Laman

Minggu, 11 Oktober 2015

Berapa lama proses seleksi naskah di penerbit?

Halo kawan-kawan semua ...

Saya tahu, blog saya ini bukan blog yang banyak pengunjungnya. Karena, yaaa, saya bukan penulis top se-Indonesia. Baru top serumah saya saja ^_^

Saya amati, postingan saya yang terpopuler adalah  "Tahajud Cinta Di Kota New York". Saya akui, novel ini memang paling banyak mendapat respon positif, menyusul kemudian "Hatiku Memilihmu", Lalu "Monte Carlo", "Eleanor" dan berharap "Merindu Cahaya de Amstel".

Namun anehnya, beberapa bulan ini, kepopuleran postingan "Tahajud Cinta di Kota New York" tergeser oleh postingan berjudul "Tips Kirim Naskah". Apalagi postingan ini mendapat banyaaaaaaaaak sekali pertanyaan pembaca. Sering kali pertanyaannya berulang, yang membuat saya harus menjawab dengan tegas supaya "MEMBACA SEBELUM BERTANYA".

Ini menunjukkan betapa banyak yang bercita-cita ingin memiliki novel karya sendiri yang terbit secara nasional dan terpajang di toko buku.

Sesungguhnya, kawan, sangat melelahkan menjawab berulang kali pertanyaan yang sama, padahal penjelasannya sudah ada. Sering kali pula pertanyaan disertai catatan, tolong dijawab segera ....

Ah, untunglah saya termasuk sabar. Paling kalau ada yang begitu, saya malah menjawabnya nanti-nanti saja. Karena itu, kali ini saya akan berbagi dengan teman-teman yang berniat menerbitkan naskahnya, bagaimana agar tulisan kamu menarik perhatian penerbit.

Pertama-tama, sebelum kamu memutuskan ingin menjadi penulis, pikir-pikir dulu, apakah kamu yakin kamu tahan banting, tidak mudah menyerah, sabar menghadapi caci maki pembaca dan kritikus serta sabar menunggu kabar dari penerbit? Jika jawabannya tidak, maka sebaiknya kamu pertimbangkan lagi cita-cita indah kamu ingin menjadi penulis.

Karena sekali lagi saya tegaskan, "MENJADI PENULIS ITU TIDAK GAMPANG!"

Di postingan sebelumnya saya sudah berbagi pengalaman berjuang di dunia kepenulisan. Saya memulainya sejak tahun 2005, ketika cerpen saya dimuat pertama kali di Aneka Yes! dengan honor 75.000 rupiah.

Memang tidak seberapa, tapi saya senang dan kemudian bersemangat menulis cerpen lainnya lalu mengirimkannya ke berbagai majalah. Alhamdulillah, cerpen-cerpen saya dapat diterima di beberapa majalah, seperti Kawanku, Hai, Story, Wonder Teen, Sekar, Girls, Bobo hingga Kompas Anak. Hingga total cerpen saya yang dimuat di media kurang lebih berjumlah 60 cerpen.

Barulah kemudian saya mulai meningkatkan cita-cita ingin menulis naskah novel dan bermimpi bisa diterbitkan. Tidak harus di penerbit ternama, yang penting terbit dulu dan terpajang di toko buku Gramedia.

Dulu, rasanya membuat novel itu sulit sekali bagi saya yang terbiasa menulis cerpen. Novel pertama yang saya buat saya beri judul "Semburat Jingga di Mega Mendung" (yang beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 2014 akhirnya terbit di Gramedia Pustaka Utama dengan judul "Pertemuan Jingga")

Naskah ini pernah saya ikutsertakan lomba menulis novel tapi gagal menang. Kemudian naskah novel itu mengendap lama tak tersentuh.

Saya mencoba membuat naskah novel lain, berupa cerita remaja. Lalu mengirimnya ke sebuah penerbit. Hingga kemudian naskah itu ditolak 3 penerbit. Berapa lama waktu saya menunggu kabar dari penerbit? Ada yang 3 bulan, ada yang 4 bulan, ada yang 6 bulan. Dan semua mengabarkan berita buruk, naskah saya ditolak.

Apakah saya berputus asa? Tentu tidak. Sejak tahun 2010, saya memutuskan berhenti menjadi pegawai di bidang arsitektur dan fokus membangun karir menulis saya.

Hingga kemudian saya bertemu teman yang menjadi agen naskah di sebuah penerbit. Teman saya ini menyampaikan kabar kesempatan mengirim naskah cerita Korea ke penerbit tersebut. Tapi syaratnya, saya harus memakai nama pena yang berbau Korea, tidak boleh memakai nama asli. Saya pikir saat itu, ini adalah kesempatan baik yang tak boleh saya lewatkan. Saya sangat ingin memiliki novel hasil karya sendirian yang terbit dan beredar secara nasional. Maka saya terima kesempatan itu hingga akhirnya saya berhasil menebitkan 4 novel cerita Korea dan 1 novel cerita Jepang, semuanya dengan nama pena.



Bayangkan, di tahun 2012, saya akhirnya berhasil menerbitkan 5 novel tapi semuanya memakai nama pena dan tidak boleh mencantumkan identitas pribadi yang sebenarnya. Saya jalani semua itu tanpa mengeluh, saya anggap sebagai sebuah proses untuk cita-cita saya yang lebih tinggi, novel saya terbit di penerbit ternama dengan nama asli saya terpampang di cover depannya.

Di bulan Desember tahun 2012 akhirnya saya mendapat kesempatan menerbitkan novel pertama dengan nama asli saya, Arumi. Novel itu berjudul "Cinta Bersemi di Putih Abu-abu".



Tak lama terbit lagi novel saya berduet dengan sahabat saya Selvy, berjudul " Cinta Yang Sempurna". Sampai kemudian akhirnya saya menerbitkan novel yang sangat saya sukai, "Tahajud Cinta di Kota New York" dengan nama Arumi E. di cover depannya. Ah, rasanya bahagia sekali. Apalagi ternyata novel ini banyak disukai pembaca.



Apakah perjuangan saya dan masa-masa penuh airmata berakhir setelah novel ini terbit? Oooh tentu tidak, kawan. Masih panjaaaaaaaaaaang kesengsaraan yang harus saya lalui di dunia kepenulisan. Penuh liku, proses jatuh bangun yang menguras emosi, menggerus mental tapi untunglah saya sudah bertekad, SAYA TIDAK MENYERAH!

Karena kesuksesan "Tahajud Cinta di Kota New York", kemudian saya dihubungi kepala editor Grasindo dan ditawarkan untuk mengirim naskah saya ke sana.  Tentu saya sangat bahagia dan menerima tawaran itu. Saya kirim naskah saya yang berjudul "Amsterdam Ik Hou Van Je." Bukan hanya editor Grasindo yang menghubungi saya, tapi juga editor Gagas Media yang kemudian menawarkan saya menulis naskah "Monte Carlo". Editor Bukune pun menghubungi saya. 

Begitulah kawan. Saat salah satu naskah yang kamu tulis bernasib baik, maka kamu akan mendapat perhatian dari penerbit. Peluang bagi kamu terbuka untuk mengirim naskah terbaikmu kepada mereka.

Namun seperti yang saya ceritakan sebelumnya, biasanya kesuksesan itu tidak bisa diraih dengan jalan mulus,  Selalu ada kerikil-kerikil tajam yang menyertainya.

Salah satu yang harus kamu persiapkan saat kamu memutuskan ingin menjadi penulis adalah kekuatan mental, tahan banting saat mendapat makian dan kritik pedas dari pembaca.

Itulah yang saya alami. Ada kesalahan yang tanpa sadar saya lakukan karena belum paham dunia kepenulisan. Saya belajar menulis secara otodidak, hanya dari buku-buku yang saya baca. Pernah dahulu sekali di tahun 2003 saya belajar menulis di FLP tapi hanya beberapa bulan. 

Kesalahan itu adalah salah mengolah data mengenai setting tempat di novel Amsterdam Ik Hou Van Je. Kemudian saya merasakan kekejaman media dunia maya yang bisa menjungkirbalikan nama baik seseorang hingga ke tempat paling dasar. Satu orang berkata buruk lalu menyebarkannya, maka yang lain percaya tanpa punya keinginan untuk bertanya dulu tentang kebenarannya. Sungguh masa-masa yang menguji kekuatan mental.

Karena itulah saya ingatkan kepada teman-teman yang ingin menulis cerita dengan setting kota yang belum pernah kamu kunjungi, saat kamu mencari data dan informasi tentang kota itu, olah data-data yang kamu dapatkan dengan kata-kata kamu sendiri. Jangan hanya menambah atau mengedit informasi dari artikel yang sudah ada tentang kota tersebut. Ingat, selalu gunakan kata-katamu sendiri. Pikirkan dan ciptakan kalimat-kalimatmu sendiri. Jangan sekali pun kamu berani mengambil kata-kata penulis lain. Sekali saja kamu lakukan, akibatnya akan sangat fatal. Kamu akan dicap sebagai plagiator dan itu adalah vonis paling hina buat seorang penulis. Karena penulis adalah pencipta rangkaian kata, seorang penulis dituntut untuk memikirkan dan membuat sendiri kalimat-kalimat yang ditulisnya. Ini salah satu tips dan peringatan dari saya ya teman-teman. Jangan dilupakan.

Apakah saya menyerah? Hampir. Tapi kemudian saya berpikir, saya tidak boleh berhenti menulis. Alhamdulillah editor-editor yang menangani naskah saya masih mendukung saya dan memberi semangat. Hingga akhirnya saya bisa menyelesaikan naskah Monte Carlo dan terbit di Gagas Media sebagai salah satu seri setiap tempat punya cerita.



Nah, kamu, yang bercita-cita ingin menjadi penulis, jika kamu mengalami apa yang saya alami, apakah kamu akan menyerah dan membiarkan dirimu terpuruk, ataukah sanggup seperti saya, bangkit berdiri, tetap berjalan, bahkan semakin cepat untuk membuktikan kepada semua orang bahwa saya sungguh-sungguh bisa menulis dan Insya Allah tulisan saya memberi inspirasi bagi yang membacanya walau mungkin hanya inspirasi kecil.

Naskah saya malah diterima oleh Gramedia Pustaka Utama dan terbit berjudul "Hatiku Memilihmu". Alhamdulillah, novel ini pun mendapat sambutan positif pembaca.



Kemudian berturut-turut novel saya terbit di Gramedia Pustaka Utama, "Pertemuan Jingga", "Eleanor" dan yang terbaru "Merindu Cahaya de Amstel" Selain itu dua novel saya juga terbit di Elex Media, "Unforgotten Dream" dan "Cinta Valenia".








Sebelum saya menjawab judul postingan ini, saya ingin menyampaikan juga, bahwa di antara segala kesuksesan menerbitkan beberapa naskah novel di penerbit-penerbit ternama, bukan berarti jalan selanjutnya akan selalu mulus.

Persiapkan juga keadaan ini, jika kamu berniat menjadi penulis, kamu tidak boleh marah atau putus asa saat salah satu naskah kamu sudah siap terbit, sudah di layout, sudah dibuatkan cover, bahkan sudah mohon bantuan pembaca memilih cover, tapi akhirnya naskah itu batal diterbitkan. 

Kamu harus siap menerima keadaan ini, karena hal seperti ini mungkin saja terjadi. Jangan merengek, apalagi marah. Itu adalah resiko menulis. Contohnya saya, tidak kesal sedikit pun. Saya percaya, setiap naskah sudah punya takdirnya sendiri-sendiri. Jika satu naskah gagal terbit di sebuah penerbit, bukan berarti nasibnya berakhir. Naskah itu bisa dikirim ke penerbit lain. Bisa juga dirombak lagi menjadi genre lain lalu dikirim ke penerbit yang lebih baik. Niscaya nasibnya mungkin malah lebih baik dibanding jika terbit di penerbit sebelumnya.

Poin dari penjelasan panjang lebar di atas adalah untuk menjawab banyaknya pertanyaan yang ditujukan ke saya, baik melalui komen atau email mengenai lamanya waktu menunggu kabar dari penerbit.

Saya jawab di sini, tidak ada kepastian berapa lama kamu akan mendapat jawaban dari penerbit. Kamu sendiri yang memutuskan bagaimana nasib naskahmu. Karena itulah yang saya lakukan. Saya TIDAK PERNAH BERTANYA tentang kabar naskah saya. Saya yang membuat sendiri batas waktunya. Jika dalam setahun belum juga ada jawaban, maka naskah tersebut akan saya tarik. Saya kirim surat penarikan naskah. Tapi jika saya masih berharap naskah itu bisa diterbitkan di penerbit tersebut, maka saya akan sabar menunggu sampai kapan pun. 

Contohnya, Gramedia Pustaka Utama. Penerbit yang satu ini tidak bisa memastikan kapan kamu akan mendapat kabar nasib naskah kamu. tahukah kamu, berapa naskah yang masuk ke redaksi Gramedia Pustaka Utama? Ribuan. 

Jalan terbaik dan saran dari saya, teruslah menulis. Jangan hanya menulis satu naskah lalu berdiam diri cuma fokus menunggu kabar naskah itu. Buatlah banyak naskah. Teruslah menulis. Menunggulah sambil menulis. Hingga kamu tak sadar saat tiba-tiba saja editor penerbit itu menghubungimu dan menyatakan naskahmu diterima.

Jadi inilah kesimpulan dari seluruh pengalaman saya selama sepuluh tahun berkecimpung di dunia kepenulisan. Untuk menjadi seorang penulis, kamu harus punya mental baja, jangan cengeng dan berhati lemah. Tegar dan tangguh, pantang menyerah. Dan yang paling utama adalah sabaaaaaaaaaaaar. Jika belum apa-apa kamu sudah galau nggak sabar nunggu kabar nasib naskahmu, pikir-pikir lagi deh soal cita-citamu jadi penulis novel. Karena menunggu kabar nasib naskahmu itu cuma secuil dari tantangan yang harus kamu hadapi di dunia kepenulisan. Banyak tantangan lain yang lebih menyayat hati dan butuh mental baja untuk tetap mampu bertahan.

Ohya, ada satu saran lagi dari saya untuk penulis pemula yang masih berjuang mengirim naskah ke penerbit. Jangan jadi penulis cerewet. Kecerewetanmu bisa jadi boomerang lho. Tanpa sadar bisa bikin kamu di-blacklist editor. Cerewet di sini dalam arti terlalu banyak nanya nasib naskah kamu saking nggak sabarnya. Atau nanya kapan royalti dikirim, kapan bukti terbit dikirim, dll. Nanya sekali sih masih oke. Tapi kalau nanya berkali-kali tanpa kamu sadari kamu bisa bikin editor bete dan memasukkan kamu ke daftar blacklist mereka. Ini salah satu curhat editor lho. Karena itu yang juga penting bagi seorang penulis selain sabar, tangguh, bermental baja, mau terus belajar, adalah menjaga attitude kamu. Jangan jadi penulis yang nyebelin. 

Isi waktu menunggumu dengan banyak membaca, menambah wawasan dan terus melatih teknik menulismu.

Demikian sharing saya kali ini tentang lika liku dunia penulisan. Selamat berjuang. ^_^

NB : saat ini, postingan "Tahajud Cinta di Kota New York" kembali menjadi entri paling populer nomor satu di blog saya ini ;)





Kamis, 01 Oktober 2015

Welcome October

Oktober! Bulan ke 10. Aaah, cepatnya waktu berlalu. Sebentar lagi tahun 2015 akan berakhir.

Dan aku? Apa hasil kerjaku tahun ini? Tahun ini hanya dua novelku yang terbit. Dua.

Apa saja yang kulakukan sepanjang tahun ini?  Aku sudah berusaha agar hidupku penuh warna, petualangan dan terus menambah wawasan baru.

Alhamdulillah tahun ini aku mendapat kesempatan ke luar negeri lagi. Walau masih hanya negara tetangga, tapi banyak menambah wawasanku.

Aku jadi makin sadar. Indonesia memang negara yang besar dan luaaas. Penduduknya banyaaaaak. Tak bisa dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Tidak mudah mengelola Indonesia. Begitu beragam adat istiadat, agama, bahasa, namun kami harus bisa hidup berdampingan dengan harmonis.

Jakarta tidak bisa dibandingkan dengan Kuala Lumpur. Jakarta lebih luas, lebih banyak warganya, lebih kompleks, lebih rumit, lebih megapolitan.




Bulan ini diawali dengan kesibukan mengirim pesanan pembaca. Satu per satu dikirim. Semoga banyak yang berminat membaca "Merindu Cahaya de Amstel"

Yuk, yang mau order langsung sama aku edisi bertandatangan, silakan kirim saja permintaan ordernya ke rumieko@yahoo.com






Biasanya aku mengirim novel pesanan teman-teman pembaca melalui JNE atau Pos Indonesia. Tergantung permintaan pembeli mau via apa. Sekarang makin happy karena kinerja Kantor Pos makin oke. Jam bukanya pun diperpanjang hingga pukul 19:00 WIB. Hebat kan? ^_^




Book trailer "Merindu Cahaya de Amstel" ini paaassss banget dengan bulan Oktober ^_^





Rabu, 30 September 2015

Hari Terakhir di KL #27HaridiKualaLumpur


Hari ke-27. Ah, ke mana perginya waktu? Cepat sekali berlalu. Rasanya belum lama aku merasa excited karena pertama kali pergi ke KL sendirian. Sekarang sudah harus pulang.

Agak mellow juga berpisah dengan semua yang di sini. Ada banyak kisah yang terjadi di sini. Aku bertekad akan menuliskannya menjadi sebuah kisah, diramu imajinasiku. Ah... sejujurnya ... aku suka tinggal di KL. Suka dengan transportasi umumnya yang nyaman.

Kembali ke Jakarta, kembali dihadang hawa panas, macet luar biasa. Tapi senangnya, ketemu bapak ibuku lagi dan tak sabar bertemu teman-teman.

Aah...semoga suatu hari nanti aku bisa kembali ke sini ...



Seminggu sebelum pulang aku sudah sibuk mengepak barang. Yaaah, seperti yang sudah diperkirakan, bawaan pulang berkembangbiak dibanding saat datang. Semula aku ingin memaksakan tetap dalam satu koper saja. Tapi akhirnya aku memutuskan khusus untuk oleh-oleh ditempatkan di tas lain saja. Aku beli tote bag simpel design by Arch. Lumayan oke juga.

Aku juga diajarkan cara mengepak baju yang rapi dan ringkas serta hemat tempat dalam koper. Caranya, setiap potong pakaian digulung. Ternyata benar lho. Memamg lebih ringkas dan rapi jadinya.


Diajarkan cara packing yang ringkas dan hemat ruang

Aku memutuskan menuju bandara KLIA 2 dengan naik rapid KL, disambung LRT hingga ke KL Sentral. Lalu dilanjutkan naik bus bandara. Tak sampai 1 jam, sudah sampai di bandara. Aaaaah, praktis dan mudah banget. Berangkat jam 7 lewat, pukul 9 sudah sampai bandara. Agak terhambat saat naik LRT karena mendadak kami diturunkan saat tiba di Stasiun Kampung Bahru. Diminta pindah ke LRT berikutnya. Entah ada apa. Mungkin ada sedikit gangguan yang lebih aman jika penumpang diturunkan. 

Semula aku sempat khawatir, karena memang menjelang pukul setengah 8 pagi adalah jam sibuk. LRT di KL pun penuuuuh banget. Nggak kalah deh dengan commuter line di Jakarta. Tapi bagusnya, di sini LRT datang tiap 4 menit sekali, sehingga nggak perlu nunggu lama, aku sudah bisa naik LRT berikutnya dan sampai di KL Sentral hampir pukul 8:00.

Siap-siap masuk ...




Aku perhatikan saat menunggu boarding, sepertinya banyak orang asing yang akan naik pesawat yang sama denganku menuju Jakarta. Bahkan aku hanya bertemu dengan satu orang Indonesia yang transit dari New Delhi. Waaah, baguslah yaaa, berarti masih banyak orang asing yang berminat datang ke Indonesia.

Ada sekumpulan gadis remaja berwajah Eropa, berambut pirang dan kecoklatan, mengenakan kerudung. Aku perkirakan mereka berasal dari Eropa Timur. Sok tau yaa, hehehe. Mungkin lho.


Suasana di dalam pesawat. Nggak terlalu ramai

Kuala Lumpur ke Jakarta itu nggak lama. Nggak sampai 2 jam. Kira-kira 1 jam 45 menit. Buktinya aku nonton X-Men dan filmnya belum selesai saat pesawat mendarat di Jakarta. Waah,padahal aku pengin tahu endingnya bagaimana.




Alhamdulillah... akhirnya sampai juga ke Jakarta. Ternyata aku bisa menyelesaikan tugas ini, naik taksi sendirian, ke bandara sendirian, ke luar negeri sendirian. 

Aaaah, semoga tahun depan aku bisa mewujudkan mimpi berkunjung ke Adelaide. Aamiin ^_^  













Selasa, 29 September 2015

Bukit Bintang dan Kampung Bahru #27HaridiKualaLumpur

Hari ke-26. Waaah ini sebenarnya late post. Kemarin tanggal 28 adalah hari ke-26 aku di KL.

Di hari Senin itu aku masih punya kesempatan sehari lagi untuk mengunjungi dua tempat yang belum sempat kudatangi. Bukit Bintang dan Kampung Bahru.

Dilihat dari peta KL, Kampung Bahru dekat dengan KLCC. Hanya naik LRT dari Stasiun KLCC, langsung turun di perhentian berikutnya, Kampung Bahru.

Tapi aku sengaja memilih jalur yang lebih jauh. Sejak awal sudah penasaran pengin tahu seperti apa yang namanya Bukit Bintang. Kali ini pun aku hanya mengandalkan informasi dari peta transportasi KL.

Bisa dilihat, untuk ke Bukit Bintang, aku bisa ke Kl Sentral naik LRT, lalu lanjut naik monorel ke sana. Padahal kalau dilihat di peta jaraknya tak jauh dari KLCC.

Aku memilih mencoba naik monorel, karena selama di KL aku belum pernah mencobanya.

KL Sentral. Luaaas banget

Pintu masuk monorel
Monorel mirip LRT, bedanya LRT di bawah tanah, monorel di atas, jadi bisa lihat pemandangan di luar. Cepat banget deh naik ini. Nggak berasa tau-tau sudah sampai Stasiun Bukit Bintang.


Salah satu yang menarik di Bukit Bintang

Sejak pagi langit memang nggak cerah. Tertutup kabut asap. Tapi aku nekat tetap keluar rumah. Dan baruuuuu sebentar aku jalan-jalan di Bukit Bintang mendadak hujan deraaaaas banget. Untunglah sudah sedia payung sebelum hujan.




Dan ,.... aku baru tau ternyata dari sini bisa naik Bus GoKL ke KLCC. Gratis! Ahahahah...



Aku mampir dulu deh di KLCC. Sekali lagi lihat-lihat siapa tahu ada yang bisa dibeli buat tambahan oleh-oleh. Yaaa, memang ada. Akhirnya aku mampir stand Arch beli tote bag buat tempat oleh-oleh dan beli pembatas buku,



Setelah itu barulah aku lanjut ke tempat berikutnya, Kampung Bahru.


Menunggu LRT


Iseng motret ini. Tertarik dengan keterangannya.
Katanya diangkat dari novel best seller di Malaysia :)

Petunjuknya jelas. Jadi nggak bakal nyasar, Insya Allah


Ternyata Kampung Bahru itu adalah deretan tempat makan di kanan kiri sepanjang jalan ini. Mungkin kalau malam ramai. Aku cuma nyoba gorengan Malaysia. Ada cempedak goreng. Enaak. Semua macam gorengan harganya sama, 2 ringgit dapat 5. Ada pisang goreng, ubi goreng, risol, bakwan. Tapi pisang molen dan cireng nggak ada, hehehe.


Twin Towers kelihatan. Nggak jauh kan?

Saat siang hari banyak tempat makan yang tutup, hanya beberapa yang buka penuh dengan pengunjung yang makan siang. Umumnya yang buka tempat makan luas, lauk pauk disajikan cara prasmanan. Pembeli bisa ambil sendiri lauk dan sayur. Aku cuma lihat-lihat. Kulihat ada sayur berkuah santan agak merah dari warna cabai isinya cuma nanas yang dipotong bundar-bundar. Walah nanas disayur santan juga yaa...

Perkiraanku, di malam hari tempat ini lebih ramai, lebih banyak restoran yang buka.