Laman

Jumat, 20 Juli 2012

Kenangan di bukit cabai di Megamendung


Tahun 2005, aku mendapat kesempatan bekerja di sebuah pertanian cabai di salah satu bukit di Mega Mendung. Ada banyak kenangan di sana, yang tak lepas dari kerja keras, bukan hanya aku, tetapi semua rekan sekerja juga para petani. Mereka tak kenal lelah, terus bekerja sekeras apa pun untuk bertahan hidup. Ini sepenggal kisahnya...

Aku terdampar di hamparan luas sebuah bukit di Mega mendung. Tempat yang akan dijadikan pertanian cabai merah. Tugasku mengawasi para buruh tani mengolah tanah sebelum ditanami benih-benih cabai merah.

Semakin siang, sengat sinar mentari semakin tajam, aku berteduh di bawah sebuah pohon rindang, mengawasi dari kejauhan buruh tani lelaki dengan wajah penuh peluh mencangkul tanah sekuat tenaga.

"Panasnya!" keluhku, hampir saja kuucap haus,tapi tak baik mengeluh begitu ketika sedang berpuasa.

Azan dzuhur berkumandang, para petani menuju tempat beristirahat. Tak ada yang merokok atau menyantap makan siang bekal dari rumah masing-masing seperti biasanya. Sebagian mengambil air wudhu dan sholat dzuhur berjamaah. Sementara lainnya menunggu giliran, duduk bersandar di dinding kayu bangunan kantor pertanian cabai ini.

"Bapak puasa?" tanyaku pada seorang petani setengah baya yang sedang duduk mengistirahatkan tubuh penatnya sejenak.

"Tentu saja, Neng! Puasa itu wajib."jawabnya.

"Bapak nggak capek? Mencangkul ketika berpuasa, bukankah melelahkan?" tanyaku lagi.

"Jika sudah niat berpuasa, Insya Allah semua terasa ringan." jawabnya.

Aku tertegun, malu pada diriku sendiri, lihatlah mereka tak kenal lelah. Waktu istirahat selesai, mereka kembali melanjutkan pekerjaan mencangkul tanah pertanian. Aku tak lagi bersembunyi di bawah pohon rindang.

Semangat Ramadan mereka, telah menular kepadaku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar