Laman

Tampilkan postingan dengan label Novel KOREA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Novel KOREA. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 Oktober 2014

Pesan yuk, Novel Arumi E. edisi bertandatangan

Buat teman-teman yang ingin koleksi novel karya Arumi E., sekarang bisa pesan langsung ke aku lho. Bonus tandatangan tentunya ^_^.

Oya, pengiriman buku dari Jakarta ya :)


Ini daftarnya yaa ...

Novelku yang terbit September 2015 : "Merindu Cahaya de Amstel"

Harga 66.000 diskon 10% jadi 59.000







Novelku yang terbit bulan Februari 2015, ELEANOR.
Ini seri amore yang super duper romantiiiis banget. Tapi tenang, walau romantis adegan-adegannya aman, tetap sopan :)

Harga 58.000 diskon 10% menjadi 52.000.








PertemuanJingga 

Harga 63.000, diskon 10% menjadi 56.000. Belum termasuk ongkos kirim yaa ^_^. Boleh pesan kata mutiara atau buat hadiah orang terkasih :)








Unforgotten Dream

Harga Rp 39.800. diskon 10% menjadi 35.000. Belum termasuk ongkos kirim yaaa ^_^





Hatiku Memilihmu, penerbit Gramedia, terbit 2014
Harga 53.000 diskon 10% menjadi 47.000





























Monte Carlo, penerbit Gagas Media, terbit 2014
Harga 55.000 diskon 10% 49.000





























Cinta Valenia, penerbit Elex Media, terbit 2014
Harga 43.800 diskon 10% 39.000
























Amsterdam Ik Hou Van Je, penerbit Grasindo, terbit 2013
Harga 51.000 diskon 10% menjadi 45.000





























Longest Love Letter, penerbit Grasindo, terbit 2013
Harga 47.000 diskon 10% menjadi 42.000






























JOJOBA, penerbit DeTeens (imprint Diva Press), terbit 2013
Harga 40.000 diskon 10% menjadi 36.000






























Bagi yang berminat, kirim saja email pemesanan ke rumieko@yahoo.com yaa.

Terima kasih teman-teman ^_^


Senin, 21 Oktober 2013

Korean Story : Sweet Sonata (2)

Selamat hari senin teman-teman ...
Kali ini aku mau berbagi cuplikan dari novelku yang berjudul "Sweet Sonata". Ini novel cerita Korea yang aku tulis dengan nama pena Karumi Iyagi.

Selamat membaca yaaa... semoga suka ... ^_^

Cover Novel Sweet Sonata karyaku ^_^

Sweet Sonata
Penulis  Karumi Iyagi (Arumi E)

Bab 7
Heartbeat


Shin Hye terbelalak saat melihat siapa yang harus ia rias. Rasanya ia ingin berbalik pergi saat itu juga. Tapi sudah terlambat, ia tak bisa mundur lagi. Selain itu ia sangat membutuhkan pekerjaan ini. Tepatnya, ia sangat membutuhkan honor dari pekerjaan ini yang jumlahnya lumayan besar. Jauh lebih besar dari gajinya dulu saat bekerja di salon kecantikan.

Shin Hye menghela napas perlahan. Mencoba bersikap tenang. Ia maju mendekati lelaki muda berwajah rupawan itu. Pemuda itu sudah siap duduk di depan meja rias. Ia belum melihat kedatangan Shin Hye, masih sibuk membolak-balik sebuah majalah.

“Ehem, maaf, bisakah saya mulai sekarang?” tanya Shin Hye dengan suara terdengar agak gugup.
Pemuda  itu mengangkat wajahnya dan melihat ke arah cermin. Dalam cermin terpantul bayangan Shin Hye yang berdiri di belakangnya. Kening pemuda itu berkerut. Ia mempertajam penglihatannya, lalu segera menoleh ke arah Shin Hye.

“Sepertinya aku pernah melihatmu,” sahut pemuda itu.
Shin Hye mengalihkan pandangannya, enggan beradu pandang dengan pemuda itu.

“Ah, tidak…maaf, bisa saya mulai sekarang? Tuan Byun Ji Min meminta aku segera menata rambut anda,” kata Shin Hye berusaha mengalihkan perhatian lelaki itu.
“Baiklah. Tunjukkan kemampuan terbaikmu,” sahut pemuda itu lagi, kemudian ia merilekskan duduknya.

Shin Hye mengutuk dirinya sendiri. Ia mengakui dirinya memang keterlaluan. Mengapa ia baru tahu pemuda yang ia rebut minumannya siang tadi, adalah personil BLAST yang terkenal itu. Padahal banyak sekali poster BLAST di kamar adiknya, tapi ia tidak menyadari salah satu personil boyband idola adiknya itu di antaranya adalah pemuda ini. Bahkan Shin Hye belum tahu nama pemuda ini adalah Jungkyu, leader boyband BLAST.

“Jangan-jangan aku gadis paling bodoh di Korea Selatan,” pikir Shin Hye.

Ia tersenyum sendiri membayangkan jika adiknya mengetahui kebodohannya ini. Ia bisa mengira adiknya akan berkomentar apa.

“Kau memang gadis kuper dan ketinggalan jaman, Eonni!”
Pastilah adiknya akan meneriakinya seperti itu.

“Mengapa kau tersenyum geli sendiri? Apakah ada yang lucu? Apakah bentuk telingaku aneh?” tanya Jungkyu tiba-tiba, lalu sibuk memegang telinganya dan melihatnya melalui pantulan cermin.

Shin Hye tersentak kaget mendengar pertanyaan Jungkyu. Ia tersenyum malu.

“Maaf, tidak ada yang aneh dengan telinga anda. Maaf, saya hanya ingat adik saya,” jawab Shin Hye.
“Kenapa adikmu? Apakah adikmu lucu? Adikmu perempuan atau laki-laki?” tanya Jungkyu lagi malah semakin penasaran.

Shin Hye tak langsung menjawab. Ia tak mengerti mengapa pemuda ini masih bersikap baik padanya. Padahal tadi ia mengira Jungkyu akan memaki-makinya karena kejadian di mini market tadi siang. Apakah Jungkyu benar-benar lupa pernah bertemu dengannya?

“Adikku fans berat BLAST. Ia ingin sekali bisa menonton konser BLAST. Tapi aku tak punya uang untuk membelikannya tiket. Kalau ia tahu aku ada di sini merias salah seorang personil BLAST, ia pasti akan menjerit keras sekali,” jawab Shin Hye, ia kembali tersenyum geli karena membayangkan lagi bagaimana raut wajah adiknya.

“Ohya? Wah, sungguh kebetulan sekali. Pantas saja kau tertawa sendiri. Dan kau apakah fans BLAST juga? Atau jangan-jangan diam-diam kau anti-fan kami?” tanya Jungkyu.
“Anti-fan?” Sin Hye balik bertanya keheranan, tak mengerti maksud Jungkyu.
“Wah, kau juga tidak tahu tentang anti-fan? Memangnya berapa sih umurmu?” tanya Jungkyu yang sebaliknya, merasa heran melihat ketidak-tahuan Shin Hye. Padahal sepertinya Shin Hye masih terlihat muda. Ia taksir usianya tak akan lebih dari 23 tahun.

“Hei, apa maksud pertanyaanmu itu? Memangnya kalau aku tidak tahu tentang anti-fan artinya aku sudah berumur?’ sahut Shin Hye mulai menunjukkan sikap aslinya yang terbiasa tanpa basa-basi.

Kali ini Jungkyu tertawa kecil melihat reaksi Shin Hye. Ia tahu Shin Hye. Ia tak akan pernah melupakan kejadian di mini market tadi. Dalam hidupnya selama ini, baru kali itu ada seorang gadis yang merebut minumannya begitu saja, meminumnya di hadapannya, kemudian mengembalikan kaleng yang sudah kosong kepadanya. Selama ini tak ada satu gadis pun yang pernah ditemuinya berani berbuat begitu kepadanya. Dan kini, setelah sejak tadi gadis itu terlihat mencoba menjaga sopan santun yang sangat berbanding terbalik dengan sikapnya saat di mini market tadi siang, sekarang ia mulai menunjukkan sifat aslinya.

“Karena setahuku, tak ada gadis remaja di Korea Selatan ini yang tidak tahu tentang K-pop. Kalau bukan fans, biasanya menjadi anti-fan sebuah grup boyband atau girlband,” jawab Jungkyu menarik ujung bibir kanannya ke atas.

“Jangan kau samakan semua gadis remaja di Korea Selatan ini,” sahut Shin Hye bernada sedikit ketus.

“Kalau kau tidak tahu, itu artinya kau bukan remaja lagi,” ucap Jungkyu tak mau kalah.

Shin Hye tak menyahut lagi. Ia memang sudah bukan remaja lagi. Usianya sudah 22 tahun, itu sudah tergolong bukan remaja lagi. Tapi ia tentu saja tergolong masih gadis belia.

“Benar kan? Kau sudah bukan remaja lagi?” tanya Jungkyu seolah butuh penegasan.
“Kalau aku masih remaja, aku tak mungkin sudah menjadi penata rias profesional seperti sekarang. Dandanan kalian aneh. Kalian benar-benar tak tahu gaya rambut yang elegan itu seperti apa.” jawab Shin Hye, lalu tersenyum sinis.

Jungkyu malah membalas senyum sinis Shin Hye itu dengan tertawa senang.

“Aku suka sekali dengan jawabanmu. Cerdas sekali! Dewasa sekali! Kau pasti sudah 아줌마 ahjumma ya? Ahjumma, silakan tunjukan riasanmu yang profesional. Aku tak keberatan di make over menjadi lebih elegan!” sahut Jungkyu sambil nyengir lebar.

Shin Hye seketika cemberut. Dia dipanggil ahjumma? Keterlaluan!

“Hei, aku baru 22 tahun!” seru Shin Hye gemas.
“Ah, sungguhkah? Tapi kau seperti sudah dewasa sekali,” sahut Jungkyu masih saja tersenyum geli.
“Aku memang tidak seperti gadis belia lain yang mau buang-buang waktu tergila-gila pada personil-personil boyband,” ucap Shin Hye dengan wajah dingin.

