Laman

Tampilkan postingan dengan label Kisah Inspiratif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah Inspiratif. Tampilkan semua postingan

Selasa, 29 April 2014

Novel Romance Islami Arumi E. : HATIKU MEMILIHMU



Alhamdulillah, HATIKU MEMILIHMU cetak ulang cover baru. Yuk, yang belum sempat baca, buruan koleksi yaaa ^_^





Alhamdulillah, akhirnya siap terbit juga ...

Aku mencintai tokoh-tokoh yang telah kutulis dalam novel-novelku. Rasanya ingin terus melanjutkan kisah mereka, sampai tak ada yang bisa diceritakan lagi

Kali ini, giliran Richard Wenner menebarkan pesonanya. Menyusul kisah sebelumnya yang best seller, "Hatiku memilihmu" juga makin banyak yang baca. Alhamdulillah ^_^

HATIKU MEMILIHMU




Book trailer Hatiku Memilihmu





Terbit : 12 Mei 2014
Judul : Hatiku Memilihmu
Penulis : Arumi E.
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Ukuran : 13.5 x 20 cm
Tebal : 304 halaman
Harga : Rp. 53.000,- 
Cover : Softcover
ISBN : 978-602-03-0480-9

Pesan langsung ke penulis, ada diskon 10% menjadi 47.000. Belum termasuk ongkos kirim yaa ^_^

Follow @rumieko atau kirim email pemesanan ke : rumieko@yahoo.com

Bagi yang pesan langsung ke penulis, novel akan ditandai dengan autographed copy sticker.


Di Gramedia Tasikmalaya masih di rak buku laris. Alhamdulillah :)


Buat yang pesan langsung ke penulis akan mendapat tandatangan ^_^




Sinopsis : HATIKU MEMILIHMU

Ketika hati telah memilih, sejauh mana kau membiarkannya membawamu?

Goodbye, Central Park,” gumam Dara.
Langkah kakinya menciptakan jejak di tumpukan salju.
“Kapan kamu kembali ke New York?”
Dara menghela napas panjang. Perpisahan selalu menyisakan rasa nyeri. Pun saat dia harus meninggalkan semua yang disukainya. Keira, Richard, kampusnya yang luar biasa, Central Park yang sering menjadi tempatnya menghabiskan sisa senja, musim salju yang putih dan dingin. Meninggalkan Brad Smith, lelaki berambut coklat bermata hijau jernih yang berdiri di hadapannya menunggu jawaban.
“Jangan mencemaskan apakah nanti kita bersatu atau tidak. Percayalah pada ketetapan Allah,” jawab Dara kemudian.
“Jika Allah menetapkan kita tak bersatu?” tanya Brad.
“Kita harus ikhlas menerimanya,” jawab Dara terdengar tenang, namun diam-diam menyusup rasa gundah di ujung hatinya.

Dara Paramitha melepaskan pandangannya ke hamparan salju di Central Park. Ingatannya kembali pada dua setengah tahun lalu. Saat pertama kali bertemu Aisyah Liu, teman kuliahnya di New York yang telah menuntunnya menemukan hidayah. Lalu ingatannya beralih pada dua pemuda Amerika yang telah membuatnya merasakan getaran cinta, Richard Wenner sang arsitek mapan dan Brad Smith personel band yang menawan.

Masa kuliahnya telah berakhir. Saatnya dia kembali ke negerinya, meninggalkan kota ini. Memilih mengabdikan ilmunya di perusahaan ayahnya. Menyisakan resah di hati dua pemuda yang sama-sama mengharapkan cintanya.

Richard tak ingin menyerah. Dia nekat menyusul Dara, sengaja bekerja di tempat yang sama, dan mencari kesempatan meraih hati gadis itu. Di belahan bumi lainnya, Brad tak bisa tenang. Kepergian Richard ke Jakarta membuatnya waswas, apalagi Richard secara terbuka menyatakan diri sebagai pesaingnya. Tak mau kalah, Brad pun mendatangi Dara dan melamarnya sekali lagi.

Kala hati tidak hanya bicara cinta, siapa yang Dara pilih? Apakah Brad yang tengah tertatih-tatih menjaga imannya, ataukah Richard yang tenang namun serius berusaha mendapatkannya? Dan saat ada hati yang terluka, masih mungkinkah terjalin pertemanan di antara mereka?

Cinta itu tentang percaya.
Bisakah disebut cinta, jika tak ada rasa percaya?
Bisakah disebut yakin, tanpa ada keikhlasan?

Selama beberapa menit Richard masih terdiam tak menyahut, ia menekuri kertas berisi sketsa rancangannya dengan mata mengernyit. Lea merasa ragu untuk bertanya lagi, ia khawatir akan mengganggu keseriusan Richard.

“Manusia memang tidak bisa mengelak dari ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Allah. Kita hanya akan mendapatkan apa yang memang telah menjadi hak kita. Jangan mengharapkan apa yang bukan menjadi rezeki kita,” ucap Richard.


Dara tertawa geli, lalu menepuk pundak sahabatnya.

“Setiap orang ada waktunya sendiri-sendiri dalam menemukan jodohnya, Kei. Sepertinya kamu masih dibutuhkan untuk menyebarkan cara berpakaian Islami buat lebih banyak muslimah di New York. Nanti, kau akan terkejut, saat tiba-tiba saja muncul cowok tampan dan baik hati yang melamarmu dan ternyata sudah lama memperhatikanmu diam-diam,” kata Dara berusaha menghibur Keira.

Keira hanya mengangkat bahu.

“Hei, gue nggak sedih kok. Nggak masalah buat gue kalau jodoh gue datangnya masih nanti-nanti,” kata Keira santai, kemudian tersenyum lebar.

Dara hanya tersenyum lebar. Keira yang tidak berubah, tetap ceplas-ceplos, tetap ber‘elo-gue’ dengan Dara, walau pun kini ia sudah rajin mengaji dan selalu salat tepat waktu. Keira yang kini menerima Dara apa adanya dan Dara pun menerima Keira apa adanya.

Dara berani memastikan, Keira Subandono adalah sahabat sejatinya yang tidak akan tergantikan oleh siapa pun.



"Hatiku Memilihmu" sudah terpajang manis di Gramedia Matraman sejak 12 Mei 2014

Novel Islami terbaru Arumi E. "Merindu Cahaya de Amstel" terbit September 2015





Me and My novel ^_^
Renny Riana, pembaca setia novel2ku ^_^

Wah, Amalina Firdaus koleksi keduanya sekaligus
Tahajud Cinta di Kota NewYork dan Hatiku Memilihmu
Makasih Amalina ^_^
Nhay pesan langsung edisi bertandatangan.
Makasih ya Nhay ^_^

Waah, Nhay koleksi juga dua-duanya ... lengkap.
Makasih Nhay ^_^


Setiawan Chogah, penulis "SMS Terakhir" juga mejeng bersama "Hatiku Memilihmu"




Senin, 31 Maret 2014

Memory Kuliah part 3 : Horornya Sidang Skripsi Jurusan Arsitektur

3DMax buatanku. Bagian belakangnya kurang. Tapi sudah lumayan kan? ^_^


Halo teman-teman. Apa kabar di akhir bulan Maret ini?

Well, aku mau lanjutin lagi ya, berbagi kisah pengalaman suka duka kuliah Arsitektur. Siap-siap buat teman-teman yang berminat kuliah Arsitektur. Kuceritakan pengalaman paling horor selama aku kuliah Arsitektur. Tugas akhir. Yup, bagiku, momen ini adalah momen paling mengerikan.

Akhirnya, di tahun kelima aku kuliah, sampailah aku pada mata kuliah terakhir, Tugas Akhir. Mata kuliah paling fenomenal dan paling membuat degdeg-an. Kami hanya diberi waktu satu semester untuk mempersiapkan semuanya. Membuat makalah setebal dua ratus halaman lebih dan kemudian membuat gambar konsep sekaligus gambar kerja. Butuh konsentrasi lebih dan bikin super stres.

Tugas akhir di jurusan Arsitektur dibagi menjadi dua tahap. Tiga bulan pertama, mempersiapkan konsep tema tugas akhir yang aku pilih, menuangkannya dalam makalah setebal dua ratus halaman lebih. Setelah itu, di bulan ke tiga, aku harus mempresentasikannya di hadapan dosen-dosen penguji. Jika lulus tahap ini, aku boleh lanjut ke tahap studio. Tapi jika belum lulus tahap pertama, harus memperbaiki dulu konsep dan makalah tugas akhir itu.

Total mahasiswa-mahasiswi jurusan Arsitektur yang akan mengikuti mata kuliah tugas akhir mencapai seratus orang lebih. Dibagi menjadi empat tim. Penentuan tim ini juga cukup membuat cemas. Menurut kabar dari senior, ada tim tertentu yang dosen pengujinya terdiri dari dosen-dosen baik hati yang dengan ringan memberi nilai tinggi sehingga kemungkinan lulus cukup besar, tapi ada tim yang kabarnya kelak akan diuji oleh dosen-dosen cukup killer, pelit memberi nilai, kemungkinan lulus kecil kecuali hasil tugas akhir kami bagus sekali.

Aku cukup terpengaruh dengan desas-desus yang ditiupkan para senior.  Malam sebelum pengumuman pembagian tim, aku berdoa sebanyak-banyaknya disertai sholat tahajud, berharap keberuntungan ditempatkan di tim yang dosen-dosen pengujinya baik hati.

Keesokan paginya, aku berangkat ke kampus dengan perasaan was-was. Sedikit takut melihat pengumunan pembagian tim tugas akhir. Belum sampai aku ke papan pengumuman yang memajang daftar pembagian tim tugas akhir, aku disambut seorang temanku yang langsung menyalamiku. Semula aku berpikir positif mengira temanku itu memberi selamat karena aku masuk tim tugas akhir yang dosen-dosen pengujinya baik hati, tapi ternyata, kalimat yang keluar dari mulutnya membuatku lemas lunglai.

“Turut berduka cita ya, Rum. Elo masuk tim empat. Tim paling killer. Dosen pengujinya ada tujuh dosen.
Kebanyakan galak-galak lagi,” kata temanku itu.

Tega nian temanku itu menakut-nakutiku seperti itu. Dengan hati gemetar, aku memberanikan diri menghampiri papan pengumuman, melihat deretan nama yang telah dibagi menjadi empat tim. Dan memang benar! Namaku tercantum di tim empat, tim yang dosen-dosen pengujinya paling mengerikan! Dadaku semakin bergemuruh. Belum apa-apa aku sudah merasa kalah dan takut.

“Kasihan deh lo Rum. Cuma elo aja dari kelas kita yang masuk tim empat. Siap-siap deh lo dibantai,” kata temanku yang lain.

Awalnya aku merasa lemah tak berdaya, kemudian aku sadar, aku tak boleh memulai mata kuliah tugas akhir ini dengan semangat negatif. Aku harus mengumpulkan keyakinan bahwa aku pasti bisa menjalani tugas akhir ini dengan baik. Harus bisa, AKU HARUS LULUS!

“Ah, nggak usah kasihan sama gue deh. Gue nggak perlu dikasihani. Gue nggak mau kalah sebelum berperang. Gue harus yakin gue pasti bisa!” jawabku lantang, sengaja agar temanku yang tadi secara tak langsung meremehkan kemampuanku itu merasa keki.

Lihatlah! Aku tetap bersemangat, tak tergoyahkan keyakinanku! Tapi di dasar hatiku yang paling dalam, tentu saja terbesit rasa was-was. Oh, aku punya firasat akan menjalani proses panjang yang penuh tekanan dan melelahkan untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

Dimulailah masa tugas akhir, diawali memperkenalkan diri di hadapan dosen pembimbing tim empat. Aku memandangi satu-persatu dosen-dosen pengujiku ini. Tentu saja semuanya sudah kukenal. Beberapa di anataranya memang dikenal sebagai dosen yang cukup tegas. Mungkin bukan galak, tapi ketegasannya terkadang bikin senewen. Timku terdiri dari dua puluh lima mahasiswa-mahasiswi. Dan hanya ada dua mahasisiwi termasuk aku yang seangkatan denganku. Yang lainnya adalah angkatan senior satu tahun di atasku.

Langkah pertama, dosen pembimbing meminta kami membuat konsep tema dan judul tugas akhir kami masing-masing. Aku segera melupakan segala rasa was-was. Mulai fokus berusaha menjalani tugas ini penuh semangat dan harapan. Tapi aku harus menghadapi tantangan pertama yang lumayan menyesakkan hati. Ya, berkali-kali konsepku ditolak dosen pembimbingku itu. Dan kejamnya beliau, dengan tega mengucapkan kata-kata pedas atas kesalahan yang kubuat.

“Kamu lima tahun kuliah belajar apa saja? Masa membuat konsep saja kamu nggak bisa?” Begitu tegur dosen pembimbingku.

Membuat perasaanku tak karuan dan mulai terpengaruh, aku mulai meragukan kemampuanku. Dalam hati rasanya ingin menangis tiap kali dosen pembimbingku menghina konsep yang kubuat. Biasanya aku menangis sesampainya di rumah, melepaskans egala emosi, setelah merasa lega, aku kuatkan hati untuk bangkit dan terus maju. Ya, aku harus kuat, aku tak mau gagal. Aku harus lulus tahun itu. Aku tak ingin mengecewakan Bapak dan Ibuku. Segera kuperbaiki konsep tugas akhirku.

Selama masa penyusunan konsep dan pembuatan makalah, ada juga acara saling berkunjung antar tim tugas akhir. Terkadang aku ikut hadir dalam asistensi temanku di tim lain, walau aku hanya menyimak dan mendengarkan penjelasan dosen pembimbing mereka. Dalam pengamatanku, sepertinya dosen pembimbing tim lain memang bersikap lebih baik dari dosen pembimbingku.

Sebaliknya, di satu waktu, gantian beberapa teman dari tim lain ikut menghadiri asistensiku dengan dosen pembimbingku. Dan pada saat itulah aku merasa hancur lagi. Di depan teman-temanku dengan suara lantang dosen pembimbingku bilang konsepku salah disertai makian yang bikin hati nyeri. Kali ini membuatku down karena dosen pembimbingku itu mengucapkan kata-kata pedas tentangku dihadapan banyak teman-temanku.

“Kamu balik lagi aja deh ke semester satu! Masa bikin konsep seperti ini saja nggak bisa! Bodoh banget ya kamu. Kamu belum pantas lulus!” kata dosen pembimbingku dengan suara keras dan mata membelalak.

Ya Tuhan, sedih banget rasanya. Andaikan tak malu, kubiarkan emosiku meluap dalam bentuk tangisan. Tapi untunglah air mataku masih bisa kutahan. Aku tak mau lebih mempermalukan diri lagi dengan menangis di hadapan teman-temanku dan dosen pembimbingku. Setelah asistensiku selesai, teman-temanku lain tim yang tadi turut menyaksikan asistensiku, segera mengumbar kata-kata ikut bersimpati.

“Tabah ya, Rum. Pak itu memang gitu. Nggak usah diambil hati,” hibur salah satu temanku.
“Gila, tega banget ya, Pak itu ngatain lo kayak gitu. Sadis!” komentar temanku yang lain.

Komentar seperti itu justru membuatku semakin sebal. Oh, rasanya aku malu sekali dan sedihnya bukan main. Andai kamarku dekat, ingin rasanya aku segera berlari masuk ke kamarku dan menumpahkan segala tangisku di atas tempat tidurku. Tapi seperti yang sudah-sudah, keinginanku untuk lulus tahun ini sangat kuat, mengalahkan segala rasa malu dan tertekan. Aku harus lulus. Aku tak boleh merepotkan orangtuaku karena kalau aku gagal, orangtuaku masih harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk kuliahku satu semester lagi.

Tidak, sudah cukup. Aku berjanji akan lulus. Semester itu adalah semester terakhir orangtuaku membiayai kuliahku. Tahun berikutnya aku harus sudah bekerja dan mampu mencari uang sendiri.

Percayalah teman, semangat yang positif sepertinya mampu menciptakan aura yang positif juga. Esok harinya, Pak dosen pembimbingku itu memanggilku ke ruangannya. Segala rasa takut aku kesampingkan.

Aku bertekad tak akan menunjukkan wajah lemah tak berdaya di hadapan dosen pembimbingku. Akan kutunjukkan wajah tegar dan bersemangat. Tak tergoyahkan menghadapi kata-kata paling pedas sekalipun.
Dengan mantap, aku mengetuk pintu ruangan dosen pembimbingku. Kukumpulkan seluruh keberanian mengahadapinya. Pak dosen pembimbingku itu mempersilakan masuk. Aku terkejut saat melohat beliau tersenyum padaku. Mimpikah ini? Jangan-jangan dosenku kesambet karena mendadak jadi baik padaku, hehehe.

“Duduk, Rum.!”  perintahnya.

Aku segera duduk di kursi di depan meja kerjanya.

“Selamat siang, Pak.” sapaku membuka percakapan.
“Bagaimana konsep kamu? Sudah ada kemajuan belum?” tanya dosenku itu.
“Masih saya perbaiki.”

“Maaf ya kemarin saya keras sama kamu. Kamu memang harus dikerasin karena kamu yang paling lambat kemajuannya di antara temanmu yang lain. Kamu harus belajar lebih keras lagi. Ini saya pinjamkan kamu buku. Kamu pelajari, buat konsep terbaik dari info yang kamu dapat di buku ini. Kamu sendiri yang memilih tema nggak biasa. Pusat Peragaan dan Informasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Kamu harus lebih banyak lagi mencari informasi mengenai bangunan sejenis dari buku-buku atau internet. Di Indonesia memang masih belum ada bangunan seperti itu.” kata Pak dosenku itu panjang lebar.

Aku masih saja tak percaya dengan perubahan sikapnya dibanding hari sebelumnya. Kali ini beliau bicara dengan intonasi suara yang lembut.

“Iya, Pak, memang di Indonesia bangunan sejenis yang ada baru Pusat Peragaan Ilmu pengetahuan dan Teknologi (PPIPTEK) di Taman Mini Indonesia Indah. Terima kasih, Pak pinjaman bukunya. Akan saya pelajari sebaik-baiknya.” jawabku sambil menerima buku yang dipinjamkan dosenku itu tak lupa disertai seulas senyum.

“Setelah saya pinjamkan buku itu, konsep kamu harus jadi lebih bagus ya!” Pak Dosenku itu mengingatkan aku sekali lagi sebelum aku permisi dari ruangannya.
“Baik, Pak!” jawabku mantap.

Dan saat itu, kali pertama aku meninggalkan ruangan dosen pembimbingku dengan wajah sumringah!

Setelah berjibaku selama tiga bulan menyusun konsep tugas akhir menjadi sebuah makalah, akhirlah sampailah pada masa penentuan pengujian makalahku itu. Sepertinya memang sudah suratan takdir, salah satu dosen penguji adalah dosen super galak yang dahulu pernah mengajar mata kuliah Apresiasi Budaya.

Benarlah, setelah enam dosen memberi kritik dan masukan, sampailah giliran dosen Apresiasi Budaya yang mengujiku. Beliau tidak memberikan pertanyaan apa pun melainkan langsung mengatakan bahwa konsepku nilainya : nol. Total salah. Penjelasanku tentang tema tugas akhirku yang bertajuk : analogi bangunan, dianggap salah. Dan karena temaku salah, maka konsepku secara keseluruhan adalah salah.

Oh My God!

Aku terdiam tak tahu harus menjawab apa. Kurasakan kedua kakiku gemetar. Rasanya aku seperti dihantam palu godam hingga hancur berkeping-keping. Bagaimana ini? Konsepku salah total?

Tapi ternyata dunia belum runtuh seperti bayanganku. Masih ada satu dosen yang berpihak padaku. Beliau adalah dosen mata kuliah Kota dan Pemukiman. Beliau menyelamatkan nilaiku, satu-satunya dosen yang sangat setuju dengan tema dan konsepku. Menurut beliau, konsepku itu bukannya tidak mungkin, terbukti bahwa di Jerman, sudah ada bangunan yang berhasil dibangun dengan konsep seperti yang kubuat itu.

Karena beliau memberiku nilai 75, di antara dosen lain yang memberiku nilai 60, bahkan ada yang tega memberiku nilai 40, aku masih selamat lolos ke tahap selanjutnya. Sungguh aku berterima kasih kepada beliau. Selanjutkan aku paling rajin asistensi dengan beliau. Pak dosenku yang satu itu, telah banyak membantuku memberi informasi tentang tema konsep pilihanku. Membuatku menjadi semakin percaya diri ketika memasuki tahap selanjutnya, tahap studio.

Tahap studio adalah tahap yang jauh lebih melelahkan dibanding tahap penyusunan konsep. Kami masuk tiap hari, masuk studio dari pukul 9 pagi hingga pukul 5 sore. Di studio, kami menuangkan konsep kami yang semula hanya berupa tulisan ke dalam bentuk gambar rencana dan gambar kerja serta maket. Sungguh proses yang melelahkan.

Tips buat teman-teman yang juga kuliah di jurusan Arsitektur dan sedang menjalani tugas akhir tahap studio. Kerjakanlah sendiri tugas kalian, bagaimana pun hasilnya nanti, mengerjakan semua gambar sendiri jauh lebih baik. Pengalamanku dulu ketika tahap studio ini, ada salah satu temanku yang membayar orang untuk membantunya menggambar di studio. Ia menyusupkan orang itu ke meja gambarnya. Ketika perbuatannya itu diketahui dosen, langsung saja dia didiskualifikasi dan dinyatakan gagal. Sungguh sayang, padahal tinggal selangkah lagi.

Maket tugas akhirku yang masih kusimpan sampai sekarang sebagai kenang-kenangan ^_^


Tahap studio yang melelahkan selesai menjelang akhir semester. Sekali lagi kami harus memperesentasikan hasil kerja kami. Kali ini dalam bentuk gambar dan maket. Presentasi ini tak kalah bikin was-was, membuatku panas dingin. Tapi setidak-tidaknya aku sudah lebih percaya diri karena ada satu dosen yang mendukung konsepku.

Presentasi berjalan lancar. Hampir semua pertanyaan dosen penguji dapat kujawab dengan baik. Hanya ada satu pertanyaan yang tak berhasil kujawab. Sekeluarnya dari ruang presentasi, aku segera berlari ke mushola dan menangis. Jujur aku takut tidak lulus karena ada satu pertanyaan yang tidak berhasil kujawab itu.

Setelah harap-harap cemas menunggu hasil ujian diumumkan, akhirnya semua peserta tugas akhir dikumpulkan dalam satu ruangan. Nama kami disebutkan satu persatu sambil diberitahukan dengan lantang apakah kami lulus atau tidak. Hingga semua teman bisa mendengar langsung. Cara pengumuman seperti ini bikin aku makin deg-degan. Apalagi ekspresi mahasiswa-mahasiswi setelah diumunkan lulus atau tidak, di rekam dengan handycam. Yang berhasil lulus, tentu saja menunjukkan ekspresi wajah bahagia. Dan yang tak berhasil lulus, terekamlah ekspresi wajah sedihnya apalagi jika disertai berurai air mata. Sungguh tega dosen-dosenku itu!

Alhamdulillah aku berhasil lulus. Lega rasanya hatiku. Terbayar sudah segala sakit hati, susah, duka nestapa dan rasa lelah selama enam bulan itu.

Walau ada beragam karakter dan sikap dosen-dosenku selama lima tahun memberiku ilmu, aku sungguh berterima kasih kepada semua dosen-dosenku yang pada akhirnya telah berhasil mangantarkan aku meraih gelar Sarjana Arsitektur. Tentu saja mereka membekaliku nasihat, aku masih harus terus belajar dan tak berpuas diri. Aku masih harus terus mengasah kemampuanku hingga kelak benar-benar dapat disebut Sarjana Arsitektur. Karena menjadi seorang Arsitek memiliki tanggungjawab yang cukup besar. Desain bangunan dan lingkungan yang salah akan berakibat fatal.

Ada banyak lagi nasihat yang disampaikan dosen-dosenku sebelum kami berpisah. Akan selalu kuingat pesan dosen-dosenku itu. Terima kasih Bapak Ibu dosen, terima kasihku yang sebesar-besarnya atas segala bimbingan kalian untukku selama lima tahun itu.

Kenangan bersama teman-teman satu jurusan satu kelas sesudah kita semua lulus. Happy ^_^


Demikian pengalaman seru kuliah di jurusan Arsitektur yang pernah kualami dulu. Segala susahnya masa lalu, kini menjadi kenangan yang seringkali membuat tersenyum saat mengingatnya. Aku tidak pernah menyesal telah memilih jurusan Arsitektur. Aku justru bangga, karena banyak pengalaman yang sudah kulalui selama aku kuliah dan bekerja di bidang Arsitektur.

Sekarang, saatnya bagiku kembali menekuni passion-ku, menulis. Yup, aku sedang semangat-semangatnya menulis. Tahun ini, akan terbit beberapa novel karyaku. Pengalaman menulisku pun tak kalah panjangnya. aku pun harus melalui perjuangan yang tidak mudah hingga akhirnya tahun ini, aku berhasil mewujudkan mimpiku. Novelku terbit di penerbit idamanku. Tunggu kabar dariku selanjutnya yaaa...

Dan ... terbitnya novel baruku di Gramedia Pustaka Utama semakin memantapkan aku untuk berkarir sebagai penulis. Aku senang sekali setiap kali mendapat respon dari pembaca yang menyukai tulisanku. Buat yang hobi membaca kisah romantis, yuuuuk, koleksi novel terbaruku : 
"HATIKU MEMILIHMU"



Ini novel-novel dan buku karyaku yang telah terbit :



Selasa, 11 Maret 2014

Memory Kuliah part 2 : Kuliah Arsitektur? Siap-siap sering begadang

3D Max karyaku yang masih sangat simple ^_^

Kali ini aku masih ingin bercerita pengalamanku kuliah Arsitektur. Buat teman-teman yang juga bergelut di dunia Arsitektur, boleh ikut sharing ^_^

Saat kuliah dulu, ada satu dosen yang aku sukai cara mengajarnya. Ia senang bercerita, dan kisah yang diceritakannya selalu bisa membuka pikiranku. Tapi sayang karena merangkap sebagai dosen ITB, ia jarang sekali datang memberi kuliah. Ia hanya datang empat kali selama satu semester.  Pertemuan pertama saat saling berkenalan, pertemuan kedua sebelum ujian tengah semester, pertemuan ketiga antara waktu sesudah ujian tengah semester dan sebelum ujian akhir semester, pertemuan terakhir adalah menjelang ujian akhir semester.

Dosenku ini mengajar mata kuliah Metode Penelitian. Asyiknya, dosen yang satu ini baik hati banget. Banyak mahasiswa-mahasisiwi yang mendapat nilai bagus darinya. Aku mendapat nilai A! Wow, keren kan? Sekarang beliau dikenal sebagai ahli Arsitektur fengshui.

Aku ingat, saat dosenku ini bercerita kisah Rama, Sinta dan Rahwana. Walau sampai sekarang aku kurang paham apa hubungan cerita itu dengan metode penelitian, tapi aku suka cerita versinya. Menurutnya, dalam kisah Rama dan Sinta, selalu saja digambarkan Rama dan Sinta sebagai pasangan sejati. Padahal sesungguhnya, cinta Rahwana kepada Sinta lebih sejati daripada cinta Rama kepada Sinta. Kenapa begitu? Aku baru tahu selama Rahwana menculik Sinta, tak sekali pun ia menyentuh Sinta. Ia menjaga kesucian Sinta. Sedangkan Rama, justru meragukan kesucian Sinta ketika ia telah berhasil merebut Sinta kembali dari Rahwana. Sinta harus membakar dirinya untuk membuktikan kesuciannya kepada Rama.

Sejak mendengar cerita itu, aku tidak setuju jika ada sepasang kekasih disebut pasangan serasi bagai Rama dan Sinta.

Mata kuliah di jurusan Arsitektur banyak yang menarik. Aku suka terutama mata kuliah yang mengharuskan mahasiswa-mahasisiwi mengadakan studi dan survei langsung ke lapangan. Salah satunya adalah mata kuliah Studio Kota dan Pemukiman. Kami dibagi menjadi beberapa tim. Masing-masing tim terdiri dari empat mahasiswa-mahasiswi. Timku terdiri dari empat mahasisiwi. Kami mendapat tugas mengadakan studi dan survei daerah Jl. Pangeran Jayakarta.

Asyiknya, kami langsung terjun ke lokasi. Membuat peta, mewawancarai penduduk setempat dan memotret keadaan wilayah itu. Lalu kami bahas, apa saja yang perlu dibenahi di wilayah itu sehingga dapat tercipta lingkungan pemukiman dan perkotaan yang sehat dan teratur. Setelah semua bahan siap, kami membuat papan presentasi yang begitu lebar, tentang rencana yang ingin kami kembangkan di wilayah itu.

Aku suka dengan dosen yang mengajar mata kuliah ini. Beliau memberi kami kesempatan untuk berani mengungkapkan pendapat dan perencanaan kami. Karena dukungan Pak Dosen yang simpatik, aku pun penuh percaya diri mempresentasikan hasil tugas kami di hadapan teman-teman sekelas.

Tips untuk teman-teman yang sedang sibuk kuliah. Saat menjalani semua mata kuliah, selain harus belajar sungguh-sungguh dan menikmati semua tugas yang diberikan dosen, kita juga harus membiasakan diri bekerja dalam tim.

Ini penting, karena banyak sekali tugas kuliah yang tidak hanya harus dikerjakan sendiri, tapi juga dikerjakan dalam tim. Dan tugas tim, jauh lebih berat daripada tugas sendiri. karena masing-masing anggota tim dituntut nggak egois dan saling menghargai satu sama lain.

Aku pernah punya pengalaman satu tim dengan teman yang kurang menghargai kerja tim. Temanku yang satu itu malas sekali. nggak pernah datang saat kami kumpul bersama menyelesaikan tugas. Dia sama sekali nggak mengerjakan tugas bagiannya. Karena itu aku bersikap tegas, pada pengumpulan tugas, aku hapus namanya dari anggota tim. Kedengarannya kejam ya, tapi ini lebih baik, supaya temanku itu sadar, sifat malas dan egoisnya itu merugikan anggota tim lain.

Kami sungguh nggak rela berbagi nilai dengan anggota tim yang tidak mengerjakan tugasnya. Akhirnya ia terpaksa tidak lulus mata kuliah itu. Semoga temanku itu menjadi sadar, kerja tim itu sangat penting, masing-masing anggota tim harus bisa bertanggungjawab dengan tugasnya masing-masing.

Oya, kuliah di jurusan Arsitektur, berarti harus siap kurang tidur. Karena tugas kami super banyak, apalagi tugas Perencanaan Arsitektur. Wuiih, aku pernah terpaksa nggak tidur 2 hari karena harus ngebut menyelesaikan gambar konsep perencanaan desain berlembar-lembar. Apalagi kalau harus dilengkapi dengan maket. Weleh-weeh, bikin tepar deh. Siap-siap saja deh, minum banyak kopi berharap nggak ngantuk.

Kuliah di jurusan Arsitektur, tentu nggak lepas dari kerja praktek. Bagiku, ini adalah mata kuliah yang paling asyik. Mahasiswa-mahasiswi diberi kesempatan terjun langsung di proyek pembangunan suatu gedung. Mengikuti dengan detail bagaimana proses mengubah gambar Arsitektur menjadi bangunan nyata.

Tugas ini juga dikerjakan bersama-sama dalam satu tim. Masing-masing tim terdiri dari tiga mahasiswa-mahasiswi. Selain suka dengan mata kuliah satu ini, aku juga suka dengan dosen pembimbing mata kuliah ini yang sangat mendukung kami. Membantu kami mencari proyek yang mau menerima kami magang, walau hanya berupa selembar surat rekomendasi.

Timku terdiri dari sahabat-sahabatku sendiri, Ira dan Lala. Akhirnya kami mendapat tempat kerja magang di sebuah developer Perumahan Citra Garden, di daerah Jakarta Barat.

Tips buat teman-teman yang juga sedang menjalani kerja praktek, coba kerjakan tugas ini dengan sungguh-sungguh. Karena tugas kuliah yang satu ini sangat bermanfaat kelak di dunia kerja.

Awalnya, aku malas-malasan mengerjakan tugas ini, karena aku dan teman-teman harus masuk hampir setiap hari, kecuali jika ada mata kuliah lain di kampus. Karena masih terbiasa hanya kuliah, aku kurang tertarik dengan kerja lapangan, selain karena memang melelahkan, juga kotor karena harus ikut terkena debu-debu bahan bangunan, semen, bahkan aku harus ikut naik ke lantai  dua bangunan rumah yang baru setengah jadi hanya dengan tangga darurat dari kayu  yang dibuat asal jadi.

Ngeri sekali menaiki tangga itu. Bagi yang takut ketinggian, pasti tak akan sanggup. Tapi itu harus kujalani. Tugas ini kelak akan sangat berguna sebagai pengalaman di dunia kerja nantinya.

Karena foto perumahan tempat dulu aku kerja praktek sudah nggak ada,
ini saja deh yaa... villa di Cisarua hasil designku. Keren juga kan? ^_^

Beginilah realita dunia kerja di bidang Arsitektur. Bukan hanya harus berkutat dengan gambar menggambar di studio. Tapi juga harus terjun langsung ke lapangan. Melihat langsung seperti apa bahan-bahan bangunan dan bagaimana proses merealisasikan gambar yang telah kubuat menjadi bangunan sungguhan. Mulanya tugas ini memang menguras tenaga dan pikiran, tapi lama-lama aku justru semakin merasa asyik dan exited.

Rasanya sudah seperti Arsitek sungguhan, diperkenankan ikut membantu Manajer Proyek mengawasi pengerjaan bangunan agar tidak melenceng dari gambar kerja yang telah ditetapkan. Aku makin senang saat akhirnya mendapat nilai A untuk mata kuliah ini. Terima kasih banget deh kepada dosen mata kuliah kerja praktek yang menghargai jerih payah kami. Apalagi dosen kerja praktekku memang sekaligus dosen pembimbing kelas kami, kelas D. Hm, benar-benar dosen favorit.

Tapi nggak semua dosen sebaik beliau. Ada juga dosen yang membuatku down dan membuatku merasa menjadi mahasiswi paling bodoh sedunia.

Mau tahu lanjutan kisahku? Tunggu sambungannya yaaa ^_^

Bersambung ...

Aih, masa-masa kuliah ternyata bikin kangen juga ya saat kita kenang ...

Walau aku kini lebih fokus menulis novel, tapi kenangan dunia Arsitektur tak pernah kulupakan. Justru kujadikan sumber untuk ide-ide ceritaku. Salah satunya dalam Novel "Tahajud Cinta di Kota New York". Richard Wenner kugambarkan sebagai seorang arsitek keren dan cerdas. ^_^

Dan ... terbitnya novel baruku di Gramedia Pustaka Utama semakin memantapkan aku untuk berkarir sebagai penulis. Aku senang sekali setiap kali mendapat respon dari pembaca yang menyukai tulisanku. Buat yang hobi membaca kisah romantis, yuuuuk, koleksi novel terbaruku : 
"HATIKU MEMILIHMU"



Buku-buku karyaku yang telah terbit ^_^


Senin, 10 Maret 2014

Memory Kuliah part 1 : Jurusan Arsitektur? Siapa takut?

3D Max hasil karyaku. Simple banget ya ^_^
Foto by Arumi

Yup, aku ingin berbagi pengalaman saat kuliah dulu. Siapa tahu ada teman-teman yang tertarik masuk jurusan Arsitektur juga?

Sebelum memutuskan kecemplung dunia arsitektur, bolehlah baca kisahku ini dulu ... ^_^

Orang bilang, masa kuliah adalah saat yang menyenangkan. Hm, rasanya itu memang benar. Setelah sembilan tahun menjalani sekolah dasar sampai menengah atas selalu mengenakan seragam, masa kuliah menjadi begitu meyenangkan karena aku bisa ke kampus berpakaian bebas. Asalkan pantas, rapih dan sopan. Rasanya lega bisa tampil sesuai jati diri sendiri.

Lulus dari SMAN 78 Kemanggisan Jakarta Barat, aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikanku ke Universitas Trisakti Jakarta, jurusan Arsitektur. Mengapa aku memilih jurusan Arsitektur? Tentu saja karena aku sangat suka menggambar.

Sebenarnya, jurusan Arsitektur bangunan bukan pilihan utamaku. Itu pilihan kedua. Pilihan pertamaku adalah desain grafis. Aku mengikuti dua macam tes di kedua jurusan itu. Keduanya sama-sama harus melalui tes menggambar. Di jurusan Grafis, aku harus menggambar kaleng coca cola dan botol minuman dengan detail secara manual hanya menggunakan pensil, sedangkan di jurusan Arsitektur aku harus menggambar bangunan kampus juga secara manual hanya menggunakan pensil. Tapi akhirnya aku diterima di jurusan Arsitektur. Kuhadapi saja kenyataan ini dengan ikhlas, toh di jurusan Arsitektur juga dibutuhkan keterampilan menggambar, walau pun aku masih harus mempelajari matematika, mekanika tanah, fisika bangunan dan struktur konstruksi, pelajaran-pelajaran yang cukup bikin kening berkerut.

“Sudah nggak apa-apa, baguslah jurusan Arsitektur, kan keren nanti lulus jadi Arsitek. Lagian, nanti bisa bikin usaha bareng sama tante yang desainer interior.”

Tanteku ikut memanas-manasi aku. Tanteku adalah alumni Universitas Trisakti Jakarta jurusan desain interior. Dia yang menyarankan aku memilih jurusan Arsitektur. Ini maksudnya Arsitektur bangunannya ya, kalau bilang Arsitektur saja, artinya arsitektur bangunan. Bukan Arsitektur lansekap. Jurusan yang aku pilih ini arsitektur yang merancang bangunan dan gedung-gedung tinggi. Termasuk dalam Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan.

Aku memang suka menggambar. Itu adalah keahlian dasar yang dibutuhkan untuk menekuni ilmu Arsitektur. Maka, kujalani saja kuliahku di jurusan Arsitektur ini. Benar juga kata Tanteku, bakalan keren saat lulus nanti aku akan disebut Arsitek. Senyumku pun mengembang membayangkannya.

Pendidikanku di jurusan Arsitektur, dimulai dengan masa-masa mapram selama sebulan. Aku dan teman-temanku sesama mahasiswa-mahasiswi baru harus rela dan pasrah menjadi bulan-bulanan para senior. Kami harus meminta tandatangan semua kakak senior. Untuk mendapatkan satu tanda tangan saja, harus melalui berbagai ujian yang seringkali memalukan.
Tapi karena aku sudah bertekad ingin menikmati masa-masa mapram, cuek saja deh, buang jauh-jauh rasa malu.

Sebagai sesama mahasiswa-mahasiswi baru, kami saling dukung satu sama lain. Kami sadar, masa mapram di dunia kampus hanya akan kami alami sekali seumur hidup. Kelak akan menjadi momen bersejarah dalam hidup kami, menjadi kenangan tak terlupakan.

Aku dan teman-teman satu jurusan Arsitektur Trisakti saat masa ospek
Aku yang mana ya? ^_^
Foto by Arumi

Setelah selesai masa-masa penataran dan mapram yang menyenangkan, aku harus mulai konsentrasi menghadapi mata kuliah yang beragam. Berhadapan dengan dosen-dosen dengan berbagai karakter. Ada dosen ganteng, dosen baik hati, dosen galak, dosen yang jarang sekali datang dan macam-macam karakter dosen lainnya.

Seperti yang telah kusebutkan sebelumnya, kuliah Arsitektur tak luput dari pelajaran matematika. dan ternyata, banyak sekali teman-temanku yang sama denganku, kurang suka dengan pelajaran matematika.

“Heran, masih ada aja ya pelajaran matematika. Kirain terakhir waktu SMA,” keluh salah satu temanku.
“Iya, padahal gue juga paling alergi deh sama pelajaran matematika. Apalagi Trigonometri. Ampun deh,” aku ikut mengeluh.

Karena jurusan Arsitektur didominasi mahasiswa-mahasiswi yang lebih mahir menggambar daripada matematika, maka pelajaran matematika menjadi momok yang mengerikan bagi kami. Nilai matematika kami pun jarang yang bagus. Aku hanya mendapat nilai C. Itu saja sudah lumayan, karena beberapa temanku ada yang harus mengulang mata kuliah matematika ini.

“Memangnya apa hubungannya sih, matematika sama bangunan?” protes salah satu temanku yang pernah mengulang mata kuliah ini.

“Saudara-saudara, tolong jangan sepelekan mata pelajaran matematika. Ingat, matematika itu penting! Apalagi kalian mempelajari Arsitektur. Nanti akan banyak terlibat dengan hitung menghitung. Menghitung struktur, menghitung anggaran biaya proyek, semua butuh ilmu matematika.”

Begitu penjelasan Dosen matematikaku yang prihatin melihat nilai anak didiknya yang sangat payah.

Jangan heran ketika Dosen menyebut mahasiswa-mahasiswinya dengan sebutan saudara-saudara atau anda. Karena begitulah di dunia perkuliahan. Kami dianggap telah cukup dewasa dan tak pantas lagi disebut anak-anak.

Jika matematika adalah pelajaran yang bikin aku ketar-ketir, mata kuliah Apresiasi budaya menjadi mata kuliah yang bikin aku deg-deg-an setengah mati. Bukan karena materinya sulit, tetapi karena dosennya super duper sangat galak sekali >.<

Entah mengapa dosen yang satu ini senang sekali marah-marah. Jangan pernah telat ketika mengikuti mata kuliahnya. Terlambat semenit saja, tak bakal diijinkannya mengikuti mata kuliahnya.

Beliau juga seringkali menggebrak-gebrak meja. Jangan-jangan dosenku itu terinspirasi penjual soto gebrak yang top itu ^_^

Tak ada satu pun dari kami yang berani protes. Kami mahasiswa-mahasiswi baru, tak mungkin berani protes. Dan ujiannya, entah mengapa sulitnya bukan main. Dengan teganya dosenku yang satu itu memberi kami nilai yang menakjubkan. Ada yang mendapat nilai C, D bahkan E. Yang mendapat nilai A dan B? Tentu saja tak ada.

Anehnya, dosenku yang satu ini sangat ramah dan baik hati pada satu temanku, Lia. Kami semua selalu ketakutan jika tanpa sengaja bertemu dengan dosen itu di luar jam kuliah. Tetapi kepada Lia, dosen itu malah menyapa dengan ramah. Membuat kami terbengong-bengong saking herannya.

“Eh, Lia. Kuliah apa hari ini?” tanya dosenku itu ketika tanpa sengaja beliau bertemu dengan Lia, aku dan dua temanku lainnya di dalam lift.
“Eh, pagi, Pak. Ada kuliah Metode penelitian, Pak.” jawab Lia sambil memasang senyum yang tampak oleh kami berusaha dimanis-maniskan.
“Oh...” hanya itu sahut dosenku.
“Saya duluan Lia.” kata dosenku lagi begitu pintu lift membuka  di lantai 2.
“Oh, iya Pak. Silakan.” jawab Lia sambil terus tersenyum.

Kami ikut tersenyum dan mengangguk ke arah Pak Dosen walau pun jelas-jelas tidak ikut disapa.
Setelah Pak Dosen berlalu dari hadapan kami, seketika kami membombardir Lia dengan bermacam pertanyaan.

“Nah ya? Lo ada hubungan apa tuh sama Pak Dosen.” seru Indah.
“Iya ih, mencurigakan, kok dia ramah banget sih sama elo? Udah gitu cuma elo yang disapa.”

Lala ikut berseru.

“Jangan-jangan Pak Dosen naksir lo ya?” Aku ikut menuduh.
“Yee, mana gue tau. Nggak tau gue, sumpah, gue juga kaget tadi disapa sama dia. Sekarang malah gue yang takut nih, kenapa dia ramah gitu sama gue?” Lia segera membela diri.

“Wah, nggak ada penjelasan lain nih, berarti memang Pak Dosen naksir elo nih. Pake jampi-jampi apa lo, Dosen paling galak justru ramah sama elo.” seru Indah lagi kelihatan penasaran banget.
“Sumpah, gue nggak tau..” Wajah Lia tampak kebingungan.

Tapi kemudian, Lia pun menjadi bulan-bulanan ledekan kami.

“Hati-hati Lia, malam minggu siap-siap aja diapelin Pak Dosen. Hehehe...” goda Lala.
“Ih, ogah banget. Dia kan udah punya anak istri,” sahut Lia.

Dan ledekan kami semakin menjadi-jadi ketika pada ujian akhir mata kuliah Apresiasi Budaya, Lia mendapat nilai B! Dan hanya dia yang mendapat nilai B! Nah lho!

“Liaaa...gue semakin curiga nih!” seru Indah yang protes keras karena lagi-lagi ia mendapat nilai D.
“Eeeh, nih ya, gue jelasin. Behenti deh curiga macem-macem sama gue. Pak Dosen tuh ternyata temennya mama gue waktu SMA dulu. Makanya dia ramah sama gue. Trus kalo soal gue dapet nilai B, itu mah karena memang gue belajar serius kalee...”

Lia membela diri.

“Ah, yang bener lo belajar serius?” tanyaku kurang yakin.

Lia mengangguk mantap.

“Hiks, kenapa sih nyokap gue bukan teman SMAnya Pak Dosen jugaa...masa nilai gue D terus...” ratap Indah.

“Udahlah, Ndah. Tabahkan hatimu. Kan nanti lo bisa ulang lagi tuh mata kuliah semester depan,” hibur Lia.

Indah malah meratap semakin keras.

Bersambung ...

Segini dulu kisah susahnya masa kuliahku dulu yaa ... tunggu lanjutannya.

Seru juga kalau ingat masa-masa dulu saat aku masih bergumul dengan dunia Arsitektur. Kalau sekarang sih aku lebih bersemangat menulis.

Dan ... terbitnya novel baruku di Gramedia Pustaka Utama semakin memantapkan aku untuk berkarir sebagai penulis. Aku senang sekali setiap kali mendapat respon dari pembaca yang menyukai tulisanku. Buat yang hobi membaca kisah romantis, yuuuuk, koleksi novel terbaruku : 
"HATIKU MEMILIHMU"



Jangan lupa, buat teman-teman yang berminat membaca buku-buku karyaku, yuuuk, silakan ... ^_^

Buku-buku karya Arumi E. yang telah terbit

Senin, 04 November 2013

Sengsara Membawa Nikmat

Desa Janten, Temon, Kulon Progo, Jogjakarta
Tak jauh dari Pegunungan Menoreh


By : Arumi E

Kali ini aku ingin berbagi pengalamanku di masa lalu, saat pernah putus asa mengais rezeki. Tapi aku pantang menyerah. Dan semangat terus maju akhirnya berbuah manis.

Benarlah kata pepatah, hidup itu memang ibarat roda yang berputar. Kadang kita berada di atas, tapi seringkali kita berada di putaran terbawah. Nasib seperti itu pun pernah kurasakan. Aku adalah sarjana lulusan arsitektur, yang setelah melamar ke sana-sini, akhirnya diterima bekerja di sebuah perusahaan Konsultan Desain Arsitektur. Bukan sebuah perusahaan besar, tapi aku merasa bersyukur, karena tak mudah untuk mendapatkan sebuah pekerjaan yang benar-benar sesuai dengan keahlian dan minat kita. Ini bukan pekerjaan pertamaku setelah lulus kuliah, tapi aku berharap ini lebih baik dari sebelumnya.

Dengan penuh semangat kukerjakan semua tugas yang menjadi tanggungjawabku. Hingga memasuki bulan kelima aku bekerja di sana, aku merasa semakin nyaman dan semakin paham dengan tugas-tugasku. Walau aku harus kerja rangkap, selain sebagai arsitek yang merancang desain bangunan yang kebanyakan rumah mewah berlantai dua, sekaligus juga aku bekerja sebagai drafter yang mengerjakan semua gambar kerja untuk bangunan yang aku desain itu. Karena arsitek di kantor tempatku bekerja itu memang hanya aku dan Bosku.

Aku jalani itu semua sebagai salah satu proses belajar untuk menempa kemampuanku. Aku tak mengeluh. Barulah memasuki bulan keenam, aku mengalami ujian. Aku mendengar kabar, Bosku ingin menutup kantornya itu dan beralih profesi menjadi petani cabai. Hatiku berdebar, merasa tak berdaya, jika perusahaan Bosku itu ditutup, maka sudah bisa dipastikan, aku akan kembali menganggur. Pasti tak mudah untuk mendapatkan pekerjaan baru. Aku pasrah, menangis dalam hati. Apalagi ketika Bos memanggilku dan membenarkan kabar itu. Aku tertunduk lesu.

Namun sebelum aku pergi, Bos menawarkan padaku pekerjaan di pertanian cabai miliknya di Mega Mendung. Aku terperangah, ah, sungguhkah itu? Tapi aku hanya tahu tentang ilmu arsitektur, sedikitpun aku tak tahu tentang pertanian. Bosku malah memberi nasihat, bahwa sebaiknya mumpung aku masih muda, aku pelajari semua, jangan hanya terpaku pada satu bidang saja. Setelah aku pertimbangkan, maka aku terima tawaran Bosku itu. Aku pikir, bekerja apa saja asalkan halal, masih jauh lebih baik daripada tak bekerja.

Dimulailah petualanganku bekerja sebagai pengawas pertanian cabai. Sebenarnya hampir tak ada bedanya mengawasi pembangunan gedung dengan mengawasi pertanian cabai. Sama-sama kerja lapangan yang terpanggang di bawah terik sinar matahari. Tapi kali itu aku bertanggung jawab terhadap mahluk hidup, ratusan bibit cabai yang masih rapuh. Salah sedikit saja, maka bibit-bibit cabai yang masih belia itu terancam mati.

Aku tinggal di mess yang tersedia di lahan pertanian itu. Dan diperbolehkan pulang sebulan sekali. Sekuat tenaga aku berusaha beradaptasi dengan pekerjaan di pertanian. Secara kilat aku harus belajar cara menyemai bibit cabai dan cara menanamnya di lahan pertanian. Setelah dua bulan bekerja di pertanian itu, aku menyerah dan memutuskan berhenti. Bukan maksudku menolak rejeki pekerjaan itu, tapi aku masih ingin mengejar mimpiku menjadi seorang arsitek.

Aku bertekad akan berusaha mencari pekerjaan lain yang lebih sesuai dengan minat dan keahlianku. Aku pun pamit kepada Bosku dan rekan-rekan kerjaku. Walau bagaimana pun, tak akan kulupakan kenangan bekerja di pertanian, yang tak hanya penuh kerja keras, tapi juga ada suka.

(Pengalamanku bekerja di pertanian cabai ini menjadi inspirasi novel karyaku yang akan terbit bulan Mei 2014. Tunggu ya ... ^_^. Bukankah ternyata, pekerjaan apa pun jika dilakukan dengan sungguh-sungguh tak hanya menjadi sumber rezeki pada saat itu, tapi bisa jadi akan memberi rezeki di saat kemudian)

Kembali ke Jakarta, kembali aku berkutat dalam perjuangan mendapatkan pekerjaan baru. Berlembar-lembar lamaran aku kirimkan ke banyak perusahaan. Beberapa memanggilku untuk wawancara dan tes gambar, tapi satu pun belum ada yang menerimaku sebagai pegawai. Hingga akhirnya aku mendapat ide ingin mencari kerja di Jogjakarta. Kebetulan, Mbah Putriku tinggal di sana.

Kubayangkan nyamannya tinggal di Jogja, pasti tak sebising dan sepadat Jakarta. Tentunya tak akan membuat stress. Kusampaikan niatku itu kepada Bapak dan Ibuku. Bapak dan Ibu menyerahkan keputusan kepadaku, karena aku dianggap telah dewasa, pantas memutuskan sendiri jalan hidupku. Berangkatlah aku ke Jogja, tepatnya, ke Desa Janten, Kulon Progo, berbekal tabungan selama aku bekerja sebelumnya.

Mbah Putri, Bulik dan dua sepupuku mendukung niatku untuk tinggal bersama mereka. Kehadiranku akan membuat rumah Mbah Putri yang lumayan luas menjadi semakin ramai. Rumah Mbahku itu cukup jauh dari kota Jogja, berjarak sekitar 45 km, satu jam perjalanan dengan bus antar kota.

Rumah peninggalan Mbah Putri di Desa Janten. Masih sejuk, banyak pepohonan.
Sekarang Mbahku sudah nggak ada ...

Mulailah aku membeli surat kabar lokal setiap hari, mencari info lowongan pekerjaan. Jarang sekali ada lowongan untuk lulusan Arsitektur di Jogja saat itu. Kebanyakan lowongan itu minta pelamar datang langsung.

Suatu hari di surat kabar itu kutemukan iklan lowongan kerja sebagai arsitek sekaligus drafter. Kali itu pun pelamar diminta datang langsung. Jam enam pagi aku berangkat ke kota Jogja membawa satu berkas surat lamaran. Setelah berkali-kali nyasar, tepat jam sembilan pagi aku sampai di kantor developer yang membuka lowongan itu. Aku menunggu cukup lama, sampai akhirnya tiba giliranku menghadap bagian personalia (HRD). Aku masuk dan memberi salam dengan sopan Aku dipersilakan duduk. Pak HRD itu membolak-balik berkas lamaranku.

“Kamu lulusan Jakarta?” tanyanya dengan pandangan heran.
“Benar, Pak.” jawabku sopan.
“Kenapa kamu melamar kerja di Jogja?” tanyanya lagi.
Aku agak bingung memikirkan jawabannya. Kenapa ya?
“Karena Mbah Putri saya tinggal di Jogja, Pak. Saya ingin menemani beliau.” jawabku sekenanya.
“Kamu aneh, lulusan Jogja berebut mencari kerja di Jakarta, eh, kamu lulusan Jakarta malah cari kerja di Jogja. Di sini gajinya kecil loh.” kata Pak HRD itu.

Ah, aku tidak minta gaji besar, bagiku yang penting mendapatkan pekerjaan. Namun tetap saja hingga berhari-hari kemudian aku tak juga mendapat panggilan. Tak putus asa, kucari lowongan lain. Kudatangi satu persatu. Sendirian aku menjelajahi Kota Jogja, berkali-kali aku nyasar, tapi aku tak menyerah. Setiap hari aku berangkat dari Desa Janten pukul enam pagi. Pukul 5 sore, aku harus segera pulang, karena bus dari kota Jogja yang menuju Desa Janten hanya beroperasi hingga pukul 5 sore.

Pernah aku terlambat, pukul 6 sore baru beranjak pulang. Terpaksa aku naik bus antar kota jurusan Purworejo. Aku turun di jalan masuk Desa Janten dan harus berjalan kaki sepanjang satu kilo meter untuk sampai di rumah Mbahku. Langit sudah gelap, waktu menunjukkan pukul 7 malam. Sepanjang jalan itu tak ada satu pun lampu jalan yang terpasang. Aku hanya mengandalkan cahaya dari sepeda atau motor penduduk desa yang kebetulan lewat. Tapi sedikitpun aku tak takut. Aku berjalan perlahan, menikmati suasana saat itu. Kurasakan sengsara itu membawa nikmat, bukankah aku masih diberi kesempatan menghirup udara desa yang segar dan mendengarkan suara jangkrik yang bersahut-sahutan? Bukankah itu anuegrah?

Tak terasa, dua bulan sudah aku mengadu nasib di Jogja. Sudah begitu banyak kantor yang kudatangi untuk melamar pekerjaan. Tabunganku mulai menipis. Tapi aku belum berhasil mendapat pekerjaan. Aku harus pulang, aku tak mau membebani Mbah Putri dan Bulikku. Terpaksa aku pamit dan kembali ke Jakarta. Ah, ternyata mencari pekerjaan di kota Jogja juga tak mudah.

Sesampai di Jakarta aku kembali kebingungan, uang tabunganku tinggal dua ratus ribu rupiah. Aku menangis tak berdaya, tak tahu apalagi yang harus kuperbuat. Aku pantang meminta ongkos dari orangtuaku. Bagiku, sudah cukup mereka bekerja keras membiayaiku sekolah hingga lulus Sarjana. Setelah itu, aku harus mampu berusaha memenuhi kebutuhan hidupku sendiri. Walau aku masih tinggal bersama orangtuaku, aku tak ingin membebani mereka.

Aku bertanya-tanya, apakah keputusanku berhenti bekerja di pertanian dulu adalah suatu kesalahan? Artinya aku menolak rejeki? Aku mohon ampun kepada Allah, tahajud setiap malam, berdoa memohon dibukakan jalan. Tak sengaja, kudengar lagu Opick featuring Melly Goeslaw berjudul: TAKDIR

Dihempas gelombang, dilemparkan angin
Sekisah kubersedih kubahagia
Di indah dunia yang berakhir sunyi
Langkah kaki di dalam rencana-Nya
Semua berjalan dalam kehendak-Nya
Nafas, hidup, cinta dan segalanya
Dan tertakdir menjalani segala kehendak-Mu, ya Robbi
Kuberserah, kuberpasrah hanya kepada-Mu, ya Robbi
Bila mungkin ada luka, coba tersenyumlah
Bila mungkin tawa, coba bersabarlah
Karena air mata tak abadi
Akan hilang dan berganti

Hm, menyejukkan hati. Lirik lagu yang menyentuh dan melodinya yang syahdu, menjadi Theme Song hidupku saat itu. Semua berjalan dalam kehendak-Nya. Ya, aku seperti kembali diingatkan akan Firman Allah: Sesudah kesulitan akan datang kemudahan. Aku tak akan berputus asa. Aku yakin Allah akan menepati janji-Nya.

Beberapa minggu kemudian, aku mendapat panggilan dari bank tempat aku menabung, mereka menyampaikan bahwa aku memenangkan undian mendapat hadiah tabungan sebesar 2.5 juta rupiah. Rasanya aku tak percaya, tabunganku yang hanya dua ratus ribu rupiah bisa memenangkan undian? Tapi itu kenyataan, aku takjub ketika melihat buku tabunganku, saldoku bertambah banyak. Aku mengucap syukur yang tiada terkira, apalagi ini namanya jika bukan pertolongan Allah secara langsung? Dengan uang itu, aku dapat membiayai usahaku mencari pekerjaan baru.

Setelah sebulan berusaha mencari kerja ke sana-sini, akhirnya aku diterima bekerja di sebuah Konsultan Desain Arsitektur dengan gaji dua kali lipat dari gaji yang pernah aku dapatkan sebelumnya. Pekerjaanku juga meningkat, tak lagi hanya mendesain rumah tinggal, kantorku yang baru itu menangani proyek pembangunan gedung-gedung pemerintahan. Membuatku bangga karena ikut terlibat dalam proses mendesain renovasi gedung-gedung yang cukup penting, salah satunya adalah Gedung Sekretariat Negara. Resume-ku pun menjadi jauh lebih baik.

Sungguh luar biasa pertolongan Allah.

Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". 

Al Qur'an surat Ghâfir ayat 60

Note : 
Ini baru sepenggal kisah pengalamanku berjuang mengais rezeki. Setelah ini masih banyak hal lainnya yang aku alami, sampai akhirnya kini aku memutuskan menjadi penulis novel ^_^

Dan ... terbitnya novel baruku di Gramedia Pustaka Utama bulan Mei 2014 semakin memantapkanku untuk berkarir sebagai penulis. Aku senang sekali setiap kali mendapat respon dari pembaca yang menyukai tulisanku. Buat yang hobi membaca kisah romantis, yuuuuk, koleksi novel terbaruku : 

"HATIKU MEMILIHMU"


Selasa, 29 Oktober 2013

Asyiknya mendapat penghasilan dari hobi

Sketsa-ku


Ya, sejak sekolah dasar aku hobi menggambar dan mengarang. Bahasa Indonesia dan Seni Rupa adalah dua mata pelajaran yang paling aku suka. Kemudian aku memadukan kedua hobiku itu dengan membuat komik. Di sela-sela mengerjakan PR matematika atau pelajaran lainnya, aku malah menggambar. tentu saja menggambar saat waktunya mengerjakan PR ini kulakukan diam-diam jangan sampai ketahuan ibuku.

Sketsa-ku juga ^_^


Semakin lama, keahlian menggambarku semakin baik. Hingga akhirnya selepas SMA, aku memutuskan kuliah di jurusan arsitektur. Kuliah yang menyenangkan. Karena banyak sekali tugas menggambar sesuai dengan hobiku, walau aku sempat merasa minder. Saat SD, SMP dan SMA hasil karya seni rupaku menjadi yang terbaik. Namun saat berkumpul dengan sesama mahasiswa-mahasiswi yang semuanya pandai menggambar, ternyata keahlian menggambarku belum ada apa-apanya. Apalagi di jurusan arsitektur, kami tidak hanya dituntut mampu menggambar dengan hasil yang bagus, juga harus mampu membuat konsep rancangan bangunan dengan baik. Belum lagi harus menguasai matematika, fisika bangunan dan penghitungan struktur. Huft, inilah yang membuatku sempat ketar-ketir semasa kuliah. Walau mata kuliah terberat tentu saja Perencanaan Arsitektur dan ujian akhir.

Hasil rancanganku dengan 3D Max.
Nggak mahir menggambar dengan 3D Max
Walau lama kelamaan kuliah arsitektur terasa berat, akhirnya aku berhasil lulus juga sesuai jadwal. Sesudah lulus, tak mudah mendapatkan pekerjaan sebagai arsitek. Aku harus terdampar dulu di sebuah perusahaan kontraktor pertambangan emas Pongkor. Seminggu sekali aku harus cek lokasi ke Gunung Pongkor, Leuwiliang, Bogor.  Di sana hanya aku satu-satunya yang arsitek. Aku sering diledek kesasar. Karena aku dikelilingi insinyur-insinyur sipil dan pertambangan.

Tapi kujalani saja pekerjaanku itu dengan senang hati. Kuanggap salah satu bentuk mendapat pengalaman yang belum tentu akan dialami calon-calon arsitek lainnya. Sampai kemudian aku merasa petualanganku di pertambangan emas ANTAM itu sudah saatnya diakhiri.

Kemudian aku mencari pengalaman lain. Hingga merasakan menjadi arsitek sekaligus drafter di sebuah perusahaan desain kecil-kecilan. Sungguh-sungguh kecil-kecilan karena proyek-proyeknya pun kecil-kecil. Seputar renovasi rumah. Bosan di sini, aku pindah ke perusahaan konsultan desain arsitektur lainnya yang kuharap lebih baik dari sebelumnya. Tapi ternyata siapa duga, baru tujuh bulan bekerja di sana, bosku mendadak berubah pikiran ingin menjadi petani cabai. Terkejut, tapi aku tak bisa mengelak dari kenyataan ini. Pilihanku hanya dua, berhenti bekerja atau tetap bekerja sebagai pengawas pertanian cabai. Aku tak punya pilihan lain, saat itu aku tahu, tidak mudah mendapat pekerjaan baru. Jadilah aku terdampar di pertanian cabai di daerah Megamendung selama tiga bulan.

Aku tidak menyesali pengalamanku di pertanian cabai itu. Banyak sekali kejadian seru yang kualami di sana. Malah menjadi inspirasi sebuah novel yang akan terbit bulan Mei 2014 nanti. Hm, diam-diam aku mulai memikirkan pengalamanku di pertambangan emas Gunung Pongkor untuk kujadikan novel juga ;)

Bosan berada di pertanian cabai, aku kembali ke Jakarta dan kembali mencari pekerjaan sebagai arsitek. Akhirnya keberuntungan berpihak padaku. Aku mendapatkan pekerjaan idamanku. Di sebuah perusahaan konsultan desain arsitektur yang lebih besar dari sebelumnya. Aku terlibat dalam proyek-proyek yang cukup besar. Kebanyakan proyek pembangunan gedung pemerintah. Seperti Gedung ESDM, gedung Sekretariat Negara, gedung-gedung pemerintahan di Jogja. Sungguh pengalaman seru yang menambah wawasan dan keahlianku. Dua tahun aku bekerja di sini saat satu hal membuatku memutuskan mundur.

Begini deh kira-kira rumah rancanganku.
Biasanya aku melukis manual, ini dengan 3D max.
Aku kurang mahir 3D max

Okay, kali berikutnya aku mencoba pengalaman bekerja di sebuah kontraktor terkenal. Aku mendapat kesempatan ikut terlibat dalam Proyek Mal Pluit Junction yang dikerjakan kontraktor Adhi Karya. Dulu, aku sangat mengidamkan bisa bekerja di Adhi Karya. Akhirnya berhasil juga. Tapi siapa sangka, bekerja di lapangan setiap hari ternyata berat juga. Jam kerja sangat panjang. Dari pukul 8.30 pagi hingga paling cepat pukul 10.00 malam. Seringkali aku pulang pukul 12.00 malam. Rasanya sesampai di rumah aku tak sanggup mengerjakan yang lain karena paginya harus segera bersiap berangkat ke proyek lagi.

Baru tiga bulan aku bekerja di proyek Adhi Karya itu, aku mendapat tawaran bekerja di Dunkin Donut. Satu hal yang membuatku akhirnya memutuskan menerima pekerjaan menjadi arsitek untuk divisi pengembangan bangunan Dunkin Donut, karena di sini jam pulang kerja hanya sampai pukul 6.00 sore. Asyik kan?

Sayangnya, di Dunkin Donut pun aku tak bertahan lama. Hanya enam bulan, kemudian aku pindah ke perusahaan Konsultan arsitektur lagi, Envirotec. Ini konsultan desain yang mengerjakan desain Kota Casablanca. Lumayan, aku pernah ikutan terlibat membuat gambar kerjanya ^_^

Ya, ya ... banyak sekali pengalaman yang sudah kudapat. Hingga tiba-tiba saja aku merasa bosan menjadi pegawai dan bosan menjadi arsitek. Ini gawat sekali. Bagaimana aku bisa mempertanggungjawabkan keputusanku ini pada kedua orangtuaku? Tapi rasanya memang aku sungguh-sungguh bosan ...

Pada saat yang bersamaan, perusahaan terakhirku terkena masalah. Aku pun terpaksa berhenti sekaligus aku berhenti mengirim surat lamaran ke perusahaan mana pun ... aku memutuskan ingin punya usaha sendiri ... keputusan nekat tapi tetap keukeuh kujalani.

Kulupakan ijazah arsitektur-ku, aku memutuskan membuka usaha membuat sepatu lukis. Yup, aku kembali pada hobi lamaku, menggambar.






Melukis ini saat ngefans sama Kang Ji Hwan ^_^


Inilah sebagian hasil sepatu lukis yang kulukis sendiri. Ternyata aku sudah melukis lebih dari 200 sepatu. Alhamdulillah, pembeli sepatu-sepatuku mengaku puas dengan hasil lukisanku. Walau pun usaha melukis sepatu ini juga sempat mengalami tantangan berat berliku yang hampir membuatku putus asa. Tapi karena aku suka melukis, maka aku terus melukis.

Sambil sibuk bekerja di bidang yang berhubungan dengan arsitektur, aku tetap menulis. Cerpen pertamaku dimuat di majalah remaja tahun 2005. Sejak itu menulis dan menggambar menjadi dua hal yang kukerjakan seiring sejalan. Bahkan setelah aku sibuk merintis usaha sepatu lukisku, aku tetap menulis.

Ah, sampai kemudian karena tantangan menulis sebuah novel membuatku berhenti melukis ...

Ya, setelah novel pertamaku "Saranghaeyo" terbit, aku tidak bisa berhenti menulis. Aku menulis terus sejak akhir tahun 2010 hingga sekarang. Sampai kemudian terbit novel-novelku selanjutnya, Four Seasons Of Love, Sweet Sonata, Sakura Wish, Cinta Bersemi di Putih Abu-Abu, Cinta yang Sempurna, Tahajud Cinta di Kota New York, Jojoba, Amsterdam Ik Hou Van Je, Heart Latte, Longest Love Letter ...

Dan selanjutnya akan terbit novel-novelku yang lain. Sampai tahun depan aku berencana menulis. Entah kapan aku akan melukis lagi. Kesibukan menulis membuatku tak sempat lagi memenuhi pesanan-pesanan melukis sepatu yang masih kerapkali datang.

Kali ini aku memilih menekuni hobiku yang satu lagi, menulis. Saat ini aku sangat menikmati pekerjaanku yang tidak tunduk pada bos mana pun. Aku bekerja dengan aturanku sendiri selain aturan yang telah ditentukan penerbit karyaku.

Aku mengerjakan hobi sekaligus mendapat uang dari hobiku ini. Asyik kan?

How wonderful life ... ^_^

Yuk, teman-teman, jangan putus asa bekerja keras, terus berusaha mencapai cita-cita. Jangan ragu mencari apa sesungguhnya passion-mu, yang akan membuatmu bergairah menjalani hari-harimu sekaligus terus menghasilkan karya.

Di sela-sela menulis, terkadang aku iseng bikin sketsa. Menggambar tetap deh nggak bisa ditinggalkan :)

Lukisanku untuk lomba ilustrasi majalah Story. Nggak menang sih ^_^

Untuk ilustrasi buku anak ^_^

Ehm ...
Saat ngefans sama Spiderman ^_^
Nah, kalau sekarang, aku lebih fokus menjadi penulis novel. Ini beberapa novel dan bukuku yang sudah terbit. Ada yang diterbitkan Zettu, DeTeens, Grasindo dan Adibintang. Tahun ini akan ada beberapa novelku yang terbit di penerbit idamanku. Tunggu kabar selanjutnya yaaa ^_^

Novelku yang sudah terbit ^_^

My books ^_^


~ oOo ~