Laman

Kamis, 23 Februari 2012

Bye Bye Office



Telah terbit buku antologi karyaku terbaru.

Bye-Bye Office

Butuh keberanian untuk mengucapkan :Bye Bye Office.

Dan memang tak mudah memulai usaha mandiri. Banyak rintangan dan halangan yang terkadang meruntuhkan mental. Tetapi dengan semangat pantang menyerah, maka segala masalah dapat terlewati.

Kini nikmati saja menekuni hobi sembari mendapatkan penghasilan. Jalani dengan riang gembira, maka hidup terasa ringan. Di sini terangkum kisahku memulai usaha mandiri sekaligus menekuni hobi, melukis sepatu kanvas.

Bersama 14 belas wanita lainnya, kami berbagi cerita...

Bagi teman-teman yang ingin memesan buku ini silahkan. banyak info serta pengalaman bagaimana memulai usaha yang bisa dibaca di sini.

Harga : Rp 39.000,-
Penerbit : MIC Publishing

Selasa, 10 Januari 2012

Menjadi Volunter Sea Games 2011



Berfoto bersama Rio, atlit sailing wanita kebanggaan Indonesia yang memperoleh medali emas.


Pengalamanku menjadi volunteer dimuat di harian Republika.


September 2011 aku mencoba pengalaman menjadi volunter hajatan akbar Sea Games 2011 yang diselenggarakan di dua kota, Jakarta dan Palembang. Karena aku tinggal di Jakarta,aku ditugaskan di venue sailing di Pantai Marina Ancol.

Serunya mendapat pengetahuan tentang sailing. Ini olahraga yang ternyata menarik. Aku takjub saat mengetahui ada kategori anak-anak yang baru berusia 8 tahun. Sekecil itu sudah bisa membawa perahu layar di laut lepas. Hebat sekali.

Selain mendapat honor yang lumayan, pengalaman, aku juga mendapat banyak teman baru. Serta kenang-kenangan pin dari berbagai negara peserta.

1. Persiapannya cukup sederhana saja. SDM Inasoc sebagai yang bertanggung jawab dalam perekrutan tenaga volunteer dan LO, mentraining kami terlebih dahulu selama satu hari. Dalam training itu kami diberikan materi tentang bagaimana bersikap yang baik dalam pergaulan, tentang interpersonal relationship,tentang bagaimana berkomunikasi yang efektif dan sedikit pengetahuan tentang wisata kota Jakarta, sebagai bekal kami untuk berinteraksi yang baik dengan para atlit tamu dan officialnya.Aku mendapat info tentang menjadi volunteer ini dari seorang teman.

Aku bertugas sebagai volunteer di venue sailing yang berlokasi di Pantai Marina. Sejak awal aku tahu tempat tugasku ini, aku sudah sangat antusias. Pantai Marina tentu saja identik dengan rekreasi dan bersenang-senang. Sehingga aku pun yakin bahwa tugasku nantinya pasti akan sangat bernuansa fun. Kenyataannya memang benar. Satu timku berjumlah 22 orang. Masing-measing diberi tugas yang berbeda, tapi sejalan waktu, kami pun saling bertugas tugas, sehingga hampir semua dari kami merasakan semua pengalaman tugas yang berbeda-beda. Seperti misalnya aku pernah ditugaskan mambantu di rauang secretariat untuk menerjemahkan surat undangan acara closing ceremony. Aku juga pernah ikut serta dalam kapal wasit menuju tengah laut menyaksikan bagaimana menentukan garis start dan finish di tengah laut. Di hari pertandingan, aku bertugas di pos check in/out, tempat para atlit wajib menyerahkan id cardnya sebelum turun ke laut.

Intinya, sebagai volunteer, tugas kami adalah membantu apa saja untuk melancarkan jalannya kegiatan yang berlangsung di venue sailing. Beberapa dari kami ada juga yang membantu mendorong kapal atlit menuju laut, atau menarik kapal atlit yang selesai berlayar di laut menuju tempat pencucian kapal. Kami hanya membantu meringankan atlit, karena semua atlit sebenarnya telah terbiasa membawa sendiri kapalnya, kecuali kapal-kapal yang besar yang memang butuh batuan untuk didorong dan ditarik. Ada juga yang bertugas ikut mengantar makanan ke kapal wasit di laut yang berjumlah sekitar Sembilan kapal sesuai dengan jumlah kelas yang dipertandingkan. Banyak pengalaman yang tak terlupakan selama aku bertugas di pantai Marina.

Kejadian paling lucu adalah ketika kami sedang istirahat siang di kantin yang terletaK di belakanng venue, ternyata ada dua atlit Singapura yang memesan mi ayam di kantin itu. Mereka bilang mi ayam di situ lebih enak daripada spaghetti menu makan siang mereka. Mereka bahkan tanpa ragu menuangkan saos botolan yang merahnya ngejreng itu. Tentu saja itu tanpa sepengetahuan pelatih mereka. Karena sebagai atlit, makanan mereka sebenarnya sudah diatur oleh ahli gizi. Mereka tak ragu berbaur dengan kami dan ngobrol santai. Ternyata tak hanya kedua atlit Singapur itu, tim Malaysia bahkan dating lengakap ke kantin juga memesan mi ayam itu berikut pelatihnya! Padahal itu hanya mi ayam gerobak biasa yang harganya 7000 rupiah per porsi. Atlit Malaysia itu ternyata friendly dan kami pun ngobrol asyik sembari bercanda, seolah segala pemberitaan tentang permusuhan dengan orang Malaysia seperti dalam banyak berita tak terbukti di situ. Bahkan kami masing-masing diberikan pin kontingen Malaysia sebagai kenag-kenangan. Kami juga mendapat pin kontingen Thailand dari atlit Thailand kelas junior yang memperoleh medali perak.Secara keseluruhan, lebih banyak suka selama bertugas di venue sailing. Hanya saja kami harus rela kulit kami menghitam karena terbakar matahari selama 13 hari bertugas di Pantai Marina. Tapi tentu saja itu tidak sebanding dengan serunya bertugas di sana. Semakin hitam, siapa takut? Hehehe

Awalnya aku melamar sebagai volunteer sea Games, aku tak mengira bahwa aku akan mendapatkan honor juga. Karena volunteer tentu saja artinya sukarelawan. Mendapatkan 3 buah kaos seragam berlogo Sea games, dua buah celana, sepasang sepatu, sebuah tas, sebuah topi, satu set alat tulis saja sudah membuat aku senang. Tetapi ternyata Inasoc sebagai panitia penyelenggaraan Sea Games, tidak memperkerjakan kami dengan Cuma-Cuma. Kami mendapatkan honor yang cukup layak, yang sangat lumayan untuk menambah asaldo tabungan kami. Sungguh sangat beruntung aku ikut serta menjadi volunteer dalam Sea Games ini, karena bukan hanya uang, tapi juga aku mendapat banyak pengalaman berharga dan tentu saja banyak menambah teman.

Terlibat dalam acara sebesar Sea games, tentu saja artinya harus siap berinteraksi dengan banyak orang, bukan hanya dengan sesame petugas VO dan LO, tapi juga dengan panitia, terutama dengan panitia penyelenggara di setiap venue tempat kami ditugaskan. Dan yang paling penting, kami juga pastinya akan berinteraksi dengan atlit dan official masing-masing Negara peserta. Yang utama adalah, kami harus menjaga sikap sopan santun dan ramah tamah. Juga sikap sigap untuk siap sedia membantu siapa saja yang butuh bantuan. Ini juga menjadi kesempatan untuk berinteraksi dengan orang-orang dari negara yang berbeda-beda. Untuk yang bisa berbahasa Inggris, kami bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Tapi atlit Myanmar umumnya tidak bisa berbahasa inggris, sehingga kami pun berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Toh itu tak menjadi kendala, karena kami bisa saling mengerti, asalkan kami tetap bersikap sopan dan yang paling penting adalah murah senyum, karena senyum pasti artinya positif, apa pun bahasa yang kami gunakan. Bahkan ada atlit Thailand yang setiap pagi justru mengucapkan selamat pagi, dan dia juga belajar dari kami bagaimana cara mengucapkan selamat sore.

Cerpen : KUNANG – KUNANG CINTA



Selamat tahun baru 2012 teman-teman....Mengawali tahun baru ini, aku ingin sharing cerpen duetku bersama sahabatku Riri Ansar yang sama-sama hobi menulis. Cerpen ini fiksi, tapi terinspirasi dari kisah nyata gadis cilik penderita kanker bernama sayitri. semoga bermanfaat bagi yang membaca. Enjoy it. :)


KUNANG – KUNANG CINTA
~ Riri Ansar & Arumi Ekowati ~

Gayatri melangkah terburu-buru keluar kelas, dengan langkah hampir setengah berlari. Ia harus segera sampai di rumah, menyiapkan santap siang untuk neneknya. Harus, karena hanya dia yang tinggal bersama neneknya. Tak ada waktu untuk bercengkrama dengan teman-temannya sepulang sekolah. Termasuk tak ada waktu untuk melayani rayuan Bisma. Sebenarnya, itu bukan rayuan, hanya permintaan Bisma untuk mengantarnya pulang bareng. Sudah berkali-kali ia menolaknya, tapi Bisma seperti tak pernah surut langkah membujuknya.
“Tri, kamu mau pulang bareng denganku?” tanya Bisma mencegat Gayatri.
“Nggak usah, Bisma, aku bisa pulang sendiri.” jawab Gayatri sopan.
“Rumah kita berdekatan. Nggak ada salahnya kan pulang bareng?” bujuk Bisma.
“Justru aku nggak enak kalau kita pulang bareng. Apa kata teman-teman nanti jika melihat kita boncengan.” sahut Gayatri sambil tersenyum, tak dikuranginya sedikit pun kecepatan langkahnya.
“Atri!” Bisma mengejar Gayatri, hingga menjejeri langkah Gayatri sambil tetap menuntun sepedanya.
“Kenapa sepedamu selalu kau tuntun begitu? Sepedamu jadi tak ada gunanya.” kata Gayatri, matanya melirik ke arah Bisma yang berjalan di samping kanannya.
“Aku tak akan mengayuhnya sampai kau mau aku bonceng.” sahut Bisma
“Apa kamu nggak capek, Bisma?” tanya Gayatri heran.
“Harusnya aku yang bertanya, apakah kamu nggak capek, Tri? Bukankah kau akan lebih cepat sampai ke rumahmu jika kau mau membonceng sepedaku?” Bisma balik bertanya.
“Aku nggak mau merepotkanmu, Bisma.”
“Aku nggak merasa repot.”
Gayatri enggan menyahut lagi. Ia mempercepat langkahnya tanpa memedulikan Bisma. Bisma membiarkan Gayatri berjalan di depannya. Sementara, ia mengikuti dari belakang sambil tetap menuntun sepeda tuanya. Bisma menghela nafas panjang. Ia kehabisan akal mencari cara mengembalikan keceriaan Gayatri. Ia menyesal tak bisa lagi melihat lekukan kecil di kanan kiri pipi gadis itu yang muncul tiap kali ia tersenyum.
Senyum khas Gayatri lenyap bersamaan dengan kepulangan ibunya dari Malaysia dalam keadaan sekarat. Bukan, ibu Gayatri bukan korban kekejaman majikan seperti yang sering diberitakan di televisi. Ibu Gayatri dipulangkan majikannya karena sakit-sakitan akibat kanker yang dideritanya. Tak lama setelah kepulangannya, ibu Gayatri wafat. Bisma ingat bagaimana Gayatri tak berhenti menangis melihat tubuh ibunya yang terbujur kaku. Sudah lima bulan berlalu sejak kematian ibunya, tapi keceriaan Gayatri tak pernah kembali.
***
Gayatri tak bisa melupakan kejadian tadi siang. Saat Argan tak sengaja menubruk tubuhnya. Ketika itu ia sibuk memerhatikan buku-buku yang baru saja dipinjamnya dari perpustakaan, hingga tak melihat ada seseorang melangkah tepat ke arahnya.
“Eh, maaf!” seru Argan tadi siang.
Lalu tanpa diminta, Argan segera mengambilkan buku-buku Gayatri yang berjatuhan di lantai. Gayatri tercengang. Ia tahu siapa Argan. Siapa yang tak kenal Argan di desa ini. Anak pak lurah. Pujaan banyak gadis di desanya ini. Yang membuat Gayatri tercengang, Argan yang selama ini seolah tak terjangkau olehnya, meminta maaf lebih dulu, bahkan bersedia memungut buku-bukunya yang berjatuhan.
“Terima kasih, Kak.” ucap Gayatri saat Argan menyerahkan buku-buku itu kepadanya.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Argan.
Gayatri bengong sesaat dan sedikit gelagapan saat menjawab,
“Saya nggak apa-apa, Kak!”
“Maaf, ya, aku yang salah, berjalan sambil sms-an, jadi tak melihat ada orang lain.”
“Eh, saya juga salah, Kak. Jalan sambil menunduk.”
Syukurlah kalau kamu nggak apa-apa. Sudah ya?” kata Argan seraya tersenyum, lalu melangkah pergi. Meninggalkan jejak di hati Gayatri. Membuat ia memikirkan Argan hingga malam ini. Lalu, buku hariannya hari ini terasa berbeda dibanding hari-hari sebelumnya yang suram. Ia tersenyum, kemudian menuliskan kejadian siang tadi dalam buku hariannya dengan kalimat pembuka,
Hari ini aku senang sekali…
***
Hari minggu ini Gayatri menemani neneknya bekerja di sawah. Ia tak tega membiarkan neneknya sendirian bekerja keras di usianya yang telah lebih dari separuh baya. Andaikan bisa, ingin rasanya ia menggantikan neneknya bekerja. Tapi ia harus sekolah. Neneknya yang selalu menyemangatinya sekolah. Belum lagi ia ingat pesan terakhir ibunya, agar ia tak berhenti menuntut ilmu, karena ilmu itu adalah harta yang tak ternilai. Untunglah bapaknya yang bekerja sebagai buruh serabutan di Jakarta masih bisa mengirimkan uang untuk biaya sekolahnya.
Sawah ini hanya sepetak kecil. Peninggalan kakeknya dahulu. Saat ini adalah saat menanam, setelah selesai menanam, neneknya tak perlu datang ke sawah sepanjang hari, kecuali melihat keadaan sawahnya dan memberi pupuk. Gayatri melirik neneknya yang terus menanam bibit-bibit padi dengan cekatan. Ada rasa kasihan di hatinya melihat neneknya itu. Ia bertekad akan membantu neneknya sebisa mungkin, di sela-sela tugas-tugas sekolahnya.
Sinar mentari semakin menyengat. Tiba-tiba saja Gayatri merasakan nyeri di kepalanya. Rasanya bagaikan ada ribuan kunang-kunang menyerangnya. Lalu semua tampak gelap dan beberapa detik kemudian tubuhnya merosot jatuh di atas pematang sawah.
***
“Atuh kumaha, Neng? Kamu kenapa tiba-tiba pingsan tadi?” Suara halus neneknya dengan logat sunda yang kental lamat-lamat terdengar di telinga Gayatri.
Gayatri membuka matanya. Kepalanya masih terasa berdenyut.
“Entahlah Nek, tadi rasanya kepala Atri pusing sekali. Seperti diserbu ribuan kunang-kunang.” sahut Gayatri.
“Sini, nenek kerik badan kamu pakai ramuan bawang. Masuk angin ini kamu, Neng.” kata neneknya lagi.
Gayatri tak menolak ketika neneknya membuka pakaiannya, lalu melumuri punggungnya dengan minyak kelapa bercampur tumbukan bawang merah. Sesekali ia mengernyit menahan perih, saat kulit punggungnya dikerik dengan uang logam lima ratus rupiah. Mungkin benar kata neneknya, ia hanya masuk angin.
***
“Gayatri!”
Gayatri ragu untuk menoleh. Tapi seingatnya itu bukan suara Bisma yang ia kuatirkan akan memaksanya pulang bareng lagi. Gayatri melongo tak percaya melihat sosok yang menyebutkan namanya tadi.
“Kak Argan?” Dia heran, bagaimana anak pak lurah itu bisa tahu namanya? Ia bukan siapa-siapa. Berkenalan pun tidak pernah.
“Mau kuantar pulang?” tanya Argan dengan senyumnya yang menawan. Ia duduk di atas sebuah motor matik yang tampak baru.
“Saya, Kak? Tapi…eh, maaf, kenapa kak Argan mau mengantar saya pulang?” tanya Gayatri semakin heran.
“Karena kulihat kamu jalan sendiri hampir setengah berlari. Rumahmu cukup jauh juga, kan? Kuantar kamu sampai depan kantor kelurahan, dari situ kau hanya tinggal berjalan sedikit lagi ke rumahmu.”
Gayatri kembali melongo. Argan tahu di mana rumahnya? Bagaimana bisa?
“Tapi Kak…”
“Sudahlah! Nggak apa-apa. Ayo membonceng di motorku.” kata Argan.
Sesungguhnya Gayatri memang tak ingin menolak. Ini seperti mimpi di siang hari. Argan yang beberapa hari ini membuatnya senang, yang membuatnya sering mencuri pandang saat kebetulan berpapasan di lingkungan sekolah, justru menawarkan mengantarnya pulang. Segera ia duduk di boncengan motor Argan dan sedikit ragu menggenggam ikat pinggang Argan di kanan kiri sebagai pegangan.
Bisma patah hati melihat adegan itu. Ia kecewa pada Gayatri. Gayatri menolak membonceng di sepedanya yang memang sudah tak mentereng lagi. Tapi tak menolak membonceng di motor baru Argan anak pak lurah. Hati Bisma terasa ngilu.
***
Pagi ini Gayatri berjalan menuju sekolahnya dengan hati riang. Hari-hari belakangan ini ia semakin semangat berangkat ke sekolah. Tentu saja karena Argan. Tak bisa dipungkiri, hatinya melambung menerima segala perlakuan Argan kemarin. Walau ia masih tak tahu apa maksud Argan sebenarnya, ia tak peduli. Itu sudah cukup membuat keceriaannya kembali. Lesung pipinya kembali sering terlihat. Sapaan ramahnya kembali mencerahkan hari setiap orang yang ditemuinya.
“Atri!”
Gayatri tahu, kali ini Bisma yang memanggilnya. Ia menoleh dan tersenyum manis.
“Kuantar ke sekolah yuk!” ajak Bisma.
Hati Gayatri sedang senang. Ia tak keberatan berbagi kebahagiaan. Maka tak ditolaknya tawaran Bisma itu. Ia segera duduk di boncengan sepeda Bisma. Membuat Bisma bahagia dan melupakan kekecewaannya kemarin. Bisma tersenyum lebar sambil mengayuh sepedanya penuh semangat. Ia bertekad, sepulang sekolah, ia akan mengantar Gayatri pulang.
Tapi nyatanya Bisma ragu menghampiri Gayatri yang berjalan cepat-cepat sejak keluar kelas seusai jam pelajaran terakhir. Ia hanya memerhatikan dari belakang. Ingin tahu, apakah Argan akan menawarkan mengantar Gayatri pulang lagi.
Argan baru muncul setelah mereka cukup jauh meninggalkan sekolah. Gayatri mengenal suara motor Argan. Segera ia menoleh dengan hati berbunga-bunga. Tapi bunga-bunga di hatinya itu mendadak layu saat dilihatnya Argan tidak sendiri di atas motornya. Ada gadis lain yang juga mengenakan seragam putih abu-abu membonceng di motor Argan. Gadis itu memeluk pinggang Argan tanpa malu-malu. Argan berlalu begitu saja melewati Gayatri tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Senyum manis segera lenyap dari wajah Gayatri
Bisma cepat-cepat menghampiri Gayatri yang kini melangkah gontai.
“Atri, aku antar yuk!” sapa Bisma.
Gayatri hanya menoleh sekilas. Ia terlihat enggan menjawab. Tiba-tiba saja Gayatri merasakan kepalanya kembali berdenyut. Lalu, pandangannya kabur, bagaikan ribuan kunang-kunang menyerangnya. Tubuhnya lunglai hampir jatuh. Dengan sigap Bisma menangkap tubuh Gayatri.
“Tri, kamu kenapa?” tanya Bisma bingung.
Gayatri masih sempat berucap, “Kunang-kunang…” sebelum akhirnya ia jatuh tak sadarkan diri dalam pelukan Bisma.
Susah payah Bisma mendudukkan Gayatri di boncengan sepedanya, lalu ia biarkan tubuh Gayatri bersandar di bahu kanannya. Sekuat tenaga Bisma menuntun perlahan sepedanya menuju rumah Gayatri.
***
“Terima kasih, Bisma. Kamu sudah menolongku dan mengantarkan aku sampai rumah. Kalau nggak ada kamu, apa jadinya aku pingsan di jalan.” ucap Gayatri.
“Kamu nggak mungkin pingsan di jalan sendirian, Tri. Karena sebenarnya, aku selalu ada di belakangmu.” sahut Bisma sambil tersenyum.
Gayatri menatap mata Bisma dalam-dalam. Ia memang merasakan ada rasa sayang di situ. Yang selama ini tak pernah ia gubris.
“Kamu memang teman yang baik, Bisma.” kata Gayatri membalas tersenyum.
“Ada apa denganmu, Tri? Kenapa mendadak pingsan?” tanya Bisma.
“Entahlah. Sekarang ini kepalaku sering terasa sakit sekali. Jika sakit itu menyerang, rasanya seperti ada ribuan kunang-kunang menyerbuku. Lalu semua menjadi gelap dan aku tak ingat apa-apa lagi.” jelas Gayatri.
“Sejak kapan kau merasa begitu?” tanya Bisma tampak cemas.
“Beberapa bulan yang lalu. Akhir-akhir ini aku semakin sering pingsan. Setiap kali aku merasa sedikit lelah, kepalaku rasanya langsung berdenyut.” jawab Gayatri.
“Mulai besok dan seterusnya, aku akan memboncengmu pergi dan pulang sekolah. Kamu nggak boleh menolak, Tri. Aku nggak mau kamu terlalu capek.” kata Bisma.
Gayatri tersenyum. Ia bisa membaca ketulusan hati Bisma. Ah, kenapa selama ini ia tak menyadarinya?
“Baiklah aku tak akan menolak.” sahut Gayatri.
Bisma tersenyum senang. Ia bertekad akan selalu menjaga Gayatri. Tak akan dibiarkannya Gayatri kembali diserbu ribuan kunang-kunang.
***
“Kau bawakan aku kunang-kunang, Bisma?” tanya Gayatri heran.
Ini malam minggu. Aneh, Bisma mendadak berkunjung ke rumahnya, membawa setandan pisang raja dan sebuah toples kaca bening berisi kunang-kunang.
“Apakah seperti ini kunang-kunang yang sering menyerbu kepalamu?” tanya Bisma.
“Tidak, kunang-kunang ini jauh lebih cantik. Darimana kau mendapatkannya?”
“Di lereng bukit, aku menangkapnya kemarin malam.”
Gayatri tertegun, memandangi Bisma hampir tanpa kedip.
“Aku tak menyangka kau menangkap kunang-kunang untukku.”
“Karena kau bilang sering diserbu kunang-kunang, aku jadi penasaran bagaimana rupa kunang-kunang sebenarnya. Aku dengar di lereng bukit masih banyak kunang-kunang di malam hari. Aku berusaha menangkapnya beberapa. Hanya dapat sepuluh ekor.”
“Tentu saja bukan kunang-kunang seperti ini yang menyerbu kepalaku, Bisma. Kunang-kunang yang menyerbu kepalaku adalah kunang-kunang yang mematikan.”
Bisma tercekat mendengar kalimat Gayatri itu.
“Tri, kenapa kamu bicara begitu?” tanya Bisma gundah.
“Terima kasih kau sudah membuat aku melihat kunang-kunang sungguhan. Ini sudah cukup, mereka bisa mati kalau dibiarkan di dalam toples terlalu lama.”
Gayatri meraih tangan Bisma, menuntunnya ke pinggiran kebun depan rumahnya. Suara jangkrik yang bersahutan menghiasi malam. Tak ada cahaya di hamparan kebun itu. Bulan tak sedang purnama. Hanya kerlap-kerlip bintang tampak di langit.
“Bukalah toples ini, Bisma.”
Bisma menurut. Ia membebaskan sepuluh kunang-kunang yang dengan susah payah ia kumpulkan kemarin malam. Membiarkan mereka terbang ke arah hamparan kebun. Menciptakan titik-titik cahaya kuning di beberapa tempat.
“Pernahkah kau mendengarkan nyanyian kunang-kunang?” tanya Gayatri.
“Ah, tak mungkin kunang-kunang bisa bernyanyi.” jawab Bisma.
“Jika aku sudah tak ada, aku akan menjelma menjadi kunang-kunang dan akan bernyanyi untukmu.” ucap Gayatri.
“Gayatri, jangan bicara seperti itu.” sahut Bisma kembali gundah.
“Sakit kepalaku semakin sering menyerang. Mungkin ini sakit yang sama dengan sakit yang diderita ibuku dulu. Katanya penyakit seperti itu bisa menurun.”
“Gayatri… Aku sayang kamu.” ucap Bisma hampir lirih.
Gayatri meraih tangan Bisma dan menggenggamnya erat.
“Terima kasih sudah menyayangi aku, Bisma.”
Hanya itu jawaban Gayatri. Ia enggan menjanjikan terlalu banyak kepada Bisma. Ia takut tak bisa menepatinya. Tiba-tiba Gayatri meringis menahan sakit. Sekali lagi, rasanya seperti ada ribuan kunang-kunang menyerbu kepalanya. Padahal ia sedang tak merasa lelah. Ia justru sedang merasa bahagia karena merasakan kasih sayang Bisma.
Pandangan Gayatri mulai mengabur. Ia tak bisa melihat apa-apa, hanya titik-titik warna kuning laksana ribuan kunang-kunang mengelilinginya. Lalu semua berubah gelap.
“Bisma, ini kunang-kunang cinta…” ucap Gayatri lirih, kemudian ia jatuh dalam pelukan Bisma.
~ Tamat ~

Dedicated to : Gadis manis bernama Sayitri

Selasa, 20 September 2011


Mengapa Edelweis Harus Mati?

Cerpen Misterius sekaligus megharukan karyaku yang dimuat di STORY Teenlit Magazine edisi 22, terbit 25 Mei 2011

Tatkala malaikat mempertanyakan tugasnya : Mengapa Edelweis Harus Mati?


Kupandangi sosok cantik itu dari kejauhan. Wajahnya halus bak pualam. Rambut hitam lurus panjangnya diikat ekor kuda. Memperlihatkan leher jenjangnya dengan jelas. Jika ada manusia yang terlahir mendekati sempurna, maka gadis itu adalah salah satunya. Anugerah kecantikan dan keindahan ragawi rasanya sudah cukup menjadi jaminan kesuksesan hidupnya kelak. Andai aku seorang cast director, pasti aku sudah mengontraknya menjadi model iklan, model profesional atau pemeran utama sebuah film romantis.

Keberuntungannya masih ditambah dengan otak yang brilian. Lulus dari sekolah menengah atas dengan nilai hampir sempurna. Jika ia mau, ia telah diterima di sebuah perguruan tinggi negeri ternama tanpa melalui tes. Sekiankah keberuntungannya? Belum, masih ditambah bahwa gadis itu adalah anak satu-satunya keluarga Pambudi, seorang pengusaha retail terkenal, pewaris kekayaan melimpah. Bahkan kedua orangtuanya telah menyiapkan sebuah perusahaan untuknya hingga kelak ia tak perlu capek-capek mencari pekerjaan.

“Coba bacakan kakak buku barumu, Priska.”
Suaranya terdengar lembut dan halus. Jari jemarinya yang lentik segera menuntun jari-jari mungil gadis kecil yang disebutnya Priska pada sederetan huruf-huruf braille.

“Pada zaman dahulu kala, ada seorang putri cantik yang kesepian…” Priska melafalkan kata-kata bacaannya dengan artikulasi yang kurang jelas.

Aku tersenyum melihat pemandangan indah itu. Kuperhatikan lagi sosok gadis cantik itu. Aku tahu namanya Edelweis. Nama yang indah, andai ia bisa hidup abadi seperti bunga Edelweis. Sayangnya, aku tahu ia tak akan hidup abadi. Bahkan aku tahu kapan tepatnya ia akan mati.
“Sayang sekali jika gadis secantik dan sebaik itu harus mati muda.” batinku.

Ya, usianya baru menginjak tujuh belas tahun. Baru saja kuliah semester satu di sebuah sekolah tinggi keguruan dan ia mengambil jurusan pendidikan untuk guru Sekolah Luar Biasa, yang mengkhususkan diri pada pendidikan untuk anak-anak penyandang cacat.

Bukankah itu pilihan yang luar biasa untuk gadis seusianya? Sejak orangtuanya mengajaknya berkunjung ke sebuah panti yang merawat anak-anak cacat ketika ia kecil dulu, ia langsung jatuh hati dengan anak-anak penghuni panti itu. Kemudian secara rutin ia mengunjungi panti. Keberadaan anak-anak itu telah memberinya ide untuk kemudian memilih malanjutkan pendidikannya di bidang keguruan untuk anak-anak berkebutuhan khusus.

Awalnya, keinginannya itu tentu ditentang kedua orangtuanya. Mereka mengharapkan ia menjadi penerus usaha mereka, jika bisa sekaligus menjadi publik figur. Mengikuti ajang Puteri Indonesia atau apalah, kontes-kontes semacam itu, aku yakin ia pasti menang.

Tapi keputusan gadis itu tak tergoyahkan. Maka di sinilah ia sering menghabiskan waktu, di panti asuhan Kasih Ibu, yang merawat tak kurang dari empat puluh anak penyandang cacat, beberapa ada yang menyandang cacat ganda. Buta sekaligus pendengarannya sedikit terganggu, autis sekaligus jantungnya tak sempurna, lumpuh sekaligus gagal ginjal di usia dini. Gadis itu, tak bosan-bosannya menjadi teman setia anak-anak itu. Menghabiskan waktunya seusai kuliah untuk mengajari anak-anak itu berbagai keterampilan dan pengetahuan.

Untuk kesekian kalinya aku menyambangi gadis itu di panti ini. Kuputuskan, sudah saatnya aku berinteraksi langsung dengan Edelweis, bercakap-cakap, menggali lebih dalam informasi tentang dia langsung dari sumbernya.

“Maaf, Nona, aku tak sengaja!” kataku sambil buru-buru membereskan buku-buku yang berantakan karena aku dengan sengaja menabrak sosok yang membawa setumpuk buku itu.
“Nggak apa-apa, Mas! Saya juga terlalu terburu-buru, jadi nggak lihat kanan kiri.” sahut gadis yang sengaja kutabrak itu sambil mengumbar seulas senyum manis.
Mungkin cara yang kupilih untuk berkenalan dengannya terlalu norak dan kampungan. Tapi caraku itu terbukti ampuh. Karena kemudian aku terlibat perbincangan akrab dengan gadis yang sejak awal aku melihatnya sudah menarik minatku.