Jungkyu sedikit tersentak mendengar pernyataan Shin Hye itu. Berani sekali gadis ini berkata seperti itu di depannya, padahal gadis itu tahu Jungkyu adalah salah satu personil boyband. Tapi Jungkyu tak bisa berkomentar apa-apa lagi karena Shin Hye menyuruhnya tak bergerak.

“Model rambutmu jelek sekali. Aku akan menggantinya dengan model yang spektakuler,” ucap Shin Hye sambil seenaknya saja mengaduk-aduk rambut Jungkyu yang sepanjang tengkuk dengan poni yang juga panjang hingga menutupi separuh matanya.

“Baiklah, silakan kau ubah model rambutku menjadi spektakuler. Tapi harus benar-benar spektakuler, jika semakin jelek, kau akan aku tuntut!” sahut Jungkyu.

Shin Hye hanya tersenyum sinis. Lalu tanpa banyak bicara ia mulai bekerja. Tanpa disadari oleh Shin Hye, Jungkyu diam-diam memerhatikannya melalui pantulan bayangannya di cermin. Jungkyu masih penasaran dengan sikap Shin Hye yang dingin. Gadis itu masih muda. Baru 22 tahun. Ini pertama kalinya ia bertemu seorang gadis yang bersikap dingin saat melihatnya. Ia tahu, tidak semua gadis Korea Selatan menyukainya. Tetapi Shin Hye sangat keterlaluan sikap dinginnya. Benar-benar tampak tak terkesan sedikit pun pada Jungkyu.

Sesekali Jungkyu melirik Shin Hye masih melalui bayangan Shin Hye dalam cermin. Di mata Jungkyu, gadis itu lumayan manis. Rambutnya yang hitam, tebal dan ikal sepanjang bahu dibiarkan terurai, hanya dijumput sedikit dari bagian kanan kirinya lalu di jepit. Anak rambutnya cukup banyak, berjejer rapi menutupi sebagian dahinya yang datar. Mata gadis itu bagus, dengan bulu mata yang lumayan panjang dan lentik. Ia tak memakai riasan sedikit pun. Alisnya lumayan tebal dan bagus bentuknya, entah apakah ia rapikan atau secara alami terbentuk indah seperti itu. Tapi bagi Jungkyu, sebagai seorang penata rias, penampilan Shin Hye terlalu sederhana. Apakah gadis itu hanya merias orang lain dan tak pernah merias wajahnya sendiri? Gadis itu memang cantik alami. Jungkyu membayangkan, pasti akan jauh lebih cantik jika gadis itu merias sedikit wajahnya.

Shin Hye masih sibuk mengatur rambut Jungkyu. Ia memotong rambut Jungkyu yang sepanjang tengkuk itu hingga di atas pangkal leher. Di atas pelipis sebelah kiri rambut Jungkyu ia pangkas hingga tersisa satu sentimeter saja panjangnya. Sementara yang sebelah kanan dibiarkan sedikit lebih panjang. Rambut bagian depan juga ia potong sedikit lebih pendek. Kemudian Shin Hye mewarnainya dengan warna brown bronze. Potongan rambut Jungkyu menjadi jauh berbeda dengan semula. Rambutnya menjadi terlihat lebih cemerlang. Jungkyu merasa takjub dengan hasilnya. Ia merasa puas.

“Keren juga,” komentar Jungkyu sambil melihat lagi potongan rambutnya di cermin.
Shin Hye hanya menanggapi biasa komentar Jungkyu yang berarti pujian itu.
“Lalu, kapan kau siap dirias?” tanya Shin Hye.
“Nanti tepat jam enam sore. Sekarang kau harus menata rambut rekan-rekanku yang lain,” jawab Jungkyu sambil tersenyum jahil.

“Personil yang lain juga?” tanya Shin Hye sedikit terbelalak.
“Tentu saja! Tugasmu menjadi penata rias dan rambut semua personil BLAST, bukan hanya aku. Silakan kau tangani empat temanku yang lain. Aku ingin istirahat dulu,” jawab Jungkyu lalu ia bangkit dari duduknya.
“고마워요 Gomawoyo (Terima kasih), hasil kerjamu tak mengecewakan,” kata Jungkyu lagi sambil menepuk pundak Shin Hye, lalu melenggang pergi dengan santai.

Shin Hye menghela napas panjang. Sebenarnya ia lelah sekali dan belum sempat makan. Tetapi sepertinya ia harus menunda lagi makan siangnya dan menyelesaikan dulu tugasnya. Jungkyu yang sudah berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja berbalik kembali menghadap Shin Hye.

“Ngomong-ngomong, siapa namamu? Kau sudah mengacak-acak rambutku tapi aku belum tahu siapa namamu,” tanya Jungkyu.
“Aku Jun Shin Hye,” jawab Shin Hye singkat.
“Hm, okay, dan kau sudah tahu namaku, kan?” tanya Jungkyu lagi.

Shin Hye tak langsung menjawab. Ia tampak tertegun selama beberapa saat.

“Mmm…eeeh, sebenarnya…aku tidak tahu namamu siapa. Memangnya aku harus sudah tahu siapa namamu? Sejak tadi kau belum menyebutkan namamu siapa,” jawab Shin Hye dengan polosnya.

Jungkyu tampak terkejut. Tanpa bisa ia cegah, matanya sedikit membelalak.

“Kau tidak tahu namaku siapa? Kau bertugas mengacak-acak rambutku tapi kau tak tahu siapa namaku?” tanya Jungkyu dengan pandangan gusar.
“Maaf…aku bukan penggemar boyband. Aku pernah melihat poster BLAST di kamar adikku. Tapi aku tak tahu siapa nama-nama personilnya,” jawab Shin Hye, wajahnya tampak ragu.
“Dan kau juga tidak mengenali aku? Keterlaluan sekali! Kau benar-benar ketinggalan jaman!” sahut Jungkyu menahan rasa keki, lalu ia segera berbalik dan melangkah pergi.

Kali ini ia tak kembali lagi sampai kemudian datang pemuda lain ke ruang rias itu.

“Annyeonghaseyo…halo…” seru seorang pemuda yang masuk dengan tiba-tiba.

Pemuda itu nyengir lebar sekali. Tak lama muncul pemuda lain yang datang langsung menubruk pemuda pertama. Lalu datang dua orang lagi. Shin Hye melongo melihat keempat pemuda itu. Mereka adalah Baek Hyun Jae, Park Ji Hyuk, Kim Sung Hyun dan Ha Doya. Pandangan Shin Hye langsung saja mengarah pada rambut keempat pemuda itu. Model rambut semua pemuda itu sungguh hancur berantakan. Setidak-tidaknya begitulah menurut penilaian Shin Hye. Dan yang paling parah adalah model rambut Ha Doya, idola Min Hwa adiknya.

Shin Hye kembali menghela napas panjang, sebelum memulai pekerjaannya menangani rambut keempat pemuda itu satu persatu. Ternyata keempat personil BLAST yang sedang populer dan banyak digilai gadis-gadis remaja itu sama saja seperti anak muda seusia mereka pada umumnya, seringkali bersikap konyol dan hobi saling meledek.

Ha Doya mendapat giliran paling akhir karena ia yang paling muda. Sambil menunggu giliran, ia sibuk memamerkan keahlian sulapnya dan memaksa Shin Hye melihatnya. Sementara Park Ji Hyuk sibuk memperlancar keahlian nge-rap-nya. Baek Hyun Jae paling usil. Ia senang mengganggu temannya yang rambutnya sedang ditata Shin Hye. Ia tak sadar bahwa keisengannya itu mengganggu konsentrasi Shin Hye.

Dengan tegas, terpaksa Shin Hye menegur Baek Hyun Jae. Anehnya Baek Hyun Jae menurut, lalu menghentikan keisengannya dan berganti sibuk mengutak-atik tablet-nya. Sedangkan Kim Sung Hyun ternyata sangat narsis. Ia sibuk memotret dirinya sendiri. Aneh sekali!

Keempat anak muda itu sungguh jauh dari tipe lelaki ideal idaman Shin Hye. Mereka ribut sekali dan tak berhenti saling meledek. Sikap mereka sangat tidak dewasa. Membuat Shin Hye semakin yakin dengan keputusannya tidak mengidolakan personil boyaband seperti mereka. Tipe lelaki idealnya tidak berubah, tetap yang mature tapi masih tampak cute seperti aktor Kang Ji Hwan idolanya.

Entah apakah ini keberuntungan atau kesialan. Jika gadis lain harus membeli tiket mahal hanya untuk melihat pemuda-pemuda itu bernyanyi dan menari dari kejauhan, saat ini Shin Hye bisa seenak-enaknya mengaduk-aduk rambut mereka. Tanpa sadar Shin Hye kembali tersenyum geli. Jika saja Min Hwa tahu apa yang ia kerjakan sekarang, adiknya itu pasti akan menjerit histeris.

oOo

Shin Hye meregangkan otot-otot punggungnya. Rasanya pegal sekali setelah menata rambut lima pemuda hanya dalam waktu empat jam. Ia masih punya waktu satu jam sebelum harus kembali bekerja merias wajah kelima personil BLAST. Ia menghilangkan penat dengan turun ke lobby. Mendekati mesin minuman kaleng yang tersedia di salah satu sudut ruangan. Ia memasukkan sebuah koin dan memilih minuman soda favoritnya. Tetapi belum sempat Shin Hye mengambil kaleng minuman yang keluar dari mesin itu, terulur tangan seseorang mendahuluinya mengambil kaleng minuman itu.

Shin Hye tercengang. Matanya mengikuti ke mana arah minuman kaleng itu berpindah. Sosok yang mengambil minuman kaleng yang dibelinya itu, tanpa rasa bersalah menarik tutupnya, lalu langsung menenggak isinya hingga habis. Kemudian mengembalikan kaleng yang sudah kosong kepada Shin Hye.

“Sebagai ganti minuman kalengku yang tadi siang kau rebut tanpa sopan santun,” bisik Jungkyu sambil tersenyum jahil.

