Laman

Minggu, 13 September 2015

Jalan-jalan Sendirian ke Batu Caves #27HaridiKualaLumpur

Hari ke-11 di Kuala Lumpur.

Weekend! Akhirnya bisa liburaaaaan ^_^
Sabtu aku sudah bisa santai, diajak nonton bioskop. Hm, nggak nolak dong. Pengin tahu bioskop di sini seperti apa.

Seru juga pengalaman nonton bioskop di Malaysia. Sebelum film mulai, diperdengarkan lagu kebangsaan Malaysia dan para penonon diminta berdiri. Padahal filmnya Maze Runner!






Di sini juga ternyata nggak penuh yang nonton film ini. Antrian nggak panjang. Padahal di Jakarta katanya antriannya panjaaang banget. Aku nonton di Suria KLCC. Yang ada menara kembarnya itu lho.

Nontonnya di sini


Kemudian esoknya hari Minggu, aku melanjutkan penjelajahanku menikmati Kuala Lumpur. Kali ini disarankan ke Batu Caves. Dari apartemen aku naik bus rapid KL menuju Ampang Stasiun. Lalu naik LRT menuju KL Sentral. Sampai sana lanjut lagi dengan KTM, kereta menuju Batu Caves.




Yang mau masuk gerbong khusus wanita nunggunya di sini




Tiketnya nih


Nggak lama sampai juga di Batu caves. Pemberhentian terakhir kereta ini. Begitu keluar stasiun langsung menuju pintu gerbang Batu Caves. Masuknya gratis lho.

Melewati pintu gerbang

Batu Caves ini ternyata merupakan kuil Hindu India yang berada di dalam gua. Secara alami gua ini terbentuk indah.



Tangganya tinggi banget

Untuk masuk ke dalam gua, pengunjung harus mendaki tangga dulu. Tinggi banget... tapi aku suka. Sekalian olahraga.









Ini salah satu tempat sembahyang
umat Hindu di dalam gua


Sengaja bawa buku ke sana. Supaya bisa ikutan narsis. Kali ini "Hatiku Memilihmu" dan "Merindu Cahaya de Amstel".


Ohya, hati-hati di sini banyak monyet. Setelah aku keluar, aku iseng beli snack yang di jajakan sepanjang menuju pintu keluar. Dapat 5 kue campur seharga 4 RM. Malangnya, belum sempat kumakan keburu dirampas monyet .... hikss.

Bukan monyet ini yang merampas kueku
Takjub saja lihat induk monyet ini gendong anaknya

Banyak burung dara juga. Hati-hati ...


Kamis, 10 September 2015

Undangan Tak Terduga #27HariDiKualaLumpur

September ... ah, karena beberapa hari sibuk jadi baru bisa posting hari ini.
September ceria, kata Vina Panduwinata. Dan ... yah benar, September ini
rasanya ceria sekali.

Novel baruku "Merindu Cahaya de Amstel" terbit di bulan ini. Selain itu, selama bulan September, tepatnya dari tanggal 3 sampai 29, aku akan tinggal di Kuala Lumpur. Di rumah seorang teman yang mengundangku berkunjung ke tempatnya bermukim sudah setahun ini.

27 hari. Selama itulah aku akan berada di sini. Tiket dan ongkos ditanggung. Plus dapat uang saku. Tempat tinggal dan makan juga disediakan. Tentu kuterima undangan ini. Karena kesempatan seperti ini belum tentu terulang dua kali. Bisa sepuasnya menjelajahi dan mengamati negri tetangga.

Walau bertepatan dengan terbitnya novel baruku, membuatku terpaksa tidak bisa bekejasama dengan salah satu toko buku online untuk mengadakan PO.

Ini kali kedua aku ke luar negeri. Yaaah, baru sedikit memang pengalamanku traveling ke luar negeri. Baru kali ini aku pergi ke luar negeri sendirian. Sempat nervous awalnya. Tapi aku berusaha membulatkan tekad berani bertualang. Selalu ada yang pertama untuk segala hal, kan? Sebelumnya aku sudah pernah ke Singapura tahun 2013 bersama 2 sepupuku. Tiket sudah diurus mereka, aku tinggal ikut. Kali ini aku harus berani sendiri dan mengurus semuanya sendiri. Pengalaman yang mendebarkan sekaligus menyenangkan.

Pesawat lepas landas pukul 1 siang. Berusaha tenang dalam pesawat. Tidak penuh penumpangnya. Aku beruntung dapat kursi dekat jendela dan kursi sebelahku kosong. Jadi aman nggak ada yang ngajak ngobrol, hehehe.

Sampai di Kuala Lumpur pukul 4 sore. Pertama kali sampai
aku baru sadar waktu di Malaysia dimajukan satu jam. Sehingga shalat magrib pukul 7.10 waktu setempat.
Pertama kali pergi ke luar negeri sendirian.
Deg-deg-an awalnya. Kemudian excited.

Bye bye Cengkareng ...




Di bandara aku dijemput oleh temanku. Kami baru sekali bertemu di Jakarta. Rasanya masih ajaib beliau percaya kepadaku dan memilih aku untuk diundang tinggal di Kuala Lumpur.

Di pintu keluar difoto dulu sama temanku.
Yeay, sampai juga di Kuala Kumpur.
Alhamdulillah...
Dari bandara KLIA menuju pusat kota Kuala Lumpur memakan waktu 1 jam. Lama juga ya. Berarti cukup jauh, karena tidak macet seperti Jakarta. Kami naik bus bandara menuju KL Sentral. Dari situ baru naik taksi menuju apartemen temanku.




Temanku tinggal di sebuah apartemen di lantai 7. Ada fasilitas kolam renang. Karena itu sejak dari Jakarta aku menyiapkan baju renang muslim. Terakhir aku berenang saat SMP, dan sejak berhijab aku tidak pernah lagi berenang. Dulu terakhir pun belum mahir. Tapi kali ini aku memang bertekad untuk berani mencoba apa pun. Termasuk berani nyasar menjelajahi Kuala Lumpur sendirian.

Hari pertama, aku sudah diajak keliling KL. Dikenalkan dengan transportasinya. Bagaimanacara naik busnya, LRT, dan kereta.

Kartu yang bisa dipakai untuk
naik bus, LRT dan monorel
Dikenalkan juga dengan mata uang ringgit. Ada uang kertas 100 ringgit, 50, 20, 10, 5 dan 1 ringgit. Lalu ada uang logam 50, 20, 10, dan 5 sen.

Mata uang ringgit Malaysia




Dinding subway LRT Ampang Park dihiasi lukisan
Di hari ke-5  aku mulai menjelajah, pagi-pagi sesudah subuh berjalan kaki sampai Stasiun Ampang. Bolak balik totalnya 4.6 km. Waw, lumayan kan olahraga? 

Seperti di Singapura, moda transportasi di sini sudah terintegrasi. Dengan satu kartu bisa untuk naik bus dan LRT sekaligus. Mirip di Jakarta sebenarnya. Di Jakarta pun satu kartu bisa untuk naik trans Jakarta dan commuter line. Tapi di sini bus semacam trans Jakarta dirancang dengan sistim lebih praktis. Haltenya halte biasa, sama dengan bus reguler. Pembayaran dilakukan di samping pak supir. Bisa menempelkan kartu rapid KL ke mesin, atau bayar cash dengan memasukkan selembar uang kertas senilai 1 ringgit ke dalam box uang lalu akan keluar tiket. Harus uang pas ya. 

Suasana dalam bus rapid KL


Hari ke-6, masih menjelajahi seputar wilayah apartemen tempatku tinggal. Mengumpulkan kesan dan ide untuk ceritaku selanjutnya. Menemukan ada restoran unik ini. Cukup mudah beradaptasi di sini, karena masih serumpun mungkin. Kalau aku nggak bicara, nggak beda deh penampilanku dengan wanita Malaysia. Kalau ngomong baru deh ketahuan orang Indonesia, hehehe.


Hari ke-7, masih rajin jalan kaki sesudah subuh di seputaran apartemen. Hitung-hitung olahraga. 

Walau serumpun dan bahasa resmi di sini bahasa Melayu, tapi untuk warga non Melayu umumnya menggunakan bahasa Inggris saat bicara dengan orang lain yang tidak bisa bahasa daerahnya. Seperti di Supermarket di mal seberang apartemen, aku perhatikan pegawai yang orang India bicara bahasa India dengan sesama temannya yang keturunan India. Pegawai kasir menurut perkiraanku keturunan Thailand atau Philiphine. Ada 2 petugas kasir perempuan, saat mereka ngobrol pakai bahasa daerah mereka. Saat melayaniku pakai bahasa Inggris.

Di KL memang multi ras. Ada Melayu, India, China, Eropa. Di apartemen tempatku tinggal, saat berenang ada keluarga Jepang dan diajak ngobrol penghuni berasal dari Mesir.
Seru juga. Menambah wawasan. Bedanya dengan Indonesia, Indonesia pun beragam penduduknya, tapi banyak penduduk asli daerah Indonesia. Dan kami semua sepakat menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi. Jadi makin kagum dengan founding father Indonesia. Hebatnya mereka bisa menyatukan penduduk Indonesia yang sangat beragam.

Menurutku negeri kita juga cukup maju kok dibanding Malaysia. Jakarta nggak kalah canggihnya. Apalagi kalau nanti LRT sudah jadi, pamukiman kumuh sudah dipindah semua ke rusun yang bagus dan keren, sungai sudah direvitalisasi, pinggiran rel juga dibenahi tak ada lagi pemukiman kumuh, warganya makin sadar tidak buang sampah sembarangan. Bakal makin mentereng deh Jakarta nggak kalah keren dengan Kuala Lumpur.

Ohya, penduduk Malaysia cuma 30-an juta jiwa lho. Bandingkan dengan Indonesia yang hampir 300 jiwa. Jadi tantangan untuk Indonesia memang lebih besar. Wilayahnya lebih luas, penduduknya lebih beragam. Tapi bisa kompak semua bisa bahasa Indonesia. Keren, kan? ^_^

"Merindu Cahaya de Amstel" mejeng dulu di Stasiun Ampang

Papan informasi. Nggak bakal nyasar deh

Hari ke-8. Kali ini mencoba jalan kaki ke arah berbeda dari apartemen hingga sampai ke stasiun subway terdekat, Jelatek. Dari sini menara kembar terlihat lebih jelas. Memang tidak begitu jauh dari sini. Apartemen tempatku tinggal sangat strategis deh posisinya. Alhamdulillah .... ^_^

Aku menikmati berada di tempat baru ini. Senang sekali wawasanku jadi bertambah. Tapi aku juga nggak sabaaaar pengin lihat wujud novel terbaruku "Merindu Cahaya de Amstel".



Book trailer "Merindu Cahaya de Amstel"


Kata adikku, novel baruku "Merindu Cahaya de Amstel" sudah sampai rumah. Tapi buat yang order edisi bertandatangan nunggu 1 Oktober baru bisa kukirim. Ada bonus pin cantik untuk 15 pemesan pertama ^_^





Pin cantik untuk 15 pemesan pertama






Sabtu, 29 Agustus 2015

Novel Islami GPU "Merindu Cahaya de Amstel" by Arumi E.

Alhamdulillah ... akhirnya terbit novelku terbaru. Kali ini kembali bergenre romance Islami. Buat yang suka Tahajud Cinta di Kota New York, kemungkinan bakal suka ini juga ^_^




 "Merindu Cahaya de Amstel" ‪#‎NovelGPU‬

Penulis : Arumi E.
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Harga : 66.000

Buat yang mau pesan edisi bertandatangan boleh lho. Ada diskon 10% jadi 59.000


Ide seringkali datang dari hal sederhana. Seperti kisahku kali ini. Bermula dari melihat seorang gadis Belanda berkerudung panjang, cantik dan murah senyum. Lalu di dalam kepalaku mengalir sebuah cerita rekaanku sendiri. Bagaimana jika gadis itu dipertemukan dengan seorang pemuda blasteran Jawa-Belanda yang tidak percaya dengan segala hal yang gaib?

Kembali bersetting Amsterdam-Yogya, ditambah Salatiga, mampir ke Jakarta dan Bali. Kali ini aku mengolah setting dengan hati-hati, hasil gemblengan editor-editorku yang super keren. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Mbak Fialita Widjanarko dan Mbak Donna Widjajanto. Dibantu kakak sepupuku yang baik hati Sis Darah Biru dan Mbak Agatha Dewi yang sudah berkenan berbagi informasi mengenai kehidupan di Belanda dan kebiasaan-kebiasaan warganya. Serta Mbak Dian Wulandhari Sasmita yang sudah memberi saran profesi Nico van Dijk. Ditambah menekuni buku Belajar Bahasa Belanda Dasar, maka kisah ini pun bergulir. Mungkin belum sempurna, tapi berharap lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Karena sampai kapan pun aku akan terus belajar menulis lebih baik lagi. Walau aku belum pernah ke Belanda, tapi apa yang kutulis ini semoga bisa menjadi law attraction, suatu hari nanti aku bisa menjejakkan kaki ke negeri kincir angin.


Buat yang ingin tahu gambaran kisah novel ini, boleh lihat book trailernya ^_^





Sinopsis :

Cahaya mentari sore menciptakan warna keemasan di permukaan Sungai Amstel. Mengingatkan Nicolaas van Dijk pada sosok gadis Belanda dengan nama tak biasa, Khadija Veenhoven. Gadis yang terekam oleh kameranya dan menghasilkan sebuah foto “aneh”.

Rasa penasarannya pada Khadija mengusik kenangan Nico akan ibu yang meninggalkannya saat kecil. Tak pernah terpikir olehnya mencari ibunya, sampai Khadija memperkenalkannya pada Mala, penari asal Yogya yang mendapat beasiswa di salah satu kampus seni di Amsterdam.

Ditemani Mala, Nico memulai pencariannya di tanah kelahiran sang ibu. Namun Pieter, dokter gigi yang terpikat pada Mala tak membiarkan Nico dan Mala pergi tanpa dirinya. Dia menyusul dan menyelinap di antara keduanya.

Tatkala Nico memutuskan berdamai dengan masa lalu, seolah Tuhan belum mengizinkannya memeluk kebahagiaan. Dia didera kehilangan dan rasa kecewa itu dia lampiaskan pada Khadija karena telah mengajarinya menabur benih harapan.

Kembali Nico mencari jawaban. Hingga sinar yang memantul di permukaan Sungai Amstel menyadarkannya. Apa yang dicarinya ada di sebuah tempat di Kota Amsterdam ini. Terpancar dari sepasang mata hijau jernih yang sejak awal sudah mengiriminya pertanda.

Cuplikan :

Nico terdiam, kembali ada rasa haru menelusup perlahan dalam hatinya.
“Dan kini harapanku berbeda. Suatu saat aku berharap bisa menjadi pangeran baik hati untuk seorang gadis yang mencintaiku dan aku cintai.”
Khadija tersentak halus. Nico tidak menyebut nama, namun menatap mata Khadija dalam-dalam saat menyebut kata ‘gadis’. Susah payah Khadija menahan rasa tersipu. Dia tak ingin salah mengira, dia akan menyimpan perasaannya dalam-dalam sampai saatnya tiba Nico menyatakan sesuatu yang benar-benar jelas kepadanya.
“Sekarang kamu mulai berpikir romantis ya? Setelah kemarin-kemarin menjadi lelaki super dingin.”
Nico tersenyum penuh arti.