Laman

Kamis, 19 Juli 2012

Konspirasi Otak dan Hati


By Arumi Ekowati

Rasa itu datang tanpa permisi
Menelusup masuk perlahan namun pasti
mencemari hati nan perawan

Mengubah si lugu
menjadi mahir bermuslihat
mencipta beribu alasan
untuk sekedar menyapanya

"Selamat pagi, pagi ini jalanan macet sekali."
basa basi basi

"Selamat siang, mari makan siang."
basa basi basi

"Selamat sore, jangan lupa sholat ashar."
basa basi yang kali ini tidak basi

"Selamat malam, jangan tidur terlalu malam."
basa basi bermakna harap
sekelumit bayangku mampir dalam mimpinya

Otak memutar otak
Hati bergejolak
Berkonspirasi mencari-cari alasan
untuk sekedar menyapanya

"Selamat ulang tahun, semoga sehat selalu, panjang umur, banyak rejeki dan cepat dapat jodoh."
Ini sungguh bukan basa basi

"Terima kasih."
hanya itu jawabnya
basa basi basi

Otak dan hati kehabisan akal
Lelah berkonspirasi, enggan berbasa basi lagi

Pondok Sambi,
14 Juli 2010

NB: puisi mbeling...ling...ling...(apakah ini bisa disebut puisi?)

Jadi admin fanbase itu enggak gampang...


Oleh: Arumi Ekowati

Catcher : “Aku paling suka semua adengan ciuman dan pelukan dalam film drama serinya,” kata gadis berusia sebelas tahun itu santai tanpa beban.

“Saya mau melamar jadi admin. Nama saya Florencia. Umur sebelas tahun. Kelas enam SD.”
Bbm itu mengejutkan aku. Gadis ini baru berusia sebelas tahun, tetapi dengan penuh rasa percaya diri ia mengajukan lamaran sebagai admin sebuah akun twitter fanbase seorang aktor Korea berusia tiga puluh lima tahun di Indonesia. Wow, luar biasa! Bagaimana bisa gadis sekecil ini menyukai lelaki yang jauh lebih tua dari usianya?
“Kamu masih terlalu imut untuk menjadi admin, Sayang,” jawabku sambil tersenyum simpul.

Aku masih takjub tak mengira aktor Korea yang menjadi favoritku ini digemari juga oleh gadis yang masih sangat belia. Jangan-jangan usia ayahnya sama dengan usia aktor yang disukainya. Aktor Korea favoritku ini di Indonesia mungkin memang belum setenar Rain atau Won Bin. Juga tidak seperti boyband Super Junior yang jelas sekali digilai banyak gadis-gadis remaja. Namanya Kang Ji Hwan. Aku mengenalnya sejak tahun lalu setelah aku menonton serial drama yang dibintanginya melalui dvd yang dipinjamkan teman, seorang Korean drama freak yang tak kenal lelah berusaha menularkan virus Korean wave. Anehnya, aku langsung menyukai Kang Ji Hwan saat melihatnya. Aku yang semula anti drama Korea menjadi berbalik seratus delapan puluh derajat. Tergila-gila pada aktor Korea yang satu ini bahkan sampai kemudian tak keberatan diangkat menjadi salah satu admin fanbase-nya di Indonesia.

Tapi sejak drama serinya “Lie To Me” itu ditayangkan di salah satu stasiun televisi Nasional mulai tanggal 4 April lalu, tiba-tiba saja menjadi banyak wanita yang juga menggemarinya. Tidak hanya yang berusia dewasa, bahkan ada yang baru berusia sembilan belas tahun, empat belas tahun dan inilah yang paling membuatku terhenyak, Florencia, sebelas tahun.
“Kenapa kamu suka Kang Ji Hwan? Dia kan aktor yang sudah dewasa sekali?”
“Karena dia keren, ganteng, baik, romantis dan lucu,” jawabnya santai.
Sungguh tak bisa dipercaya gadis berusia sebelas tahun bisa menilai kualitas seorang lelaki seperti itu.
“Kenapa kamu nggak suka sama Justin Bieber atau Greyson Chance aja? Kan sama imutnya dengan kamu?” tanyaku lagi.
“Aku biasa-biasa aja sama Justin Bieber. Aku sukanya sama Kang Ji Hwan,” jawabnya mantap.

Kemudian aku sadar, drama dan film yang diperani Kang Ji Hwan semuanya dikategorikan sebagai tontonan untuk usia di atas dua puluh satu tahun. Mengapa Florencia ini bisa sampai ikut menonton juga?
“Aku paling suka semua adegan ciuman dan pelukan dalam film drama serinya.”
Ini salah satu testimoni Florencia setelah menonton film Kang Ji Hwan. Oh, Tuhan! Ini benar-benar salah kaprah. Anak ini telah menonton film yang sebenarnya belum boleh ia tonton.

Seperti penggemar Kang Ji Hwan lainnya, gadis belia ini juga dengan gencar mencari semua info tentang Kang Ji Hwan serta menonton semua filmnya. Padahal aku tahu ada salah satu filmnya yang benar-benar mengandung adegan yang belum boleh ditonton anak berusia sebelas tahun. Sementara teknologi yang semakin canggih sekarang ini seolah sulit untuk diredam lajunya, tak mudah menyaring informasi global bagi anak seusianya. Anak jaman sekarang mudah sekali mempelajari sesuatu, sehingga tak sulit baginya untuk mengakses internet dan dengan bebas bisa menonton film apa saja yang ia mau. Apalagi Florencia ini mengaku dibekali beragam gadget canggih oleh orangtuanya.
“Aku punya iPod touch, iPod mp3, iMac, psp 2000 dan blackberry bold,” pamernya pada anggota fanbase yang lainnya.

“Jadi, bagaimana admin? Boleh kan saya melamar jadi admin fanbase Kang Ji Hwan Indonesia? Kalau cuma ngetweet sih, gampang,” tanyanya sekali lagi meminta penegasanku.
Duh, gayanya sungguh jauh lebih dewasa dari usianya sebenarnya.
“Maaf sayang, kamu masih terlalu kecil untuk menjadi admin. Karena film dan drama Kang Ji Hwan semuanya untuk orang dewasa di atas 21 tahun. Nanti saja ya, kalau kamu sudah cukup umur,” jawabku kalem disertai senyum dikulum.

NB : sekarang aku sudah bukan admin Jihwanesia(fanbase Kang Ji Hwan Indonesia) lagi. Karena ternyata menjadi admin fanbase butuh komitmen lebih, loyalitas dan waktu luang. Lagipula, perasaanku sama Ji Hwan sekarang tidak sekuat dulu lagi, hehehehe

Kenangan saat menjadi admin fanbase aktor Korea bersama dua teman, Fridha dan Ara

Hasil editanku, plesetan dari poster film Kang Ji Hwan berjudul: My Girlfriend is An Agent

Foto hasil editanku sebagai ucapan ultah untuk aktor Korea Kang Ji Hwan

Bersama Jihwanesia sibuk membuat ucapan saengil chukae hamnida

Jihwanesia mejeng di Monas

Waktu itu sukaaa banget sama aktor yang satu ini, sampai dibela-belain melukis wajahnya di sepatu, tapi sepatunya sudah kukasih Ara ^_^

Yang ini pesanan Fridha, dilukis dari pose Kang Ji Hwan di film "Hong Gil Dong" dan "Lie To Me"

Rabu, 18 Juli 2012

Once Upon A Dream

Sejak kecil, aku senang berkhayal. Aku bisa berkhayal apa saja. Jika ibuku memasak lauk sederhana, aku berkhayal sedang makan di warteg. Jika ibuku memasak makanan sedikit istimewa, aku membayangkan sedang makan di restoran. Seringkali dahulu hobi berkhayalku itu menyebabkan aku celaka. Aku pernah berkhayal menjadi Spiderman, saat itu aku masih berusia delapan tahun, aku memanjat dinding bata rumahku yang belum diplester semen. Tentu saja aku jatuh, karena kenyataannya aku tak punya kekuatan super mampu memanjat dinding. Ketika ibuku membelikan aku gaun dengan rok lebar berenda, aku berkhayal menjadi putri ala Cinderella. Aku berputar-putar hingga rokku mengembang, sampai kemudian aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh, membentur dinding rumahku yang belum diplester semen. Kali itu kepalaku terbentur ujung batu kali yang menonjol hingga terluka dan mengeluarkan darah. Namun kejadian itu tidak membuatku kapok berkhayal.