Lalu ia berbalik dan melangkah santai meninggalkan Shin Hye yang masih terbengong-bengong tak mampu berkomentar. Tapi baru berjalan lima langkah, Jungkyu berhenti lalu berbalik.

“Oh ya, nanti malam sesudah konser BLAST, aku akan mentraktirmu makan malam,” ujarnya pada Shin Hye sambil mengedipkan mata kirinya.

Lalu Jungkyu berbalik lagi dan melanjutkan langkahnya menjauhi Shin Hye. Shin Hye semakin melongo melihat tingkah Jungkyu tadi. Kemudian tanpa sadar ia tersenyum geli, lalu ia masukan satu koin lagi ke mesin minuman kaleng itu. Jelas, Jungkyu tidak lupa dengan sikap tidak sopan Shin Hye di mini market siang tadi. Dan Jungkyu telah sukses membalas Shin Hye. Saat ini, skor mereka satu sama.

oOo

Ingin tahu lanjutannya? Beli bukunya yaa ... Bisa pesan online di    : http://www.kutukutubuku.com/2008/open/37120/sweet_sonata

Terima kasih teman-teman ^_^

Oya, baca juga yuk, novel-novel karyaku yang lainnya.

Novel cerita Korea karyaku
dengan nama pena Karumi Iyagi


Karyaku dengan nama asli Arumi E ^_^

Kamis, 26 September 2013

Korean Story : Four Seasons Of Love (2)

Annyeonghaseyo teman-teman penyuka cerita Korea.

 Kali ini aku ingin berbagi salah satu bab dalam novel "Four Seasons Of Love"




Ini adalah novel Korean Story karya Karumi Iyagi nama penaku untuk novel cerita Korea.
Silakan membaca ... ^_^

Four Seasons Of Love
Penulis : Karumi Iyagi (Arumi E)

Bab 4
Autumn Love

Musim panas telah berakhir. Musim gugur sudah mulai memperlihatkan ronanya. Dedaunan mulai berubah warna menjadi kuning keemasan. Beberapa berwarna merah tembaga. Memberi nuansa pemandangan yang berbeda dari musim sebelumnya. Penuh warna, semarak namun romantis. Udara pun mulai terasa lebih dingin dari biasanya.

Yu Ri mengancing cardigan rajutnya yang berwarna hijau tosca cerah, agar tubuhnya terasa lebih hangat. Ia baru saja menjejakkan kaki di Kota Gyeongju. Hari ini Yu Ri menepati janjinya pada Ji Seok. Ia sengaja datang untuk merayakan ulang tahun Ji Seok yang ke tujuh belas. Walau hari ulang tahun Ji Seok tepatnya sudah lebih dari seminggu yang lalu, tetapi Yu Ri baru sempat datang sekarang. Selain itu mereka juga ingin merayakan kelulusan mereka dari Godeunghakgyo (senior high school).

Yu Ri lulus dengan gemilang. Dan punya rencana melanjutkan pendidikannya ke jurusan arsitektur. Tapi ia masih merahasiakan akan kuliah di kampus mana. Ji Seok juga berhasil lulus dengan sukses. Ia telah membuktikan sendiri tekad kuatnya membuahkan hasil. Membuat Ji Seok semakin yakin ingin meraih cita-citanya menjadi seorang ahli keuangan.
“Kuliah di universitas yang sama denganku, Yu Ri. Supaya kita bisa sering bertemu,” saran Ji Seok yang menjemputnya di terminal bus di tengah kota Gyeongju.

Yu Ri memandang senang ke arah Ji Seok yang terlihat semakin dewasa dan menawan. Apalagi sekarang usianya sudah tujuh belas tahun. Dua bulan lebih tua dari Yu Ri. Ji Seok terlihat berbeda dari biasanya. Lebih trendi. Mungkin karena ia melengkapi penampilannya dengan jaket kulit berwarna coklat tua yang tampak masih baru.

“Kau yakin akan diterima di jurusan ekonomi Universitas Korea? Itu adalah salah satu kampus terbaik di Korea. Tidak mudah masuk ke sana,” ledek Yu Ri.
“Aku harus bisa. Itu sudah cita-citaku. Setelah lulus, aku akan mencari kerja di Seoul,” sahut Ji Seok.
“Kau tidak mau tetap tinggal di Gyeongju? Menurutku hidup di sini lebih enak. Lebih tenang. Udara di sini juga lebih hangat. Gyeongju adalah tempat yang nyaman untuk tinggal,” kata Yu Ri.
“Kalau memang di sini nyaman, mengapa kau malah pindah ke Busan?” ledek Ji Seok.
“Karena aku lebih baik tinggal dengan bibiku. Lagipula aku harus tinggal di Busan karena kota itu lebih besar dari kota ini. Ada tempat yang secara teratur harus kukunjungi di sana dan tempat itu tak ada di sini,” jawab Yu Ri.

“Ah, aku sebal jika kau sudah mulai sok misterius. Aku tidak akan bertanya tempat seperti apa yang kau maksud itu. Percuma, kau pasti tak mau bilang padaku. Sepertinya itu semua hanya alasanmu untuk sengaja menghindar dariku,” tuduh Ji Seok dengan nada suara sedikit sebal,  lalu ia mengalihkan pandangannya dari Yu Ri.

Yu Ri malah tertawa geli.

“Aku takut bila terlalu sering bersamamu, Ji Seok,” sahut Yu Ri.
“Takut? Kenapa? Memangnya aku menakutkan?”
“Aku takut bosan,”
“Oh, jadi aku membosankan?”
“Bukan begitu maksudku, Ji Seok. Aku lebih suka tinggal di tempat yang jauh denganmu. Supaya sesekali aku bisa merasa kangen. Baru kemudian aku mencarimu. Jika kita terlalu sering bersama, pasti akan sulit sekali merasa kangen,” jawab Yu Ri.

Ji Seok mengerutkan keningnya. Alasan Yu Ri itu terdengar tidak masuk akal baginya.

“Baiklah, kita tidak usah satu kampus. Tapi kalau bisa kita sama-sama kuliah di Seol. Kau pandai, Yu Ri. Aku yakin kau pasti diterima jika mendaftar di Universitas Nasional Seoul. Bagaimana?” usul Ji Seok.

Yu Ri tersenyum misterus.

“Kita lihat saja nanti,” sahut Yu Ri.

Ji Seok hanya diam menahan rasa sebal.

“Sekarang, kita akan piknik ke mana?” tanya Yu Ri, berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

Ji Seok menghela nafas sedikit keras.

“Kita akan ke Taman Nasional Gyeongju. Di sana juga ada observatorium,” jawab Ji Seok beberapa saat kemudian.
“Ah ya, aku belum sempat ke sana,” sahut Yu Ri.
“Kau harus lebih memahami kota kelahiran orangtuamu ini, Yu Ri. Banyak tempat menarik dan bersejarah di kota Gyeongju,” kata Ji Seok.

Yu Ri mengangguk setuju. Ia tahu sedikit tentang sejarah Kota Gyeongju dari pelajaran sekolah. Tapi ia hanya sebentar tinggal di kota ini. Belum banyak tempat menarik yang dikunjunginya.

Dengan naik bus, Ji Seok mengajak Yu Ri menuju Daenungwon Royal Tombs, bukan untuk masuk ke dalamnya, tetapi Ji Seok ingin mengajak Yu Ri ke seberang jalan dari Daenungwon Royal Tombs. Awal bulan oktober ini, di tempat itu dirayakan Gyeongju Tteok & Sul Festival atau festival makanan dan minuman keras tradisional Korea. Yang juga dimeriahkan dengan berbagai pertunjukan budaya tradisional Korea.

Di bagian makanan, tersedia berbagai macam makanan tradisional khas Korea dengan harga yang cukup murah. Kebanyakan kue-kue tradisional Korea adalah rice cake yang berwarna-warni. Ji Seok membeli beberapa untuknya dan Yu Ri. Lalu mereka menikmati kue-kue itu sambil menyaksikan tarian tradisional Korea yang dipertunjukkan di tengah-tengah area festival.

Di bagian minuman keras, selain menjual jenis-jenis minuman keras tradisional, di festival ini juga didemonstrasikan bagaimana cara membuat rice wine khas Korea. Semua prosesnya dibuat secara tradisional dan tidak menggunakan bahan bakar atau listrik. Ada stand yang menjual tomato wine. Ji Seok menerima segelas yang diberikan penjaga stand untuk dicoba pengunjung. Tapi Yu Ri segera mencegahnya. Ia merebut gelas berisi wine itu lalu mengembalikannya kepada penjaga stand.

“Maaf, dia belum boleh minum alkohol. Masih di bawah umur,” ucap Yu Ri sopan.
“Yu Ri, tapi itu hanya tomato wine. Terbuat dari tomat,” bisik Ji Seok.
“Tidak boleh! Tetap saja itu mengandung alkohol. Dan kau masih kecil, tidak boleh minum minuman beralkohol,” ucap Yu Ri tegas.

Lalu ia menarik tangan kanan Ji Seok, membawanya menjauhi bagian minuman keras. Ji Seok mengikuti di belakang Yu Ri yang berjalan agak cepat

“Aku bukan anak kecil lagi, Yu Ri! Aku sudah mulai dewasa…” bantah Ji Seok.
“Tetap saja masih di bawah umur,” sahut Yu Ri.
“Yu Ri, aku kan baru saja ulang tahun yang ke tujuh belas,” bantah Ji Seok lagi.

Yu Ri berhenti sebentar. Lalu berbalik menghadap Ji Seok.

“Bukan berarti sudah tujuh belas tahun kau boleh minum alkohol,” ujar Yu Ri tegas. Ji Seok tertegun memandang wajah serius Yu Ri.
“Baiklah, jika menurutmu begitu…”sahut Ji Seok akhirnya.

Yu Ri tersenyum senang.

“Tadi kau bilang akan mengajakku ke sebuah observatorium?” tanya Yu Ri.
“Oh iya, kita jalan kaki saja. Tempatnya tidak jauh dari sini. Sebenarnya itu adalah observatorium tertua di dunia,” jawab Ji Seok.

Ia mulai melangkah meninggalkan area festival itu diikuti Yu Ri. Setelah tiga puluh menit berjalan kaki, akhirnya mereka sampai di Cheomseongdae Observatory. Bangunan yang mirip cerobong asap ini adalah salah satu tempat pengamatan astronomi tertua di dunia yang dibangun pada abad ke tujuh di masa kerajaan Silla berkuasa.

Ji Seok dan Yu Ri melihat-lihat di situ sebentar. Mengagumi peninggalan leluhur mereka dahulu. Setelah itu Ji Seok mengajak Yu Ri menuju Wolseong Forrest yang sangat indah terhampar luas di luar Cheomseongde Observatory.

Di musim gugur ini, daun-daun pepohonannya juga berubah warna. Kuning keemasan berpadu merah tembaga dan coklat terang. Entah mengapa, warna-warni dedaunan ini selalu saja memberi kesan yang berbeda. Nuansa magis dan romantis serasa menyelimuti hutan itu.

Ji Seok dan Yu Ri berhenti melangkah. Mereka beristirahat sejenak sambil menikmati pemandangan Wolseong Forest yang berpadu dengan Rape Flowers Complex di tepinya. Suasana di tempat itu terasa sangat damai. Setelah cukup beristirahat, Ji Seok dan Yu Ri melanjutkan perjalanannya menyusuri jalan kecil yang membelah Wolseong Forrest.

Di seberang Wolseong Forrest terdapat Anapji Pond, yaitu kolam buatan dengan tiga pulau yang terlihat sangat indah. Di atas kolam ada bangunan tradisional Korea dihiasi lampu-lampu yang ditata sedemikian rupa. Lampu-lampu itu akan dinyalakan saat hari sudah menjelang malam. Ji Seok mengajak Yu Ri duduk di tepian kolam itu untuk menikmati indahnya pemandangan.

“Yu Ri, apakah aku sudah bilang padamu kalau nilai ujian matematikaku mendapat nilai delapan dan bahasa Inggrisku mendapat nilai delapan juga?” tanya Ji Seok.

Yu Ri menoleh, menatap Ji Seong dengan ekspresi wajah ikut senang.

“Oh ya? Wah, kau hebat sekali. Aku memang sudah yakin kau pasti bisa. Aku kan yang sudah mengajarimu,” jawab Yu Ri.

Ji Seok tertawa ringan.

“Dan kau pasti ingat dengan janjimu, kan? Kau pasti tak akan ingkar janji, kan?” tanya Ji Seok lagi.
Pandangan Yu Ri tampak kebingungan.
“Janji apa? Apakah aku pernah berjanji akan memberimu hadiah?” Yu Ri balik bertanya.

Ji Seok menghela nafas sambil memandang Yu Ri dengan gemas.

“Kau berjanji, jika aku lulus sekolah dengan nilai matematika dan bahasa Inggris bagus, kau akan menerimaku sebagai pacarmu kan?” ucap Ji Seok mengingatkan.
Yu Ri tampak sedikit tersentak, lalu tersenyum lebar. Ia ingat janji itu.

“Sebenarnya, andaikan nilai matematika dan bahasa Inggrismu jelek, atau kau tidak lulus sekali pun, aku tetap menerimamu sebagai pacarku, Ji Seok. Karena 사랑해 saranghae (aku mencintaimu) juga. Ji Seok, kau adalah 첫사랑 cheossarang (cinta pertama) bagiku,” sahut Yu Ri.

Ji Seok memandangi Yu Ri tak percaya. Kemudian ia tersenyum.

“Ah, aku memang sudah menduga kau naksir aku juga. Selama ini kau hanya pura-pura jual mahal dan mengerjaiku saja. Yu Ri, dari dulu aku mencintaimu, kau juga 첫사랑 cheossarang (cinta pertama) bagiku,” kata Ji Seok dengan raut wajah tampak senang sekali.

Ji Seok mengulurkan tangannya ingin meraih jemari Yu Ri. Tapi Yu Ri buru-buru menghindar.

“Yu Ri…”
“Kita jadian, bukan berarti boleh pegang-pegangan,” kata Yu Ri.
Ji Seok melongo.
“Hah? Tidak boleh pegangan tangan? Terus, buat apa kita pacaran?”
“Memangnya pacaran harus pegang-pegangan tangan? Sori ya, aku bukan perempuan sembarangan,” jawab Yu Ri.

Tiba-tiba saja ia bangkit berdiri dari duduknya. Lalu ia berbalik dan melangkah meninggalkan Ji Seok. Ji Seok tertegun sesaat, sebelum akhirnya ikut bangkit berdiri dan setengah berlari ia mengejar langkah Yu Ri.

“Yu Ri!” panggil Ji Seok sambil meraih lengan kanan Yu Ri.
Yu Ri tersentak kaget.
“Ji Seok! Aku bilang jangan pegang aku! Lepaskan tanganmu dariku! Kalau tidak…”
“Kalau aku tidak mau melepasmu, kenapa Yu Ri?”
“Lebih baik kita putus!”

Ji Seok menatap Yu Ri seolah tak percaya dengan pendengarannya.

“Putus? Tapi kita baru jadian beberapa menit lalu…”
“Karena itu, lepaskan tanganmu dariku dan jangan berani-berani menyentuhku lagi.”

Ji Seok menatap Yu Ri tak mengerti. Tapi melihat wajah serius Yu Ri, ia segera melepaskan tangannya dari lenganYu Ri.

“Yu Ri, apa salahnya hanya pegangan tangan? Sesekali sebagai pacar, pasti aku ingin juga berjalan bergandeng tangan denganmu.”
“Kita tak perlu begitu,”
“Tapi kalau sesekali aku ingin, aku boleh menciummu, kan?” tanya Ji Seok lugu.
Yu Ri mendelik.
“Jangan pernah terlintas di kepalamu niat seperti itu sedikit pun! Kalau kau nekat melakukannya, lebih baik aku tak mengenalmu lagi!” ucap Yu Ri dengan suara tegas.

Ji Seok semakin kebingungan. Yu Ri belum berubah. Ia tetap seperti dulu. Takut sekali bersentuhan dengan orang lain. Seolah ia memiliki trauma tertentu yang membuatnya anti bersentuhan dengan orang lain.

“Kau tidak berubah, Yu Ri. Tetap saja galak.”
“Memang harus galak menghadapi kamu, Ji Seok. Karena kau keras kepala.”
“Kau sendiri juga keras kepala,” sahut Ji Seok tak mau kalah.

Mereka masih saling berbantah hingga waktunya kembali pulang. Ji Seok mengantar Yu Ri pulang ke rumah neneknya. Kali ini waktu kunjungan Yu Ri lebih lama. Hari minggu besok ia baru berencana pulang ke Busan.

Sepanjang jalan Ji Seok berusaha menggandeng tangan Yu Ri. Ia membayangkan pasti romantis sekali berjalan kaki menuju bukit sambil menggandeng tangan kekasihnya. Tapi Yu Ri selalu mengelak tiap kali Ji Seok ingin meraih tangan Yu Ri. Membuat Ji Seok gemas, tapi akhirnya ia capek sendiri dan berhenti berusaha menggandeng Yu Ri.

Langit mulai gelap. Menjelang musim dingin, memang seringkali Kota Gyeongjo diguyur hujan. Ji Seok dan Yu Ri tak ada yang membawa payung. Hingga akhirnya hujan benar-benar turun, sementara rumah nenek Yu Ri masih jauh.

“Seharusnya kau bawa jas hujanmu yang berwarna pink dulu,” ledek Ji Seok.

Yu Ri hanya mencibir, lalu berjalan cepat meninggalkan Ji Seok. Ia menutupi atas kepalanya dengan tasnya. Tapi sepertinya percuma karena hujan turun semakin deras. Ji Seok mengejar Yu Ri. Lalu melepas jaket kulitnya dan menaungi kepala Yu Ri dengan jaketnya itu, tak peduli ia sendiri kebasahan.

“Ji Seok, apa yang kau lakukan?” tanya Yu Ri terkejut dengan tindakan Ji Seok yang tiba-tiba ini.
“Melindungimu supaya tak kehujanan,” jawab Ji Seok sambil tersenyum lebar.
“Lindungi juga kepalamu,” sahut Yu Ri.

Ia menarik tubuh Ji Seok merapat ke tubuhnya. Berganti Ji Seok yang terkejut tak mengira Yu Ri akan berbuat begitu. Yu Ri ikut memegangi jaket Ji Seok hingga menutupi atas kepala keduanya yang kini menempel satu sama lain. Ji Seok melirik ke arah kepala Yu Ri yang kini benar-benar menempel di samping kiri kepalanya. Ia meraih tangan Yu Ri, menggenggam jari jemarinya erat-erat. Hujan turun semakin deras. Jaket Ji Seok tak mampu melindungi tubuh mereka lebih lama dari terpaan air hujan. Dalam sekejap keduanya sudah basah kuyup.

Ji Seok kembali melirik Yu Ri yang tampak sedikit menggigil. Ingin sekali ia menghangatkan tubuh Yu Ri. Ji Seok merangkul tubuh Yu Ri dan merapatkannya ke tubuhnya. Yu Ri tak menolak. Ia biarkan Ji Seuk berbuat begitu. Ji Seok merasakan tubuh Yu Ri sangat dingin.

“Kau kedinginan Yu Ri?” tanya Ji Seok.

Langkah mereka mulai terseok-seok karena jalanan yang semakin licin. Yu Ri mengangguk perlahan, membuat iba Ji Seok yang melihatnya.

“Sebaiknya kita mencari tempat berteduh,” kata Ji Seok sambil matanya menatap sekelilingnya mencari-cari tempat yang bisa dipakai untuk sedikit berteduh dari curahan hujan yang semakin lebat.
“Di mana?” tanya Yu Ri dengan suara bergetar karena tubuhnya yang gemetar.

Ji Seok juga tak tahu di mana. Jalan menuju bukit tempat tinggal nenek Yu Ri masih panjang dan jauh, tak dilihatnya ada tempat berteduh dalam jangkauan pandangannya. Sekali lagi Ji seok melirik ke arah Yu Ri, memantau keadaannya. Bibir Yu Ri yang biasanya berwarna merah muda alami, kini terlihat membiru dan bergetar karena kedinginan. Wajah Yu Ri tampak sangat pucat. Baru kali ini Ji Seok melihat wajah Yu Ri sepucat itu.

Hujan masih enggan berhenti. Sekarang bahkan mulai disertai suara gemuruh. Tiba- tiba saja muncul kilat sangat terang membelah langit, disusul suara menggelegar. Suara itu mengejutkan Yu Ri, tanpa sadar ia melompat ke depan Ji Seok, merapatkan tubuhnya di dada Ji Seok, seolah ingin bersembunyi di sana. Ji Seok terhenyak, tak menduga sama sekali gerakan tiba-tiba Yu Ri itu.

“Ah, kau masih saja takut petir ya?” ucap Ji Seok sambil tersenyum.

Ia mempererat pelukannya. Ia biarkan hangat tubuhnya menjalar ke tubuh Yu Ri. Mereka tak bisa berteduh di bawah pohon. Karena petir masih saja muncul bersusulan. Yu Ri membenamkan wajahnya ke dada Ji Seok. Ji Seok tersenyum geli. Yu Ri yang sebelumnya galak, kini terlihat bagai putri lemah yang butuh perlindungannya. Membuat Ji Seok merasa menjadi heroik.

Lama mereka saling peluk di bawah hujan. Tubuh keduanya semakin dingin. Tapi Ji Seok merasakan tubuh Yu Ri lebih dingin. Ia menyentuh pipi Yu Ri, lalu memegangnya dengan kedua tangannya. Mata Yu Ri terpejam. Wajahnya pucat sekali. Bibirnya semakin biru. Ji Seok dilanda panik.

“Yu Ri, kau masih sadar, kan? Jangan pingsan di sini…” ucap Ji Seok cemas sambil sedikit mengguncang tubuh Yu Ri.

Yu Ri masih berdiri tegak, tapi tubuhnya menggigil hebat. Ji Seok segera merangkul Yu Ri erat dan membawanya melangkah perlahan. Ji Seok merasakan tubuh Yu Ri semakin lemah, wajahnya semakin pucat. Entah mengapa Ji Seok terpikir untuk mencium bibir Yu Ri, ia berharap itu akan membuat Yu Ri merasa sedikit hangat. Dan keputusannya tidak salah. Yu Ri tersentak bangun saat merasakan ada kehangatan di bibirnya…

~ oOo ~

Yang ingin tahu kisah selanjutnya, baca saja novelnya yaa ...
Bukunya bisa dibeli via online di :  http://www.bukukita.com/Buku-Novel/Drama/105184-Four-Seasons-of-Love-(Korean-Story).html

Terima kasih teman-teman  ^_^

Sabtu, 14 September 2013

Novel Korea : Longest Love Letter (PSA Pilihan GRASINDO)


Annyeonghaseyo teman-teman....

Kabar gembira di bulan September.

Telah terbit novel terbaru karya Arumi E.

Novel "Longest Love Letter", pembatas bukunya cute, kuning cerah juga ^_^


Inilah naskahku yang berhasil terpilih dalam 31 karya yang layak diterbitkan dalam ajang PSA (Publisher Searching for Author) yang diselenggarakan Penerbit Grasindo.

Yuk, beli dan baca yaaa... ceritanya romantisssss ^_^







Judul : Longest Love Letter
Penulis : Arumi E
Penerbit : Grasindo Publisher
Tebal : 288 halaman
Harga : Rp 47.000
Genre : romance Korean Story

Sinopsis:

“Kau mengingatkanku pada seseorang,” ucap Ryu Jin Soo.

Gadis itu, dengan latar belakang rumah mungil di ujung hamparan bunga canola kuning. Ryu Jin Soo merasa mengenalnya. Cara gadis itu tertawa, cara gadis itu bicara, bahkan cara gadis itu menggigit-gigit tusuk gigi hingga pipih seusai makan, mengingatkan Ryu Jin Soo pada Jang Mi Ra, kekasih masa remajanya. Tetapi gadis itu sama sekali bukan Jang Mi Ra, dia adalah Jo Eun Hye, artis papan atas Korea Selatan, yang sedang dekat dengan lawan mainnya, aktor Lee Jun Pyo.

Jo Eun Hye yang diombang-ambing perasaannya antara Ryu Jin Soo dan Lee Jun Pyo. Penulis novel best seller dan aktor idamannya. Ada rasa bersalah tiap kali ia memandang Ryu Ji Soo, ada rasa tak yakin saat ia menatap Lee Jun Pyo. Ada kisah gelap masa lalu yang ia sembunyikan dari keduanya. Sampai kemudian ia sadar, harus jujur pada salah satunya, menceritakan siapa dirinya sebenarnya, seusai ia membaca Longest Love Letter, novel terbaru Ryu Jin Soo.

Novel itu bagai surat cinta terpanjang yang pernah ia baca. Sayangnya, surat cinta itu bukan untuknya, melainkan untuk Jang Mi Ra yang kini entah berada di mana. Ryu Jin Soo berharap, kekasihnya yang telah lama hilang itu membaca ungkapan perasaannya dan menyadari ia masih menunggu di tempat yang sama, di hamparan bunga canola kuning dengan rumah mungil di ujungnya.

"Missing You" G-Dragon menjadi salah satu inspirasi 
kisah dalam novel ini 

Salah satu ilustrasi dalam novel "Longest Love Letter"
yang cute, ini Kim Hye Ri yang ngefans berat sama Pororo ^_^

Cuplikan Novel "Longest Love Letter"

“Jo Eun Hye! Lee Jun Pyo mencarimu. Ia ingin bertemu denganmu. Katanya ada hal penting yang ingin ia sampaikan padamu,” kata Han Seung Yi lagi.
“Jun Pyo?” tanya Jo Eun Hye dengan mata terbelalak.

Sejak kemarin ia memang sengaja mematikan ponselnya karena sedang tak ingin diganggu siapa pun. Pagi ini ia lupa belum menyalakan kembali ponselnya. Ia segera meraih tasnya, lalu mengambil ponselnya dan mengaktifkannya kembali. Benar saja, beruntun belasan sms masuk. Dan semuanya dari Lee Jun Pyo! Tak sabar Jo Eun Hye membacanya satu persatu.

“Kau di mana Eun Hye? Bisakah kita bertemu? Aku ingin bicara denganmu,”
“Eun Hye, kau belum membalas sms-ku,”
“Eun Hye!!!!”
“Eun Hye….kau pingsan ya?”
“Eun Hye, apakah kau diculik?”
“Eun Hye…kau mulai membuatku putus asa,”
“Eun Hye, jika kau tidak membalas sms-ku dalam lima menit, aku akan…”
‘EUN HYEEEEE….”
“Eun Hye, ayah dan ibuku ingin mengundangmu makan malam di rumah mereka,”
“Eun Hye, manajermu bilang kau ada di Jeju? Sedang apa kau di Jeju? Apakah kau menemui Ryu Jin Soo? Kau tak boleh bertemu dengannya,”
“Eun Hye, Saranghaeyo…aku mencintaimu…”
“Eun Hye, aku akan menjemputmu ke Jeju,”
“Eun Hye, maukah kau menikah denganku?”

Tubuh Jo Eun Hye bergetar membaca semua sms dari Lee Jun Pyo itu. Ia tertawa sambil menangis. Ia begitu terharu. Mengapa ia bodoh sekali? Mengapa ia mematikan ponselnya semalam? Mengapa ia langsung kembali ke Seoul? Mengapa…?

“Han Seung Yi, Jun Pyo bilang dia mencintaiku…” ucap Jo Eun Hye dengan suara bergetar, wajahnya tersenyum tetapi matanya menangis bahagia.
“Aku memang sudah lama menduga kalian benar-benar saling mencintai,” sahut Han Seung Yi.
“Jun Pyo bilang ayah dan ibunya ingin mengundangku makan malam di rumah mereka,” kata Jo Eun Hye lagi dengan mata masih berkaca-kaca.
“Oh, itu bagus sekali, berarti ayah dan ibu Jun Pyo menyetujui hubungan kalian,” sahut Han Seung Yi lagi.
“Jun Pyo bertanya, maukah aku menikah dengannya?” kata Jo Eun Hye lagi, suaranya semakin bertegetar.

Kali ini Han Seung Yi tidak menyahut. Ia tersenyum lebar dan bertepuk tangan sekali.

“Jo Eun Hye, segeralah susul Lee Jun Pyo ke Jeju detik ini juga! Katakan kau bersedia menjadi istrinya!” teriak Han Seung Yi tak bisa menahan histeris ...

"Loving You" menjadi inspirasi 
adegan Jo Eun Hye saat menerima lamaran Lee Jun Pyo







“Novel yang memikat! Pembaca akan dibawa untuk menikmati keindahan Pulau Jeju lewat tokoh dengan racikan emosi yang pas, alur yang menarik, dan setting cerita cantik yang dikolaborasikan dengan ciamik oleh sang penulis. Very recommended!”
-@cayyicayyi Penulis buku travelling Lost in Korea, Lost in Japan, dan Lost in Raja Ampat & Sorong-

“Khas cerita romantis Korea yang mengangkat cinta segi empat. Dibungkus suasana romantis pulau Jeju, pembaca seakan dapat menvisualisasikan setiap suasana yang digambarkan penulis dalam novel ini. Cerdas memainkan emosi, menarik dan menghanyutkan.”
-Fridha Kusumawardani, admin @KangJiHwanIndo, Kang Ji Hwan Indonesia

“Longest Love Letter" benar-benar menunjukkan sisi lain dari kisah romantis, selalu ada alasan yang lebih baik ketika jalan takdir memutuskan dan memilih agar "dia" pergi dari hidup kita.”
– Pearlita, admin @SJELFindo, Super Junior = ELF Indonesia

“Lagu Missing You dari G-Dragon melengkapi kisah dalam novel ini, membuat pembaca seolah-olah sedang berada di Jeju dengan suasananya yang romantis. Swagga!”
- Afnilian Hosari @sariemegumi, founder Bigbang For Indonesia, @bigbangforindo

“Membaca novel ‘Longest Love Letter’ ini serasa menonton K-drama. Konflik perasaan tokohnya memikat. Kisah pencarian cinta sejati yang menemukan jawaban di akhirnya, tanpa melukai siapa-siapa.”
–Ervan Joniawan, pecinta drama Korea


Endorsement dari :
Sari, founder Bigbang For Indo,
Fridha, admin Kang Ji Hwan Indo.
Pearlita, admin Supe Junior-ELF Indonesia,
Cayi, penulis Lost in Korea,
Ervan, pecinta drama Korea
Waah, alhamdulillah, Longest Love Letter masuk ke rak buku laris di Gramedia Medan ^_^

Longest Love Letter ada di rak buku laris di Gramedia Medan ^_^


Me and my new novel

Amy, pembaca dari Bukittinggi, yang langsung memesan novel
"Longest Love Letter" begitu terbit. Makasih ya, Amy ^_^
@riztagumilar juga sudah beli dan baca "Longest Love Letter" loh.
Makasih ya Rizta ^_^
Devi Faradila juga beli dan baca
"Longest Love Letter"
Makasih ya Devi ^_^

Kamis, 12 September 2013

Korean Story : SARANGHAEYO (2)

Annyeonghaseyo...

Halo teman-teman ... terima kasih sudah berkenan berkunjung ke blogku yaaa...

Karena postinganku tentang novel "Saranghaeyo" menjadi entri paling populer di blogku ini, aku ingin memberi hadiah untuk pengunjung yang tertarik membaca novel "Saranghaeyo".

Aku mendapat kabar dari temanku yang hobi menulis fan fiction Korea, novelku ini banyak yang dicopy paste. Kalau ada yang pernah membaca fan fiction mirip seperti ini, inilah aslinya. Berasal dari novelku yang kutulis dengan nama pena Karumi Iyagi berjudul "Saranghaeyo". 

Baca yang aslinya aja ya teman-teman. Lebih seruuuu ^_^





Judul : Saranghaeyo, aku mencintaimu ....

Penulis : Karumi Iyagi, nama pena Arumi Ekowati

Bab 1

Betrayed

Cuaca hari ini cerah. Udara Kota Incheon terasa hangat di pertengahan bulan Juni. Sehangat hati Shin Hyo Ri. Sejak semalam ia tak sabar menunggu saat ini tiba. Hari ini, Jung Dong Hee akan pulang. Kekasihnya itu ditugaskan kantornya ke London untuk mendapat pelatihan manajemen toko modern selama dua bulan. Ia ingat pembicaraannya terakhir dengan Dong Hee, sebelum kekasihnya itu pergi. Dong Hee berjanji akan melamarnya sepulangnya dari sana. Hyo Ri sudah membayangkan indah dan romantisnya momen lamaran Dong Hee nanti, karena itu ia tak sabar menunggu pertemuannya dengan Dong Hee hari ini.

Pukul 14.50 KST (Korea Standard Time), tapi Hyo Ri belum juga melihat tanda-tanda kemunculan Dong Hee dari terminal kedatangan pesawat International di Incheon International Airport ini. Matanya mulai lelah sedari tadi memerhatikan setiap orang yang lalu lalang. Dalam emailnya terakhir dua hari lalu, Dong Hee bilang ia akan tiba hari ini pukul 13.45 KST di bandara ini. Mungkinkah Dong Hee berganti jadwal pesawat tanpa sepengetahuan Hyo Ri?

Sekali lagi Hyo Ri melihat papan digital pengumuman kedatangan pesawat. Korean Air dari London memang telah tiba sejak pukul 13.45 tadi. Tapi, di mana Dong Hee? Berkali-kali ia mencoba menghubungi ponsel Dong Hee, tetapi ponselnya itu tidak aktif. Apakah Dong Hee telah mengganti nomor ponselnya dengan nomor lokal Korea? Hyo Ri memutuskan masih ingin menunggu. Ia harus sabar. Ia telah menunggu dua bulan lamanya. Apalah artinya menunggu beberapa jam lagi. 

Beberapa jam lagi itu mulai menjadi berjm-jam yang meresahkan. Waktu telah menunjukkan pukul 19.35 KST. Dan masih belum ada tanda-tanda kehadiran Dong Hee. Tentu saja ini aneh sekali. Jika memang Dong Hee membatalkan kepulangannya hari ini, harusnya ia mengabarkannya kepada Hyo Ri. Sungguh keterlaluan Dong Hee membiarkannya menunggu selama ini tanpa kepastian. Tapi Hyo Ri sendiri adalah gadis yang keras kepala. Ia penasaran. Berharap pesawat Dong Hee hanya terlambat datang. Ia masih ingin menunggu. Mungkin satu atau dua jam lagi.

Hyo Ri pergi ke salah satu kafe di yang tersedia di dalam airport. Ia memesan segelas soju. Malam ini terasa dingin. Ia ingin menghangatkan tubuhnya sedikit. Pukul 21.25 KST. Hyo Ri menghela nafas panjang. Sepertinya penantiannya harus berakhir sekarang. Ia harus segera kembali ke Seol yang berjarak satu jam perjalanan dari Incheon. Sebelum pukul sepuluh malam, masih ada Airport Express Train menuju Seoul.

“Dong Hee, apa maksudmu menelantarkan aku seperti ini?”

Tiba-tiba saja Hyo Ri ingin segera pulang, lalu ingin segera mengirimkan email protes kepada Dong Hee. 

***

Sudah tiga hari Hyo Ri menunggu email balasan dari Dong Hee. Tapi belum diterimanya juga. Membuatnya benar-benar cemas. Apa yang telah terjadi pada Dong Hee? Apakah pesawatnya kecelakaan? Tapi ia telah mencari di semua berita baik online, cetak atau televisi, ia tak medengar ada kecelakaan pesawat dalam tiga hari ini. Penantian ini sungguh membuat pikiran Hyo Ri kalut. Pagi ini ia berdandan rapi seperti biasanya. Siap berangkat kerja tepat pukul tujuh pagi. Melahap sarapan yang disiapkan ibunya bersama-sama adik perempuan dan ibunya. Setelah selesai ia berpamitan lalu melangkah keluar rumah.

Tak ada yang tahu, sesungguhnya hari ini ia tidak pergi ke tempatnya biasa bekerja. Sudah hampir dua minggu ini ia tidak lagi bekerja di tempat biasa, sebuah galeri pakaian kecil di daerah Insadong. Toko kecil itu menjelang bangkrut. Kini hanya menjual pakaian produksi pabrik. Artinya, keahliannya sebagai perancang mode pakaian tidak dibutuhkan lagi di tempat itu. Ibu dan adiknya tak boleh tahu ia sudah tak bekerja lagi. Mereka pasti akan khawatir. Sejak ayahnya meninggal, Hyo Ri bertugas menjadi tulang punggung keluarga. Butuh banyak biaya untuk membayar uang sewa kamar flat dan biaya sekolah adiknya.
Hyo Ri menghela napas pasrah. Hidupnya benar-benar sempurna. Sempurna kacaunya. Kehilangan kekasih sekaligus kehilangan pekerjaan. Ah, benarkah ia sudah kehilangan kekasih? Lenyapnya Dong Hee tanpa kabar memang telah mengantarkan firasat buruk dalam hati Hyo Ri. 

Ia berjalan perlahan. Sengaja ia memilih berjalan kaki untuk sekedar menghabiskan waktu. Rute perjalanannya sejak hampir dua minggu ini masih tetap sama. Ia berpura-pura pergi ke arah Insadong tempat bekerjanya dulu. Di Insadong ia melihat-lihat lagi pertokoan di situ. Melewati tempat kerjanya sebuah galeri kecil yang kini berubah nama menjadi Chic Store. Kemudian ia berjalan menyusuri pedestrian di pinggir Cheonggyecheon Stream, sungai sepanjang delapan kilometer yang mengalir di tengah-tengah Kota Seoul. 

Hyo Ri duduk di salah satu batu undakan. Menghirup udara segar pagi hari dalam-dalam. Lalu mengembuskannya perlahan. Bunga warna-warni musim panas tampak bermekaran menambah semarak suasana di tempat ini. Hyo Ri tersenyum menatap pemandangan indah ini. Suasana damai ini cukup menenangkan pikirannya yang sedikit kalut saat ia melangkah keluar rumah tadi.

Setelah puas beristirahat, Hyo Ri melanjutkan perjalanannya sembari sesekali menikmati dekorasi-dekorasi unik yang terdapat di dinding sisi kanan kiri sungai. Dinding itu menampilkan foto-foto Cheonggyecheon dari masa ke masa. Kemudian Hyo Ri sengaja berhenti di depan tembok harapan yang menampilkan ribuan potongan porselen keramik yang setiap potongannya memuat gambar dan pesan-pesan dari warga Korea di seluruh penjuru dunia. Ia membaca beberapa harapan yang tertulis di situ. Ah, apakah ia masih punya harapan masa depan yang lebih baik? Dong Hee, di mana dia? Bertemu Dong Hee adalah harapannya satu-satunya saat ini.

Hyo Ri melanjutkan lagi langkahnya. Sengaja ia mengukur jalan sambil merenungi nasibnya. Ia masih tak tahu apa yang akan dilakukannya. Ia belum terpikir ingin segera mencari pekerjaan baru. Ia ingin bertemu Dong Hee dahulu. Membicarakan rencana masa depan mereka, barulah kemudian ia akan putuskan akan mencari pekerjaan baru di mana. Sembari menyusun pikiran di dalam kepalanya, tak terasa langkah Hyo Ri sampai juga ke daerah Myeongdong, kawasan shopping modern yang letaknya sekitar tiga puluh menit berjalan kaki dari Insadong. Lagi-lagi ia menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan berkeliling kawasan itu. 

Rasanya ia sudah cukup banyak berjalan. Tapi waktu baru menunjukkan pukul dua belas siang. Saatnya beristirahat makan siang. Sebenarnya Hyo Ri merasa malas jika ia berhenti beristirahat. Karena pada saat beristirahat seperti itu, ia semakin merasakan kehampaan. Ia masih tak mengerti mengapa Dong Hee bisa menghilang begitu saja. Apakah Dong Hee memang sengaja menghindarinya? Tetapi mengapa? Tak ada tanda-tanda sedikit pun Dong Hee berniat lari darinya. Ataukah Hyo Ri yang kurang peka?

Hyo Ri mulai mencari-cari tempat untuk makan siang. Pilihannya jatuh pada sebuah restoran yang menyajikan kimbap. Ini adalah makanan termurah di tempat ini. Ia harus menghemat sisa gajinya terakhir. Karena setelah ini, ia masih belum tahu akan mencari uang kemana lagi. Baru saja ia berniat memasukkan potongan kimbap pesanannya yang telah tersaji di meja ke dalam mulutnya, ia melihat sosok yang sangat di kenalnya berjalan di luar restoran itu, tak jauh dari tempatnya duduk.

Hyo Ri mengerjapkan matanya. Penglihatannya tidak salah. Itu adalah Dong Hee! Kekasih yang ditunggunya tiga hari lalu di bandara Incheon! Ternyata ia ada di sini! Hyo Ri membelalakkan matanya. Dan Dong Hee tidak sendiri, ia berjalan mesra dengan seorang perempuan cantik…

“Kurang ajar!” maki Hyo Ri dalam hati. 

Ia kembali mengarahkan pandangannya ke sosok lelaki setinggi kurang lebih seratus tujuh puluh lima senti dan bentuk tubuh proporsional itu. Lelaki itu terlihat menawan dalam setelan jas lengkap dengan dasinya. Rambutnya tampak baru saja dicukur rapi. Hyo Ri tidak mungkin salah mengenali orang. Itu benar-benar Dong Hee.

“Apa yang dilakukannya di sini? Bersama perempuan itu?”

Hyo Ri mendadak merasakan sakit dalam hatinya. Dong Hee telah tega membuatnya khawatir selama tiga hari ini, mengira ia kecelakaan pesawat, ternyata Dong Hee sudah berada di Seoul dan terlihat bahagia bersama perempuan lain. Apa arti semua ini? 

“Dong Hee…Awas kau Dong Hee! Berani-beraninya kau menghianati aku!” ujar Hyo Ri dalam hati. Perasaannya kacau seketika.

Apakah ada penjelasan lain dari pemandangan yang dilihatnya ini? Dong Hee dan perempuan itu memang tidak berangkulan, bahkan tidak bergandengan tangan, tapi mereka saling menatap, tersenyum dan berbicara satu sama lain seperti sepasang kekasih. Tidak, rekan bisnis tidak akan saling memandang dengan cara seperti itu. Hyo Ri yakin sekali ada hubungan spesial di antara keduanya. 

“Dong Hee menghianati aku?” kata itu diulanginya lagi, kali ini ia ucapkan dengan suara berbisik pada dirinya sendiri.

Lalu matanya menatap tajam ke arah Dong Hee yang kini berjarak sekitar sepuluh meter darinya. Kemarahannya tiba-tiba saja meluap.

“Lelaki itu berani-beraninya bermain di belakangku? Setelah pengorbananku selama ini untuknya? Keterlaluan! Awas kau Dong Hee!” bisiknya lagi dengan nada geram.

Ingin sekali ia mendatangi Dong Hee saat ini juga, lalu menampar wajahnya. Hampir saja ia nekat benar-benar melakukan itu saat kemudian ia ingat, itu hanya akan merugikan dirinya sendiri. Setelah mengatur nafasnya yang memburu, menghirup udara dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan, Hyo Ri mulai sedikit tenang. Logikanya mulai berjalan lebih jernih. Sebuah rencana tiba-tiba saja terbetik dibenaknya. Lebih baik ia pura-pura belum melihat Dong Hee. Ia akan mendatangi Dong Hee seolah-olah bertemu di sini tanpa sengaja. Hyo Ri ingin tahu bagaimana nanti reaksi Dong Hee jika mendadak melihatnya di sini. 

Terpaksa Hyo Ri meninggalkan kimbap yang baru dimakannya seiris. Ia bangkit dari duduknya dan mengikuti Dong Hee dan perempuan itu yang tampaknya baru selesai makan siang. Mereka berdua melangkah perlahan sambil mengobrol akrab hingga masuk ke sebuah butik, La Moda. 

“Ah, apa yang akan mereka lakukan di sana? Apakah Dong Hee akan membelikan perempuan itu gaun mahal? Keterlaluan! Hutangnya padaku banyak, dia malah ingin membelikan pakaian mewah kepada gadis itu?” gerutu Hyo Ri dalam hati.

Hyo Ri ragu ingin ikut masuk ke butik itu. Hyo Ri memilih menunggu di luar. Beberapa menit kemudian, Dong Hee keluar hanya sendirian! Di mana gadis tadi? Hyo Ri segera bersiap-siap ingin mencegat Dong Hee.

“안녕하세요 (Annyeonghaseyo) Apa kabar, Dong Hee kekasihku!” ucap Hyo Ri tiba-tiba muncul di depan Dong Hee. 
Dong Hee segera menghentikan langkahnya. Wajahnya tampak sangat terkejut. 
“Hyo Ri? Sedang apa kau di sisni?” tanya Dong Hee sedikit kikuk.
Hyo Ri tak langsung menjawab. Ia tersenyum lebar.
“Harusnya aku yang bertanya padamu, sedang apa kau di sini? Bukankah tiga hari lalu kau harusnya muncul di bandara Incheon seperti janjimu padaku?” jawab Hyo Ri, nada suaranya jelas menyindir.
Dong Hee menelan ludah. 
“Aku…maaf, aku baru datang keesokan harinya. Aku tak sempat memberitahumu karena aku datang bersama teman, sama-sama dari London. Aku harus langsung menemaninya di Seoul ini. 
“Teman perempuan?” tanya Hyo Ri dengan nada suara terdengar aneh.
Dong Hee tak langsung menjawab.
“Kalian bertemu dan berkenalan di London?”
Dong Hee masih diam. Bola matanya bergerak-gerak ke sana kemari, jelas sekali ia tampak gugup.
“Aku melihat kalian tadi,” kata Hyo Ri lagi, telak sekali.
Kali ini bola mata Dong Hee berhenti bergerak. Pandangannya menuju satu titik, wajah Hyo Ri yang terlihat berusaha tenang
“Melihatku dengan siapa?”
Hyo Ri tersenyum sinis.
“Jangan mengelak lagi, Dong Hee. Aku melihatmu bersama perempuan lain.”
Dong Hee tak langsung menjawab. Ia masih memperhatikan raut wajah Hyo Ri yang mulai tampak sedikit emosi.
“Hyo Ri, aku akan jelaskan semuanya padamu. Sebaiknya kita mencari tempat untuk berbicara.”
“Memang sebaiknya begitu. Kau harus menjelaskan semuanya.”

Dong Hee melangkah cepat menuju jalan raya. Diikuti Hyo Ri yang juga melangkah cepat. Dong Hee menghentikan taksi. Di dalam taksi, Hyo Ri hanya diam. Ia enggan bertanya Dong Hee hendak mengajaknya ke mana. Yang jelas Hyo Ri tahu, Dong Hee ingin membawanya jauh dari perempuan tadi. Taksi meluncur menuju Apkujong dan berhenti di sebuah restoran. Hyo Ri memesan secangkir teh ginseng. Sepertinya ia perlu meminumnya untuk menenangkan emosinya. Ia masih menunggu Dong Hee bicara sesuatu. Tapi Dong Hee malah sibuk memutar-mutar gelas sojunya.

“Kenapa kau tega sekali memperlakukan aku seperti ini, Dong Hee? Apa salahku padamu hingga kau berbuat sejahat ini?” ucap Hyo Ri akhirnya setelah ditunggunya sekian lama Dong Hee tidak bicara juga.
“Kau tahu berapa lama aku menunggumu di bandara Incheon? Aku tak sabar ingin melihat wajahmu, tapi hingga berjam-jam kemudian kau tidak datang juga. Kau tak memberi kabar, emailku tidak kau balas. Sampai kukira kau mati kecelakaan pesawat. Kau tahu bagaimana cemasnya aku? Kenapa kau tega sekali membuatku khawatir, sementara kau sudah ada di sini dan sedang bersenang-senang dengan perempuan lain. Bisakah kau bayangkan bagaimana perasaanku, Dong Hee?” cerocos Hyo Ri. 

Ia tumpahkan segala kekesalannya selama beberapa hari ini. Dong Hee masih menunduk. Ia menghela nafas. Lalu mengangkat wajahnya perlahan dan menatap wajah Hyo Ri.

“Maafkan aku Hyo Ri. Ini semua benar-benar diluar dugaanku,” kata Dong Hee akhirnya setelah ia menghela nafas panjang untuk kedua kalinya.

“Apa yang diluar dugaanmu?”
“Aku…bertemu dengannya di London. Awalnya kami hanya berteman sebagai sesama orang Korea yang sedang bertugas di luar negeri. Tentu saja aku ingat aku memilikimu di sini, Hyo Ri. Tapi cinta seringkali datang tak terduga. Tanpa kusadari tiba-tiba saja aku jatuh cinta padanya,” jawab Dong Hee perlahan.

Mendadak Hyo Ri bangkit berdiri. Ia menatap tajam Dong Hee. Dong Hee mengangkat wajahnya perlahan, menatap wajah Hyo Ri yang tampak marah sekali.

“Hah! Cinta datang tak terduga? Begitu mudahnya kau membenarkan perbuatanmu ini dengan alasan cinta? Kau benar-benar brengsek, Dong Hee!” ujar Hyo Ri dengan suara mulai terdengar keras.
Dong Hee tampak gusar menghadapi Hyo Ri  yang mulai emosi.
“Kau sadar, apa saja pengorbanan yang sudah kuberikan untukmu? Tujuh tahun, Dong Hee! Tujuh tahun! Dengan mudahnya kau lupakan tujuh tahun bersamaku hanya karena kau pikir kau jatuh cinta pada perempuan lain?” ujar Hyo Ri lagi dengan suara lebih keras dari tadi. Membuat pengunjung restoran lainnya menoleh ke arah mereka.

Dong Hee mulai terlihat kesal melihat reaksi Hyo Ri yang emosional.

“Hyo Ri! Duduklah! Semua orang melihat ke arah kita,”
“Lalu kenapa? Biar saja semua orang tau kau laki-laki brengsek! Penghianat!”
“Aku sudah bilang maaf, Hyo Ri! Aku juga tak menyangka bisa jatuh cinta pada perempuan lain. Maafkan aku.”
“Kau pikir cukup hanya dengan kata maaf? Aku tak bisa menerima ini, Dong Hee! Aku sangat mencintaimu, kau tahu itu. Aku rela berkorban apa saja demi kamu. Mengapa begini balasanmu padaku?” ucap Hyo Ri, suaranya sudah tak sekeras tadi. 

Airmata mulai menggenang di pelupuk matanya. Sementara Dong Hee terdiam. Ia tak tahu harus bicara apa lagi.

“Dong Hee…주세요 (juseyo) tolong katakan padaku, apa yang harus kulakukan agar kau tetap bersamaku?” pinta Hyo Ri dengan wajah menghiba. 

Dong Hee masih diam. Ia hanya memandangi wajah Hyo Ri yang mulai dibasahi air mata seolah tanpa rasa belas kasihan.

“죄송합니다 (Joesong-hamnida) Maafkan aku, Hyo Ri, aku tak akan kembali bersamamu. Jujur saja, sikapmu yang keras ini semakin meyakinkan aku, bahwa kita sudah tak cocok lagi. Aku tahu, mungkin ini membuatmu kecewa dan sakit hati, tapi aku mohon kau memahami perasaanku.”

Tangis Hyo Ri semakin deras. Ia marah sekali. Saking marahnya sampai ia tak tahu apa yang akan dilakukan untuk melampiaskan rasa marahnya. Dong Hee benar-benar keterlaluan. Dengan mudahnya melupakan tujuh tahun kebersamaan mereka hanya karena ditugaskan selama dua bulan di London. Keterlaluan! 

“Apa hebatnya perempuan itu, Dong Hee? Apa yang telah diberikan perempuan itu padamu yang tidak bisa aku berikan? Apakah pengorbananku selama ini tak cukup membuatmu hanya mencintai aku?” ucap Hyo Ri sembari terisak, menahan emosi yang rasanya ingin meluap.

Tapi Dong Hee seperti sudah tak punya kata-kata untuk diucapkan. Ia hanya diam dan menundukkan wajahnya.

“Kenapa kau tega sekali kepadaku…sebelum kau pergi ke London kau masih berjanji ingin menikahiku, mengapa kau berubah pikiran secepat ini? Apa yang telah dilakukan perempuan itu hingga membuatmu begini, Dong Hee?”
“Sudahlah, Hyo Ri. Jangan membicarakan dia terus. Aku menyesal hubungan kita harus berakhir begini. Tapi bukankah memang sebaiknya kita akhiri, daripada tetap kita paksakan tapi hatiku tidak lagi padamu.”
“Lalu, bagaimana dengan hatiku? Hatiku masih padamu, Dong Hee, Selama tujuh tahun ini aku setia padamu. Dan kau balas kesetiaanku ini dengan penghianatan.”
“Perasaan tak bisa dibohongi, Hyo Ri. Aku tak mungkin pura-pura masih mencintaimu. Itu hanya akan membuat hatimu semakin terluka.”
“Mungkin perasaanmu pada perempuan itu hanya perasaan sesaat saja, Dong Hee. Cobalah kau pikir-pikir dulu. Mungkin saja besok kau mencintaiku lagi,” 
Dong Hee memandang iba wajah Hyo Ri yang masih saja bersimbah airmata.
“Kau tentu tidak lupa, hutangmu padaku banyak. Kau sering meminjam uang jika kau kehabisan uang untuk membayar kuliah, atau makan, atau sewa kosmu.”
“Apakah semua kebaikanmu padaku dulu kau hitung sebagai hutang? Benarkah Hyo Ri?”
“Tentu saja tidak, aku berikan semua yang kau minta karena aku mencintaimu, Dong Hee. Dan ternyata semua itu tak ada gunanya.”

“Sekali lagi, maafkan aku Hyo Ri. Terserah kau mau menyebutku apa. Kau boleh menyebutku laki-laki brengsek. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Semua ini sudah terlanjur terjadi. Cobalah kau lupakan aku.”

Kini berganti, Hyo Ri yang tak tahu ingin bicara apa lagi. Saat itu ponsel Dong Hee berbunyi. Setelah melihat nama dilayar ponselnya, Dong Hee buru-buru mengangkatnya dengan wajah bahagia yang tampak jelas.
“애정 (aejeong) sayang?”

Hyo Ri menatap wajah bahagia Dong Hee itu dengan rasa kesal, marah, sakit hati bercampur benci…
“Hyo Ri, aku harus pergi sekarang, 안녕히 계세요 Annyong-hi gyeseyo (Selamat tinggal).” ucap Dong Hee, lalu melanjutkan pembicaraannya dengan perempuan itu lewat ponsel. Dong Hee buru-buru bangkit berdiri dan pergi begitu saja. Meninggalkan Hyo Ri yang masih bergulat dengan rasa sakit hatinya.

“Dong Hee sialaaaan!” ujarnya tertahan.

Ia segera menghapus airmatanya. Lelaki brengsek seperti Dong Hee sungguh tak pantas ia tangisi. Waktu baru saja menunjukkan pukul tiga sore. Ia tak tahu akan pergi ke mana lagi untuk menghibur hatinya yang terluka ini. Sampai akhirnya Hyo Ri memutuskan menghabiskan waktu ke pasar tradisional Dongdaemun. Ia memilih naik kereta, lalu turun di stasiun Jongno-5 dari kereta jalur 1. Begitu muncul dari pintu keluar, segera tampak pasar tradisional Dongdaemun yang terbuka dan ramai sekali. Hyo Ri berharap riuhnya suasana di pasar itu akan menghapuskan rasa sepi dan hampa di hatinya. Ia hanya berjalan-jalan menyusuri pasar itu sambil sesekali mendatangi kios yang menarik perhatiannya. Tapi sialnya, berjalan-jalan di sini mengingatkan Hyo Ri akan masa lalu bersama Dong Hee. Dahulu Dong Hee hanya mahasiswa pas-pasan di Kota Seoul ini. Ia hanya mampu berbelanja di pasar tradisional ini. 

Melihat odeng, sejenis makanan gorengan yang dijual dalam kereta tenda yang disebut pojangmacha, membuat Hyo Ri lagi-lagi terkenang kebersamaannya dengan Dong Hee di sini.  Dong Hee paling suka odeng ikan olahan yang direbus dalam kaldu dan disajikan dalam bentuk sate. Walau hanya makanan sederhana murah meriah, tapi menyantap odeng sambil menyeruput kuah kaldu panas-panas rasanya nikmat sekali. Dalam sekali makan, Hyo Ri bisa langsung menghabiskan empat tusuk, sementara Dong Hee yang lebih rakus bisa langsung menghabiskan delapan tusuk odeng sekaligus. 

Tak sadar Hyo Ri tersenyum mengingat kembali kenangan itu. Sekarang, entahlah apakah Dong Hee masih mau menyantap makanan ini. Hyo Ri baru sadar, Dong Hee memang sudah berubah. Ia kini bukan lagi mahasiswa pas-pasan seperti saat bersamanya dulu. Dong Hee sekarang bekerja di sebuah kantor yang bonafid. Gajinya pasti besar sekali. Karena itu seleranya akan perempuan pun berubah. Dong Hee sekarang lebih memilih gadis cantik dan berkelas seperti yang dilihat Hyo Ri tadi.
Hyo Ri membeli dua tusuk odeng, menyantapnya perlahan sambil meratapi nasibnya yang malang ini. Harusnya ia sadar, Dong Hee memang sudah berubah sejak pindah ke tempat kerjanya yang bonafid itu. Ah, mengapa Hyo Ri baru sadar sekarang?

Hyo Ri memutuskan  meninggalkan pasar Dangdaemun. Pasar itu tak bisa menghiburnya, malah membuatnya teringat kenangan pahit masa lalu. Ia melanjutkan perjalanannya kembali ke Cheonggye Plaza yang tadi pagi telah dikunjunginya. Tapi suasana lapangan ini di pagi hari dengan di sore hari tentu saja berbeda. Menjelang malam, suasana taman itu justru semakin semarak. Banyak yang sengaja datang ke sini sepulang kerja untuk menikmati suasana romantis dari lampu-lampu dekorasi. 

Ini pertama kalinya Hyo Ri merasakan patah hati. Maka ia pun tak tahu bagaimana cara mengobati rasa sakit hati ini dan melampiaskan marahnya. Sepanjang hari ini ia hanya menghabiskan waktu memandangi orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya dan memperhatikan segala kejadian yang ada di sekitarnya. Semua berjalan-biasa-biasa saja. Seolah hidup orang lain berjalan lancar, hanya Hyo Ri sendiri yang merasakan hidupnya hancur. 

Saat ia memandang hampa lapangan luas di depannya, di salah satu sudut lapangan Hyo Ri melihat sekumpulan anak-anak sedang berkerumun mengelilingi seorang lelaki bertubuh tinggi tegap dan berwajah menarik. Anak-anak itu seperti memperebutkan sesuatu. Dan lelaki itu seperti sedikit kewalahan menghadapi anak-anak yang berjumlah kira-kira sepuluh orang itu. Tetapi kemudian lelaki itu dengan sabar seperti menjelaskan sesuatu kepada anak-anak itu, hingga anak-anak itu menjadi tertib dan duduk rapi mengelilingi lelaki itu. Hyo Ri tersenyum melihatnya. Entah mengapa ia merasa terhibur dengan keseluruhan adegan itu. Betapa indah dilihat dari kejauhan sosok lelaki itu dinaungi lampu-lampu taman yang temaram.

.....

Ingin membaca kisah lengkapnya? Beli yuk, bukunya. 


Terima kasih teman-teman ^_^

Novel Korea karyaku terbaru "LONGEST LOVE LETTER"



Novel karyaku lainnya :