Laman

Kamis, 19 Mei 2016

Backpacker stories part 4 : Keliling Pnomh Penh, Kamboja

Hari ke-4 perjalananku, pagi pertama di Pnomh Penh.

Kami memilih sarapan di hostel walau masih harus bayar $1. Pilihannya hanya roti tawar gandum, bisa dengan telur ceplok atau sosis panggang.

Usai sarapan, aku dan dua temanku mulai berjalan menuju Royal Palace yang tidak jauh dari hostel. Hari itu panas sekali. Ternyata Kamboja jauh lebih panas dari Jakarta. Sepanjang jalan selalu bertemu tuk tuk yang menawarkan jasa. Padahal kami lebih suka jalan kaki. Olahraga sekaligus ngirit, hehehe.

Kami tidak masuk ke Royal Palace karena baru dibuka pada pukul 2 siang. Waktu kami hanya terbatas di sini. pukul 2 siang, kami sudah harus naik bus menuju Siem Reap.

Karena itu, pukul 8 pagi kami sudah menuju Royal Palace, memotret keindahannya.










Di halaman depan Royal Palace ini banyak sekali burung. Ada beberapa orang yang menawarkan makanan burung. Tapi kami bersikeras tidak mau membeli. Khawatir nanti diberi harga mahal. Jadi, sebenarnya selama kami berjalan dan memotret sekitar istana ini, kami diikuti seorang anak, seorang ibu penjual makanan burung dan seorang bapak yang menawarkan tuk tuk. Walau kami sudah bilang no, thanks, dan memberi tanda tidak dengan tangan, mereka tetap mengikuti kami. Sekali-kali mereka membiarkan kami nggak diikuti juga sih. Walau agak terganggu, tapi mereka nggak terlalu mengganggu.









Usai berpanas-panas ria di Royal Palace, kami melanjutkan perjalanan menuju candi Wat Phnom, yang ternyata jauuuuuh sekali. Entah berapa kilometer, pukul 11 lewat baru kami sampai ke candi itu.







Masuk ke Wat Phnom ini hanya bayar $1, tapi kami tidak masuk karena waktu kami terbatas. Setelah memotret di depannya, kami pun berjalan lagi kembali ke hotel di bawah sinar matahari yang super terik.

Ternyata saat itu suhu di Pnomh Penh 39 derajat celcius! Pantas saja ...

Dalam perjalanan pulang kami menemukan restoran middle east yang pasti halal. Kami pun memesan makanan take away. Aku memesan makanan yang mirip dengan kebab, hanya kulitnya lebih tipis.





Ternyata makan ini kenyang banget. Harganya $3 saja

Setelah itu kami kembali ke hostel. Seusai makan, kami segera check out. Ada mobil yang menjemput kami, membawa kami ke terminal bus. Singkat saja kunjungan kami ke Pnomh Penh yang ternyata memang lebih menyerupai kota kecil. Padahal ini ibukota Kamboja. Percayalah, lebih megah Jakarta, ibukota Indonesia. Namun, cukup menyenangkan pernah berada di sini, menjadi pengalaman yang tak terlupakan.

Apalagi di sini kami bertemu sesama backpacker asal Indonesia yang traveling sendirian. Kami juga berkenalan dengan mantan warganegara Malaysia yang sudah berpindah kewarganegaraan menjadi WNI tapi logat bicaranya masih Malaysia. Ceritanya tentang alasannya pindah kewarganegaraan sungguh membuatku terkejut. Tapi nggak aku ceritain di sini ah. Biar aku simpan untuk bahan di novelku tahun depan ;)

Menuju Siem Reap, butuh waktu sekitar 7 jam. Kami sampai di sana sekitar pukul 9 malam. Lelah dan lapaar. Beruntung hostel kami dekat sekali dengan supermarket. Setelah memasukkan barang ke kamar, mandi, kami pun keluar belanja di supermarket. Makan malam cukup mi instan dan pisang. 

Semua harga di supermarket itu dalam dolar. Jadi, mata uang yang berlaku di Kamboja dolar US dan reel Kamboja. 

Setelah makan malam, kami segera tidur. Karena besok sebelum subuh, kami harus berangkat ke Angkor Wat, untuk melihat matahari terbit di komplek candi yang saat ini makin populer itu.


Rabu, 18 Mei 2016

Backpacker stories part 3 : Indepedence Palace, Notre Dame, Post Office di Vietnam, kemudian menuju Kamboja

Hari ke-3 di Vietnam

Lagi-lagi aku memilih menu sarapan roti Vietnam dan telur dadar. Hari itu kami harus berangkat pagi-pagi sekali. Kami ingin menyelesaikan wisata kota yang belum tuntas. Ada 3 tempat lagi yang ingin kami kunjungi.

Hari itu, waktu kami sangat singkat. Pukul setengah 1 siang harus sudah kembali ke hostel, check out, kemudian naik bus menuju Kamboja.

Tepat pukul 8 pagi, kami keluar dari hostel. Pemilik hostel berbaik hati menemani kami ke pasar mencari kopi Vietnam dengan harga lebih murah daripada di night market.

Setelah mendapat kopi, aku, dan dua temanku mulai berjalan menuju Indepedence Palace. Kami jalan santai sambil ngobrol, hingga tak terasa sampai juga. Di sini, hati-hati saat berjalan di trotoar. Seringkali ada motor yang tiba-tiba muncul dari belakang.

Yup, sama seperti di beberapa tempat di Indonesia, masih ada pelanggar lalu lintas yang melajukan motor di trotoar.



Di Indepedence Palace kami hanya memotret dari luar saja. Setelah itu kami melanjutkan berjalan kaki menuju Notre Dame.



Rupanya, Notre Dame ini menjadi spot favorit untuk berfoto. Kami pun harus antri menunggu agak sepi.


Di seberang Notre Dame ada post office dengan bangunan lama yang masih berfungsi, bahkan jadi salah satu tujuan wisata.








Usai memotret Notre Dame dan Pos Office, kami kembali ke hostel, karena waktu sudah menjelang setengah 12. Lagi-lagi kami makan siang di Jalan Nguyen An Ninh. Kami kembali memilih Restoran Halal Amin. Tapi kali ini kami beli makanan dibungkus, dibawa pulang ke hostel, karena harus berburu dengan waktu.


Sesampai di hostel kami buru-buru check out. Memakan makanan kami dengan cepat, membayar hostel, kemudian bersiap menuju terminal bus. Saatnya kami memulai perjalanan selanjutnya menuju Kamboja.

Kami akan ke ibukota Kamboja dulu, Phnom Penh. Katanya membutuhkan 6 jam perjalanan sampai ke sana. Sepanjang jalan hanya ada pemandangan pepohonan yang kering, kami tidak melihat hamparan sawah. Yang terlihat hanya hamparan gersang dan pedesaan yang masih sepi. Tampak rumah masih tradisional Kamboja, berbentuk rumah panggung.

Ada satu gadis bule dari Ukraina yang ikut dalam bus. Kami sesekali berbincang sambil tukeran snack. 

Perbatasan Vietnam-Kamboja agak bikin was-was. Bus yang kami tumpangi hanya berisi sekitar 6 orang. Sisanya digunakan untuk mengangkut barang. Rupanya di perbatasan agak dicurigai, hingga bus diperiksa polisi dengan anjing pelacak. Untungnya barang yang dibawa sopir bus plus kenek aman-aman saja. 

Perbatasan Vietnam-Kamboja seperti ini aja




Untunglah kursinya nyaman. Lihat, di bawah kursi penuh barang, bukan punya kami

Pemandangan dari dalam bus




Bus kami berangkat pukul setengah 2. Sampai di Phnom Penh sekitar pukul setengah sembilan malam. Rasanya sudah lapar dan lengket tubuh ini. 

Kami masih harus menawar tuk-tuk yang akan membawa kami ke hostel. Kami ngotot dengan harga $4 saja. Oh iya, ternyata di Kamboja ini menerima dolar US untuk transaksi. Jadi, kami tidak perlu menukar uang ke mata uang reel. Kami memang bawa dolar sejak dari Kuala Lumpur.

Akhirnyaaa ... pukul sepuluh lebih kami sampai di hostel. Rasanya lelah sekali. Bahkan aku sudah nggak minat makan malam. Aku langsung tidur. Pukul dua malam baru aku bangun. mandi kemudian sholat. Lalu tidur lagi. Hari itu, benar-benar hari yang melelahkan.


Pamflet Cu Chi Tunnel


Suvenir khas Vietnam



Oleh-oleh khas Vietnam. Pho instan dan kopi Vietnam


Bentuknya seperti kwetiaw tapi tipis



Minggu, 15 Mei 2016

Backpacker stories part 2 : Menyusuri Cu Chi Tunnel, Vietnam

Hari ke-2 di Vietnam.

Kami memulainya dengan sarapan di hostel. Aku memilih menu roti khas Vietnam yang mirip roti Prancis, dengan telur dadar. Minumnya kopi Vietnam. Ya, aku mau nyobain. Kopi Vietnam yang top itu seperti apa rasanya.


Enaknya di hostel, suasananya bagai rumah kos-kosan. Kami makan bersama turis lain yang juga menginap di sini. Umumnya anak-anak muda dari berbagai negara. Saat sarapan itu, beruntung di hadapan kami sarapan juga cowok asal Belanda yang super ganteng. Dengan mata biru gelap. Dia tersenyum ramah dan menyapa kami. Lalu kami mengobrol. Oke, aku simpan dia sebagai salah satu karakter di novelku kelak ^_^.

Ah, backpackeran ternyata memang menyenangkan ... bagiku, ini bukan liburan, tapi perjalanan. Menambah wawasan dan membuka pikiran.

Usai sarapan, kami bergegas memulai tur kami hari itu, menuju Cu Chi Tunnel yang lumayan jauh dari kota. Sekitar 60 km, akan memakan waktu 1.5 jam perjalanan. Kami pergi bersama rombongan turis lain dalam sebuah large van. Aku tidak menghitung jumlah kami, tapi sepertinya ada belasan orang.

Sepanjang perjalanan, guide kami bercerita tentang Vietnam dan Kota Ho Chi Minh. Kebetulan guide yang bernama Nim itu duduk di sebelahku. Aku manfaatkan untuk bertanya lebih jauh tentang Vietnam. Siapa tau bisa jadi bahan tulisanku selanjutnya kan? ;)

Setengah perjalanan, van kami berhenti di sebuah pusat kerajinan yang pengrajinnya para penyandang disabilitas. Sekaligus jika ada yang mau ke kamar kecil dipersilakan di sini.






Ini nomor van yang membawa rombongan kami

Setelah perjalanan cukup lama dan sempat terkantuk-kantuk, sampai juga kami di Desa Cu Chi. Pernah nonton film perang Amerika lawan Vietkong? Vietkong itu pasukan gerilya Vietnam yang karena taktik menciptakan terowongan sepanjang kurang lebih 200 meter, plus banyak jebakan-jebakan, pasukan Amerika sulit mengalahkan mereka.

Aku tahu pasukan Vietkong dari film perang yang pernah kutonton.

Diberi penjelasan tentang Chuci Tunnel dan menonton film dokumentar tentang vietkong

Salah satu jebakan yang dibuat tentara vietkong

Jebakan rahasia Vietkong
Pintu masuk lainnya

Diorama seukuran manusia asli

Sisa tank tentara Amerika

Beragam jebakan yang ngeri-ngeri



Di antara daun-daun kering itu, ada pintu masuk menuju ruang bawah tanah
tempat pasukan Vietkong bersembunyi

Salah satu lubang masuk tunnel yang disamarkan. Hanya tentara Vietkong yang tahu,
pasukan Amerika tidak tahu

Ukurannya pas banget dengan tubuh langsing. 

Seperti ini cara masuknya, lengan diangkat ke atas

Tadaaa! Lubang masuk kembali tertutup, tidak terlihat

Pemandu memperlihatkan kepada kami salah satu pintu masuk menuju terowongan bawah tanah tentara Vietkong. Ukurannya kecil sekali. Hanya pas untuk satu orang bertubuh langsing. Ada teknik khusus cara masuknya. Buka pintu kayu lepasan, turun terlebih dulu, letakkan daun-daun kering di atas pintu seperti lingkungan sekitarnya. Lalu angkat pintu ke atas kepala, hingga kedua lengan lurus ke atas, lalu turun perlahan hingga semua tubuh masuk ke dalam terowongan. Pintu pun kembali menutup lubang dan tak akan terlihat oleh musuh.

Banyak turis yang mencoba masuk ke dalam, tapi aku tidak. Takut nggak muat :D






Masih banyak ragam pintu masuk ke terowongan bawah tanah. Di sini pun ada tempat pembuatan senjata pasukan Vietkong. Lengkap dengan robot berbentuk manusia yang benar-benar bisa bergerak seolah sedang bekerja membuat peluru. Waah, hebat!




Persedian peluru tentara Vietkong

Buat yang mau nyobain menembak bia di sini.
Tapi aku sayang uangnya kalau dibeliin peluru.
Mending buat beli es krim :)



Seperti inilah terowongan bawah tanah tempat persembunyian
dan gerilya tentara Vietkong



Setelah hampir dua jam berkeliling tempat ini, kami pun kembali ke Ho Chi Minh City.
Sampai di kota pukul 3 sore.


Di dalam pasar Ben Thanh



Kami mampir ke Ben Thanh Market. Lalu kembali makan siang di Jalan Nguyen An Ninh.



Kali ini kami mencoba restoran halal lain. Aku pun akhirnya mencoba makanan khas Vietnam, PHO. Melihat penampilannya pertama kali, aku mengira sejenis soto. Tapi ternyata rasanya beda. Sama-sama enak. Pho ini semacam kwetiaw tapi tipis dan langsing lalu diberi kuah. Ada dagingnya bisa ayam atau daging sapi.


Ini lah Pho

Setelah makan kami kembali ke Hostel. Beristirahat sejenak. Sesudah maghrib kami keluar lagi menyusuri jalanan Kota Ho Chi Minh mulai mencari oleh-oleh kopi Vietnam yang terkenal dan suvenir.