasa begitu tenang. Aku sering mendengar suara musik lembut atau untaian doa-doa indah dibacakan untukku. Kadang ia mengajakku berbincang,  seperti kali ini,

“Halo, beib…” Lembut ia menyapa.

Aku selalu senang mendengar sapaan lembutnya. Aku menggerakkan tubuhku sebagai jawaban.

“Lagi ngapain?”  tanyanya.
Aku menggerakkan kakiku keatas.
“Eh, jangan nendang-nendang ya, beib. Sebentar lagi kamu bisa keluar. Sebentar lagi kita ketemu. Kamu pasti cakep seperti aku, he…he… Jangan nakal ya, beib. Baik-baik di situ.” katanya sambil mengusap lembut tempatku ini dari luar.

Aku senang! Aku kegirangan! Aku melonjak-lonjak! Aku juga ingin cepat-cepat keluar dari tempat ini. Ingin cepat-cepat bertemu dengannya.Kemudian seperti biasanya, suara alunan merdu mulai terdengar. Dia nyanyikan sebuah lagu dengan suaranya yang menenangkan.

“Timang-timang, my beib sayang!”

Ooi, membuaiku. Mataku pun terpejam meresapi nikmatnya suasana ini.
Begitulah biasanya. Begitulah hari-hari aku lalui bersamanya. Hubungan kami begitu dekat, begitu akrab. Kami selalu saling berbagi. Aku merasa nyaman di sini. Merasa hangat dan aman berada dekat bersamanya.

Tapi hari ini tak seperti hari-hari yang lain. Aku rasakan dia sejak tadi mengeluh kesakitan. Anehnya, aku juga dapat merasakan apa yang ia rasakan. Aku merasakan kesakitannya. Tempat aku berpijak dan terayun-ayun ini terasa menegang. Lalu berguncang-guncang. Terdengar lenguhan pilu. Tempat ini terasa bergerak, seperti pindah terburu-buru. Dia panik, aku pun ikut panik! Tempat ini berguncang semakin keras. Aku takut, karena lalu kudengar ia merintih kesakitan. Kurasakan juga tekanan-tekanan di sekitar tempatku ini.

Mendadak aku terputar balik. Rasanya kepalaku menjadi di bawah dan kakiku di atas. Aku semakin panik dan takut. Apalagi kudengar rintihannya semakin keras dan tertahan. Kemudian aku seperti terdorong ke bawah, setiap usai terdengar sebuah erangannya yang memilukan. Tubuhku semakin terdorong, terus terdorong ke bawah. Terdengar teriakan begitu kerasnya. Memekakkan telingaku. Tubuhku terdorong kencang, merosot ke bawah. Mulanya tersendat. Kemudian terasa lancar. Aaaghhh…!! Seperti melewati sesuatu…

Sekejap rasa dingin menyergap ubun-ubunku, lalu dadaku. Sedikit demi sedikit tubuhku keluar dari tempatku yang biasanya nyaman ke tempat asing yang tak kukenal. Kemudian sampailah ujung-ujung jariku juga tersergap rasa dingin. Seluruh tubuhku kini telah berpindah ke tempat lain. Keluar dari tubuhnya. Aku merasa tak nyaman. Tak ada lagi kehangatan yang biasanya menyelimuti tubuhku.

Maka aku pun mengeluh kecewa, “Oeeeeee!! Oeee!!”

“Ssstt!! Cup, cup! Jangan nangis sayang, aku di sini mendekapmu.” kata sebuah suara yang sudah sangat aku kenal.

Sepasang lengan berkulit lembut meraih tubuhku perlahan dengan sangat hati-hati, membopongku, mendekapku dan memberiku kehangatan. Sesuatu yang basah dan hangat menjilati kelopak mataku. Sebentuk bibirnya yang lembut menghisap cairan di mulutku. Aku kembali merasa tenang, hangat, aman. Tapi kemudian rasa sakit bukan kepalang kurasakan ketika benda panjang di perutku yang dahulu biasa kami gunakan sebagai saluran berbagi makanan dipotong dengan sesuatu. Aduh, sakit, sakit sekali!

“Oeee!!” jeritku keras kesakitan.        
“Cup, cup! Sabar ya, sayang. Cuma sakit sedikit kok! Dikasih obat supaya nggak infeksi, ya?” katanya menghiburku sambil mengusap bekas lukaku akibat potongan tadi dengan cairan yang sedikit membuat perih.

“Ah, siapa bilang sakit sedikit? Ini sakit sekali!” keluhku dalam hati.

