Laman

Sabtu, 02 Januari 2010

CATATAN RAHASIA, dimuat di Majalah kaWanku edisi akhir tahun


Thanks KaWanku, memuat lagi satu cerpenku di edisi 30 Desember 2009-13 Januari 2010
Hadiah akhir tahun yang manis!

By : Arumi

“Huah! Segarnya setelah minum dua gelas air jeruk dingin!” seru Tara.
“Tara, kamu tadi tuh seperti nggak minum seminggu. Banyak banget minumnya.” sahut Vita teman sebangku Tara.
“Aku dehidrasi banget, Vit! Bayangkan saja, kita tadi lari dua setengah kilometer lho!” kata Tara.

Vita mengangguk setuju sambil membuka tasnya. Mengecek kembali uang kas kelas yang ditinggalkannya selama pelajaran olahraga tadi. Tiba-tiba Vita merasa tercekat. Ia panik! Uang kas kelas yang disimpan dalam tasnya hilang!
“Waduh, di mana ya? Rasanya tadi aku simpan di tas!” kata Vita dalam hati.
Ia segera membongkar tasnya. Mengeluarkan semua isinya satu persatu. Dompetnya masih ada tapi, uang kas kelas hilang!
“Ada apa Vit?” tanya Tara yang melihat kegelisahan Vita dan melihat Vita sibuk mengeluarkan semua isi tasnya.

“Mm..aku...mmm...” Vita ragu untuk menjawab.

Haruskah ia memberi tahu hal ini? Ah, bagaimana nanti bila semua teman sekelasnya tahu? Mereka pasti akan menganggapnya tak becus menjalankan tugas sebagai bendahara kelas. Atau sebaiknya ia simpan masalah ini sendiri? Dan diam-diam nanti akan digantinya uang kas kelas itu. Tak perlu ada yang tahu kalau uang kas kelas itu pernah hilang.

“Tapi aku tak punya uang sebanyak itu.” pikir Vita masih dalam hati.
Tujuh ratus ribu rupiah jumlah uang itu! Vita tak punya uang sebanyak itu untuk menggantinya. Minta kepada ibunya? Ah, ibu pasti tak mau memberikan uang sebanyak itu begitu saja kepadanya.

Vita kebingungan. Jika ia ingin melaporkan kehilangan ini, ia harus melapor sekarang. Agar jejak orang yang mengambil uang kas kelasnya masih bisa dilacak. Vita menelan ludah. Masih sedikit ragu untuk menceritakan apa yang terjadi pada Tara.
“Mm...Tara...please, jangan bilang siapa-siapa, ya?” pinta Vita dengan wajah cemas dipenuhi keraguan.

“Kenapa sih, Vit? Bilang saja deh terus terang.” desak Tara mulai tak sabar.
Vita membisikkan apa yang terjadi kepada Tara.
“Apa?” begitu reaksi Tara dengan suara agak keras.
“Sssttt! Tara, nggak usah teriak gitu dong!” protes Vita.
Tara tersadar ia berteriak agak keras ketika dilihatnya beberapa teman yang berada di sekitar mereka langsung menoleh ke arah mereka.
“Maaf, Vit. Aku nggak nyangka, kok bisa hilang?” kali ini Tara berbisik.
“Tadi kutinggal di kelas waktu kita sedang berolahraga.”
“Aduh, kenapa ditinggal, Vit! Kelas kita kan belum tentu aman.”
“Celana olahragaku baru, nggak ada kantongnya.”
“Kenapa nggak dititipkan ke aku?”
“Tadi nggak kepikiran...Bodoh ya?” Vita merasa menyesal sekali.

“Sudahlah! Sudah terlanjur. Kita laporkan saja, Vit. Supaya segera bisa dilacak siapa yang mengambilnya. Mumpung belum terlalu lama hilangnya.” usul Tara.
“Tapi, aku takut kalau teman-teman lain tahu mereka akan marah padaku. Please, Tara, bisa nggak pinjami saja aku uang untuk menggantinya?”
“Wah, maaf, Vit. Aku nggak punya uang sebanyak itu. Kita lapor Bu Diana saja deh. Yuk, aku antar!” ajak Tara.

Vita menyerah dan mengikuti saran Tara menemui Bu Diana wali kelas mereka.
“Hilang?” tanya Bu Diana setelah Vita melaporkan kehilangannya.
“Benar, Bu.” jawab Vita sambil tertunduk malu.
“Mungkin kamu lupa tertinggal di rumahmu?”
“Saya tidak lupa, Bu. Uang kas selalu saya bawa setiap hari. Saya masukkan dalam dompet saya. Biasanya pada saat pelajaran olahraga saya bawa, Bu. Tapi hari ini celana olahraga saya baru, tidak ada sakunya. Jadi, dompet saya tidak saya bawa.”
“Kenapa tidak kamu titipkan ibu? Atau Pak Soni guru olahragamu?”
“Saya pikir, di kelas pasti aman. Karena semua murid ikut olahraga.”
Bu Diana menghelas nafas.
“Ya sudah. Nanti ibu bicarakan dengan guru yang lain. Kamu kembali saja dulu ke kelas.”
“Baik, Bu.” jawab Vita lalu bersama Tara bergegas kembali masuk kelas.

Tak lama, Bu Diana masuk ke dalam kelas Vita. Bu Diana mengumumkan bahwa Vita kehilangan uang kas kelas yang disimpan dalam tasnya pada saat pelajaran olahraga. Bu Diana bertanya, apakah ada anak yang melihat uang kas itu. Uang itu sejumlah delapan lembar uang lima puluh ribu, sepuluh lembar uang dua puluh ribu, lima lembar uang sepuluh ribu dan sepuluh lembar uang lima ribu. Semua uang itu digulung dan diikat karet gelang berwarna merah.

Dompet Vita tidak hilang, tapi gulungan uang kas kelas yang disisipkan dalam dompet Vita itu hilang. Bu Diana terpaksa menggeledah tas semua anak dalam kelas. Tapi setelah semua tas diperiksa, gulungan uang kas itu tetap tidak ditemukan.

“Jangan-jangan kamu cuma pura-pura hilang, Vit! Tapi sebenarnya kamu pakai untuk keperluan kamu sendiri.” tuduh Desi dengan suara sinis.
“Nggak, Des! Sungguh! Demi Tuhan, uang itu memang benar-benar hilang!” Vita membela diri.
“Kamu jangan menuduh sembarangan, Des!” Tara membela Vita.
“Kamu menyusahkan kita, Vit! Tas kita semua jadi digeledah. Padahal aku kan nggak mengambil. Memangnya tampangku kayak maling?” Jeni ikut menyindir.
“Maaf teman-teman, kejadian ini sudah membuat repot kita semua. Aku yakin kok nggak mungkin yang mengambil dari kalangan kita sendiri. Pasti ada maling yang masuk kelas kita ketika kita semua sedang berolahraga di luar.” kata Vita perlahan dengan rasa penuh penyesalan.

“Nggak tau juga yaaa...kamu kan memang sering kesulitan uang, Vit. Aku kan sudah ingatkan kepada teman-teman, kalau memilih bendahara kelas yang kaya dong! Supaya uang kas kelas kita aman.” Desi melanjutkan tuduhannya yang menyakitkan.
Vita rasanya ingin menangis dituduh begitu oleh Desi.
“Jangan sembarangan ngomong ya, Des! Akan kami buktikan bahwa uang kas kelas kita memang diambil maling!” kata Tara berusaha membela Vita.
Desi tak melanjutkan lagi kata-katanya. Karena kemudian Pak Danu guru matematika datang untuk menyampaikan pelajaran selanjutnya.
***


“Vit, pulang sekolah nanti, ada waktu sebentar nggak? Ada yang ingin kubicarakan sama kamu.” Dika mendadak mencegat Vita sesaat sebelum ia melangkah ke dalam kelas sehabis makan siang di kantin.
“Ada apa, Dik?” tanya Vita terheran-heran.

Ia tak terlalu akrab dengan Dika teman sekelasnya yang duduk paling belakang. Karenanya Vita terheran-heran Dika mengajak bertemu sepulang sekolah.
“Nanti aku ceritakan.” Hanya itu jawaban Dika.

Vita mengangguk. “Baiklah, aku tunggu sepulang sekolah.” jawab Vita.
Sepulang sekolah, Vita menolak pulang bareng Tara.
“Kenapa, Vit? Tumben nggak mau pulang bareng aku. Oh, jangan-jangan kamu mau pulang bareng Dika, ya? ” tebak Tara sambil nyengir.

Vita terkejut. Bagaimana Tara bisa tahu?
“Kok kamu nuduh aku begitu sih, Ra?” tanya Vita.
“Aku tadi lihat Dika bisik-bisik sama kamu. Hehehe...ayo, ngaku saja Vit, kamu ada janji sama Dika, kan?” ledek Tara.
“Eh, bukan...nggak kok. Cuma...kata Dika ada yang ingin dia bicarakan sama aku.” jawab Vita sedikit tersipu.

“Nah, kan? Pasti Dika mau nembak kamu tuh, Vit. Kalau aku perhatikan, Dika memang ada perhatian sama kamu.” kata Tara sok tahu.
“Jangan ngaco, Ra! Nggak ada apa-apa kok.” Vita membela diri.
“Pokoknya nanti hasil pembicaraan kalian ceritain ke aku lho, Vit! Awas kalau nggak. Eh, aku pulang duluan deh. Sepertinya pengagummu sudah datang tuh!” kata Tara sambil mengedipkan mata kirinya lalu segera melangkah menjauhi Vita.

Vita menoleh ke arah pandangan Tara tadi. Dika berjalan mendekatinya. Mengapa Vita merasa sedikit berdebar? Memang diakuinya, walau pun Dika cenderung pendiam, tak bisa disangkal Dika seorang cowok yang menarik. Tapi Vita tak pernah menyangka bahwa suatu hari Dika akan mengajaknya berbicara hanya berdua saja. Apa ya kira-kira yang ingin dibicarakan Dika?

“Hai, Vit! Bagaimana kalau kita ke Kafe Buku? Sepertinya ngobrol di sana lebih asyik. Lebih tenang.” ajak Dika setelah ia berada tepat di hadapan Vita.
Vita semakin berdebar. Di Kafe Buku? Ah, kafe itu tak jauh dari sekolah. Kafe murah tapi nyaman karena bisa makan minum sambil membaca buku bahkan internetan. Vita mengangguk setuju.
“Kamu ingat uang iuran untuk kas kelas yang aku berikan pada kamu seminggu yang lalu, Vit?” tanya Dika setelah mereka duduk di kursi Kafe Buku.

Vita menghentikan keasyikannya menyeruput orange float pesanannya. Berusaha mengingat kejadian seminggu yang lalu. Ya, Vita ingat, ketika itu Dika memberikan uang selembar dua puluh ribu untuk membayar iuran kas kelas. Dika membayar sekaligus untuk empat bulan.

“Iya, aku ingat. Memangnya kenapa, Dik?”
“Kamu baca catatan rahasia yang aku tulis di uang itu?”
Vita mencoba mengingat-ingat. Catatan rahasia?

...Continued.

1 komentar: