Credit photo from We Made |
Too Young To Have A Baby
Karya Arumi E.
Sebuah cerpen yang termuat dalam buku Antologi Kolase
Crown Café, day #13, 19.17 WIB
Aku baru saja memutuskan ingin mengaduk secangkir cappuccino berhias heart latte art di hadapanku, kemudian niatku itu urung kulaksanaan ketika aku melihat berita itu. Tak biasanya televisi datar yang menggantung di atas meja racik kopi itu menayangkan berita. Biasanya yang dipilih saluran musik hits dari tv kabel.
Aku sudah lama enggan menonton berita tentang negeri ini, tetapi saat ini aku melihatnya tak sengaja. Entah siapa yang mengganti saluran musik menjadi saluran berita televisi nasional. Berita itu mengabarkan tentang ditemukannya seorang bayi dalam kardus terapung yang tersangkut sampah di sungai kotor. Kamerawan tanpa rasa iba menyorot wajah sang bayi yang membiru, ditambah reporter mengatakan bayi itu masih hidup walau detak jantungnya sangat lemah. Pemandangan itu bagai mengoyak batinku, seolah dengan mesin waktu aku terlempar ke masa lalu. Mengembalikan ingatanku pada sebuah dosa besar yang pernah kuperbuat…
Beib
Sejak sebuah roh ditiupkan ke dalam tubuh mungilku ini, aku dapat merasakan hangatnya tempat ini. Ada sebuah saluran yang menghubungkan perutku entah kemana, hingga setiap saat aku selalu mendapat sumber energi dan protein untuk terus tumbuh dan berkembang. Semakin sempurna dalam bentuk. Semakin besar dalam ukuran. Tempat ini penuh air, membuat aku terombang ambing, jungkir balik kadang ke atas, kadang ke bawah.
Aku punya hubungan istimewa dengan pemilik tempat ini. Sering kudengar samar bisikan sedu sedan dan helaan nafasnya yang letih. Kadang pula kudengar suara berdetak cepat dan keras yang menggangguku, membuatku lama terjaga.
Kadangkala, tempat ini terasa begitu tenang. Aku sering mendengar suara musik lembut atau untaian doa-doa indah dibacakan untukku. Kadang ia mengajakku berbincang, seperti kali ini,
“Halo, beib…” Lembut ia menyapa.
Aku selalu senang mendengar sapaan lembutnya. Aku menggerakkan tubuhku sebagai jawaban.
“Lagi ngapain?” tanyanya.
Aku menggerakkan kakiku keatas.
“Eh, jangan nendang-nendang ya, beib. Sebentar lagi kamu bisa keluar. Sebentar lagi kita ketemu. Kamu pasti cakep seperti aku, he…he… Jangan nakal ya, beib. Baik-baik di situ.” katanya sambil mengusap lembut tempatku ini dari luar.
Aku senang! Aku kegirangan! Aku melonjak-lonjak! Aku juga ingin cepat-cepat keluar dari tempat ini. Ingin cepat-cepat bertemu dengannya.Kemudian seperti biasanya, suara alunan merdu mulai terdengar. Dia nyanyikan sebuah lagu dengan suaranya yang menenangkan.
“Timang-timang, my beib sayang!”
Ooi, membuaiku. Mataku pun terpejam meresapi nikmatnya suasana ini.
Begitulah biasanya. Begitulah hari-hari aku lalui bersamanya. Hubungan kami begitu dekat, begitu akrab. Kami selalu saling berbagi. Aku merasa nyaman di sini. Merasa hangat dan aman berada dekat bersamanya.
Tapi hari ini tak seperti hari-hari yang lain. Aku rasakan dia sejak tadi mengeluh kesakitan. Anehnya, aku juga dapat merasakan apa yang ia rasakan. Aku merasakan kesakitannya. Tempat aku berpijak dan terayun-ayun ini terasa menegang. Lalu berguncang-guncang. Terdengar lenguhan pilu. Tempat ini terasa bergerak, seperti pindah terburu-buru. Dia panik, aku pun ikut panik! Tempat ini berguncang semakin keras. Aku takut, karena lalu kudengar ia merintih kesakitan. Kurasakan juga tekanan-tekanan di sekitar tempatku ini.
Mendadak aku terputar balik. Rasanya kepalaku menjadi di bawah dan kakiku di atas. Aku semakin panik dan takut. Apalagi kudengar rintihannya semakin keras dan tertahan. Kemudian aku seperti terdorong ke bawah, setiap usai terdengar sebuah erangannya yang memilukan. Tubuhku semakin terdorong, terus terdorong ke bawah. Terdengar teriakan begitu kerasnya. Memekakkan telingaku. Tubuhku terdorong kencang, merosot ke bawah. Mulanya tersendat. Kemudian terasa lancar. Aaaghhh…!! Seperti melewati sesuatu…
Sekejap rasa dingin menyergap ubun-ubunku, lalu dadaku. Sedikit demi sedikit tubuhku keluar dari tempatku yang biasanya nyaman ke tempat asing yang tak kukenal. Kemudian sampailah ujung-ujung jariku juga tersergap rasa dingin. Seluruh tubuhku kini telah berpindah ke tempat lain. Keluar dari tubuhnya. Aku merasa tak nyaman. Tak ada lagi kehangatan yang biasanya menyelimuti tubuhku.
Maka aku pun mengeluh kecewa, “Oeeeeee!! Oeee!!”
“Ssstt!! Cup, cup! Jangan nangis sayang, aku di sini mendekapmu.” kata sebuah suara yang sudah sangat aku kenal.
Sepasang lengan berkulit lembut meraih tubuhku perlahan dengan sangat hati-hati, membopongku, mendekapku dan memberiku kehangatan. Sesuatu yang basah dan hangat menjilati kelopak mataku. Sebentuk bibirnya yang lembut menghisap cairan di mulutku. Aku kembali merasa tenang, hangat, aman. Tapi kemudian rasa sakit bukan kepalang kurasakan ketika benda panjang di perutku yang dahulu biasa kami gunakan sebagai saluran berbagi makanan dipotong dengan sesuatu. Aduh, sakit, sakit sekali!
“Oeee!!” jeritku keras kesakitan.
“Cup, cup! Sabar ya, sayang. Cuma sakit sedikit kok! Dikasih obat supaya nggak infeksi, ya?” katanya menghiburku sambil mengusap bekas lukaku akibat potongan tadi dengan cairan yang sedikit membuat perih.
“Ah, siapa bilang sakit sedikit? Ini sakit sekali!” keluhku dalam hati.
Aku menatapnya sedikit kesal. Ia malah tersenyum manis kepadaku. Rasa kesalku pun musnah. Lihat senyum tulusnya. Lihat wajahnya. Wajah yang selama ini aku rindukan. Setelah sekian lama aku hanya dapat mendengar suaranya.
Dia mirip aku, mungkin. Lihat, ia punya sepasang mata indah sama seperti mataku. Hidungnya mancung dan bibirnya mungil berwarna merah jambu. Dia juga memiliki sepasang tangan seperti aku. Hanya saja, semua miliknya jauh lebih besar dari punyaku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Kelelahan menatapnya tak berkedip sekian lama.
Ia menepuk lembut bagian belakang tubuhku. Aku terbatuk. Mencoba menyapanya. Namun yang keluar dari mulutku hanya suara nyaring tak bermakna,
“ Oeeee….Oeeee!”
Aku kecewa, kenapa suaraku begini? Padahal banyak yang ingin kutanyakan padanya. Bagaimana dia dapat memahaminya bila setiap aku membuka mulut dan mencoba bersuara yang terdengar cuma suara ‘Oeee’?
“My beib, syukurlah kamu selamat!” katanya sambil dikecupnya keningku.
Aku mengerahkan segala kemampuanku untuk bertanya padanya, siapakah dia sebenarnya? Apa makna kebersamaan kami selama ini? Mengapa kini aku merasa berada di tempat yang asing? Tempat yang tak biasanya? Tapi lagi-lagi yang terdengar cuma suara “ Oeeee!”
“Sttt!! Cup, cup! Jangan keras-keras, beib. Nanti ada yang denger.” ucapnya sambil terus menciumi pipiku.
“Ini Mama, beib. Jangan nangis ya.”
Ah, akhirnya ia menyebutkan namanya. Mama? Itukah namanya? Begitukah aku harus memanggilnya? Mama...Tiba-tiba kurasakan setetes air hangat jatuh ke pipiku diiringi isak tertahan.
“Beib, Mama sayang kamu. Mama nggak mau pisah sama kamu. Tapi beib, Mama nggak sanggup jaga kamu…hk…hk…” lirih suara sosok yang menyebut dirinya Mama ini.
“Besok Mama harus pergi sekolah. Kalau ada yang tahu Mama melahirkan kamu, bisa gawat, beib.”
Air yang semula hanya setetes itu kemudian jatuh ke pipiku bertetes-tetes, membasahi hampir seluruh wajahku.
“Semoga Tuhan mengampuni Mama. Semoga Tuhan menjagamu. Mama terpaksa harus membawamu pergi dan meninggalkanmu. Maafkan Mama, beib.” lanjutnya seraya sibuk menyeka tumpahan air yang tak terbendung dari matanya.
Aku tak mengerti maksud Mama. Aku tak mengerti mengapa ia menangis. Namun aku tak mampu menyampaikan tanyaku padanya.
Aku hanya bisa pasrah ketika Mama membungkus tubuhku rapat-rapat dengan sesuatu yang terasa panas di kulitku. Kemudian memasukkan tubuhku yang sudah terbungkus ini ke dalam suatu tempat yang pengap. Aku merasa sesak. Aku takut. Aku didekap, dan perlahan dibawa pergi, entah kemana.
oOo
Perjalanan ini terasa cukup lama. Sampai akhirnya aku diletakkan di tempat yang membuatku terombang-ambing. Tubuhku terus terombang-ambing dalam kesunyian dan kegelapan. Tanpa arah tujuan. Aku terus berteriak-teriak sekuat tenaga namun tak juga kudengar suara jawaban Mama. Apakah Mama telah meninggalkan aku? Sendiri di sini, kedinginan? Nafasku semakin sesak. Tubuhku melemas.
Setelah sekian lama, tiba-tiba kurasakan tubuhku berhenti bergerak. Sepertinya tertahan sesuatu. Sekaranglah saatnya aku memohon pertolongan dengan mencoba berteriak sekuat tenaga. Berharap akan ada yang mendengar.
“Oeeee! Oeeee!” Aku terus berteriak.
Aku ingin hidup. Aku harus hidup. Aku ingin bertemu kembali dengan Mama. Mama, kembalilah. Aku masih ingin bersamamu lebih lama lagi, merasakan kehangatan pelukanmu.
“Oeeee! Oeeee!”
Suaraku serak. Nafasku terus menyesak. Tubuhku lemas lunglai tak berdaya. Tapi aku tak putus asa. Aku akan terus berteriak sampai ada yang mendengarku dan datang menyelamatkan aku. Waktu berlalu. Terus kutunggu. Tubuhku mendingin. Nafasku satu-satu. Coba lagi, teriak lagi, harus bisa!
“Oeeeee! Oeeee!”
Syukurlah, setelah sekian lama, setelah tenggorokkanku mengering, lamat-lamat kudengar suara kecipak air. Sesuatu menuju ke arahku. Semoga seseorang yang diutus Tuhan untuk menolongku. Janganlah mahluk lain yang justru akan mencelakakan aku.
Kembali terasa tubuhku diangkat. Kembali melalui kecipak suara air. Tidak terayun lagi karena didekap erat. Kemudian tubuhku dikeluarkan dari tempat menyesakkan ini. Dan pembungkus tubuhku dibuka. Ahhhh! Aku dapat bernafas lega. Aku terbatuk-batuk. Melepaskan emosiku dengan suara “ Oeee” yang panjang.
Kucoba mengerjapkan mataku. Dan perlahan mencoba membukanya. Ah, terangnya! Semula menyilaukan. Namun kucoba terus mengerjapkannya berulang-ulang hingga terbiasa dengan kilauan cahaya dan mampu melihat keadaan sekelilingku.
Hm, ini memang sungguh tempat yang asing. Hiruk pikuk. Penuh wajah-wajah. Adakah Mama di antara mereka? Salah satu diantaranya meraihku. Mendekapku. Membawaku masuk ke sebuah benda yang lantas bergerak dengan suara menderum. Hingga beberapa saat kemudian benda ini berhenti di suatu tempat. Aku dibawa ke sebuah ruangan luas. Ditidurkan di atas alas yang bergerak meluncur menuju sebuah ruangan serba putih.
Beragam benda ditempelkan di tubuhku yang telanjang dan mulai mendingin. Ada cairan yang dimasukkan ke tubuhku. Membuatku merasa hangat. Tubuhku diusap dengan air yang juga terasa hangat. Kemudian kembali dibungkus namun kali ini dengan bahan yang terasa lembut dikulit. Aku hangat, nyaman, tenang, merasa aman. Dimanapun aku kini berada, aku merasa keadaanku jauh lebih baik. Mama? Aku teringat lagi kepada Mama.
“Mama di mana?” tanyaku dalam hati.
Beberapa sosok berpakaian serba putih mengerumuniku dengan beragam ekspresi. Takjub, kasihan, heran, senang, gemas. Salah satu dari mereka berujar,
“Suatu keajaiban bayi ini masih hidup. Padahal tubuhnya sudah sangat dingin dan mulai membiru.” kata seorang berpakaian serba putih.
“Oalah, Nduk! Kok tega-teganya Ibumu membuangmu ke kali. Jahat banget!” seru salah seorang yang lain.
Aku mendelik. Aku menyeru “ Oeee” berkepanjangan.
“Yah, paling lahir dari hasil hubungan gelap. Nggak diharapkan, nggak diinginkan. Kasihan…Padahal anak cakep begini,” yang lainnya lagi menimpali.
Seruan “ Oee”ku semakin keras.
Aneh, ketika aku sudah merasa nyaman dan aman, aku justru merasa tersinggung ketika orang lain menyalahkan Mama. Aku teringat dengan masa-masa indah yang telah kami lalui bersama. Berbagi makanan bersama. Lagu-lagu merdu yang dilantunkannya untukku. Doa-doa indah penuh harapan yang dipanjatkannya untukku.
Pasti, di dasar hatinya yang paling dalam, Mama sungguh menyayangiku. Tapi entah masalah apa yang menghimpitnya hingga Mama memilih jalan pintas untuk menyelesaikan masalahnya dengan membuangku. Membuangku, bukan membunuhku sebelum lahir, bukankah itu bukti itikad baik Mama memberikan aku kesempatan untuk hidup? Membuangku, sambil berdoa, berharap aku ditemukan oleh orang yang tepat. Apakah itu sebuah dosa? Apakah itu perbuatan terlaknat? Bahkan sekalipun aku memaafkannya?
oOo
Crown Café, day #13, 21. 05 WIB
Sudah lama aku menolak menonton berita di televisi. Bahkan fisikku terpengaruh tiap kali aku menonton berita. Kepalaku pusing, perutku mual. Berita yang ditayangkan televisi di negeri ini didominasi berita buruk. Membuat pikiran positif yang susah payah kubangun seolah lenyap begitu saja bagai setetes air yang dipanaskan.
“Devan brengsek!” makiku dalam hati.
Ah, keterlaluan! Bahkan sebuah nama yang sudah aku sumpahi tak akan pernah kusebut lagi, kini tanpa sadar terucap dari bibirku.
“Devan brengsek! Tapi ...aku juga bodoh!”
Dahulu, dalam setahun masa awal kehilanganku, entah sudah berapa ribu kali aku mengucapkan kata-kata makian seperti ini. Mengutuk Devan dan mengutuk diriku sendiri. Devan telah menghancurkan masa remajaku, menghempaskanku ke dalam keterpurukan, lalu menambah daftar dosaku dengan dosa yang paling tak termaafkan.
Devan teman satu kelasku di masa SMA yang memang memiliki modal fisik menawan. Dengan wajah tampannya ia berusaha memikat banyak gadis. Termasuk aku. Aku tak menolak rayuannya, siapa yang tak merasa melambung dirayu Devan pemuda paling popular di sekolahku dulu? Pada masa itu, aku yang polos tak menyadari, Devan adalah seorang perayu ulung. Aku terhanyut segala bujuk rayu Devan dan menerima begitu saja ajakan Devan untuk berhubungan lebih jauh lagi. Berdalih sebagai bukti cinta, Devan berhasil membuatku menyerahkan kegadisanku begitu saja.
Sampai kemudian aku merasakan perubahan pada tubuhku. Rasanya, ada sesuatu yang tumbuh dalam rahimku yang masih belia. Tapi bodohnya, aku tak berani mengatakannya pada siapa pun. Tidak kepada Ayah dan Ibuku. Bahkan kepada Devan sang biang keladi pun tidak.
Aku menyimpan rahasiaku sendiri. Untunglah tubuhku tergolong mungil. Sehingga aku bisa menyembunyikan perutku yang semakin membesar dari semua orang. Aku memang terbiasa memakai kemeja sekolah satu nomor lebih besar. Kemejaku yang kebesaran itu mampu menyamarkan ukuran perutku yang membesar.
Aku juga memutuskan untuk tak pernah bilang pada Devan. Aku yakin, jika kuceritakan kehamilanku saat itu pada Devan, ia pasti akan semakin melecehkanku. Apalagi baru tiga bulan berpacaran, Devan memutuskanku begitu saja. Lalu seenaknya menggandeng pacar baru. Aku memutuskan untuk melupakan semuanya. Biar rasa berdosa ini kutanggung sendiri hingga mati, asalkan tak ada yang tahu kejadian yang sebenarnya.
“Nit! Nit! Nit!”
Aku ingat telepon yang kuterima dari teman sebangku Windy, tak lama setelah aku melahirkan dan membuang bayiku. Ya, setelah susah payah aku membesarkan bayiku dalam rahimku, begitu ia lahir aku membuangnya! Bayangkan betapa banyaknya dosa yang telah aku lakukan saat itu.
“Ada apa, Win?” tanyaku menjawab telepon dari Windy itu.
“Sep, gila deh! Lo udah tau belum? Mantan lo si brengsek itu...” suara Windy terdengar kencang dan tidak sabar.
Dadaku berdegup kencang.
“De...van?” tanyaku hati-hati.
“Tau enggak lo, sabtu besok Devan mau nikah sama Roselia pacar barunya. Devan ketahuan menghamili Roselia! Ternyata Roselia udah hamil dua bulan! Gila nggak tuh!” jawab Windy terdengar menggebu-gebu menahan emosi.
Ketika itu seketika jantungku rasanya hampir berhenti.
“Apa???!!!?” teriakku keras.
“Ck...ck...untung aja dulu lo putus sama dia, Sep! Kalau enggak, bisa-bisa elo yang jadi korban kebiadaban Devan!” seru Windy.
Handphone dalam genggaman tanganku segera saja meluncur jatuh. Aku merasa sangat bodoh. Aku hancur lebur. Mengapa bodohku estafet dan permanen? Mengapa aku selalu salah mengambil keputusan?
Kupandangi lagi secangkir cappuccino berhias heart latte art di hadapanku yang belum jadi kuaduk. Cappuccino itu sudah berubah dingin. Sedingin hatiku yang telah membeku selama bertahun-tahun. Kajadian dulu itu menyisakan trauma yang tak pernah bisa sembuh walau sepuluh tahun telah berlalu. Aku tak pernah bisa lagi memercayai lelaki mana pun. Sebaik apa pun sikapnya di hadapanku, aku tak akan lagi mau dibodohi.
~ oOo ~
aku suka banget caramu cerita arumi :)
BalasHapusTerima kasih Melissa sudah berkenan membaca cerita pendek karyaku :) Senang kamu suka... ^_^
Hapusaku juga udah beli salah satu novel kamu loh ^^
HapusHai Melissa, waah, makasih ya sudah berkenan membeli novel karyaku. Yang judul apa say? Oya, nanti akan terbit lagi novel terbaruku dengan setting Monte Carlo, Monaco. Romantis deh... tunggu yaaa ^_^
Hapus