Welcome Desember... bulan terakhir di tahun 2013..
Hm, kali ini aku mau cerita pengalaman lucu saat aku bekerja dulu... yuk baca ... ^_^
By : Arumi E.
Hidupku yang tadinya nyaman bekerja sebagai arsitek baru lulus di sebuah perusahaan konsultan desain kecil, terusik ketika Bos-ku mendadak punya rencana pensiun jadi arsitek dan ingin beralih profesi menjadi petani cabe. Ini sungguh-sungguh terjadi! Aku syok ketika mendengar niat Bos-ku itu.
Awalnya aku merasa nggak karuan. Baru kerja tiga bulan harus di PHK? Duh, cari kerja kan susah. Dengan rasa sedikit putus asa, kupandang wajah Bosku yang lumayan ganteng walau sudah setengah baya itu. Senyam-senyum berharap ada keajaiban yang akan membuat bos-ku itu nggak mem-PHK aku. Dan benar saja! Entah akibat senyum manisku yang berhasil menawan Bosku itu atau karena nasib baik sedang sudi mampir dalam kehidupanku yang waktu itu rasanya mendadak ruwet, aneh bin ajaib, Bos-ku itu menawarkan hal yang nggak aku sangka-sangka.
“Kamu mau kerja di pertanian cabe, di Mega Mendung?” tanya Bos-ku sambil memandangku dengan tatapan penuh keprihatinan dan kasihan.
“Hah? Gue kerja di pertanian cabe? Nggak salah nih? Bertahun-tahun gue belajar arsitektur kenapa malah dapet tawaran kerja jadi petani?” pikirku kaget sampai tersedak dalam hati.
“Kerja di pertanian cabe, Pak? Mm...kira-kira nanti tugas saya di sana apa, Pak? Nyangkul-nyangkul gitu nggak?” tanyaku antara ogah tapi mau. Bayanganku, kerja di pertanian berarti harus megang pacul dan ikut nyangkul.
“Kamu nggak perlu nyangkul lah Rum! Kamu kan bukan petani. Tugas kamu bikin peta. Nanti pohon-pohon cabe itu akan ditanam berdasarkan blok-bloknya. Blok A, B, C, D, E, dan seterusnya. Nah, tugas kamu menggambarkan blok-blok itu menjadi peta pertanian cabe dan mengatur petani-petani supaya membentuk lahan sesuai dengan peta yang kamu rencanakan.” Bos-ku menjelaskan panjang lebar sekaligus tinggi.
Singkat kata singkat cerita, setelah aku pikir bolak-balik, aku setuju dengan tawaran Bos-ku itu. Daripada di-PHK dan harus mulai cari kerja baru lagi, menjalani tes gambar autocad dan 3D max yang njlimet itu tapi belum tentu diterima. Lagipula berdasarkan penjelasan Bos-ku, tugasku nanti masih ada relevansinya dengan dunia arsitektur. Masih ada gambar-gambarnya walau yang kugambar nanti bukan rencana gedung melainkan rencana lahan pertanian cabe.
Di Mega Mendung, aku tinggal di Mess milik TNI-AL yang disewakan. Bangunan mess itu berlantai tiga. Terbuat dari struktur baja yang kokoh. Berdinding anyaman bambu artistik, berlantai papan, dan beratap asbes gelombang.
Kamarku dan Noni, sekretaris merangkap HRD, terletak di lantai tiga. Untuk menuju ke lantai tiga, tersedia tangga dari besi yang sangat curam dan hanya pas untuk satu orang. Untungnya, di lantai tiga itu juga tersedia kamar mandi sehingga kami nggak perlu naik-turun tangga curam itu jika hanya ingin ke kamar mandi. Karena hanya aku dan Noni perempuan yang tinggal di Mess itu, maka lantai tiga itu khusus untuk kami, laki-laki dilarang masuk. Semua pegawai laki-laki tinggal di lantai dua. Lantai paling bawah berfungsi sebagai tempat menyimpan barang-barang pertanian.
Di malam hari sepinya bukan main karena mess itu terletak di atas bukit yang jauh dari jalan raya Ciawi-Puncak juga jauh dari perkampungan penduduk. Hanya dikelilingi lahan kosong seluas sembilan hektar lebih yang nantinya direncanakan akan ditanami pohon cabe. Yang terdengar hanya suara jangkrik dan kadang auman serigala juga. *segitunya.*
Walau kerja di pertanian itu capek, tapi udara Mega Mendung yang adem dan sejuk membuatku dan Noni lumayan betah tinggal di sana. Apalagi lokasinya dekat puncak, kalau mau ke puncak tinggal naik angkot saja sebentar.
Pada suatu weekend, temanku Yuke berencana menginap di “mess”ku itu. Katanya dia ingin menikmati suasana di pertanian cabe. Aku oke saja. apalagi Yuke yang biasa tajir minta dijemput di swalayan Cipayung. Artinya, aku bakal ditraktir banyak cemilan, he...he...he...
“Lo ambil aja Rum apa yang elo suka. Gue traktir deh. Kasian gue liat elo makin item dan kurusan gara-gara kerja di pertanian.” kata Yuke setibanya aku dan Noni di swalayan itu.
Tanpa banyak tanya, segera saja dengan antusias, kumasukkan ke troli makanan-makanan kesukaanku dan kebutuhan sehari-hari selama sebulan seperti sabun, odol, shampo, minyak goreng, mi instan, saos, kecap, kopi instan, kopi susu jahe instan, teh celup, (teh pelangsing sekalian mumpung ditraktir, hehehe, kalau beli sendiri ogah karena mahal) sampai troli itu penuh.
“Hah? banyak amat lo ngambil belanjaannya Rum?” tanya Yuke dengan mata terbelalak kaget melihatku mendorong troli yang penuh barang ke meja kasir.
“Elo tadi kan bilang gue boleh ambil apa aja yang gue suka, Yuk...” jawabku mengingatkan Yuke.
“Iya, tapi kira-kira lah, jatah lo dua ratus ribu aja nih.” kata Yuke.
Dengan setengah nggak rela, aku kurangi isi troli itu. But, anyway, aku tetap hepi karena mendapat stok cemilan, sabun, odol, shampo, deterjen, mi instan dan minyak goreng buat sebulan.
Ketika melihat mess tempat kami tinggal itu, barulah Yuke syok.
“Lo tinggal di gubuk ini, Rum?” tanya Yuke yang biasa hidup enak di kota dengan fasilitas serba oke itu terheran-heran.
“Enak aja dibilang gubuk. Rumah ini keren, Yuk. Gaya arsitektur jaman sekarang yang lagi tren, minimalis. Kalo lo mau tau gaya rumah minimalis kayak apa, ya kayak gini, Yuk. Percaya deh sama gue, secara gue kan arsitek! hehehehe...” jawabku membela diri dengan sedikit banyak membual.
Tinggal di tempat yang sepi dan gelap, membuat Yuke sedikit gelisah. Yuke yang penakut mulai bertingkah. Kemana-mana minta diantar. Termasuk ke kamar mandi. Padahal kamar mandi nggak jauh dari kamar tidur.
“Rum, anterin gue pipis dong!” bisik Yuke sambil mengguncang-guncangkan tubuhku yang sedang asyik mimpi ketemu Keanu Reeves sampai terngorok-ngorok. Aku terpaksa bangun dan mengucek-ngucek mata. Menatap nanar ke arah jam weker yang terlihat samar karena gelap. Ampun, baru jam satu malam! Yuke nih, mengganggu saja!
“Perasaan gue tadi udah nganterin elo ke kamar mandi tiga kali. Masa sekarang pengen ke kamar mandi lagi sih, Yuk?” protesku.
“Abis dingin banget sih, gue jadi pengen pipis mulu.” jawab Yuke menunjukkan wajah mohon pengertian.
Dengan sangat terpaksa, aku antar Yuke ke kamar mandi yang cuma berjarak tiga meter dari kamar tidur.
“Puas-puasin pipisnya, jangan sampe ntar pengen pipis lagi.” kataku setengah menyindir.
Selesai Yuke pipis, aku dan Yuke meneruskan tidur. Noni masih asyik mimpi sambil ngorok. Rasanya selama beberapa saat aku tidur dengan damai disertai mimpi lanjutanku nge-date bareng Keanu Reeves.
Sedang asyik-asyiknya, tiba-tiba saja dalam mimpiku itu gelombang tsunami menerpaku dan membuatku basah kuyup. Aku berteriak-teriak minta tolong karena hampir tenggelam dalam gelombang.
Aku terbangun karena rasa basah itu hangat dan terdengar bunyi gemericik air.... Kasur palembang tempat kami tidur berhimpitan bertiga benar-benar basah. Pakaianku juga benar-benar basah. Ternyata basah ini nyata, bukan mimpi. Tapi darimana asal basah ini? Di sini nggak ada gelombang tsunami, hujan gerimis pun nggak.
Aku melihat Yuke yang tidur di tengah di antara aku dan Noni masih merem sambil mengisap jempol tangan kirinya. Bajunya paling basah. Aku baru sadar gemericik air itu berasal dari Yuke.
“Yuke! Bangun oi! Elo ngompol ya?” teriakku setengah kesal ketika sadar apa yang terjadi sambil menggoyang keras tubuh Yuke.
Yuke langsung melek. Dia bangkit dan duduk.
“He...he...sori Rum. Abis gue nggak tahan pengen pipis lagi. Pengen bangunin elo takut elo marah gue bangunin terus.” jawab Yuke sambil nyengir dengan ekspresi wajah tak bersalah.
“Udah gitu tega banget lagi lo ngompolnya banyak banget sampe ngebasahin gue begini. Kirain gue kebanjiran!” protesku keras.
Yuke terus nyengir sambil mengedip-kedipkan matanya.
“Abis pipis semalem, gue minum isotonik sebotol.” sahut Yuke cuek.
Aku kesal, nggak menyangka Yuke yang sudah sebesar itu masih nekat ngompol. Ngompolin aku pula!
“Iiiyyy!!” teriakku dan Noni yang juga terbangun mendadak kompak, geli banget membayangkan badanku terkontaminasi pipis Yuke. Aku dan Noni berebut dulu-duluan ke kamar mandi ingin selekasnya membasuh tubuh. Jika perlu mandi hadas besar sekalian. Nggak peduli air di waktu menjelang subuh itu sedingin air dalam kulkas.
“Yukeee!! Sumpah, gue nggak mau elo nginep di mess gue lagi! Nggak peduli andai elo nraktir gue belanjaan sampe sepuluh troli! Gue tetep ogah tidur di sebelah lo lagi!” janji gue yakin.
Pagi itu aku memaksa Yuke menggotong kasur palembang kami ke luar kamar dan menjemurnya di pagar selasar lantai tiga dekat tangga. Kusiram sekalian bekas ompol Yuke dan kusikat dengan rinso. Para petani yang mulai berdatangan terheran-heran melihat kami mencuci kasur.
“Kasurnya kenapa Mbak, kok dicuci segala?” tanya salah satu petani itu.
“Kasurnya kepipisan tikus nih! Bau pesing!” jawabku asal sambil melirik ke arah Yuke yang tampangnya mendadak manyun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar