Jumat, 20 Juli 2012
Jangan Jatuh Cinta Padanya
By Arumi Ekowati
Jangan jatuh cinta padanya
Ingat perihnya kisah terdahulu,
bagai sembilu bermata seribu,
mengiris halus jantung ranummu
Jangan jatuh cinta padanya
seperti yang sudah-sudah,
berakhir di sudut kamarmu,
dalam letupan sedu sedan tak berkesudahan
Jangan jatuh cinta padanya
indahnya hanya sekejap,
lalu kau ratapi kebodohanmu
Jangan jatuh cinta padanya
bekukan saja hatimu,
biarkan sedingin puncak gunung Himalaya
Jangan jatuh cinta padanya
kecuali kau yakin sanggup menanggung akibatnya!
Pondok Sambi,
00.30, 13 Juli 2010
NB : ini contoh puisi mbeling bukan ya? ^^
Kenangan di bukit cabai di Megamendung
Tahun 2005, aku mendapat kesempatan bekerja di sebuah pertanian cabai di salah satu bukit di Mega Mendung. Ada banyak kenangan di sana, yang tak lepas dari kerja keras, bukan hanya aku, tetapi semua rekan sekerja juga para petani. Mereka tak kenal lelah, terus bekerja sekeras apa pun untuk bertahan hidup. Ini sepenggal kisahnya...
Aku terdampar di hamparan luas sebuah bukit di Mega mendung. Tempat yang akan dijadikan pertanian cabai merah. Tugasku mengawasi para buruh tani mengolah tanah sebelum ditanami benih-benih cabai merah.
Semakin siang, sengat sinar mentari semakin tajam, aku berteduh di bawah sebuah pohon rindang, mengawasi dari kejauhan buruh tani lelaki dengan wajah penuh peluh mencangkul tanah sekuat tenaga.
"Panasnya!" keluhku, hampir saja kuucap haus,tapi tak baik mengeluh begitu ketika sedang berpuasa.
Azan dzuhur berkumandang, para petani menuju tempat beristirahat. Tak ada yang merokok atau menyantap makan siang bekal dari rumah masing-masing seperti biasanya. Sebagian mengambil air wudhu dan sholat dzuhur berjamaah. Sementara lainnya menunggu giliran, duduk bersandar di dinding kayu bangunan kantor pertanian cabai ini.
"Bapak puasa?" tanyaku pada seorang petani setengah baya yang sedang duduk mengistirahatkan tubuh penatnya sejenak.
"Tentu saja, Neng! Puasa itu wajib."jawabnya.
"Bapak nggak capek? Mencangkul ketika berpuasa, bukankah melelahkan?" tanyaku lagi.
"Jika sudah niat berpuasa, Insya Allah semua terasa ringan." jawabnya.
Aku tertegun, malu pada diriku sendiri, lihatlah mereka tak kenal lelah. Waktu istirahat selesai, mereka kembali melanjutkan pekerjaan mencangkul tanah pertanian. Aku tak lagi bersembunyi di bawah pohon rindang.
Semangat Ramadan mereka, telah menular kepadaku.
Tahun 2005, aku mendapat kesempatan bekerja di sebuah pertanian cabai di salah satu bukit di Mega Mendung. Ada banyak kenangan di sana, yang tak lepas dari kerja keras, bukan hanya aku, tetapi semua rekan sekerja juga para petani. Mereka tak kenal lelah, terus bekerja sekeras apa pun untuk bertahan hidup. Ini sepenggal kisahnya...
Aku terdampar di hamparan luas sebuah bukit di Mega mendung. Tempat yang akan dijadikan pertanian cabai merah. Tugasku mengawasi para buruh tani mengolah tanah sebelum ditanami benih-benih cabai merah.
Semakin siang, sengat sinar mentari semakin tajam, aku berteduh di bawah sebuah pohon rindang, mengawasi dari kejauhan buruh tani lelaki dengan wajah penuh peluh mencangkul tanah sekuat tenaga.
"Panasnya!" keluhku, hampir saja kuucap haus,tapi tak baik mengeluh begitu ketika sedang berpuasa.
Azan dzuhur berkumandang, para petani menuju tempat beristirahat. Tak ada yang merokok atau menyantap makan siang bekal dari rumah masing-masing seperti biasanya. Sebagian mengambil air wudhu dan sholat dzuhur berjamaah. Sementara lainnya menunggu giliran, duduk bersandar di dinding kayu bangunan kantor pertanian cabai ini.
"Bapak puasa?" tanyaku pada seorang petani setengah baya yang sedang duduk mengistirahatkan tubuh penatnya sejenak.
"Tentu saja, Neng! Puasa itu wajib."jawabnya.
"Bapak nggak capek? Mencangkul ketika berpuasa, bukankah melelahkan?" tanyaku lagi.
"Jika sudah niat berpuasa, Insya Allah semua terasa ringan." jawabnya.
Aku tertegun, malu pada diriku sendiri, lihatlah mereka tak kenal lelah. Waktu istirahat selesai, mereka kembali melanjutkan pekerjaan mencangkul tanah pertanian. Aku tak lagi bersembunyi di bawah pohon rindang.
Semangat Ramadan mereka, telah menular kepadaku.
Kamis, 19 Juli 2012
Salah Sambung (bukan Arumi seleb)
Saya pernah mendapat telepon dari nomor yang tidak saya kenal. Tapi tetap saya terima. Karena mungkin saja itu telepon dari seseorang yang ingin menyampaikan informasi penting.
Penelepon
(suara wanita) : Halo, ini bener Arumi ya?
Saya : Iya bener, ini siapa ya?
Penelepon : Ini Arumi yang artis itu kan?
Saya : (berpikir sejenak, artis?????) Oooh, bukan, saya bukan Arumi artis, saya Arumi biasa aja
Penelepon : Ah, bohong nih, saya serius mbak, ini Arumi yang artis sinetron itu kan?
Saya : Maksudnya Arumi Bachin? Bukan Mbak, sumpah, saya juga serius, saya bukan Arumi Bachin, saya Arumi Ekowati tukang nulis cerpen dan tukang bikin sepatu lukis
Penelepon : Ooooh....
Telepon mendadak putus. Untunglah akhirnya dia percaya kalau dia telah salah sambung, sehingga saya nggak perlu sumpah pocong segala untuk meyakinkannya...^^
NB : True story, ini benar2 terjadi, saya heran bagaimana mbak tadi bisa dapat no. hp saya dan mengira no. hp Arumi Bachin
Konspirasi Otak dan Hati
By Arumi Ekowati
Rasa itu datang tanpa permisi
Menelusup masuk perlahan namun pasti
mencemari hati nan perawan
Mengubah si lugu
menjadi mahir bermuslihat
mencipta beribu alasan
untuk sekedar menyapanya
"Selamat pagi, pagi ini jalanan macet sekali."
basa basi basi
"Selamat siang, mari makan siang."
basa basi basi
"Selamat sore, jangan lupa sholat ashar."
basa basi yang kali ini tidak basi
"Selamat malam, jangan tidur terlalu malam."
basa basi bermakna harap
sekelumit bayangku mampir dalam mimpinya
Otak memutar otak
Hati bergejolak
Berkonspirasi mencari-cari alasan
untuk sekedar menyapanya
"Selamat ulang tahun, semoga sehat selalu, panjang umur, banyak rejeki dan cepat dapat jodoh."
Ini sungguh bukan basa basi
"Terima kasih."
hanya itu jawabnya
basa basi basi
Otak dan hati kehabisan akal
Lelah berkonspirasi, enggan berbasa basi lagi
Pondok Sambi,
14 Juli 2010
NB: puisi mbeling...ling...ling...(apakah ini bisa disebut puisi?)
Langganan:
Postingan (Atom)