Aku menatapnya sedikit kesal. Ia malah tersenyum manis kepadaku. Rasa kesalku pun musnah. Lihat senyum tulusnya. Lihat wajahnya. Wajah yang selama ini aku rindukan. Setelah sekian lama aku hanya dapat mendengar suaranya.
Dia mirip aku, mungkin. Lihat, ia punya sepasang mata indah sama seperti mataku. Hidungnya mancung dan bibirnya mungil berwarna merah jambu. Dia juga memiliki sepasang tangan seperti aku. Hanya saja, semua miliknya jauh lebih besar dari punyaku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Kelelahan menatapnya tak berkedip sekian lama.
Ia menepuk lembut bagian belakang tubuhku. Aku terbatuk. Mencoba menyapanya. Namun yang keluar dari mulutku hanya suara nyaring tak bermakna,    

“ Oeeee….Oeeee!”

Aku kecewa, kenapa suaraku begini? Padahal banyak yang ingin kutanyakan padanya. Bagaimana dia dapat memahaminya bila setiap aku membuka mulut dan mencoba bersuara yang terdengar cuma suara ‘Oeee’?

“My beib, syukurlah kamu selamat!” katanya sambil dikecupnya keningku.

Aku mengerahkan segala kemampuanku untuk bertanya padanya, siapakah dia sebenarnya? Apa makna kebersamaan kami selama ini? Mengapa kini aku merasa berada di tempat yang asing? Tempat yang tak biasanya? Tapi lagi-lagi yang terdengar cuma suara “ Oeeee!”
“Sttt!! Cup, cup! Jangan keras-keras, beib. Nanti ada yang denger.” ucapnya sambil terus menciumi pipiku.

“Ini Mama, beib. Jangan nangis ya.”

Ah, akhirnya ia menyebutkan namanya. Mama? Itukah namanya? Begitukah aku harus memanggilnya? Mama...Tiba-tiba kurasakan setetes air hangat jatuh ke pipiku diiringi isak tertahan.

“Beib, Mama sayang kamu. Mama nggak mau pisah sama kamu. Tapi beib, Mama nggak sanggup jaga kamu…hk…hk…” lirih suara sosok yang menyebut dirinya Mama ini.
“Besok Mama harus pergi sekolah. Kalau ada yang tahu Mama melahirkan kamu, bisa gawat, beib.”

Air yang semula hanya setetes itu kemudian jatuh ke pipiku bertetes-tetes, membasahi hampir seluruh wajahku.

“Semoga Tuhan mengampuni Mama. Semoga Tuhan menjagamu. Mama terpaksa harus membawamu pergi dan meninggalkanmu. Maafkan Mama, beib.” lanjutnya seraya sibuk menyeka tumpahan air yang tak terbendung dari matanya.

Aku tak mengerti maksud Mama. Aku tak mengerti mengapa ia menangis. Namun aku tak mampu menyampaikan tanyaku padanya.
Aku hanya bisa pasrah ketika Mama membungkus tubuhku rapat-rapat dengan sesuatu yang terasa panas di kulitku. Kemudian memasukkan tubuhku yang sudah terbungkus ini ke dalam suatu tempat yang pengap. Aku merasa sesak. Aku takut. Aku didekap, dan perlahan dibawa pergi, entah kemana.

oOo

Perjalanan ini terasa cukup lama. Sampai akhirnya aku diletakkan di tempat yang membuatku terombang-ambing. Tubuhku terus terombang-ambing dalam kesunyian dan kegelapan. Tanpa arah tujuan. Aku terus berteriak-teriak sekuat tenaga namun tak juga kudengar suara jawaban Mama. Apakah Mama telah meninggalkan aku? Sendiri di sini, kedinginan? Nafasku semakin sesak. Tubuhku melemas.
Setelah sekian lama, tiba-tiba kurasakan tubuhku berhenti bergerak. Sepertinya tertahan sesuatu. Sekaranglah saatnya aku memohon pertolongan dengan mencoba berteriak sekuat tenaga. Berharap akan ada yang mendengar.

“Oeeee!  Oeeee!” Aku terus berteriak.

Aku ingin hidup. Aku harus hidup. Aku ingin bertemu kembali dengan Mama. Mama, kembalilah. Aku masih ingin bersamamu lebih lama lagi, merasakan kehangatan pelukanmu.        

“Oeeee! Oeeee!”

Suaraku serak. Nafasku  terus menyesak. Tubuhku lemas lunglai tak berdaya. Tapi aku tak putus asa. Aku akan terus berteriak sampai ada yang mendengarku dan datang menyelamatkan aku. Waktu berlalu. Terus kutunggu. Tubuhku mendingin. Nafasku satu-satu. Coba lagi, teriak lagi, harus bisa!

“Oeeeee! Oeeee!”

Syukurlah, setelah sekian lama, setelah tenggorokkanku mengering, lamat-lamat kudengar suara kecipak air. Sesuatu menuju ke arahku. Semoga seseorang yang diutus Tuhan untuk menolongku. Janganlah mahluk lain yang justru akan mencelakakan aku.

Kembali terasa tubuhku diangkat. Kembali melalui kecipak suara air. Tidak terayun lagi karena didekap erat. Kemudian tubuhku dikeluarkan dari tempat menyesakkan ini. Dan pembungkus tubuhku dibuka. Ahhhh! Aku dapat bernafas lega. Aku terbatuk-batuk. Melepaskan emosiku dengan suara “ Oeee” yang panjang.
Kucoba mengerjapkan mataku. Dan perlahan mencoba membukanya. Ah, terangnya! Semula menyilaukan. Namun kucoba terus mengerjapkannya berulang-ulang hingga terbiasa dengan kilauan cahaya dan mampu melihat keadaan sekelilingku.

Hm, ini memang sungguh tempat yang asing. Hiruk pikuk. Penuh wajah-wajah. Adakah Mama di antara mereka? Salah satu diantaranya meraihku. Mendekapku. Membawaku masuk ke sebuah benda yang lantas bergerak dengan suara menderum. Hingga beberapa saat kemudian benda ini berhenti di suatu tempat. Aku dibawa ke sebuah ruangan luas. Ditidurkan di atas alas yang bergerak meluncur menuju sebuah ruangan serba putih.

Beragam benda ditempelkan di tubuhku yang telanjang dan mulai mendingin. Ada cairan yang dimasukkan ke tubuhku. Membuatku merasa hangat. Tubuhku diusap dengan air yang juga terasa hangat. Kemudian kembali dibungkus namun kali ini dengan bahan yang terasa lembut dikulit. Aku hangat, nyaman, tenang, merasa aman. Dimanapun aku kini berada, aku merasa keadaanku jauh lebih baik. Mama? Aku teringat lagi kepada Mama.

“Mama di mana?” tanyaku dalam hati.
Beberapa sosok berpakaian serba putih mengerumuniku dengan beragam ekspresi. Takjub, kasihan, heran, senang, gemas. Salah satu dari mereka berujar,
“Suatu keajaiban bayi ini masih hidup. Padahal tubuhnya sudah sangat dingin dan mulai membiru.”  kata seorang berpakaian serba putih.
“Oalah, Nduk! Kok tega-teganya Ibumu membuangmu ke kali. Jahat banget!”  seru salah seorang yang lain.

Aku mendelik. Aku menyeru “ Oeee”  berkepanjangan.

“Yah, paling lahir dari hasil hubungan gelap. Nggak diharapkan, nggak diinginkan. Kasihan…Padahal anak cakep begini,” yang lainnya lagi menimpali.
Seruan “ Oee”ku semakin keras.

Aneh, ketika aku sudah merasa nyaman dan aman, aku justru merasa tersinggung ketika orang lain menyalahkan Mama. Aku teringat dengan masa-masa indah yang telah kami lalui bersama. Berbagi makanan bersama. Lagu-lagu merdu yang dilantunkannya untukku. Doa-doa indah penuh harapan yang dipanjatkannya untukku.

Pasti, di dasar hatinya yang paling dalam, Mama sungguh menyayangiku. Tapi entah masalah apa yang menghimpitnya hingga Mama memilih jalan pintas untuk menyelesaikan masalahnya dengan membuangku. Membuangku, bukan membunuhku sebelum lahir, bukankah itu bukti itikad baik Mama memberikan aku kesempatan untuk hidup? Membuangku, sambil berdoa, berharap aku ditemukan oleh orang yang tepat. Apakah itu sebuah dosa? Apakah itu perbuatan terlaknat? Bahkan sekalipun aku memaafkannya?

oOo

Crown Café, day #13, 21. 05 WIB

Sudah lama aku menolak menonton berita di televisi. Bahkan fisikku terpengaruh tiap kali aku menonton berita. Kepalaku pusing, perutku mual. Berita yang ditayangkan televisi di negeri ini didominasi berita buruk. Membuat pikiran positif yang susah payah kubangun seolah lenyap begitu saja bagai setetes air yang dipanaskan.

“Devan brengsek!” makiku dalam hati.

Ah, keterlaluan! Bahkan sebuah nama yang sudah aku sumpahi tak akan pernah kusebut lagi, kini tanpa sadar terucap dari bibirku.

“Devan brengsek! Tapi ...aku juga bodoh!”

Dahulu, dalam setahun masa awal kehilanganku, entah sudah berapa ribu kali aku mengucapkan kata-kata makian seperti ini. Mengutuk Devan dan mengutuk diriku sendiri. Devan telah menghancurkan masa remajaku, menghempaskanku ke dalam keterpurukan, lalu menambah daftar dosaku dengan dosa yang paling tak termaafkan.

Devan teman satu kelasku di masa SMA yang memang memiliki modal fisik menawan. Dengan wajah tampannya ia berusaha memikat banyak gadis. Termasuk aku. Aku tak menolak rayuannya, siapa yang tak merasa melambung dirayu Devan pemuda paling popular di sekolahku dulu? Pada masa itu, aku yang polos tak menyadari, Devan adalah seorang perayu ulung. Aku terhanyut segala bujuk rayu Devan dan menerima begitu saja ajakan Devan untuk berhubungan lebih jauh lagi. Berdalih sebagai bukti cinta, Devan berhasil membuatku menyerahkan kegadisanku begitu saja.

Sampai kemudian aku merasakan perubahan pada tubuhku. Rasanya, ada sesuatu yang tumbuh dalam rahimku yang masih belia. Tapi bodohnya, aku tak berani mengatakannya pada siapa pun. Tidak kepada Ayah dan Ibuku. Bahkan kepada Devan sang biang keladi pun tidak.

Aku menyimpan rahasiaku sendiri. Untunglah tubuhku tergolong mungil. Sehingga aku bisa menyembunyikan perutku yang semakin membesar dari semua orang. Aku memang terbiasa memakai kemeja sekolah satu nomor lebih besar. Kemejaku yang kebesaran itu mampu menyamarkan ukuran perutku yang membesar.

Aku juga memutuskan untuk tak pernah bilang pada Devan. Aku yakin, jika kuceritakan kehamilanku saat itu pada Devan, ia pasti akan semakin melecehkanku. Apalagi baru tiga bulan berpacaran, Devan memutuskanku begitu saja. Lalu seenaknya menggandeng pacar baru. Aku memutuskan untuk melupakan semuanya. Biar rasa berdosa ini kutanggung sendiri hingga mati, asalkan tak ada yang tahu kejadian yang sebenarnya.

“Nit! Nit! Nit!”

Aku ingat telepon yang kuterima dari teman sebangku Windy, tak lama setelah aku melahirkan dan membuang bayiku. Ya, setelah susah payah aku membesarkan bayiku dalam rahimku, begitu ia lahir aku membuangnya! Bayangkan betapa banyaknya dosa yang telah aku lakukan saat itu.

“Ada apa, Win?” tanyaku menjawab telepon dari Windy itu.
“Sep, gila deh! Lo udah tau belum? Mantan lo si brengsek itu...” suara Windy terdengar kencang dan tidak sabar.
Dadaku berdegup kencang.
“De...van?” tanyaku hati-hati.
“Tau enggak lo, sabtu besok Devan mau nikah sama Roselia pacar barunya. Devan ketahuan menghamili Roselia! Ternyata Roselia udah hamil dua bulan! Gila nggak tuh!” jawab Windy terdengar menggebu-gebu menahan emosi.

Ketika itu seketika jantungku rasanya hampir berhenti.

“Apa???!!!?” teriakku keras.
“Ck...ck...untung aja dulu lo putus sama dia, Sep! Kalau enggak, bisa-bisa elo yang jadi korban kebiadaban Devan!” seru Windy.

Handphone dalam genggaman tanganku segera saja meluncur jatuh. Aku merasa sangat bodoh. Aku hancur lebur. Mengapa bodohku estafet dan permanen? Mengapa aku selalu salah mengambil keputusan?

Kupandangi lagi secangkir cappuccino berhias heart latte art di hadapanku yang belum jadi kuaduk. Cappuccino itu sudah berubah dingin. Sedingin hatiku yang telah membeku selama bertahun-tahun. Kajadian dulu itu menyisakan trauma yang tak pernah bisa sembuh walau sepuluh tahun telah berlalu. Aku tak pernah bisa lagi memercayai lelaki mana pun. Sebaik apa pun sikapnya di hadapanku, aku tak akan lagi mau dibodohi.

~ oOo ~