Laman

Minggu, 29 Desember 2013

Pengalaman Membuat Paspor : Mudah atau Rumit? Mahal atau Murah?

Saat bertemu sepupuku Nany Rahayu di Jogja, ia bertanya padaku,

"Kamu mau ikut nggak ke Bangkok? Sebelum tanggal 6 Januari aku harus keluar Indonesia dulu, baru masuk lagi supaya visanya bisa nambah setengah bulan lagi."

Mbak Nany memang sudah dianggap sebagai warga negara Belanda.
Tentu saja tawaran itu tidak kusia-siakan. Padahal jelas-jelas aku tidak punya paspor. Aku hanya punya waktu singkat untuk membuat paspor. Aku terima saja tawaran Mbak Nany, dengan keyakinan aku pasti bisa mendapat paspor sebelum waktu keberangkatan.

Sesampai di Jakarta tanggal 17 Desember. Segera aku mengikuti saran adikku. mendaftar via online.seharian aku mencoba mendaftar. Ternyata pendaftaran via online sudah penuh.

Akhirnya keesokan harinya, aku mendatangi langsung imigrasi Jakarta Barat yang terletak di wilayah seputar kota tua. Aku memang memilih mengurus sendiri, bukan via agen atau calo. Aku datang ke kantor imigrasi benar-benar sebagai orang yang tidak tahu apa-apa.

Aku ikuti prosedurnya. Mengisi formulir. Menyerahkan berkas berisi fotocopy KTP, akta kelahiran dan kartu keluarga. Lalu aku mendapat informasi mengejutkan.

Imigrasi Jakarta Barat sudah menjadi percontohan untuk pelayanan pembuatan paspor one day service untuk yang ingin memperpanjang paspor dan elektrik paspor untuk permohonan baru.
Yang membuatku terkejut adalah, ternyata permohonan paspor baru di Imigrasi Jakarta Barat wajib e-paspor dan biayanya sebesar Rp 655.000,-

Aku terkejut, karena sebelumnya aku sudah bertanya pada beberapa teman, biaya pembuatan paspor hanya Rp 255.000,-

Ternyata e-paspor jauh lebih mahal dan di sana wajib e-paspor. Jika aku keberatan dengan e-paspor, aku dipersilahkan membuat paspor di imigras lainnya.

 Sudah terlanjur maka kulanjutkan saja proses permohonan pasporku.



Daftar biaya permohonan paspor di imigrasi Jakarta Barat


Aku mendapat penjelasan prosedur standar pembuatan paspor adalah 3x bolak balik ke imigrasi.
Inilah langkah-langkahnya :

1. Isi formulir, kemudian beserta berkas-berkas berupa fotocopy KTP, KK dan akta lahir, serahkan kepada petugas loket permohonan paspor. Petugas akan memberikan surat jumlah biaya yang harus dibayar ke Bank BNI sebagai bank rekanan imigrasi. Di surat itu juga tercantum kapan diminta kembali. Aku diminta dua hari lagi kembali. 

2. Di hari yang sudah ditentukan, aku datang lagi ke imigrasi menyerahkan bukti pembayaran via bank BNI. Setelah itu antri foto dan wawancara. Kemudian usai wawancara petugas imigrasi akan memberikan form untuk pengambilan paspor tiga hari kemudian.

3. Barulah datang kembali ke imigrasi untuk mengambil paspor

Harusnya hanya tiga kali aku bolak balik ke imigrasi. Tapi kenyataannya aku dipaksa harus 4 kali balik ke imigrasi hanya karena pihak bank tempat aku membayar belum standar sesuai dengan yang diminta imigrasi.

Bukti pembayaranku ditolak imigrasi. Karena aku hanya membawa satu lembar tanda bukti. Bendahara imigrasi bilang, seharusnya bukti pembayaran dari BNI ada 3 rangkap. Satu untuk pemohon, satu untuk pihak imigrasi dan satu lagi untuk pihak bank

Sedangkan BNI memang hanya memberikan bukti pembayaran satu lembar saja. 

Ada satu lagi kesalahan BNI cabang Taman Semanan Indah tempat aku membayar. Bukti pembayaran untuk pihak imigrasi seharusnya tidak dicantumkan biaya administrasi Rp 5000. Sehingga biaya total tetap Rp 655.000,-

Aku cukup kecewa mendapati ada kesalahan demikian, karena itu artinya aku harus mengurus soal bukti pembayaran ini di BNI dan esoknya aku harus kembali lagi ke imigrasi menyerahkan bukti pembayaran ke sana.

Sepulang dari imigrasi, aku mampir ke BNI dekat rumahku, cabang Taman Srmanan Indah. Aku jelaskan apa yang diinginkan imigrasi. Tapi sungguh jawaban teller BNI mengejutkanku. Mereka bilang standar mereka memang bukti pembayaran hanya satu lembar untuk customer.

Aku sudah jelaskan, pihak imigrasi minta bukti pembayaran untuk mereka. Tapi hanya diberikan foto copy. Aku pun pergi dari BNI dengan emosi meluap karena merasa dipermainkan sistem yang belum standar. Dan mereka hanya bisa menyalahkan aturan itu masih baru diterapkan, baru sebulan.

Baru separuh jalan menuju rumah, aku ingat, fotocopy bukti pembayaran itu tidak kuat. Aku kembali berbalik ke BNI dan meminta fotocopy bukti itu distempel, dan ditandatangani agar memang jelas berasal dari BNI, bukan hasil fotocopy-ku sendiri.

Keesokan harinya aku kembali ke imigasi. was-was bukti fotocopy itu masih ditolak imigrasi. Untunglah akhirnya diterima, sang petugas imigrasi lalu melapor ke BNI pusat menyampaikan BNI cabang Taman Semanan Indah belum mengikuti standar untuk pembayaran paspor yang mengharuskan bukti 3 rangkap.

Ooh, sungguh! Membuat paspor sendiri itu gampang-gampang susah. Karena terpotong libur dua hari, tgl 25-26, maka pasporku baru jadi tanggal 27.

Aku berangkat lagi ke imigrasi tanggal 27. kubayangkan aku akan mengantri lama untuk mengambil paspor. Ternyata tidak ada antrian. Dalam waktu singkat, aku sudah mendapatkan pasporku yang begitu susah payah mengurusnya sendiri.



Ternyata hanya berupa buku bersampul hijau seperti biasanya. Lalu, di mana letak perbedaan paspor itu sebagai e-paspor dengan paspor biasa? Setelah aku tanya, katanya di lembar terakhir terpasang chip yang memuat segala informasi bisa dilihat secara elektrik di bandara.

Huft! Demikianlah lika-likuku membuat paspor. Aku berharap paspor ini akan menjadi pembuka jalan bagiku untuk berkunjung ke banyak negeri di luar Indonesia. Siapa tahu aku bisa ke New York, seperti setting dalam novelku "Tahajud Cinta di Kota New York" . Aamiin ... ^_^

Kemudian ... Mbak Nany mengabarkan....

"Kita nggak jadi ke Bangkok. Ke Singapur aja ya? Di Bangkok lagi banyak demonstrasi anti pemerintahan. Takut nanti ada kerusuhan."

Yaaah, buatku, mau ke mana pun tak masalah. Bagiku ini rezeki tak terkira, akhirnya aku mendapat kesempatan berkunjung ke negara lain. ^_^ 

Maka, nikmat Tuhanmu yang mana yang kau dustakan?
Maha suci Allah yang telah melimpahkan rezeki untukku.
Selain mendapat kesempatan ke Singapura gratis,
masih ditambah adikku memberikan sisa uang dolar Singapura miliknya yang tersisa.
Alhamdulillah ^_^






4 kali bolak balik ke kantor imigrasi Jakarta Barat, sekalian saja kumanfaatkan 
untuk melihat-lihat suasana sekeliling Museum Fatahillah yang sedang direnovasi.
 Ternyata di hari biasa pun cukup ramai.

Ah, sekalian ingin mengabarkan ... novel terbaruku denganb Gramedia Pustaka Utama telah terbit ^_^ Semakin memantapkanku untuk berkarir sebagai penulis. Aku senang sekali setiap kali mendapat respon dari pembaca yang menyukai tulisanku. Buat yang hobi membaca kisah romantis, yuuuuk, koleksi novel terbaruku : 
"HATIKU MEMILIHMU"



Koleksi buku-buku karyaku ^_^

Sabtu, 28 Desember 2013

Catatan Perjalanan 1 : Jakarta-Jogja-Sidoarjo-Surabaya-Suramadu-Madura

Tanggal 7 Desember 2013 ... akhirnya, sepupuku Nany Rahayu datang ke Indonesia dari Belanda. Aku dan ibuku menemuinya sebentar di bandara Soekarno-Hatta sebelum ia melanjutkan perjalanan ke Jogja.
Bertemu hanya sesaat, menitipkan oleh-oleh coklat dari Belanda untuk semua keluarga di Jakarta.

Wuiih banyaaaak... coklat, parfum, aneka peralatan tulis untuk keponakan-keponakannya ...



Beberapa coklat Belanda berbentuk koin dan uang kertas euro

Kemudian Mbak Nany mengajak aku dan ibuku untuk menyusulnya ke Jogja. Aku dan ibu tentu saja senang. Keesokan harinya kami menyusul ke Jogja naik bus AC eksekutif. Kebetulan kami beruntung, bus hanya sedikit penumpang. kami bisa duduk dengan lega. perjalanan juga tumben sekali sangat lancar, sehingga berangkat dari Jakarta pukul 5 sore, pukul 4 pagi kami sudah sampai di Desa Janten, Temon, Kulon Progo, Yogyakarta.

Wuaaah, seru banget, ketemu dua sepupuku yang tinggal di sana, bulikku, satu keponakanku dan tentunya Mbak Nany yang sudah lebih dulu sampai.


Tiwul dan tempe benguk
Makanan khas Kulon Progo

Ketemu Aying Markoying, kucing keluarga Janten yang sedang hamil

Agak siang, kami jalan-jalan ke kota Jogja. Dari Desa Janten, berjarak 1 jam perjalanan. Desa Janten termasuk dalam wilayah Propinsi D.I. Yogyakarta. 
Sepupuku mengajak makan siang di sebuah rumah makan dengan suasana khas Jogja banget. RM Raminten. 


House of Raminten
Interior Raminten
Makan diiringi tembang Jawa 

Wedang sereh khas RM Raminten
Dengan gelas tinggiii seperti vas bunga

Keunikan House of Raminten adalah penyajian makanan dengan selera humor. Porsinya jumbo. Salah satunya gelas untuk wedang sereh tinggi sekali. Aku kaget pertama kali melihatnya. Seperti vas bunga.

Setelah seharian itu kami jalan-jalan ke Jogja, keesokan paginya dimulailah perjalanan panjang kami dari Kulon Progo menuju Sidoarjo. 9 penumpang naik mobil elf yang cukup lega. Kami berangkat pukul 5.30 dan sampai di Sidoarjo pukul 7 malam. Mandi di hotel, kemudian bersiap berkunjung ke rumah Pakde di daerah Sidoarjo itu.

Keluarga Pakde-ku yang rumahnya pernah menjadi korban lumpur Lapindo.
Alhamdulillah Pakde mendapat uang ganti sehingga bisa membeli rumah baru.

Esok paginya, kami memulai wisata dari Sidoarjo, lewat Surabaya dan Suramadu menyeberang ke Madura.
Semula kami ingin menyaksikan keadaan wilayah yang terkena lumpur Lapindo. Tetapi kami terkejut, sesampai di sana ternyata yang terlihat hanya tanggul tinggi. Setelah kami parkir dan turun dari mobil, ada seorang pemuda yang datang dan menagih uang parkir sebesar Rp 70.000,-. 

Karena tak ada tiket, tak jelas dananya akan ke mana, kami memutuskan mengurungkan niat melihat lautan Lumpur Lapindo. Mobil terus melaju melewati Surabaya, menuju Suramadu ...

Akhirnya ... melihat Surabaya juga ...


Inilah Jembatan Suramadu yang terkenal itu...

Akhirnyaaaa ... aku sampai juga ke Surabaya kemudian melewati jembatan fenomenal yang melintasi laut Jembatan Suramadu. Tiap kali kami bertanya sejak di Sidoarjo pada penduduk lokal mengenai tempat paling terkenal di Madura, semua merekomendasikan tempat yang sama, Rumah makan BEBEK SINJAY.

Karena penasaran seperti apa enaknya, kami pun makan siang di sana.



Bebek Sinjay, kuliner Madura yang terkenal hingga Sidoarjo.
Suvenir khas Madura, kuda lumping



Oleh-oleh kaos bergambar Jembatan Suramadu


Dari Madura kami menuju Mojokerto untuk mengunjungi Bude. Rumahnya tak jauh dari tepian Kali Brantas.

Tak sangka di desa ada snack enak-enak begini ... ^_^

Mejeng dulu bersama keluarga Bude Mojokerto ^_^

Malam kami kembali ke hotel. Beristirahat, karena tepat pukul 6 pagi, kami sudah siap berangkat lagi kembali menuju Jogja ...

Kami makan siang di sebuah rumah makan yang sejuk dan asri.
Namanya Rumah Makan Padi. DI sini tersedia nasi yang berasal dari beras organik

Kanan kiri sawung-sawung, tengahnya kolam panjang dipenuhi pohon teratai.
Di belakang dan kanan kiri saung adalah hamparan sawah.
Tersedia sepeda bagi yang ingin bersepeda menyusuri pematang sawah.



Sekitar pukul 7 malam, kami sudah tiba lagi di Desa Janten yang tercinta.
Ini halaman rumah. Di seberang sana adalah SDN Janten

Pukul setengah 7 malam, kami sudah berada di Janten lagi. Huft, capeknya bukan main. Tapi kami senang. Apalagi bawaan oleh-oleh kami banyaaaak...

Esok paginya, aku kembali menikmati udara Janten yang sejuk, menyaksikan anak-anak TK berlatih drum band. Waaah, hebat ya TK di Desa Janten, jago main drum band loooh. Lihat, Marianqa keponakanku latihannya semangat banget  ^_^



Rumah Janten tepat berada di depan SD dan TK. Bahkan menjadi tempat menyimpan peralatan drum band anak TK. Seru juga melihat anak-anak kecil ini berlatih penuh semangat.

Menyiapkan oleh-oleh untuk kembali ke Jakarta



Bakpia rasa baru yang enak banget. Rasa ubi ungu


Sebelum kembali ke Jakarta, paginya aku dan ibuku masih diajak jalan-jalan ke Jogja. Merasakan makan dalam suasana lingkungan keraton Jogja di Restoran Gandry.

Pintu depan Restoran Gandry. Ada lambang Kraton Jogjakarta

Foto keluarga bangsawan terpajang di ruang dalam

Interior rumah yang sanhgat Jogja

Sambil makan diiringi gamelan jawa

Tersedia toko suvenir juga

Ini menu yang kupilih. nasi goreng favorit
Hamengkubuwono IX

Bir Jawa, campuran air gula jahe dan sereh.
Pedas jahe dan Hangat
Lucu ya, pakaian tentara Kraton Jogja
Setelah menikmati makan ala bangsawan Jogja, kami melanjutkan perjalanan tak jauh dari situ, menuju Taman Sari, tempat pemandian puteri-puteri Kraton sekitar tahun 1600an

Pintu masuk Taman Sari










Setelah puas melihat-lihat Taman Sari, kami pulang kembali ke Janten. Mandi, kemudian aku dan ibuku diantar semua saudara dan Budeku, kami menuju Stasiun Kereta Wates. Siap-siap kembali ke Jakarta




Wah, ternyata kereta Senja Utama sekarang cukup nyaman. Ber AC dan disediakan colokan listrik untuk charger HP Keren yaaa ^_^

Baru tahu disediakan ini
Selesai sudah perjalanan panjang bersama keluarga Janten dan Mbak Nany.
Goodbye Jogjakarta, Welcome Jakarta ...

Ini baru liburan keluarga Martodijoyo tahap pertama loh. Tunggu lanjutannya yaaa... ^_^

Rabu, 18 Desember 2013

Laugh at your job : Masakan daging palsu ...

Kali ini aku ingin berbagi pengalamanku saat bekerja di perusahaan ke 7.

Akhirnya ... aku kembali bekerja di sebuah konsultan desain arsitektur dan interior, Envirotect Consultant Design.

Kenangan tamasya ke Taman Safari bersama tim Envirotect...
Kangen teman-teman ^_^

Mendapat kesempatan bekerja di sebuah perusahaan konsultan desain arsitektur dan interior yang dimiliki orang asing ternyata cukup memberi banyak pengalaman penuh warna. Pemilik perusahaan itu adalah seorang warganegara Singapura. Tak biasa berbahasa Indonesia, hanya mampu berbahasa Inggris dan Mandarin. Mungkin sebuah keberuntungan jika kemudian aku bisa bekerja di perusahaan itu karena jelas-jelas aku tak paham bahasa Mandarin dan Bahasa Inggrisku pun pas-pasan.

Seminggu pertama aku bekerja, aku masih tenang-tenang saja. Meja di sebelah mejaku kosong. Kata temanku, itu adalah meja Pak Paul yang sedang mudik ke kampungnya. Aku membayangkan dia mudik ke salah satu pelosok kampung di Indonesia. Seminggu kemudian, barulah aku terkejut melihat rekan kerjaku yang akan duduk bersebelahan denganku itu. Sosoknya lumayan tinggi agak besar, berkulit putih, berwajah kebule-bulean. Ia tersenyum ketika melihatku. Sebelum duduk, ia bertanya.

Can you speak English?
Terbengong-bengonglah aku untuk sesaat. Lalu kujawab,“Little-little sih, i can.”
Ia mengangguk-angguk.
Good, good, because i can not speak Indonesian. I am from Philipine, just call me Paul.” katanya.

Ow, jelaslah sudah. Maka hari-hari selanjutnya aku harus membiasakan diri sering-sering mengobrol dalam bahasa Inggris patah-patah dengan si Paul. Apalagi ternyata dia hobi ngobrol. Mungkin karena di Jakarta ia tinggal hanya sendiri, tanpa keluarganya, maka aku dijadikannya sebagai tempat curhat apa saja. Cerita tentang dua anaknya yang sudah kuliah, tentang kota Manila yang dulu semacet Jakarta tapi sekarang tidak lagi semenjak ada MRT. Aku lebih sering mengangguk-angguk mengiyakan saja semua ceritanya walau kadang aku kurang paham maksudnya.

Ada satu lagi kisah lucu, ketika pada suatu hari aku memesan stiker nama dari temanku, si Paul tertarik ingin ikut memesan juga.



Ingat dulu banyak teman di Envirotect yang tertarik memesan stiker nama seperti ini ^_^


For my son, Kapin.” katanya.
Mulanya kupikir, nama orang Filipina lucu juga. Kapin. Hampir saja aku pesankan stiker bertuliskan nama “Kapin” , tapi untunglah ketika kuminta ia menulis kata pesanannya, ejaan nama anaknya yang benar adalah “Cavin”. Aku baru tahu kemudian, bahwa orang Filipina memang sering melafalkan huruf ‘f’ dan ‘v’ menjadi ‘p’.

Baru tiga bulan aku bekerja di sana ketika memasuki bulan Ramadan. Untuk menghormati anak buahnya yang mayoritas beragama Islam, Bosku mengadakan acara buka puasa bersama. Sebagai pegawai baru, tentu saja aku antusias menyambut acara buka bersama itu.

Meja rapat yang panjang diubah menjadi meja makan. Menjelang magrib, berbagai makanan mengundang selera tersaji di atas meja. Ada gulai ikan kakap, sate ayam, soto babat, mi goreng seafood, dendeng daging, ikan lele panggang bumbu manis tabur wijen.

Tajil juga tersedia, ada bakpao mungil, kue-kue tradisional, es buah. Sungguh semua mengundang selera. Semua pegawai yang berpuasa mau pun yang tak berpuasa telah berkumpul di sekeliling meja makan. Menjelang detik-detik azan magrib, bosku memberi sambutan, tentu saja dalam bahasa Inggris. Tapi Bosku itu rupanya keasyikan bicara sehingga azan magrib lewat beberapa menit, ia masih saja berbicara. Dan malangnya, tak ada yang berani menegur.

Lima belas menit sesudah azan magrib, barulah beliau selesai berpidato dan mepersilahkan kami makan. Langsung saja kami yang kelaparan menyerbu makanan yang tersedia. Tapi setelah aku mengunyah makanan itu, aku merasa ada yang aneh dengan rasa makanannya. Sate ayamnya terlalu manis, tepatnya, semua makanan terlalu manis.

“Rasa dagingnya aneh ya. Rasa ayamnya nggak seperti ayam biasanya,” bisikku pada seorang temanku yang telah lama bekerja di sana.
“Udah nyobain belum tuh soto babat?” tanya temanku itu.
Tentu saja semua makanan aku coba, soto babat, mi goreng seafood, gulai ikan kakap, dendeng daging, lele panggang.
“Ngomong-ngomong, semua daging ini halal kan ya? Kok rasanya nggak kayak daging yang biasa gue makan?” tanyaku pada temanku itu.
“Semua makanan ini dijamin halal, Rum!” jawab temanku.
“Yakin lo?”
“Ya iyalah! Secara semua ini daging palsu.”
“Daging palsu? Maksud lo? Ayamnya ayam tiren gitu? Babatnya bukan babat sapi?” tanyaku kebingungan.
“Ini semua sebenarnya bukan daging,” jawab temanku itu lagi.
“Hah? Masak sih? Waduh, kalo bukan daging apa dong? Dari karet atau dari plastik? Jangan nakut-nakutin nih, gue udah makan banyak!” seruku panik, karena semua makanan telah kucoba.

“Hehe, tenang aja Neng, nggak apa-apa. Semua daging ini daging buatan dari gluten, tepung terigu yang udah diolah sampai menyerupai daging gitu. Bos kita itu kan vegetarian, dia nggak makan daging, jadi kita juga harus ikutan deh nggak makan daging.”

Temanku menjelaskan.

“Oooh, gitu. Kirain gue daging palsu apaan,” jawabku lega sambil nyengir.
“Elo tau nggak, anjingnya aja vegetarian.” kata temanku lagi sambil asyik mengunyah sate ayam palsu.
“Hah?” sahutku takjub sambil geleng-geleng.

Aku ingat, bosku dan keluarganya memang vegetarian. Karena itu, inilah makanan yang mereka sajikan tiap kali mentarktir pegawainya saat buka puasa. Semua masakan vegetarian.

"Makanya gue sih sebenarnya nggak antusias kalau ada acara buka bersama di kantor. Dagingnya palsu semua. Biar gimana, tetap enakan yang asli," kata temanku lagi.

Aku hanya nyengir. Sebagai omnivora, aku menyetujui pendapat temanku. Tapi acara buka puasa bersama di kantorku itu cukup mengesankan. Setidaknya, aku jadi punya kesempatan mencicipi makanan vegetarian yang bentuknya benar-benar persis seperti daging asli.

Tapi ... benar kata temanku, aku tetap lebih suka sate ayam asli.

Maaf ya, ayam-ayam ... Hikssss


Senin, 02 Desember 2013

Laugh at Your Job : Mendadak Basah

Welcome Desember... bulan terakhir di tahun 2013..

Hm, kali ini aku mau cerita pengalaman lucu saat aku bekerja dulu... yuk baca ... ^_^




By : Arumi E.

Hidupku yang tadinya nyaman bekerja sebagai arsitek baru lulus di sebuah perusahaan konsultan desain kecil, terusik ketika Bos-ku mendadak punya rencana pensiun jadi arsitek dan ingin beralih profesi menjadi petani cabe. Ini sungguh-sungguh terjadi! Aku syok ketika mendengar niat Bos-ku itu.

Awalnya aku merasa nggak karuan. Baru kerja tiga bulan harus di PHK? Duh, cari kerja kan susah. Dengan rasa sedikit putus asa, kupandang wajah Bosku yang lumayan ganteng walau sudah setengah baya itu. Senyam-senyum berharap ada keajaiban yang akan membuat bos-ku itu nggak mem-PHK aku. Dan benar saja! Entah akibat senyum manisku yang berhasil menawan Bosku itu atau karena nasib baik sedang sudi mampir dalam kehidupanku yang waktu itu rasanya mendadak ruwet, aneh bin ajaib, Bos-ku itu menawarkan hal yang nggak aku sangka-sangka.

“Kamu mau kerja di pertanian cabe, di Mega Mendung?” tanya Bos-ku sambil memandangku dengan tatapan penuh keprihatinan dan kasihan.
“Hah? Gue kerja di pertanian cabe? Nggak salah nih? Bertahun-tahun gue belajar arsitektur kenapa malah dapet tawaran kerja jadi petani?” pikirku kaget sampai tersedak dalam hati.
“Kerja di pertanian cabe, Pak? Mm...kira-kira nanti tugas saya di sana apa, Pak? Nyangkul-nyangkul gitu nggak?” tanyaku antara ogah tapi mau. Bayanganku, kerja di pertanian berarti harus megang pacul dan ikut nyangkul.
“Kamu nggak perlu nyangkul lah Rum! Kamu kan bukan petani. Tugas kamu bikin peta. Nanti pohon-pohon cabe itu akan ditanam berdasarkan blok-bloknya. Blok A, B, C, D, E, dan seterusnya. Nah, tugas kamu menggambarkan blok-blok itu menjadi peta pertanian cabe dan mengatur petani-petani supaya membentuk lahan sesuai dengan peta yang kamu rencanakan.” Bos-ku menjelaskan panjang lebar sekaligus tinggi.

Singkat kata singkat cerita, setelah aku pikir bolak-balik, aku setuju dengan tawaran Bos-ku itu. Daripada di-PHK dan harus mulai cari kerja baru lagi, menjalani tes gambar autocad dan 3D max yang njlimet itu tapi belum tentu diterima. Lagipula berdasarkan penjelasan Bos-ku, tugasku nanti masih ada relevansinya dengan dunia arsitektur. Masih ada gambar-gambarnya walau yang kugambar nanti bukan rencana gedung melainkan rencana lahan pertanian cabe.

Di Mega Mendung, aku tinggal di Mess milik TNI-AL yang disewakan. Bangunan mess itu berlantai tiga. Terbuat dari struktur baja yang kokoh. Berdinding anyaman bambu artistik, berlantai papan, dan beratap asbes gelombang.

Kamarku dan Noni, sekretaris merangkap HRD, terletak di lantai tiga. Untuk menuju ke lantai tiga, tersedia tangga dari besi yang sangat curam dan hanya pas untuk satu orang. Untungnya, di lantai tiga itu juga tersedia kamar mandi sehingga kami nggak perlu naik-turun tangga curam itu jika hanya ingin ke kamar mandi. Karena hanya aku dan Noni perempuan yang tinggal di Mess itu, maka lantai tiga itu khusus untuk kami, laki-laki dilarang masuk. Semua pegawai laki-laki tinggal di lantai dua. Lantai paling bawah berfungsi sebagai tempat menyimpan barang-barang pertanian.

Di malam hari sepinya bukan main karena mess itu terletak di atas bukit yang jauh dari jalan raya Ciawi-Puncak juga jauh dari perkampungan penduduk. Hanya dikelilingi lahan kosong seluas sembilan hektar lebih yang nantinya direncanakan akan ditanami pohon cabe. Yang terdengar hanya suara jangkrik dan kadang auman serigala juga. *segitunya.*

Walau kerja di pertanian itu capek, tapi udara Mega Mendung yang adem dan sejuk membuatku dan Noni lumayan betah tinggal di sana. Apalagi lokasinya dekat puncak, kalau mau ke puncak tinggal naik angkot saja sebentar.

Pada suatu weekend, temanku Yuke berencana menginap di “mess”ku itu. Katanya dia ingin menikmati suasana di pertanian cabe. Aku oke saja. apalagi Yuke yang biasa tajir minta dijemput di swalayan Cipayung. Artinya, aku bakal ditraktir banyak cemilan, he...he...he...

“Lo ambil aja Rum apa yang elo suka. Gue traktir deh. Kasian gue liat elo makin item dan kurusan gara-gara kerja di pertanian.” kata Yuke setibanya aku dan Noni di swalayan itu.

Tanpa banyak tanya, segera saja dengan antusias, kumasukkan ke troli  makanan-makanan kesukaanku dan kebutuhan sehari-hari selama sebulan seperti sabun, odol, shampo, minyak goreng, mi instan, saos, kecap, kopi instan, kopi susu jahe instan, teh celup, (teh pelangsing sekalian mumpung ditraktir, hehehe, kalau beli sendiri ogah karena mahal) sampai troli itu penuh.

“Hah? banyak amat lo ngambil belanjaannya Rum?” tanya Yuke dengan mata terbelalak kaget melihatku mendorong troli yang penuh barang ke meja kasir.
“Elo tadi kan bilang gue boleh ambil apa aja yang gue suka, Yuk...” jawabku mengingatkan Yuke.
“Iya, tapi kira-kira lah, jatah lo dua ratus ribu aja nih.” kata Yuke.

Dengan setengah nggak rela, aku kurangi isi troli itu. But, anyway, aku tetap hepi karena mendapat stok cemilan, sabun, odol, shampo, deterjen, mi instan dan minyak goreng  buat sebulan.
Ketika melihat mess tempat kami tinggal itu, barulah Yuke syok.

“Lo tinggal di gubuk ini, Rum?” tanya Yuke yang biasa hidup enak di kota dengan fasilitas serba oke itu terheran-heran.
 “Enak aja dibilang gubuk. Rumah ini keren, Yuk. Gaya arsitektur jaman sekarang yang lagi tren, minimalis. Kalo lo mau tau gaya rumah minimalis kayak apa, ya kayak gini, Yuk. Percaya deh sama gue, secara gue kan arsitek! hehehehe...” jawabku membela diri dengan sedikit banyak membual.

Tinggal di tempat yang sepi dan gelap, membuat Yuke sedikit gelisah.  Yuke yang penakut mulai bertingkah. Kemana-mana minta diantar. Termasuk ke kamar mandi. Padahal kamar mandi nggak jauh dari kamar tidur.

“Rum, anterin gue pipis dong!” bisik Yuke sambil mengguncang-guncangkan tubuhku yang sedang asyik mimpi ketemu Keanu Reeves sampai terngorok-ngorok. Aku terpaksa bangun dan mengucek-ngucek mata. Menatap nanar ke arah jam weker yang terlihat samar karena gelap. Ampun, baru jam satu malam! Yuke nih, mengganggu saja!

“Perasaan gue tadi udah nganterin elo ke kamar mandi tiga kali. Masa sekarang pengen ke kamar mandi lagi sih, Yuk?” protesku.
“Abis dingin banget sih, gue jadi pengen pipis mulu.” jawab Yuke menunjukkan wajah mohon pengertian.
Dengan sangat terpaksa, aku antar Yuke ke kamar mandi yang cuma berjarak tiga meter dari kamar tidur.
“Puas-puasin pipisnya, jangan sampe ntar pengen pipis lagi.” kataku setengah menyindir.

Selesai Yuke pipis, aku dan Yuke meneruskan tidur. Noni masih asyik mimpi sambil ngorok. Rasanya selama beberapa saat aku tidur dengan damai disertai mimpi lanjutanku nge-date bareng Keanu Reeves.

Sedang asyik-asyiknya, tiba-tiba saja dalam mimpiku itu gelombang tsunami menerpaku dan membuatku basah kuyup. Aku berteriak-teriak minta tolong karena hampir tenggelam dalam gelombang.
Aku terbangun karena rasa basah itu hangat dan terdengar bunyi gemericik air.... Kasur palembang tempat kami tidur berhimpitan bertiga benar-benar basah. Pakaianku juga benar-benar basah. Ternyata basah ini nyata, bukan mimpi. Tapi darimana asal basah ini? Di sini nggak ada gelombang tsunami, hujan gerimis pun nggak.

Aku melihat Yuke yang tidur di tengah di antara aku dan Noni masih merem sambil mengisap jempol tangan kirinya. Bajunya paling basah. Aku baru sadar gemericik air itu berasal dari Yuke.

“Yuke! Bangun oi! Elo ngompol ya?” teriakku setengah kesal ketika sadar apa yang terjadi sambil menggoyang keras tubuh Yuke.

Yuke langsung melek. Dia bangkit dan duduk.

“He...he...sori Rum. Abis gue nggak tahan pengen pipis lagi. Pengen bangunin elo takut elo marah gue bangunin terus.” jawab Yuke sambil nyengir dengan ekspresi wajah tak bersalah.
“Udah gitu tega banget lagi lo ngompolnya banyak banget sampe ngebasahin gue begini. Kirain gue kebanjiran!” protesku keras.

Yuke terus nyengir sambil mengedip-kedipkan matanya.

“Abis pipis semalem, gue minum isotonik sebotol.” sahut Yuke cuek.
Aku kesal, nggak menyangka Yuke yang sudah sebesar itu masih nekat ngompol. Ngompolin aku pula!

“Iiiyyy!!” teriakku dan Noni yang juga terbangun mendadak kompak, geli banget membayangkan badanku terkontaminasi pipis Yuke. Aku dan Noni berebut dulu-duluan ke kamar mandi ingin selekasnya membasuh tubuh. Jika perlu mandi hadas besar sekalian. Nggak peduli air di waktu menjelang subuh itu sedingin air dalam kulkas.

“Yukeee!! Sumpah, gue nggak mau elo nginep di mess gue lagi! Nggak peduli andai elo nraktir gue belanjaan sampe sepuluh troli! Gue tetep ogah tidur di sebelah lo lagi!” janji gue yakin.

Pagi itu aku memaksa Yuke menggotong kasur palembang kami ke luar kamar dan menjemurnya di pagar selasar lantai tiga dekat tangga. Kusiram sekalian bekas ompol Yuke dan kusikat dengan rinso. Para petani yang mulai berdatangan terheran-heran melihat kami mencuci kasur.

“Kasurnya kenapa Mbak, kok dicuci segala?” tanya salah satu petani itu.
“Kasurnya kepipisan tikus nih! Bau pesing!” jawabku asal sambil melirik ke arah Yuke yang tampangnya mendadak manyun.