Aku ingat, saat aku kelas empat SD, ibuku membelikan aku sebuah novel berjudul “Karang Setan” karya Enid Blyton. Itu adalah novel pertama yang kubaca setelah sebelumnya aku hanya membaca majalah Bobo dan Donal Bebek. Seusai membaca novel itu, mulailah aku sering berkhayal menjadi detektif cilik. Rasanya menyenangkan membayangkan tinggal di mercusuar, lalu piknik membawa roti lapis daging asap dan limun jahe. Persis seperti kisah Georgina Kirrin dan kawan-kawannya dalam petulangan Lima Sekawan. Kisah mereka begitu membekas dalam benakku, membuatku kemudian berkhayal menjadi detektif cilik bersama dua orang sahabatku. Kemudian aku mendapat ide menuliskan semua khayalanku dalam sebuah buku. Aku siapkan satu buku tulis, lalu kutulis dengan tangan kisah petualangan yang aku khayalkan. Kunamakan tim detektif cilik rekaanku itu “Tiga Serangkai” yang artinya pemberani. Kuberi judul kisahku itu, “Misteri Hilangnya Patung Abstrak”.

Setiap hari sepulang sekolah, aku melanjutkan menulis kisah khayalanku itu. Bahkan aku lebih memilih mendahulukan menulis cerita rekaanku daripada mengerjakan tugas sekolah. Setiap kali aku mendapatkan ide, segera kutuliskan di bukuku itu. Layaknya novel yang kubaca, saat itu aku juga membuat bab-bab dan aku beri judul setiap sub bab-nya. Karena aku bisa menggambar, aku lengkapi juga buku cerita karyaku itu dengan gambar-gambar ilustrasi yang kugambar sendiri. Beberapa kali ibuku memergoki aku menulis cerita khayalan dan menggambar di saat aku seharusnya mengerjakan tugas sekolah. Ibu selalu menegurku, tidak melarang, hanya mengingatkan agar aku mendahulukan mengerjakan tugas sekolahku.

Semasa SD dulu, aku seringkali mendapat ide cemerlang. Melihat tumpukan majalah Bobo dan Donal Bebek serta berbagai macam novel, aku punya ide menyewakannya. Sepulang sekolah kususun majalah-majalah dan buku-bukuku di teras rumah. Teman-temanku yang tinggal di sekitar rumahku senang sekali menyewa majalah-majalah koleksiku itu, karena di masa itu, di komplek rumahku baru aku saja yang berlangganan majalah Bobo dan Donal Bebek. Ide mendapat penghasilan tambahan bukan hanya dari menyewakan majalah. Karena sejak kecil aku sudah berbakat menggambar, kupadukan bakatku itu dengan kemampuan berimajinasi hingga menghasilkan komik buatanku sendiri. Tak kusia-siakan kesempatan saat seorang teman sekelasku tertarik melihat komik yang aku buat. Aku menawarkan membuatkan komik untuknya dengan cerita yang bisa ia pilih sendiri. Cukup hanya dengan menyediakan sebuah buku dan pensil serta membayar sebesar Rp 150,-. Komik itu kugambar secara manual tanpa diberi warna. Ketika teman-temanku yang lain melihat komik buatanku itu, mereka pun ikut memesan.

Tulisan dan ilustrasi yang aku buat saat kelas 5 SD dulu.


Sayangnya, memasuki SMP aku tidak melanjutkan hobi menulisku. Hobi menulisku baru tersalurkan kembali ketika aku SMA. Aku ikut bergabung dalam tim redaksi majalah sekolahku, AKSARA. Selain ikut bertanggung jawab menulis artikel dan cerpen, aku juga ikut menyusun majalah dinding sekolah. Termasuk juga ikut dalam tim penyusun buku tahunan siswa. Sejak dahulu, kegiatan menulis membuat aku senang. Bagiku, menulis adalah sarana refresing dari tugas-tugas sekolah di jurusan Fisika yang cukup rumit.

Semasa kuliah, aku kembali vakum menulis. Tugas-tugas kuliah yang semakin berat membuatku tak sempat lagi melanjutkan hobi menulisku. Bertahun-tahun kemudian, setelah aku bekerja, aku kembali melirik hobi menulisku. Bermula dari mengikuti pelatihan jurnalistik Riska (Remaja Islam Sunda Kelapa), lalu sempat nimbrung di divisi jurnalistik Riska. Selain menulis artikel dan cerpen untuk majalah Riska (MERIS), aku juga menikmati kegiatan menjadi reporter untuk MERIS. Bermodal pengalaman menjadi reporter di MERIS, kemudian aku nekat melamar sebagai reporter freelance di sebuah majalah wanita muslimah, SURGA. Pekerjaan itu aku lakukan di sela-sela pekerjaanku sebagai arsitek.

