Minggu, 15 Mei 2011
Kutunggu kehadiranmu, sayang!
Oleh : Arumi Ekowati
Cinta. Aku gamang bicara soal cinta. Sudah terlalu lama aku tak merasakan jatuh cinta. Bagiku, jatuh cinta itu sulit. Mungkin karena aku takut jatuh cinta, maka setiap kali muncul perasaan berbeda sedikit saja pada seorang lelaki, segera aku berusaha menepisnya.
Aku takut...Karena aku masih ingat rasa sakitnya saat cintaku yang terdahulu kandas. Bukannya sesudah itu aku tak pernah mencoba lagi. Seringkali, tapi semua gagal. Entah mengapa aku selalu jatuh cinta pada lelaki yang salah, dan dicintai lelaki yang salah. Hingga kini aku tak pernah bertemu cinta yang tepat.
Rasa iri kadang menelusup tatkala melihat saudara sepupuku yang usianya sepantar denganku, telah menemukan cinta sejatinya. Sudah lama ia menikah. Kini telah memiliki seorang anak perempuan berusia lima tahun dan seorang anak laki-laki berusia tiga tahun.
Bukan iri yang negatif tentu saja, aku hanya...ah, terkadang ingin juga merasakan indahnya memiliki anak yang lahir dari rahimku sendiri, kemudian ia memanggilku ibu. Entah kapan itu akan terjadi. Hingga kini aku belum bertemu laki-laki yang menunjukkan tanda-tanda akan menjadi suamiku kelak.
“Ibu, ini gambar hasil karyaku.” kata anak pertama sepupuku itu kepada sepupuku.
Aih, aku juga ingin ada seorang anak perempuan mungil secantik itu menyebutku ibu. Rasanya tak percaya memandang sepupuku itu, teman sepermainan ketika aku kecil dulu telah menjelma menjadi seorang ibu.
Keponakanku itu bernama Tayara. Umurnya baru lima tahun. Tapi sekarang telah bersekolah di sekolah dasar. Kulitnya putih bersih. Rambutnya keriting ikal berwarna kemerahan. Hidungnya memang tidak terlalu mancung, tapi kulitnya yang putih dan rambutnya yang kemerahan membuatnya sering disebut si “bule”.
Cantik dan pintar. Begitulah keponakanku itu. Aku jarang sekali berkunjung ke rumahnya. Tapi anehnya, setiap kali aku datang dan bertemu si kecil Tayara, ia tanpa sungkan langsung menggandeng tanganku.
“Aku mau sama Tante.” katanya.
Ah, senangnya hatiku, ada anak kecil yang menyukai aku. Tanpa sungkan juga ketika aku duduk, ia langsung saja menyandarkan tubuhnya di pangkuanku.
Ia suka menggambar. Sama seperti aku. Segera saja ia pamerkan kemahirannya menggambar. Ia ambil selembar kertas dan pensil, lalu mulai menggambar di hadapanku dengan penuh percaya diri. Gambarnya lucu. Menurutnya, itu adalah gambar dirinya dan dua temannya di sekolah.
Aku tersenyum melihatnya. Kukatakan saja padanya gambarnya bagus sekali. Itu cukup membuatnya tertawa senang. Lalu ia pamerkan kemahirannya menuliskan namanya serta nomor telepon rumahnya.
“Wah, Tayara pntar sekali.” pujiku.
Lalu berganti aku yang pamer padanya.
“Lihat, ini cerita anak hasil karya Tante loh.Mau Tante bacakan?” tanyaku sambil menunjukkan cerita anak hasil karyaku yang dimuat di sebuah majalah anak-anak.
“Mau Tante, ayo bacain...” katanya sambil ikut memegang majalah anak-anak itu.
“Ini judulnya Marianka.”
“Namanya sama seperti nama adik Marianka.” sahut Tayara.
Ah iya, aku jadi tak enak pada Tayara. Cerpen anak karyaku itu memang terinspirasi dari keponakanku yang lain, Marianka. Usianya baru dua tahun. Marianka adalah anak dari sepupuku yang lain. Tentu saja aku juga sayang pada si cerewet dan centil, Marianka. Marianka seringkali membuatku gemas. Gadis kecil itu tak bisa berhenti bergerak. Ia sangat aktif, senang sekali berlari-lari dan meloncat-loncat. Sering membuatku kewalahan jika mengajaknya pergi berjalan-jalan.
“Tante juga bikin cerita berjudul Tayara. Jika nanti dimuat di majalah ini, pasti akan Tante bacakan untuk Tayara.” kataku, kembali beralih kepada keponakan cantikku, Tayara,
Tayara hanya mengangguk. Lalu ia mendesakku untuk segera membacakan cerita berjudul Marianka itu.
Ah, ternyata tak mudah bercerita kepada seorang anak kecil. Aku tak menyangka anak kecil zaman sekarang sudah lebih kritis. Ia sering protes jika ceritaku tak sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Atau baru saja satu kalimat aku bacakan, ia sudah banyak bertanya. Tapi aku menikmatinya. Aku senang.
Beginikah kiranya kelak jika aku menjadi ibu dan memiliki anak? Tuhan, kapankah itu akan terjadi? Aku ingin segera bertemu dengan belahan jiwaku, berikrar janji lalu dikaruniai beberapa orang anak. Akan aku bacakan cerita-cerita menarik pada anakku kelak. Jika ia suka menggambar, akan kuajarkan ia menggambar. Ah, akan aku ajarkan apa saja yang aku bisa.
Kupandangi lagi Tayara. Keponakanku yang cantik dan pintar itu.
“Tayara mau sepatu bergambar putri cantik?” tanyaku.
“Mau, Tante. Warnanya pink ya?” sahutnya.
Ibunya bilang, Tayara memang sangat suka warna pink. Semua pakaiannya berwarna merah muda. Tas sekolahnya, tempat pensil, tempat kue, tempat air minumnya, semua berwarna merah muda.
“Oh, tentu saja. Tayara kan Putri Pinky...” kataku.
“Apa itu Putri Pinky, Tante?’
“Putri Pinky adalah gadis kecil yang suka sekali warna pink, seperti Tayara.”
Tayara hanya tersenyum sipu.
Aku senang melukis di sepatu kanvas. Bahkan itu kujadikan usaha kecil-kecilan. Ingin kuhadiahkan sepatu berwarna pink yang kugambar sendiri untuk keponakanku tercinta itu.
Ia memilih gambar Belle si beauty dalam dongeng Beauty and The Beast dan gambar Putri Aurora si Putri tidur untuk digambar di sepatunya nanti. Aku berjanji akan segera membuatkan sepatu pesanannya itu.
Setelah sepatu untuknya selesai kubuat, kuminta Tayara beserta Ayah, Ibu dan adiknya datang ke rumahku. Ia senang sekali menerima sepatu bergambar putri cantik berwarna pink itu. Aku tak kalah senangnya melihat ia senang.
Bangga sekali rasanya, aku bisa menghadiahkan sesuatu yang spesial untuk keponakan cantikku itu.
“Tante, cerita tentang Putri Tayara sudah ada?” tanyanya menagih ceritaku yang tokohnya memakai namanya kepadaku.
“Sabar ya sayang, semoga segera dimuat. Nanti pasti akan Tante bacakan untuk Tayara” jawabku.
Ia mengangguk dan tersenyum senang.
Tuhan, setiap melihat keponakan cantikku itu, kerinduanku akan hadirnya belahan jiwaku semakin membuncah. Kapankah Engkau pertemukan aku dengannya, Tuhan? Izinkanlah aku merasakan jatuh cinta lagi.
Melihat keponakan cantikku itu, mulai memunculkan keyakinanku untuk tak lagi takut jatuh cinta. Aku mulai berani berharap, segera kutemukan cinta sejatiku. Cinta yang tak lagi salah alamat. Cinta yang jatuh pada lelaki yang tepat, yang memang layak untuk aku cintai.
Akan kutunggu saat itu tiba. Sementara waktu menunggu kehadiran sang “belahan jiwa” dalam hidupku, biarlah kutebarkan cinta yang memenuhi hatiku ini untuk keponakan-keponakanku, Bapak Ibuku, adik-adikku, saudara-saudaraku serta teman-temanku.
Kuyakinkan dalam hati, saat itu pasti datang, saat-saat indah perjumpaanku dengan belahan jiwaku yang kini entah masih berada di mana.
Cepatlah datang, belahan jiwa. Kutunggu kehadiranmu, sayang!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar