Laman

Selasa, 15 September 2009

Kucing Misterius


By : Arumi

Dimuat di Majalah Aneka Yess! 2005

“Miaaaw…”
Suara lembut itu mengejutkan Nida yang sedang asyik mengetik karya tulisnya di komputer. Nida menghentikan kesibukannya. Menoleh ke kiri dan ke kanan mencari asal suara itu. Tiba-tiba kakinya yang terjulur di kolong meja komputer terasa geli tersentuh bulu-bulu lembut lebat…seekor kucing!
“Miaaauw!”

Nida terpana menatap kucing itu. Mahluk itu cantik sekali. Mungkin ini yang disebut kucing anggora. Bulunya panjang-panjang dan lebat sekali. Bulu ekornya juga panjang dan lebat. Warna bulunya indah, kuning keemasan mulai dari kepala, tengkuk, punggung hingga ujung ekornya. Begitu juga sisi luar keempat kakinya. Sementara wajah, leher, dada dan perut serta sisi-sisi dalam kakinya ditumbuhi oleh bulu berwarna putih bersih. Cantik sekali! Begitu sempurna!

Ragu Nida mengelus kepala kucing itu. Takut kucing itu mengamuk. Tapi tidak, kucing itu malah tampaknya senang dielus-elus. Bahkan ia mengusap-usap kepala dan tubuhnya ke kaki Nida. Nida terkikik kegelian.

“Pus, kamu cakep banget. Pasti kamu ada yang punya, ya? Kucing liar mana mungkin cakep begini? Kata Nida. Diraihnya tubuh kucing itu. Didekap dan digendongnya.
Nida memang tidak canggung menyentuh kucing. Karena Nida memang penyuka kucing. Bahkan, binatang favoritnya memang spesies kucing. Entah mengapa tingkah manja kucing membuatnya senang dan terhibur. Dan suara kucing yang imut itu…Miaaaw…ih, bikin Nida gemes!

“Miaaaw…” Kucing itu mengeong lagi. Matanya terpejam menikmati gelitik jemari Nida di lehernya. Nida tersenyum.
“Pus cakep, kamu aku panggil si Koneng deh. Karena warna bulumu yang kuning.”
Lantas, Nida menyibukkan dirinya mengajak si Koneng bermain-main. Karya tulisnya pun terlupakan!
***

“Miaaaw!” Si Koneng datang lagi! Mata Nida berbinar-binar menyambut kedatangannya. Si Koneng terbiasa datang setiap jam dua siang. Dia muncul dari pintu ruang belajar di lantai atas rumah Nida yang selalu terbuka, apabila Nida sedang sibuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya.

Setelah tiga hari pertemuan dengan si Koneng, Nida masih belum tahu siapa pemilik kucing itu. Dan Nida memang tak ingin tahu. Biar saja, pokoknya dia bisa memiliki si Koneng selama dua jam karena biasanya setiap jam empat sore, si Koneng akan berlari pulang. Selama ini pula, Koneng hanya diijinkan Nida bermain-main di ruang belajarnya. Oh, jangan sampai turun ke lantai bawah dan ditemukan Bunda! Karena pasti akan diusir Bunda!

Si Koneng semakin akrab dengan Nida. Dia tak takut-takut lagi mengusap-usap tubuhnya ke kaki Nida. Bahkan berani menghampiri jemari Nida yang menjentik memanggilnya. Kemudian si Koneng akan menjilat-jilat jemari Nida itu. Si Koneng juga semakin sering mengeong. Kadang membuat Nida khawatir suaranya akan terdengar sampai ke lantai bawah.

“Hush! Pus…Koneng, jangan kenceng-kenceng ya ngeongnya, nanti kedengeran Bunda. Cup…cup, diem…ayo, diem…” bujuk Nida.
Tapi Koneng tak jua mengerti. Tetap saja mengeong semakin kencang dan semakin sering. Sambil matanya tak lepas memandangi Nida, seperti ingin mengatakan sesuatu.
“Aduh, Pus…jangan berisik dong, sayang.” seru Nida sambil mengelus-elus kepala si Koneng. Tapi terlambat, terdengar suara Bunda.
“Nidaaa!” Nida sedikit panic.
“Tuh, kan? Pus sih…” ujarnya pada Koneng dengan nada suara sedikit menyesal.
Tapi si Koneng seperti tak peduli. Ia tetap mengeong. Semakin sering dan melengking. Nida terpaksa membopongnya dan membawanya keluar menuju balkon. Meletakkannya di lantai. Tapi belum sempat Nida menutup pintu, si Koneng sudah melesat mendahuluinya. Masuk kembali ke ruang belajar. Menatapnya dan mengeong keras.

“Hhhh!” Nida menarik nafas, tak menyangka si Koneng akan membautnya kesal.
“Nidaaa!” terdengar lagi panggilan Bunda.
“Ya, Bundaaa.” sahutnya.
“Nida, dipanggil bunda kok lama banget nyautnya?” tanya Bunda setelah Nida berada di hadapannya.
“Maaf deh, Bunda. Nida tadi lagi tanggung…”
Bunda menatap Nida penuh selidik.
“Tadi Fifin nelpon. Kamu kelamaan turun, jadi telponnya bunda tutup. Fifin tanya, kok kamu belum datang ke rumahnya? Katanya kamu sudah janji ingin mengejakan tugas bersama?” tanya Bunda lagi.
“Ha?? Iya! Aku lupa!” pekik Nida dalam hati.

Dia terlalu asyik bermain dengan si Koneng, sampai lupa dengan janjinya pada Fifin. Nida menatap jam dinding, Wah, sudah pukul setengah empat sore! Sudah terlambat sekali karena ia janji akan datang pukul dua. Segera Nida mengangkat telepon untuk menghubungi Fifin, semoga dia masih diterima walau datang sangat terlambat…
***

Keseriusan Nida mengerjakan tugas sejak sepulang sekolah terganggu oleh sebuah suara lembut.
“Miaaaw...miaaaaw...”
Ah, si Koneng sudah datang. Seperti biasa, tepat pukul dua siang. Tapi kali ini Nida tak ingin bermain. Banyak tugas yang harus diselesaikannya. Apalagi kemarin ia terlambat ikut mengerjakan tugas kelompok ini bersama teman-temannya. Maka, beban tugasnya pun menjadi semakin banyak. Belum lagi ia harus menghapal banyak istilah-istilah Biologi untuk ujian besok. Hhh! Seperti biasa. Sistim kebut semalam deh. Tapi manalah si koneng mau mengerti?

Si Koneng langsung menubruk kaki Nida dan mengusap-usap kepalanya seperti biasa. Namun kali ini si Koneng terdengar semakin cerewet, semakin sering mengeong.
“Miaaaw...miaaaw....miaaaw!”
“Aduh, Pus! Udah deh, Pus. Keluar aja ya? Ujar Nida sambil membopong si Koneng keluar . Ia turunkan Koneng di alntai balkon. Lekas-lekas Nida berniat menutup pintu. Tapi, hup! Si Koneng lebih gesit! Dia sudah melesat masuk kembali ke dalam ruang belajar, menatap Nida tajam seperti manantangnya!

“Miaaaw!”
Nida mendengus, “Hhh! Sepertinya mesti dikibulin lagi nih si Koneng!” kata Nida sedikit kesal.
Seperti kemarin, Nida melempar bola pingpong berwarna oranye ke arah balkon. Secepat kilat si Koneng mengejar bola itu. Pada saat itulah, tak mau kalah Nida langsung menutup pintu. Dan hatinya pun merasa lega. Namun suara mengeong si Koneng masih terdengar., memilukan penuh harap. Ah, Nida tak ingin peduli. Kali ini tugasnya lebih penting. Tak ada waktu buat si Koneng! Benarlah tindakannya kali ini, menyingkirkan si Koneng!

Siang menjelang sore itu, tiba-tiba tampak mendung menggantung di langit. Kumpulan air hujan yang membentuk awan kelabu, berarak-arak di angkasa. Sepertinya sebentar lagi siap untuk ditumpahkan ke bumi. Tak lama, benarlah! Milyaran air hujan meluncur deras dari langit. Nida tak peduli. Ia masih sibuk menyelesaikan tugasnya. Baru setengah jam kemudian Nida tersadar, si Koneng? Si Koneng telah ditinggalkannya di luar, ditengah tumpahan air hujan yang begitu deras!

Nida menuju pintu dan membukanya perlahan. Oh, air hujan telah membasahi seluruh lantai balkon sampai ke setiap sudutnya. Pandangan mata Nida menyapu lantai balkon yang basah digenangi air. Si Koneng tidak ada!
“Jangan-jangan si Koneng kehujanan di tengah jalan...Di manakah rumahnya? Jauhkah dari sini? Ah Koneng, maafkan aku...”
***

Pukul dua siang. Nida menghempaskan tubuh lelahnya ke atas tempat tidurnya. Meletakkan kepalanya di atas bantal kesayangnnya yang empuk. Ah, lega rasanya. Tak sia-sia Nida begadang semalaman menyelesaikan tugas-tugasnya dan menghapal istilah-istilah Biologi yang sulit dan banyak sekali. Nida merasa puas, karena Nida tahu sebagian besar jawaban soal-soal ujian tadi. Perkiraan kasarnya, sembilan puluh persen soal berhasil dijawabnya dengan benar. Setidak-tidaknya Nida yakin akan meraih nilai delapan puluh lima. Selain itu, teman-temannya puas sekali dengan sisa tugas yang telah diselesaikan Nida. Wow, perfect! Hari ini benar-benar sempurna! Nida baru ingat, biasanya jam-jam segini, si Koneng datang. Tapi mengapa kali ini ia belum datang juga?

Jam dinding di ruang belajar itu menunjukkan pukul setengah empat sore. Aneh, si Koneng tidak datang. Nida menjadi gelisah.
“Kenapa ya si Koneng?” Nida menjadi cemas. Jangan-jangan kucing itu celaka karena kahujanan dalam perjalanan pulang kemarin. Nida bertanya kepada Bunda, apakah Bunda pernah melihat kucing cantik berbulu lebat berwarna kuning keemasan. Tapi Bunda menjawab tak pernah melihat kucing seperti itu. Begitu juga ketika Nida bertanya kepada Mbok Nar.

“Mbok nggak pernah liat, Neng!” jawab Mbok Nar.
“Tapi Mbok Nar pasti pernah dengar suaranya, kan? Suaranya nyaring banget, cerewet banget nggak bisa berhenti mengeong.” Nida masih bertanya. Dan lagi-lagi Mbok Nar menggeleng.

“Bener deh, Neng! Mbok nggak pernah denger suara kucing. Ibu kan nggak suka ada kucing di dalam rumah. Jadi kalo Mbok denger suara kucing di dalam rumah, pasti langsung Mbok cari dan usir!” jawab Mbok Nar.
Nida mengernyit, tak habis pikir.
“Masa iya sih, hanya aku yang melihat dan mendengar suara si Koneng? Suaranya aja berisik begitu. Rumah ini tak terlalu besar. Suara si Koneng yang melengking itu seharusnya didengar sampai ke lantai bawah. Dan anehnya, si Koneng seperti punya jadwal pasti, datang jam dua siang, dan pergi tepat jam empat sore. Kucing yang aneh...

...Continued.

2 komentar:

  1. Hai... Boleh kenalan, engga? Kamu sering nulis di media cetak ya?

    BalasHapus
  2. halo jugaa....iya lumayan sering...^_^

    BalasHapus