Laman

Minggu, 15 Juli 2012

Nightmare On Palm Street

By : Arumi Ekowati


Surprised dengan ilustrasinya yang bagus banget... kesannya jadi horor beneran, padahal.... hm, baca aja deh sendiri di Story Teenlit Magazine terbaru, edisi 31, terbit 25 Februari 2012



Semilir angin malam membuat Gina menggigil kedinginan begitu ia keluar dari mobil Papanya. Ia biarkan Papa berjalan lebih dahulu memasuki rumah yang akan dihuni keluarga mereka nantinya. Ini bukan rumah baru. Kabarnya telah dibangun sejak sepuluh tahun lalu. Dan telah berganti kepemilikan sebanyak tiga kali. Papa Gina kini adalah pemilik baru rumah ini.
Gina menghela nafas pasrah. Jika saja bisa, ia ingin menolak tinggal di sini. Rumah ini jauh lebih kecil dari rumah mereka sebelumnya. Terletak di pinggiran Ibukota yang masih sepi. Rumah di kanan kiri rumah itu kosong dan dibiarkan tak terawat, penuh ditumbuhi ilalang tinggi.
Tapi Papa terpaksa menjual rumah mereka sebelumnya yang terletak di pusat kota dan berukuran dua kali lebih besar dari rumah ini. Sebagian hasil menjual rumah mereka sebelumnya digunakan untuk membeli rumah ini dan sebagian lagi untuk menalangi usaha Papa yang tahun ini banyak merugi.
Jalan Palem nomor 5, itu alamat rumah yang akan dihuni keluarga Gina ini. Pagar besinya sederhana dan banyak berkarat di sana sini. Lebar rumah ini hanya tujuh meter. Tak ada garasi, hanya sebuah carport. Terasnya kecil berukuran dua meter kali tiga meter.
“Ayo, Gin! Cepat masuk!” ajakan Papa mulai menyerupai perintah ketika Papa melihat Gina masih termangu di teras ragu untuk melangkah masuk ke dalam rumah.
“Kamar kamu di belakang dekat ruang makan. Jendela kamar kamu menghadap taman belakang, jadi, kamu masih bisa menghirup udara segar jika jendela kamarmu dibuka.” kata Papa sambil menunjukkan kamar Gina.
Gina memasuki kamarnya perlahan. Semua barang-barangnya telah dipindahkan ke kamar ini. Interior berikut warna dindingnya, telah ditata menyerupai kamarnya terdahulu.
“Kamu suka kamar baru kamu, sayang? Nggak jauh beda dengan kamar kamu yang dulu, kan?” kata Mama sambil membantu Gina memasukkan pakaian-pakaiannya ke dalam lemari.
“Jujur saja, sedikit spooky, Ma! Rumah di kanan kiri rumah ini kan masih kosong.” jawab Gina.
“Hei, anak Mama takut dengan rumah kosong?” goda Mama.
“Ma, kata orang, rumah kosong itu biasanya dihuni mahluk yang nggak terlihat.” jawab Gina sedikit cemberut.
“Justru karena nggak terlihat, berarti nggak perlu takut, kan?” sahut Mama.
Gina semakin cemberut.

Malam itu Gina kesulitan tidur. Pikirannya masih dipenuhi rasa was-was teringat rumah kosong di kanan kiri rumahnya yang gelap, penuh ditumbuhi rumput dan semak liar. Walau ia terbiasa tidur dalam gelap, tapi kali ini Gina tak berani mematikan lampu kamarnya. Menjelang jarum pendek jam wekernya menyentuh angka dua, mata Gina mulai terpejam. Akhirnya tubuhnya yang terasa lelah setelah seharian sibuk membereskan barang-barangnya, menuntut untuk diistirahatkan.
Dalam alam mimpinya, gambaran rumah kosong di kanan kiri rumahnya kembali hadir. Gina berada di dalam rumah kosong sebelah rumahnya itu. Lalu tiba-tiba muncul sosok berwajah penuh jerawat dan bergigi kawat menyeringai lebar ke arahnya! Mendadak ia bangun terduduk di tempat tidurnya.
“Ih! Mimpi apaan sih? Nggak enak banget! Kenapa aku mimpiin wajah aneh gitu? Nggak bisa apa mimpi yang romantis? Mimpi ditaksir Nicholas Saputra kek! Atau diajak kencan Justin Bieber!” rutuk Gina komat-kamit sendiri.
Gina kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya membelalak menatap langit-langit kamarnya. Ia ragu untuk memejamkan mata.
“Mungkin aku harus melihat-lihat poster Zac Efron supaya aku mimpiin wajah gantengnya!” pikir Gina.
Segera dicarinya gulungan poster-poster selebritis favoritnya yang belum sempat ia pasang di dinding kamar. Ada banyak poster selebriti tampan koleksinya. Ia beberkan satu persatu. Ada Robert Pattinson, Taylor Lautner, Jonas Brother, Zac Efron. Hm, wajah-wajah menawan itulah yang ia harapkan hadir dalam mimpinya. Setelah puas melihat-lihat selama hampir dua puluh menit, Gina kembali tertidur.
Baru saja mata Gina terpejam selama tiga puluh menit, mendadak ia kembali terbangun.
“Astaga! Kenapa wajah aneh itu lagi yang muncul dalam mimpiku? Kenal juga nggak. Lihat juga kayaknya belum pernah.” omel Gina.
Ia pun tak berani lagi memejamkan matanya. Baru menjelang pukul empat pagi, Gina kembali tertidur. Hanya satu jam ia memejamkan mata, karena pukul lima pagi, pintu kamarnya diketuk keras oleh Mama yang membangunkannya untuk segera sholat subuh.
* * *
Vero menyikut pinggang kiri Gina sedikit keras. Membuat tubuh Gina yang hampir limbung ke depan terlonjak kaget.
“Gin, jangan tidur dong. Pak Buchori melototin kamu tuh.” bisik Vero.
Gina buru-buru menegakkan duduknya. Tapi baru saja sebentar tegak, matanya sayup-sayup hampir saja terpejam lagi. Untunglah bel istirahat segera berbunyi, menandakan pelajaran kimia dari Pak Buchori telah usai.
“Kamu kenapa sih, Gin?” tanya Vero setelah Pak Buchori keluar kelas.
“Semalam aku kurang tidur. Aku mimpi aneh, Ver.” jawab Gina sambil bergidik.
“Gara-gara rumah barumu itu, ya? Jangan-jangan rumah barumu itu banyak mahluk halusnya.” sahut Vero sambil nyengir.
“Ih, jangan nakut-nakutin gitu dong, Ver!”
Gina melotot sebal melihat Vero nyengir semakin lebar.
Malam harinya, wajah penuh jerawat dengan gigi berkawat kembali hadir dalam mimpi Gina. Jadilah malam itu lagi-lagi Gina kurang tidur dan kembali paginya ia terkantuk-kantuk di kelas.
“Gin! Bangun! Ampun deh, masih pagi kamu sudah merem!” lagi-lagi Vero menyikut pinggang kiri Gina.
“Duh, nyikutnya keras amat sih, Ver!” protes Gina sambil sedikit meringis.
“Tuh, ada anak baru! Kamu kan berharap banget ada murid cowok baru di kelas kita.” sahut Vero sambil menunjuk ke arah depan kelas dengan dagunya.
Gina segera mengalihkan pandangannya ke depan kelas. Mata Gina segera membelalak ketika melihat sosok mahluk yang berdiri di depan kelas. Apalagi kemudian mahluk itu nyengir lebar ke arahnya. Giginya berhias kawat gigi kuno, persis sekali seperti...
“Ver, please, jangan bilang kalau ini nyata, please, bilang ini cuma mimpi.” bisik Gina menghiba kepada Vero.
“Apaan yang cuma mimpi?”
“Mahluk cowok yang berdiri di depan kelas itu, apa yang kamu lihat nggak seperti yang aku lihat, kan?”
“Memangnya apa yang kamu lihat, Gin?”
“Cowok nggak gitu tinggi, bertubuh cenderung ceking, bertampang jadul, muka penuh jerawat, pakai kawat gigi.”
“Lah, memang benar, itulah anak baru di kelas kita. Kamu suka ya, Gin?”
“Ih, enak aja!” bantah Gina
to be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar