Selasa, 25 Mei 2010
MINUS TIGA
By : Arumi
Dimuat di Majalah TEEN edisi minngu kedua Mei 2010
Anka mengerjap-kerjapkan matanya. Aneh, rasanya tulisan Bu Sinta di papan tulis itu tak terbaca olehnya. Terlalu kecilkah?
“Fi, lo bisa baca nggak tulisan Bu Sinta?” bisiknya perlahan pada Fifi teman sebangkunya yang sedang asyik menyalin tulisan yang tertera di papan tulis.
“Bisa dong, kenapa? Memangnya lo nggak bisa baca tulisan Bu Sinta?”
“Kekecilan kali ya tulisannya?”
“Ah, tulisan Bu Sinta dari dulu memang segitu, Ka. Standar kok. Aneh, sudah beberapa kali ini lo selalu mengeluh nggak bisa baca tulisan di papan tulis. Maksud lo, agak-agak rabun gitu?”
“Huu…enak saja lo ngatain gue rabun. Tulisannya nih yang kekecilan.”
“Bukannya gue ngatain lo rabun, Ka. Tapi mungkin mata lo sekarang memang minus. Rabun jauh. Ya, lo harus pakai kacamata kalau mau melihat jauh dengan jelas.”
“Haa? Gue pakai kacamata? Kayak apa tampang gue? Bisa kelihatan culun kayak si Andi tuh? Nerdy look gitu? Nggak deh!”
“Lha, mending juga pakai kacamata daripada lo pusing nggak bisa baca tulisan di papan tulis. Mungkin mata lo sebenarnya sudah lama menurun kemampuan melihat jauhnya. Tapi karena selama ini lo duduk paling depan, lo nggak berasa. Sekarang lo dipindah duduk belakang, baru deh lo merasa agak rabun.”
“Ah, nggak deh! No way deh gue pakai kacamata! Kan gue masih bisa lihat tulisan lo he…he…”
“Yah…terserah lo deh Ka. Kan yang ngerasain enak nggak enaknya elo.”
“Gue lihat tulisan lo ya?”
“Ya lihat saja kalau mata lo belum rabun lihat tulisan gue.”
“Huu, kalau jarak segini sih, gue masih bisa lihat, Fi. Mata gue belum separah itu kok.”
“Iya, tapi kalau lo cuekin saja, nggak lo periksa, mata lo bisa makin rabun!”
“Ih, Fifi! Jangan nakut-nakutin gue dong....”
Fifi hanya cengar-cengir.
***
Anka mengerjap-kerjapkan matanya. Duh, dari tempatnya duduk ini, ia mulai tak dapat membaca teks terjemahan Bahasa Indonesia film serial Korea yang sedang ditontonnya. Anka beringsut maju lima puluh senti meter. Duh, masih belum jelas juga. Ia pun maju sedikit lagi.
“Anka, kamu ngapain? Nonton TV kok dekat sekali begitu? Nanti mata kamu rusak.” tegur Mama yang mendadak datang ke ruang keluarga dan melihat Anka menonton TV.
“Mm, nggak kok Ma. Tulisannya agak kurang jelas.”
“Kurang jelas? Aduh, jangan-jangan mata kamu sekarang minus, Ka.” kata Mama. Nada suaranya sedikit cemas.
“Nggak kok Ma. Biasanya nggak apa-apa. Mata Anka memang rada capek rasanya. Anka mau tidur aja deh.” sahut Anka lalu cepat-cepat masuk ke kamarnya.
Gawat, kalau sampai Mama memaksanya ke dokter mata untuk memeriksakan matanya, bisa berabe! Kalau dia benar-benar minus, mama pasti akan memaksanya memakai kacamata. Duh, nggak deh. Reputasinya selama ini sebagai cewek berwajah foto model yang modis dan trendi bisa anjlok kalau tiba-tiba dia pakai kacamata. Bisa cupu abis tampangnya.
***
“Ka, gue punya ide cemerlang banget buat mengatasi masalah mata rabun lo itu.”
“Stt! Fi, elo bisa nggak sih bilang rabunnya pelan-pelan aja. Elo sengaja ya, pengen satu sekolah tau biar reputasi gue hancur?”
“Sorry, say! Lo mau dengar ide cemerlang gue nggak?”
“Apa sih ide cemerlang lo itu, sahabatku Fifi tersayang?” ledek Anka.
“Gimana kalau elo pakai contact lens? Keren banget, kan? Mata lo bakal kelihatan lebih cling, persis kayak seleb di TV. Makin memperkuat kesan wajah foto model lo, gitu loh!”
“Haaa? Contact lens? Bukannya mahal tuh?”
“Ayolah, Ka.. Masak lo kalah sih sama Yasmin. Yasmin tuh sekarang matanya hijau!”
“Maksud lo karena lihat tumpukan duit one million dollars?”
“Yaela, semua juga sudah tau, Ka. Kuper banget sih, lo. Gue juga sudah lihat sendiri. Yasmin sekarang pakai contact lens warna hijau cerah. Matanya jadi kelihatan keren banget. Lebih cling, pandangannya terlihat tajam, menghujam setiap mata yang memandanganya, He…he…”
“Nggak perlu di dramatisir gitu deh. Tapi Fi, mama gue mana mungkin mau beliin gue contact lens. Kan pasti mahal.”
“Ka, penampilan sempurna itu kan memang butuh pengorbanan. Lo nggak usah jajan. Kumpulin deh duit jajan lo buat beli contact lens.”
“Gue nggak jajan? Terus, nanti gue makan apa dong?”
“Duh, terserah lo deh, Ka. Pokoknya gue udah ngasih saran terbaik supaya elo bisa tetap melihat jelas, tapi nggak perlu jadi bertampang culun. Lo tinggal pilih, mau kelihatan cupu atau mau kelihatan makin keren.”
Anka terdiam. Sibuk berpikir. Benar juga kata Fifi. Jika ia memakai contact lens, pasti penampilannya akan semakin modis. Tapi…
***
“Apa? Kamu minta dibelikan contact lens? Itu kan mahal, Ka.” kata Mama terkejut ketika Anka menyampaikan niatnya ingin memakai contact lens.
“Ma, masak Mama tega Anka nggak bisa melihat tulisan di papan tulis. Nilai Anka bisa jeblok kalau kurang paham apa yang di tulis Pak guru dan Bu guru di papan tulis.” rajuk Anka.
“Supaya kamu bisa melihat jelas kan nggak harus pakai contact lens, Ka. Pakai kacamata juga bisa memperjelas penglihatan kamu. Lagipula, contact lens itu kan perawatannya nggak gampang. Harus benar-benar bersih. Harus disiplin. Mama nggak yakin kamu yang super sembrono bisa memakai contact lens dengan benar.”
“Ih, Mama jangan under estimate Anka gitu dong! Anka nggak mau pakai kacamata, Ma. Anka nggak mau kelihatan seperti kutu buku.”
“Lho, menurut mama kutu buku itu bagus. Berarti terlihat smart, rajin membaca buku. Iya, kan? Sudah, besok mama antarkan kamu ke optik. Mama belikan kamu kacamata minus.”
“Tapi, Ma…”
“Anka, nggak ada tapi. Kalau kamu mau melihat jelas, pakai kacamata. Kalau kamu nggak mau pakai kacamata, ya sudah, nggak usah melihat jelas.” kata Mama tegas. Anka mendengus kesal.
***
“Aduh, Fi…apa kata dunia kalau gue pakai kacamata. Gue sebel, sebel, sebel!”
“Weits, jangan berlagak drama queen gitu dong. Dunia baik-baik saja kok kalau elo pakai kacamata. Tetap saja dunia terancam global warming. He…he…”
Anka mendelik.
“Eh, tapi, menurut gue, pakai kacamata juga keren, Ka. Afgan aja pakai kacamata tetap kelihatan keren, kan?” kata Fifi sambil nyengir meledek.
“Tapi kan gue nggak mau kelihatan seperti Afgan. Gue pengen kelihatan seperti Luna Maya…”
“Lho, Luna Maya kalau pakai kacamata memangnya jadi kelihatan seperti Afgan?” ledek Fifi lagi.
“Fifi!” teriak Anka kesal.
“Serius, Ka. Menurut gue, tergantung lo milih model kacamatanya seperti apa. Jangan yang jadul dong. Pilih yang model retro. Kan lagi ngetrend juga, Ka. Siapa tau lo malah bisa jadi trendsetter di sekolah kita. Kelihatan makin keren pakai kacamata, gitu!”
Anka mulai terpengaruh kata-kata Fifi.
“Nggak tau deh. Ntar gue coba dulu. Mama gue maksa mau nganterin gue ke optik nanti sore.”
“Nah, gitu dong, say! Lo coba saja dulu. Siapa tau benar bisa kelihatan keren. Ingat, pilih yang model retro. Yang modis gitu. Jangan salah pilih.” pesan Fifi.
“Hmm, gue nggak sabar lihat penampilan baru lo besok!” kata Fifi lagi.
“Awas ya, kalau besok lo ngetawain gue…”
“Ya nggak lah. Kecuali kalau elo memang benar-benar kelihatan cupu abis, he..he..”
Anka mencubit pinggang Fifi gemas.
“Aww! Aduh, gue kan becanda, Ka!”
***
Ini kacamata ke sepuluh yang dicoba Anka. Tapi Anka belum juga merasa pas dengan kacamata-kacamata yang telah dicobanya itu.
“Ayo dong, Ka. Mama sudah hampir lumutan nih nunggu kamu. Hampir semua kacamata sudah kamu coba masak sih belum ada yang cocok?” Mama mulai protes.
“Sabar dong, Ma. Memilih kacamata yang tepat buat Anka itu penting, Ma. Kalau sampai Anka salah pilih, bisa hancur masa depan Anka.” jawab Anka kalem.
Mama menghela nafas berusaha sabar mengahadapi tingkah Anka.
“Coba tuh yang warna merah.” saran Mama.
Anka mencoba kacamata yang disarankan mamanya. Hm, benar! Yang ini terlihat oke. Pas membingkai wajah cantiknya. Anka tersenyum melihat bayangan wajahnya di cermin yang disediakan optik. Keren juga!
“Kamu terlihat makin cantik memakai kacamata itu.”
Terdengar suara yang rasanya Anka kenal. Dada Anka berdegup kencang. Perlahan ia menoleh ke arah sumber suara itu. Ia sungguh terkejut melihat sosok yang berdiri di samping kanannya.
“Ra…Ra..ma!?” seru Anka setengah tergagap.
Sosok tampan bertubuh atletis di sampingnya itu tersenyum mempesona.
“Aku nggak nyangka, Anka si cantik ternyata minus juga.”
“Rama, sedang apa kamu di sini?” Anka merasa malu. Malu sekali. Tampil seperti ini justru di depan Rama cowok satu sekolah yang sudah lama ditaksirnya. Hancur sudah harapannya. Terlihat kejelekannya di depan Rama.
“Sama seperti kamu lah. Mau beli kacamata minus.”
“Beli kacamata? U…untuk siapa?”
“Untuk aku dong!” jawab Rama datar.
“Untuk kamu?! Memangnya kamu minus juga?” tanya Anka tak percaya.
“Iya. Aku minus tiga.”
“Tapi, aku nggak pernah melihat kamu pakai kacamata. Aku pikir…”
“Kamu pikir aku cowok sempurna…ganteng, pintar, ngetop…”
“Ih, ge-er!”
“He…he…becanda, Ka, maksudku, selama ini aku memang menutupi keadaanku yang sebenarnya. Sebagai kapten tim bola basket sekolah kita, tentu saja aku nggak mungkin pakai kacamata. Selama ini aku pakai contact lens. Sejak kelas satu, aku memakai contact lens bening, makanya nggak ada yang sadar kalau aku sebenarnya minus.”
“Terus, kenapa sekarang kamu mau pakai kacamata?”
“Aku capek pakai contact lens. Karena perawatan memakai contact lens agak rumit, butuh ketelitian dan kedisiplinan menjaga kebersihan. Aku akan tetap memakainya tapi hanya ketika sedang main basket saja supaya nggak mengganggu gerakan. Lagipula, sekarang pakai kacamata kan lagi trend. Lihat saja Afgan tuh!”
“Ih, kamu tuh kayak Fifi. Sama-sama terpesona sama Afgan yang kelihatan keren pakai kacamata.”
“Enak saja, siapa yang terpesona sama Afgan. Aku kan cuma bilang contohnya Afgan. Aku terpesona sama kamu kok.” goda Rama.
“Gombal!” sahut Anka sedikit malu.
“Serius! Kamu terlihat makin cantik. Bisa-bisa aku naksir nih!”
“Gombal asli!”
“He…he…lihat saja apa komentar teman-teman besok melihat kita barengan pakai kacamata ke sekolah.” goda Rama lagi sambil mengedipkan sebelah matanya pada Anka.
Anka tersenyum tak bisa menyembunyikan rasa senangnya.
Lihat saja, apa komentar Fifi besok!
~ Fin ~
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar