Laman

Rabu, 18 Desember 2013

Laugh at your job : Masakan daging palsu ...

Kali ini aku ingin berbagi pengalamanku saat bekerja di perusahaan ke 7.

Akhirnya ... aku kembali bekerja di sebuah konsultan desain arsitektur dan interior, Envirotect Consultant Design.

Kenangan tamasya ke Taman Safari bersama tim Envirotect...
Kangen teman-teman ^_^

Mendapat kesempatan bekerja di sebuah perusahaan konsultan desain arsitektur dan interior yang dimiliki orang asing ternyata cukup memberi banyak pengalaman penuh warna. Pemilik perusahaan itu adalah seorang warganegara Singapura. Tak biasa berbahasa Indonesia, hanya mampu berbahasa Inggris dan Mandarin. Mungkin sebuah keberuntungan jika kemudian aku bisa bekerja di perusahaan itu karena jelas-jelas aku tak paham bahasa Mandarin dan Bahasa Inggrisku pun pas-pasan.

Seminggu pertama aku bekerja, aku masih tenang-tenang saja. Meja di sebelah mejaku kosong. Kata temanku, itu adalah meja Pak Paul yang sedang mudik ke kampungnya. Aku membayangkan dia mudik ke salah satu pelosok kampung di Indonesia. Seminggu kemudian, barulah aku terkejut melihat rekan kerjaku yang akan duduk bersebelahan denganku itu. Sosoknya lumayan tinggi agak besar, berkulit putih, berwajah kebule-bulean. Ia tersenyum ketika melihatku. Sebelum duduk, ia bertanya.

Can you speak English?
Terbengong-bengonglah aku untuk sesaat. Lalu kujawab,“Little-little sih, i can.”
Ia mengangguk-angguk.
Good, good, because i can not speak Indonesian. I am from Philipine, just call me Paul.” katanya.

Ow, jelaslah sudah. Maka hari-hari selanjutnya aku harus membiasakan diri sering-sering mengobrol dalam bahasa Inggris patah-patah dengan si Paul. Apalagi ternyata dia hobi ngobrol. Mungkin karena di Jakarta ia tinggal hanya sendiri, tanpa keluarganya, maka aku dijadikannya sebagai tempat curhat apa saja. Cerita tentang dua anaknya yang sudah kuliah, tentang kota Manila yang dulu semacet Jakarta tapi sekarang tidak lagi semenjak ada MRT. Aku lebih sering mengangguk-angguk mengiyakan saja semua ceritanya walau kadang aku kurang paham maksudnya.

Ada satu lagi kisah lucu, ketika pada suatu hari aku memesan stiker nama dari temanku, si Paul tertarik ingin ikut memesan juga.



Ingat dulu banyak teman di Envirotect yang tertarik memesan stiker nama seperti ini ^_^


For my son, Kapin.” katanya.
Mulanya kupikir, nama orang Filipina lucu juga. Kapin. Hampir saja aku pesankan stiker bertuliskan nama “Kapin” , tapi untunglah ketika kuminta ia menulis kata pesanannya, ejaan nama anaknya yang benar adalah “Cavin”. Aku baru tahu kemudian, bahwa orang Filipina memang sering melafalkan huruf ‘f’ dan ‘v’ menjadi ‘p’.

Baru tiga bulan aku bekerja di sana ketika memasuki bulan Ramadan. Untuk menghormati anak buahnya yang mayoritas beragama Islam, Bosku mengadakan acara buka puasa bersama. Sebagai pegawai baru, tentu saja aku antusias menyambut acara buka bersama itu.

Meja rapat yang panjang diubah menjadi meja makan. Menjelang magrib, berbagai makanan mengundang selera tersaji di atas meja. Ada gulai ikan kakap, sate ayam, soto babat, mi goreng seafood, dendeng daging, ikan lele panggang bumbu manis tabur wijen.

Tajil juga tersedia, ada bakpao mungil, kue-kue tradisional, es buah. Sungguh semua mengundang selera. Semua pegawai yang berpuasa mau pun yang tak berpuasa telah berkumpul di sekeliling meja makan. Menjelang detik-detik azan magrib, bosku memberi sambutan, tentu saja dalam bahasa Inggris. Tapi Bosku itu rupanya keasyikan bicara sehingga azan magrib lewat beberapa menit, ia masih saja berbicara. Dan malangnya, tak ada yang berani menegur.

Lima belas menit sesudah azan magrib, barulah beliau selesai berpidato dan mepersilahkan kami makan. Langsung saja kami yang kelaparan menyerbu makanan yang tersedia. Tapi setelah aku mengunyah makanan itu, aku merasa ada yang aneh dengan rasa makanannya. Sate ayamnya terlalu manis, tepatnya, semua makanan terlalu manis.

“Rasa dagingnya aneh ya. Rasa ayamnya nggak seperti ayam biasanya,” bisikku pada seorang temanku yang telah lama bekerja di sana.
“Udah nyobain belum tuh soto babat?” tanya temanku itu.
Tentu saja semua makanan aku coba, soto babat, mi goreng seafood, gulai ikan kakap, dendeng daging, lele panggang.
“Ngomong-ngomong, semua daging ini halal kan ya? Kok rasanya nggak kayak daging yang biasa gue makan?” tanyaku pada temanku itu.
“Semua makanan ini dijamin halal, Rum!” jawab temanku.
“Yakin lo?”
“Ya iyalah! Secara semua ini daging palsu.”
“Daging palsu? Maksud lo? Ayamnya ayam tiren gitu? Babatnya bukan babat sapi?” tanyaku kebingungan.
“Ini semua sebenarnya bukan daging,” jawab temanku itu lagi.
“Hah? Masak sih? Waduh, kalo bukan daging apa dong? Dari karet atau dari plastik? Jangan nakut-nakutin nih, gue udah makan banyak!” seruku panik, karena semua makanan telah kucoba.

“Hehe, tenang aja Neng, nggak apa-apa. Semua daging ini daging buatan dari gluten, tepung terigu yang udah diolah sampai menyerupai daging gitu. Bos kita itu kan vegetarian, dia nggak makan daging, jadi kita juga harus ikutan deh nggak makan daging.”

Temanku menjelaskan.

“Oooh, gitu. Kirain gue daging palsu apaan,” jawabku lega sambil nyengir.
“Elo tau nggak, anjingnya aja vegetarian.” kata temanku lagi sambil asyik mengunyah sate ayam palsu.
“Hah?” sahutku takjub sambil geleng-geleng.

Aku ingat, bosku dan keluarganya memang vegetarian. Karena itu, inilah makanan yang mereka sajikan tiap kali mentarktir pegawainya saat buka puasa. Semua masakan vegetarian.

"Makanya gue sih sebenarnya nggak antusias kalau ada acara buka bersama di kantor. Dagingnya palsu semua. Biar gimana, tetap enakan yang asli," kata temanku lagi.

Aku hanya nyengir. Sebagai omnivora, aku menyetujui pendapat temanku. Tapi acara buka puasa bersama di kantorku itu cukup mengesankan. Setidaknya, aku jadi punya kesempatan mencicipi makanan vegetarian yang bentuknya benar-benar persis seperti daging asli.

Tapi ... benar kata temanku, aku tetap lebih suka sate ayam asli.

Maaf ya, ayam-ayam ... Hikssss


Tidak ada komentar:

Posting Komentar