Majalah SMA dan majalah remaja masjid Sunda Kelapa tempat aku bergabung dulu


Di hari libur atau jika tak ada lembur, aku datang ke kantor redaksi majalah itu. Karena freelance, maka aku tak perlu datang setiap hari. Aku beruntung sempat bergabung sebagai kontributor freelance selama empat bulan sampai akhirnya majalah tersebut bangkrut sebelum berkembang. Tapi dari situlah aku mengenal Mbak Asma Nadia, karena pernah mendapat tugas mewawancarai beliau dan dari beliaulah aku mengenal FLP (Forum Lingkar Pena). Dengan antusias aku mendaftarkan diri mengikuti pelatihan menulis di FLP. Di sana aku mendapatkan banyak ilmu bagaimana cara menulis yang baik agar mendapat peluang dimuat di media. Aku mulai menulis cerita-cerita pendek dan rajin berkonsultasi mengenai karya-karyaku kepada beberapa seniorku di FLP. Mereka membantu mengoreksi agar cerpenku menjadi lebih baik. Setelah aku yakin tulisanku semakin baik, kuberanikan diri mengirimkannya ke berbagai media. Mulanya aku mengirim cerita pendek bertema remaja.

majalah Surga yang kini sudah tidak terbit lagi.

Cukup lama aku menunggu, kurang lebih enam bulan, sampai kemudian kesabaranku berbuah manis. Pertengahan tahun 2005 cerpenku yang berjudul “Kucing Misterius” dimuat di majalah remaja Aneka Yes. Ah, bahagianya bukan main. Itu adalah cerpen pertamaku yang dimuat di majalah. Aku semakin bersemangat dan terpacu untuk menghasilkan karya yang lebih baik. Setelah keberhasilan pertamaku itu, selanjutnya menjadi sedikit lebih mudah, walau tetap harus sabar menunggu giliran hasil karyaku dimuat. Aku pun semakin menikmati hobi menulisku.

Kemudian aku mulai tertarik membuat cerita anak. Aku kembali teringat pada majalah Bobo. Ingin sekali aku merasakan cerpen karyaku dimuat di majalah favoritku saat SD itu. Kuberanikan diri mengikuti lomba cerpen anak Bobo. Bermodal nekat, kukirimkan sembilan cerita anak sekaligus. Tapi tak ada satu pun yang lolos sebagai pemenang. Sembilan bulan kemudian, aku senang sekali salah satu dongeng anak yang telah kuikutsertakan dalam lomba itu walau pun tidak menang, tetapi terpilih untuk dimuat di majalah Bobo. Aku kirimkan lagi cerita anak karyaku yang lain. Aku pernah merasakan keberuntungan cerita anak karyaku dimuat empat minggu berturut-turut di majalah Bobo.

Aku semakin bersemangat dan mulai melirik media lain. Kompas Anak Minggu adalah tergetku selanjutnya. Ternyata butuh perjuangan yang lebih sulit dan benar-benar menantang ketangguhan mental untuk bisa dimuat di media yang satu ini. Sungguh tidak mudah, aku menerima kurang lebih sepuluh surat penolakan dengan berbagai alasan. Ceritaku dianggap terlalu sederhana, dianggap terlalu dewasa, atau tema yang kubuat dianggap sudah pernah ada. Tapi kata-kata di akhir semua surat penolakan itu: Kami nantikan karya anda selanjutnya, membuatku pantang menyerah untuk kembali mengirimkan cerita anak hasil karyaku yang lebih baik.

Aku tetap semangat mengirimkan karyaku yang lain. Kirim dan lupakan, itulah motto-ku. Sembilan bulan kemudian, aku tercengang saat membaca Kompas anak di suatu hari Minggu bulan November tahun 2009, kulihat ada cerpenku terpajang di sana, beserta namaku sebagai penulisnya. Wuah, rasanya seperti baru saja memenangkan lotere milyaran rupiah. Ini tidak berlebihan, sungguh aku sangat gembira, hingga tanpa sadar melonjak-lonjak seperti anak kecil. Jerih payahku sekian lama akhirnya membuahkan hasil. Kerja keras dan kesabaranku tak sia-sia. Sampai saat ini, sudah tiga kali cerita anak karyaku dan dua kali resensi buku yang aku buat dimuat di Kompas Anak. Keberhasilan ini membuatku semakin semangat untuk terus menghasilkan karya lain yang lebih baik.

Sepanjang tahun 2010-2011, aku masih aktif mengikuti berbagai audisi menulis antologi. Aku tidak selalu berhasil lolos, pernah juga merasakan gagal terpilih, tetapi aku tak putus asa untuk terus mencoba. Di antara yang berhasil, karyaku terpilih masuk dalam antologi cerpen misteri Dua Sisi Susi dan dibukukan oleh penerbit Universal Nikko. Kisah pengalamanku membangun usaha mandiri lolos dalam audisi menulis “Bye-Bye Office” kemudian dibukukan oleh penerbit MIC Publishing serta memperoleh juara kedua dan mendapat hadiah uang dengan jumlah sangat lumayan.

Aku tipe orang yang tak keberatan melalui proses trial and error. Memulai sesuatu dari yang paling kecil dan mungkin dianggap remeh oleh sebagian orang. Tetapi bagiku, aku perlu melewati semua itu. Berharap semua pengalaman itu akan memperkaya wawasanku. Dalam kerja kerasku, sering sekali aku merasakan jatuh bangun. Aku nikmati semua prosesnya, aku coba semua yang perlu dicoba. Tentu saja sekarang ini aku masih bukan siapa-siapa, karya-karyaku masih sederhana. Namun aku tak akan berhenti, aku akan terus menulis, berusaha menghasilkan karya yang semakin baik. Sedikit demi sedikit aku memperbaiki diri dan meningkatkan mimpiku. Di tahun 2011, aku masih terus menulis cerpen dan mengikuti beberapa kompetisi antologi yang menarik minatku, sembari diam-diam memupuk keinginan suatu hari nanti bisa menerbitkan novel.

Awal tahun 2012, jalan itu terbuka. Seiring dengan Korean Wave yang melanda negeri ini, aku mendapat tawaran untuk mencoba membuat novel dengan setting Korea. Aku terima tawaran itu sebagai tantangan. Aku juga tipe yang selalu ingin mencoba. Selama ini aku sudah membuat cerita dengan berbagai genre, teenlit, cerita anak, komedi dan misteri. Tak ada salahnya jika aku mencoba menulis cerita bergenre romantis dewasa bersetting negeri Korea. Syukurlah, aku berhasil memenuhi tantangan ini.



Empat judul novel cerita Korea karyaku telah terbit berturut-turut. Kemudian aku juga menerima tawaran menulis novel dengan setting Jepang. Sebuah novel cerita Jepang karyaku juga telah terbit.
Aku tak lantas berpuas diri. Masih panjang perjuangan yang harus aku tempuh, masih banyak mimpi yang belum terwujud. Bagiku ini bagian dari proses belajar yang akan kujalani dengan senang hati. Aku akan terus berusaha menghasilkan karya lebih baik lagi.


Hingga menjelang akhir tahun 2013 ini, tak terasa ternyata sudah cukup banyak karya novel yang kuhasilkan. Awalnya mungkin masih sederhana, namun aku berusaha tiap karyaku yang baru menampilakan tulisan yang lebih baik dari sebelum-sebelumnya.

Walau banyak cobaan dalam dunia menulis, kritik yang datang padaku, semua kuterima dengan besar hati sebagai bahan masukan agar karyaku bisa menjdai lebih baik lagi.

Ini di antaranya karya novelku yang sudah terbit.







Dan... sampai tahun 2014 ini, aku tidak berhenti berkarya. bahkan karyaku di tahun 2013, "Tahajud Cinta di Kota New York", cukup fenomenal, akhirnya menarik minat MD Pictures untuk mengangkatnya menjadi film. Saat ini sedang dalam tahap persiapan.

Tahun 2014 aku berusaha meningkatkan diri dengan menerbitkan novel-novelku di penerbit-penerbit besar, idaman banyak penulis, yaitu Gramedia Pustaka Utama dan Gagas Media. Selain terbit juga di Elex Media. Ini dia, "Hatiku Memilihmu", "Monte Carlo" dan "Cinta Valenia".

Benar kan? Nggak ada mimpi yang nggak mungkin terwujud jika kita sungguh-sungguh bekerja keras mewujudkannya. yuk, berani bermimpi! ^_^















Kumcer Bobo No. 76


Koleksi Pustaka Ola
Terbit bulan Mei 2012


Cerpen hasil karyaku yang berjudul Marianka, terangkum dalam kumpulan cerita anak Bobo nomor 76. Pernah dimuat di Majalah Bobo. Menjadi tambahan koleksi untuk bukuku. Yuk, koleksi juga. Ceritanya seru-seru. ^_^