“Please, jangan panggil aku Mas dong, aku nggak seperti mas-mas, kan?” protesku sedikit nakal.
“Oh, maaf, jangan sebut aku Nona juga, ya? Sebutan yang terlalu hebat untukku.” sahutnya, senyum indah di wajahnya tak jua surut.
“Baiklah, jadi aku harus menyebutmu apa?”
Cara berkenalan yang jelas aku rekayasa, tapi toh gadis itu menjawab juga.
“Panggil saja aku Edel.” jawabnya.
“Edel? Namamu Edel?”
Ia tertawa kecil. Cantiknya semakin kentara.
“Itu nama panggilanku, nama panjangku Edelweis.” jawabnya lagi.
“Oh, mengapa nama secantik itu kau penggal menjadi Edel?” sudah pasti pertanyaanku barusan terdengar gombal. Tapi aku tak peduli. Apa pun akan kukatakan untuk menarik perhatian mahluk cantik ini.
Ia kembali tertawa kecil.
“Supaya praktis saja, kalau memanggil Edelweis akan terlalu panjang.”
“Hm, aku lebih suka memanggilmu Edelweis. Aku tak merasa membuang-buang waktu menyebut namamu secara lengkap.” jawabku masih bernada gombal.
“Silahkan, jika memang kamu lebih suka menyebutku begitu. Dan namamu?” tanyanya kemudian.
“Panggil saja aku Iz…”jawabku.
Ia terlongo sesaat. Wajah cantiknya berubah terlihat lucu dan menggemaskan.
“Namamu sependek itu?”
“Sebut saja begitu biar praktis.” jawabku lagi.
“Ah, kau curang. Kau tak mau menyebut nama pendekku supaya praktis.”
Tak tega aku memandang wajahnya yang kemudian terlihat gusar.
“Oke, namaku Izra.”
“Izra apa?”
“Izra saja. Kali ini tidak kupenggal supaya pendek dan praktis dipanggil. Tapi karena namaku memang hanya Izra. Jangan tanya padaku kenapa namaku cuma segitu. Tanyakan saja kepada yang memberiku nama.” jawabku.
“Baiklah, akan kupanggil kamu Izra. Maaf, apakah kamu ingin berkunjung ke panti ini?”
“Iya, aku tertarik ingin menulis tentang kegiatan panti ini. Aku kontributor satu majalah remaja di Ibu kota. Boleh, kan?” kataku seraya memperlihatkan kartu pers-ku.
Ia hanya melihat sekilas. Kartu itu palsu atau asli tampaknya ia tak peduli.
“Tentu saja boleh, kami senang jika semakin banyak yang tahu tentang panti ini. Agar semakin banyak masyarakat yang peduli dan mau berbagi kasih dengan anak-anak cacat yang ada di panti ini.” jawab Edelweis.
“Kau bekerja di sini?” tanyaku.
“Aku hanya sukarelawan. Kebetulan aku kuliah di bidang keguruan untuk sekolah luar biasa. Di sini aku dapat berlatih berkomunikasi dan berhubungan dengan anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus.”
“Wah, kamu luar biasa. Jarang loh, ada remaja yang peduli dengan anak-anak cacat.” pujiku tulus. Ini bukan gombal, aku sungguh-sungguh kagum pada gadis ini.
“Ah, biasa saja. Kebetulan aku berminat dan berbakat di bidang pengajaran. Dan membuat anak-anak ini tertawa senang adalah kebahagiaan tersendiri buatku. Ayo masuk, biar kukenalkan kau dengan mereka satu persatu.” katanya, lalu ia melangkah perlahan masuk ke dalam panti. Kuikuti ia dari belakang.

“Gadis cantik ini namanya Priska. Halo Priska, kenalkan ini Kak Izra.” kata Edelweis sambil menuntun Priska mendekatiku dan membantu tangan mungil Priska menyalamiku.
“Halo Priska.” sapaku lembut.
“Priska tak bisa melihat, tapi ia pandai membaca. Maksudku, membaca huruf braille tentu saja. Usianya baru sembilan tahun. Priska bukannya tak bisa melihat sejak lahir, tapi karena ia menjadi korban kekerasan ayahnya sendiri ketika baru berusia satu tahun. Kalau saja ada yang berbaik hati mendonorkan kornea matanya untuk Priska, maka ia mungkin bisa melihat lagi.” Edelweis menjelaskan panjang lebar.
Aku mengangguk dan tersenyum.
“Nah, cowok ganteng ini namanya Zidan. Umurnya sudah sepuluh tahun. Ada kelainan pada jantungnya, sehingga Zidan tak boleh terlalu capek.” kata Edelweis sambil membelai seorang anak laki-laki yang tak bisa diam. Mata anak itu bergerak ke sana ke mari.

Edelweis mengenalkan aku pada anak-anak yang lain, ada Tegar seorang bocah lelaki yang baru berusia sebelas tahun tapi sebelah ginjalnya tak berkembang sehingga tak berfungsi dengan baik. Sementara ginjalnya yang sebelah lagi juga kurang sempurna. Kakinya mengecil hingga ia tak bisa berjalan. Untunglah ada seorang baik hati yang menyumbangkan kursi roda untuknya.

Edelweis juga mengenalkan aku dengan semua pengajar, pengasuh, pengelola dan kepala panti anak cacat ini. Anak-anak yang diasuh di sini, ada yang masih memiliki orang tua tapi sangat miskin sehingga tak mampu merawat mereka. Ada juga yang sudah yatim piatu, bahkan ada yang sengaja dibuang orangtuanya.
“Bayangkan, bagaimana aku tak terenyuh melihat mereka. Harus ada yang peduli kepada mereka. Dan aku ingin menjadi salah satunya.” celoteh Edelweis.
Aku mengangguk takjub.

“Dan bagaimana mungkin aku sanggup mencabut nyawa gadis sebaik hati ini?” batinku.
Pengamatanku terus berlanjut. Setiap hari aku berkunjung ke panti itu, menyaksikan Edelweis dengan tulus memberikan perhatian dan kasih sayangnya pada semua anak penghuni panti. Aku semakin jatuh hati padanya. Bagaimana tidak, sudah kuceritakan tentang kesempurnaan gadis itu sebelumnya, tak ada alasan untuk membiarkannya mati muda. Bagaimana kelak nasib anak-anak itu yang tampak sudah terlanjur mencintainya?

“Kau sudah punya pacar?” tanyaku pada Edelweis di kunjunganku yang ke sekian kali ke panti Kasih Ibu.

Edelweis tak langsung menjawab. Mata indahnya sedikit membelalak, ia tak menduga aku akan mengajukan pertanyaan seperti itu.

“Tak ada yang jatuh cinta padaku.” jawab Edelweis beberapa menit kemudian.
“Tak mungkin...Pasti banyak cowok yang naksir pada gadis cantik dan baik hati seperti kamu.” sahutku.

“Ah, aku tak sehebat itu...” kata Edelweis, semu merah di kedua pipinya jelas menunjukkan ia sedikit malu kupuji seperti itu.
“Sungguh tak ada yang benar-benar cinta padaku. Ada beberapa yang mengaku suka, tapi tindakan mereka tak menunjukkan bahwa mereka benar-benar suka. Mereka menganggapku gadis aneh, karena aku lebih suka menghabiskan waktu di panti ini daripada jalan-jalan ke mal, makan di cafe atau nonton film.” lanjut Edelweis.
Lalu ia menoleh, menatapku agak lama.

“Baru kau saja cowok yang aku tahu juga menaruh minat dengan kegiatan di panti ini.” kata Edelweis, senyumnya merekah manis.
Oh, andai ia tahu siapa aku sebenarnya, masihkah ia sudi memberiku senyum semanis itu? Esok hari menjelang sore, aku diperintahkan untuk mengambil nyawanya. Keteguhkan dalam hati, jika memang gadis itu harus mati, akan kupilihkan cara mati yang terbaik, yang tak akan membuatnya merasakan sakit.
* * *

Priska masih rajin membaca. Ada banyak yang menyumbangkan buku-buku bacaan berhuruf braille untuk Priska. Edelweis seringkali menge-print cerita-cerita atau pengetahuan untuk anak-anak yang diambilnya dari internet di perpustakaan Gedung Depdiknas. Di sana, telah tersedia printer yang hasil print-out-nya dalam bentuk huruf braille. Priska selalu menerimanya dengan suka cita. Pengetahuannya semakin bertambah. Ia mulai senang mengarang cerita dongeng anak-anak. Edelweis dengan sabar membantu menuliskan ide-ide cerita Priska dalam sebuah buku.

“Priska pasti menjadi penulis hebat kelak jika ia sudah bisa melihat.” kata Edelweis bangga.
Tiba-tiba saja Zidan mengamuk. Anak itu menyandang autis, sungguh heboh jika ia ngambek. Ia berteriak-teriak keras dan melempar barang apa saja yang ada di dekatnya. Edelweis mendekati Zidan dan berusaha membuat anak itu tenang.
“Kenapa, sayang? Zidan mau apa?” ucap Edelweis lembut.
“Mau coklat, mau coklat, mau coklaaaaaat!!” teriak Zidan sambil menunjuk-nunjuk arah luar.
“Mm, coklatnya diganti mainan saja ya? Zidan nggak boleh makan coklat. Nanti Kak Edel belikan Zidan mobil-mobilan.” kata Edelweis masih dengan suara lembutnya.

Awalnya Zidan menggeleng, tapi setelah Edelweis berjanji akan membelikan mainan saat itu juga, ia mengangguk. Kata-kata lembut dan janji Edelweis telah melunakkan hatinya. Edelweis bangkit lalu beranjak keluar panti. Aku mengikuti langkah cepat-cepat gadis itu. Keinginannya untuk segera memenuhi permintaan Zidan membuatnya melangkah terburu-buru dan tak memperhatikan keadaan sekelilingnya.

Kubiarkan ia melangkah menyeberangi jalan raya. Walau aku tahu beberapa detik kemudian akan ada sebuah mobil sedan sporty yang melaju sangat cepat menabrak tubuh langsingnya. Niatku untuk memilihkan cara mati yang lebih baik tak kesampaian. Aku tak punya kuasa untuk itu. Aku juga terlarang untuk menunda sekejap saja proses kematiannya. Tapi aku masih boleh mencegahnya mati dalam keadaan terlalu parah. Segera kutangkap tubuhnya yang terpental. Tak kan kubiarkan kepala indahnya jatuh membentur aspal dan remuk tak berbentuk.

Dalam sekejap, sudah banyak orang mengerumuni kami. Setelah aku yakin ada seorang yang mengambil alih menolongnya, menghentikan sebuah taxi dan membawanya ke rumah sakit terdekat, kutinggalkan ia dan kuperhatikan dari jauh. Kuikuti ia hingga ruang UGD rumah sakit itu. Namun hanya beberapa jam saja Edelweis mampu bertahan. Kemudian, kutuntun lembut jiwanya terbang ke langit...
* * *

“Aku sangat mencintai anak-anak ini. Aku rela memberikan segalanya demi melihat mereka bahagia. Diam-diam aku telah mendaftarkan jantungku, ginjalku, mataku untuk didonorkan bagi anak-anak yang membutuhkan. Kalau-kalau saja nanti umurku tak panjang, mereka bisa mengambilnya dariku.” papar Edelweis dalam perbincanganku terakhir dengannya, sebelum Zidan mengamuk, sebelum ia melangkah ke jalan raya...

Keinginan Edelweis telah terwujud. Matanya kini telah menjadi milik Priska. Gadis kecil itu semakin rajin membaca semenjak ia dapat melihat. Jantung Edelweis yang sehat telah berdetak lembut dalam rongga dada Zidan. Satu ginjalnya telah menggantikan ginjal Tegar yang telah rusak.

Kedua orangtua Edelweis yang telah membiayai operasi itu, selain juga gencar mencari bantuan sponsor. Walau mereka berduka, tapi mereka mendukung niat suci Edelweis. Mereka sering mengunjungi panti, memandang Priska, Zidan dan Tegar seolah seperti memandang langsung Edelweis putri terkasih mereka.

Aku tersenyum lega. Inilah ternyata alasan mengapa Edelweis harus mati muda. Bisa kupastikan, Edelweis pun tersenyum bahagia di langit.

~ Tamat ~

Inspired by : “ Touched by An Angel television series”