Laman

Jumat, 13 September 2013

Cerpen : Too Young to Have A Baby

Credit photo from We Made

Too Young To Have A Baby

Karya Arumi E.
Sebuah cerpen yang termuat dalam buku Antologi Kolase


Crown Café, day #13, 19.17 WIB


Aku baru saja memutuskan ingin mengaduk secangkir cappuccino berhias heart latte art di hadapanku, kemudian niatku itu urung kulaksanaan ketika aku melihat berita itu. Tak biasanya televisi datar yang menggantung di atas meja racik kopi itu menayangkan berita. Biasanya yang dipilih saluran musik hits dari tv kabel.

Aku sudah lama enggan menonton berita tentang negeri ini, tetapi saat ini aku melihatnya tak sengaja. Entah siapa yang mengganti saluran musik menjadi saluran berita televisi nasional. Berita itu mengabarkan tentang ditemukannya seorang bayi dalam kardus terapung yang tersangkut sampah di sungai kotor. Kamerawan tanpa rasa iba menyorot wajah sang bayi yang membiru, ditambah reporter mengatakan bayi itu masih hidup walau detak jantungnya sangat lemah. Pemandangan itu bagai mengoyak batinku, seolah dengan mesin waktu aku terlempar ke masa lalu. Mengembalikan ingatanku pada sebuah dosa besar yang pernah kuperbuat…

Beib

Sejak sebuah roh ditiupkan ke dalam tubuh mungilku ini, aku dapat merasakan hangatnya tempat ini. Ada sebuah saluran yang menghubungkan perutku entah kemana, hingga setiap saat aku selalu mendapat sumber energi dan protein untuk terus tumbuh dan berkembang. Semakin sempurna dalam bentuk. Semakin besar dalam ukuran. Tempat ini penuh air, membuat aku terombang ambing, jungkir balik kadang ke atas, kadang ke bawah.

Aku punya hubungan istimewa dengan pemilik tempat ini. Sering kudengar samar bisikan sedu sedan dan helaan nafasnya yang letih. Kadang pula kudengar suara berdetak cepat dan keras yang menggangguku, membuatku lama terjaga.
Kadangkala, tempat ini terasa begitu tenang. Aku sering mendengar suara musik lembut atau untaian doa-doa indah dibacakan untukku. Kadang ia mengajakku berbincang,  seperti kali ini,

“Halo, beib…” Lembut ia menyapa.

Aku selalu senang mendengar sapaan lembutnya. Aku menggerakkan tubuhku sebagai jawaban.

“Lagi ngapain?”  tanyanya.
Aku menggerakkan kakiku keatas.
“Eh, jangan nendang-nendang ya, beib. Sebentar lagi kamu bisa keluar. Sebentar lagi kita ketemu. Kamu pasti cakep seperti aku, he…he… Jangan nakal ya, beib. Baik-baik di situ.” katanya sambil mengusap lembut tempatku ini dari luar.

Aku senang! Aku kegirangan! Aku melonjak-lonjak! Aku juga ingin cepat-cepat keluar dari tempat ini. Ingin cepat-cepat bertemu dengannya.Kemudian seperti biasanya, suara alunan merdu mulai terdengar. Dia nyanyikan sebuah lagu dengan suaranya yang menenangkan.

“Timang-timang, my beib sayang!”

Ooi, membuaiku. Mataku pun terpejam meresapi nikmatnya suasana ini.
Begitulah biasanya. Begitulah hari-hari aku lalui bersamanya. Hubungan kami begitu dekat, begitu akrab. Kami selalu saling berbagi. Aku merasa nyaman di sini. Merasa hangat dan aman berada dekat bersamanya.

Tapi hari ini tak seperti hari-hari yang lain. Aku rasakan dia sejak tadi mengeluh kesakitan. Anehnya, aku juga dapat merasakan apa yang ia rasakan. Aku merasakan kesakitannya. Tempat aku berpijak dan terayun-ayun ini terasa menegang. Lalu berguncang-guncang. Terdengar lenguhan pilu. Tempat ini terasa bergerak, seperti pindah terburu-buru. Dia panik, aku pun ikut panik! Tempat ini berguncang semakin keras. Aku takut, karena lalu kudengar ia merintih kesakitan. Kurasakan juga tekanan-tekanan di sekitar tempatku ini.

Mendadak aku terputar balik. Rasanya kepalaku menjadi di bawah dan kakiku di atas. Aku semakin panik dan takut. Apalagi kudengar rintihannya semakin keras dan tertahan. Kemudian aku seperti terdorong ke bawah, setiap usai terdengar sebuah erangannya yang memilukan. Tubuhku semakin terdorong, terus terdorong ke bawah. Terdengar teriakan begitu kerasnya. Memekakkan telingaku. Tubuhku terdorong kencang, merosot ke bawah. Mulanya tersendat. Kemudian terasa lancar. Aaaghhh…!! Seperti melewati sesuatu…

Sekejap rasa dingin menyergap ubun-ubunku, lalu dadaku. Sedikit demi sedikit tubuhku keluar dari tempatku yang biasanya nyaman ke tempat asing yang tak kukenal. Kemudian sampailah ujung-ujung jariku juga tersergap rasa dingin. Seluruh tubuhku kini telah berpindah ke tempat lain. Keluar dari tubuhnya. Aku merasa tak nyaman. Tak ada lagi kehangatan yang biasanya menyelimuti tubuhku.

Maka aku pun mengeluh kecewa, “Oeeeeee!! Oeee!!”

“Ssstt!! Cup, cup! Jangan nangis sayang, aku di sini mendekapmu.” kata sebuah suara yang sudah sangat aku kenal.

Sepasang lengan berkulit lembut meraih tubuhku perlahan dengan sangat hati-hati, membopongku, mendekapku dan memberiku kehangatan. Sesuatu yang basah dan hangat menjilati kelopak mataku. Sebentuk bibirnya yang lembut menghisap cairan di mulutku. Aku kembali merasa tenang, hangat, aman. Tapi kemudian rasa sakit bukan kepalang kurasakan ketika benda panjang di perutku yang dahulu biasa kami gunakan sebagai saluran berbagi makanan dipotong dengan sesuatu. Aduh, sakit, sakit sekali!

“Oeee!!” jeritku keras kesakitan.        
“Cup, cup! Sabar ya, sayang. Cuma sakit sedikit kok! Dikasih obat supaya nggak infeksi, ya?” katanya menghiburku sambil mengusap bekas lukaku akibat potongan tadi dengan cairan yang sedikit membuat perih.

“Ah, siapa bilang sakit sedikit? Ini sakit sekali!” keluhku dalam hati.

Aku menatapnya sedikit kesal. Ia malah tersenyum manis kepadaku. Rasa kesalku pun musnah. Lihat senyum tulusnya. Lihat wajahnya. Wajah yang selama ini aku rindukan. Setelah sekian lama aku hanya dapat mendengar suaranya.
Dia mirip aku, mungkin. Lihat, ia punya sepasang mata indah sama seperti mataku. Hidungnya mancung dan bibirnya mungil berwarna merah jambu. Dia juga memiliki sepasang tangan seperti aku. Hanya saja, semua miliknya jauh lebih besar dari punyaku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Kelelahan menatapnya tak berkedip sekian lama.
Ia menepuk lembut bagian belakang tubuhku. Aku terbatuk. Mencoba menyapanya. Namun yang keluar dari mulutku hanya suara nyaring tak bermakna,    

“ Oeeee….Oeeee!”

Aku kecewa, kenapa suaraku begini? Padahal banyak yang ingin kutanyakan padanya. Bagaimana dia dapat memahaminya bila setiap aku membuka mulut dan mencoba bersuara yang terdengar cuma suara ‘Oeee’?

“My beib, syukurlah kamu selamat!” katanya sambil dikecupnya keningku.

Aku mengerahkan segala kemampuanku untuk bertanya padanya, siapakah dia sebenarnya? Apa makna kebersamaan kami selama ini? Mengapa kini aku merasa berada di tempat yang asing? Tempat yang tak biasanya? Tapi lagi-lagi yang terdengar cuma suara “ Oeeee!”
“Sttt!! Cup, cup! Jangan keras-keras, beib. Nanti ada yang denger.” ucapnya sambil terus menciumi pipiku.

“Ini Mama, beib. Jangan nangis ya.”

Ah, akhirnya ia menyebutkan namanya. Mama? Itukah namanya? Begitukah aku harus memanggilnya? Mama...Tiba-tiba kurasakan setetes air hangat jatuh ke pipiku diiringi isak tertahan.

“Beib, Mama sayang kamu. Mama nggak mau pisah sama kamu. Tapi beib, Mama nggak sanggup jaga kamu…hk…hk…” lirih suara sosok yang menyebut dirinya Mama ini.
“Besok Mama harus pergi sekolah. Kalau ada yang tahu Mama melahirkan kamu, bisa gawat, beib.”

Air yang semula hanya setetes itu kemudian jatuh ke pipiku bertetes-tetes, membasahi hampir seluruh wajahku.

“Semoga Tuhan mengampuni Mama. Semoga Tuhan menjagamu. Mama terpaksa harus membawamu pergi dan meninggalkanmu. Maafkan Mama, beib.” lanjutnya seraya sibuk menyeka tumpahan air yang tak terbendung dari matanya.

Aku tak mengerti maksud Mama. Aku tak mengerti mengapa ia menangis. Namun aku tak mampu menyampaikan tanyaku padanya.
Aku hanya bisa pasrah ketika Mama membungkus tubuhku rapat-rapat dengan sesuatu yang terasa panas di kulitku. Kemudian memasukkan tubuhku yang sudah terbungkus ini ke dalam suatu tempat yang pengap. Aku merasa sesak. Aku takut. Aku didekap, dan perlahan dibawa pergi, entah kemana.

oOo

Perjalanan ini terasa cukup lama. Sampai akhirnya aku diletakkan di tempat yang membuatku terombang-ambing. Tubuhku terus terombang-ambing dalam kesunyian dan kegelapan. Tanpa arah tujuan. Aku terus berteriak-teriak sekuat tenaga namun tak juga kudengar suara jawaban Mama. Apakah Mama telah meninggalkan aku? Sendiri di sini, kedinginan? Nafasku semakin sesak. Tubuhku melemas.
Setelah sekian lama, tiba-tiba kurasakan tubuhku berhenti bergerak. Sepertinya tertahan sesuatu. Sekaranglah saatnya aku memohon pertolongan dengan mencoba berteriak sekuat tenaga. Berharap akan ada yang mendengar.

“Oeeee!  Oeeee!” Aku terus berteriak.

Aku ingin hidup. Aku harus hidup. Aku ingin bertemu kembali dengan Mama. Mama, kembalilah. Aku masih ingin bersamamu lebih lama lagi, merasakan kehangatan pelukanmu.        

“Oeeee! Oeeee!”

Suaraku serak. Nafasku  terus menyesak. Tubuhku lemas lunglai tak berdaya. Tapi aku tak putus asa. Aku akan terus berteriak sampai ada yang mendengarku dan datang menyelamatkan aku. Waktu berlalu. Terus kutunggu. Tubuhku mendingin. Nafasku satu-satu. Coba lagi, teriak lagi, harus bisa!

“Oeeeee! Oeeee!”

Syukurlah, setelah sekian lama, setelah tenggorokkanku mengering, lamat-lamat kudengar suara kecipak air. Sesuatu menuju ke arahku. Semoga seseorang yang diutus Tuhan untuk menolongku. Janganlah mahluk lain yang justru akan mencelakakan aku.

Kembali terasa tubuhku diangkat. Kembali melalui kecipak suara air. Tidak terayun lagi karena didekap erat. Kemudian tubuhku dikeluarkan dari tempat menyesakkan ini. Dan pembungkus tubuhku dibuka. Ahhhh! Aku dapat bernafas lega. Aku terbatuk-batuk. Melepaskan emosiku dengan suara “ Oeee” yang panjang.
Kucoba mengerjapkan mataku. Dan perlahan mencoba membukanya. Ah, terangnya! Semula menyilaukan. Namun kucoba terus mengerjapkannya berulang-ulang hingga terbiasa dengan kilauan cahaya dan mampu melihat keadaan sekelilingku.

Hm, ini memang sungguh tempat yang asing. Hiruk pikuk. Penuh wajah-wajah. Adakah Mama di antara mereka? Salah satu diantaranya meraihku. Mendekapku. Membawaku masuk ke sebuah benda yang lantas bergerak dengan suara menderum. Hingga beberapa saat kemudian benda ini berhenti di suatu tempat. Aku dibawa ke sebuah ruangan luas. Ditidurkan di atas alas yang bergerak meluncur menuju sebuah ruangan serba putih.

Beragam benda ditempelkan di tubuhku yang telanjang dan mulai mendingin. Ada cairan yang dimasukkan ke tubuhku. Membuatku merasa hangat. Tubuhku diusap dengan air yang juga terasa hangat. Kemudian kembali dibungkus namun kali ini dengan bahan yang terasa lembut dikulit. Aku hangat, nyaman, tenang, merasa aman. Dimanapun aku kini berada, aku merasa keadaanku jauh lebih baik. Mama? Aku teringat lagi kepada Mama.

“Mama di mana?” tanyaku dalam hati.
Beberapa sosok berpakaian serba putih mengerumuniku dengan beragam ekspresi. Takjub, kasihan, heran, senang, gemas. Salah satu dari mereka berujar,
“Suatu keajaiban bayi ini masih hidup. Padahal tubuhnya sudah sangat dingin dan mulai membiru.”  kata seorang berpakaian serba putih.
“Oalah, Nduk! Kok tega-teganya Ibumu membuangmu ke kali. Jahat banget!”  seru salah seorang yang lain.

Aku mendelik. Aku menyeru “ Oeee”  berkepanjangan.

“Yah, paling lahir dari hasil hubungan gelap. Nggak diharapkan, nggak diinginkan. Kasihan…Padahal anak cakep begini,” yang lainnya lagi menimpali.
Seruan “ Oee”ku semakin keras.

Aneh, ketika aku sudah merasa nyaman dan aman, aku justru merasa tersinggung ketika orang lain menyalahkan Mama. Aku teringat dengan masa-masa indah yang telah kami lalui bersama. Berbagi makanan bersama. Lagu-lagu merdu yang dilantunkannya untukku. Doa-doa indah penuh harapan yang dipanjatkannya untukku.

Pasti, di dasar hatinya yang paling dalam, Mama sungguh menyayangiku. Tapi entah masalah apa yang menghimpitnya hingga Mama memilih jalan pintas untuk menyelesaikan masalahnya dengan membuangku. Membuangku, bukan membunuhku sebelum lahir, bukankah itu bukti itikad baik Mama memberikan aku kesempatan untuk hidup? Membuangku, sambil berdoa, berharap aku ditemukan oleh orang yang tepat. Apakah itu sebuah dosa? Apakah itu perbuatan terlaknat? Bahkan sekalipun aku memaafkannya?

oOo

Crown Café, day #13, 21. 05 WIB

Sudah lama aku menolak menonton berita di televisi. Bahkan fisikku terpengaruh tiap kali aku menonton berita. Kepalaku pusing, perutku mual. Berita yang ditayangkan televisi di negeri ini didominasi berita buruk. Membuat pikiran positif yang susah payah kubangun seolah lenyap begitu saja bagai setetes air yang dipanaskan.

“Devan brengsek!” makiku dalam hati.

Ah, keterlaluan! Bahkan sebuah nama yang sudah aku sumpahi tak akan pernah kusebut lagi, kini tanpa sadar terucap dari bibirku.

“Devan brengsek! Tapi ...aku juga bodoh!”

Dahulu, dalam setahun masa awal kehilanganku, entah sudah berapa ribu kali aku mengucapkan kata-kata makian seperti ini. Mengutuk Devan dan mengutuk diriku sendiri. Devan telah menghancurkan masa remajaku, menghempaskanku ke dalam keterpurukan, lalu menambah daftar dosaku dengan dosa yang paling tak termaafkan.

Devan teman satu kelasku di masa SMA yang memang memiliki modal fisik menawan. Dengan wajah tampannya ia berusaha memikat banyak gadis. Termasuk aku. Aku tak menolak rayuannya, siapa yang tak merasa melambung dirayu Devan pemuda paling popular di sekolahku dulu? Pada masa itu, aku yang polos tak menyadari, Devan adalah seorang perayu ulung. Aku terhanyut segala bujuk rayu Devan dan menerima begitu saja ajakan Devan untuk berhubungan lebih jauh lagi. Berdalih sebagai bukti cinta, Devan berhasil membuatku menyerahkan kegadisanku begitu saja.

Sampai kemudian aku merasakan perubahan pada tubuhku. Rasanya, ada sesuatu yang tumbuh dalam rahimku yang masih belia. Tapi bodohnya, aku tak berani mengatakannya pada siapa pun. Tidak kepada Ayah dan Ibuku. Bahkan kepada Devan sang biang keladi pun tidak.

Aku menyimpan rahasiaku sendiri. Untunglah tubuhku tergolong mungil. Sehingga aku bisa menyembunyikan perutku yang semakin membesar dari semua orang. Aku memang terbiasa memakai kemeja sekolah satu nomor lebih besar. Kemejaku yang kebesaran itu mampu menyamarkan ukuran perutku yang membesar.

Aku juga memutuskan untuk tak pernah bilang pada Devan. Aku yakin, jika kuceritakan kehamilanku saat itu pada Devan, ia pasti akan semakin melecehkanku. Apalagi baru tiga bulan berpacaran, Devan memutuskanku begitu saja. Lalu seenaknya menggandeng pacar baru. Aku memutuskan untuk melupakan semuanya. Biar rasa berdosa ini kutanggung sendiri hingga mati, asalkan tak ada yang tahu kejadian yang sebenarnya.

“Nit! Nit! Nit!”

Aku ingat telepon yang kuterima dari teman sebangku Windy, tak lama setelah aku melahirkan dan membuang bayiku. Ya, setelah susah payah aku membesarkan bayiku dalam rahimku, begitu ia lahir aku membuangnya! Bayangkan betapa banyaknya dosa yang telah aku lakukan saat itu.

“Ada apa, Win?” tanyaku menjawab telepon dari Windy itu.
“Sep, gila deh! Lo udah tau belum? Mantan lo si brengsek itu...” suara Windy terdengar kencang dan tidak sabar.
Dadaku berdegup kencang.
“De...van?” tanyaku hati-hati.
“Tau enggak lo, sabtu besok Devan mau nikah sama Roselia pacar barunya. Devan ketahuan menghamili Roselia! Ternyata Roselia udah hamil dua bulan! Gila nggak tuh!” jawab Windy terdengar menggebu-gebu menahan emosi.

Ketika itu seketika jantungku rasanya hampir berhenti.

“Apa???!!!?” teriakku keras.
“Ck...ck...untung aja dulu lo putus sama dia, Sep! Kalau enggak, bisa-bisa elo yang jadi korban kebiadaban Devan!” seru Windy.

Handphone dalam genggaman tanganku segera saja meluncur jatuh. Aku merasa sangat bodoh. Aku hancur lebur. Mengapa bodohku estafet dan permanen? Mengapa aku selalu salah mengambil keputusan?

Kupandangi lagi secangkir cappuccino berhias heart latte art di hadapanku yang belum jadi kuaduk. Cappuccino itu sudah berubah dingin. Sedingin hatiku yang telah membeku selama bertahun-tahun. Kajadian dulu itu menyisakan trauma yang tak pernah bisa sembuh walau sepuluh tahun telah berlalu. Aku tak pernah bisa lagi memercayai lelaki mana pun. Sebaik apa pun sikapnya di hadapanku, aku tak akan lagi mau dibodohi.

~ oOo ~

Kamis, 12 September 2013

Korean Story : SARANGHAEYO (2)

Annyeonghaseyo...

Halo teman-teman ... terima kasih sudah berkenan berkunjung ke blogku yaaa...

Karena postinganku tentang novel "Saranghaeyo" menjadi entri paling populer di blogku ini, aku ingin memberi hadiah untuk pengunjung yang tertarik membaca novel "Saranghaeyo".

Aku mendapat kabar dari temanku yang hobi menulis fan fiction Korea, novelku ini banyak yang dicopy paste. Kalau ada yang pernah membaca fan fiction mirip seperti ini, inilah aslinya. Berasal dari novelku yang kutulis dengan nama pena Karumi Iyagi berjudul "Saranghaeyo". 

Baca yang aslinya aja ya teman-teman. Lebih seruuuu ^_^





Judul : Saranghaeyo, aku mencintaimu ....

Penulis : Karumi Iyagi, nama pena Arumi Ekowati

Bab 1

Betrayed

Cuaca hari ini cerah. Udara Kota Incheon terasa hangat di pertengahan bulan Juni. Sehangat hati Shin Hyo Ri. Sejak semalam ia tak sabar menunggu saat ini tiba. Hari ini, Jung Dong Hee akan pulang. Kekasihnya itu ditugaskan kantornya ke London untuk mendapat pelatihan manajemen toko modern selama dua bulan. Ia ingat pembicaraannya terakhir dengan Dong Hee, sebelum kekasihnya itu pergi. Dong Hee berjanji akan melamarnya sepulangnya dari sana. Hyo Ri sudah membayangkan indah dan romantisnya momen lamaran Dong Hee nanti, karena itu ia tak sabar menunggu pertemuannya dengan Dong Hee hari ini.

Pukul 14.50 KST (Korea Standard Time), tapi Hyo Ri belum juga melihat tanda-tanda kemunculan Dong Hee dari terminal kedatangan pesawat International di Incheon International Airport ini. Matanya mulai lelah sedari tadi memerhatikan setiap orang yang lalu lalang. Dalam emailnya terakhir dua hari lalu, Dong Hee bilang ia akan tiba hari ini pukul 13.45 KST di bandara ini. Mungkinkah Dong Hee berganti jadwal pesawat tanpa sepengetahuan Hyo Ri?

Sekali lagi Hyo Ri melihat papan digital pengumuman kedatangan pesawat. Korean Air dari London memang telah tiba sejak pukul 13.45 tadi. Tapi, di mana Dong Hee? Berkali-kali ia mencoba menghubungi ponsel Dong Hee, tetapi ponselnya itu tidak aktif. Apakah Dong Hee telah mengganti nomor ponselnya dengan nomor lokal Korea? Hyo Ri memutuskan masih ingin menunggu. Ia harus sabar. Ia telah menunggu dua bulan lamanya. Apalah artinya menunggu beberapa jam lagi. 

Beberapa jam lagi itu mulai menjadi berjm-jam yang meresahkan. Waktu telah menunjukkan pukul 19.35 KST. Dan masih belum ada tanda-tanda kehadiran Dong Hee. Tentu saja ini aneh sekali. Jika memang Dong Hee membatalkan kepulangannya hari ini, harusnya ia mengabarkannya kepada Hyo Ri. Sungguh keterlaluan Dong Hee membiarkannya menunggu selama ini tanpa kepastian. Tapi Hyo Ri sendiri adalah gadis yang keras kepala. Ia penasaran. Berharap pesawat Dong Hee hanya terlambat datang. Ia masih ingin menunggu. Mungkin satu atau dua jam lagi.

Hyo Ri pergi ke salah satu kafe di yang tersedia di dalam airport. Ia memesan segelas soju. Malam ini terasa dingin. Ia ingin menghangatkan tubuhnya sedikit. Pukul 21.25 KST. Hyo Ri menghela nafas panjang. Sepertinya penantiannya harus berakhir sekarang. Ia harus segera kembali ke Seol yang berjarak satu jam perjalanan dari Incheon. Sebelum pukul sepuluh malam, masih ada Airport Express Train menuju Seoul.

“Dong Hee, apa maksudmu menelantarkan aku seperti ini?”

Tiba-tiba saja Hyo Ri ingin segera pulang, lalu ingin segera mengirimkan email protes kepada Dong Hee. 

***

Sudah tiga hari Hyo Ri menunggu email balasan dari Dong Hee. Tapi belum diterimanya juga. Membuatnya benar-benar cemas. Apa yang telah terjadi pada Dong Hee? Apakah pesawatnya kecelakaan? Tapi ia telah mencari di semua berita baik online, cetak atau televisi, ia tak medengar ada kecelakaan pesawat dalam tiga hari ini. Penantian ini sungguh membuat pikiran Hyo Ri kalut. Pagi ini ia berdandan rapi seperti biasanya. Siap berangkat kerja tepat pukul tujuh pagi. Melahap sarapan yang disiapkan ibunya bersama-sama adik perempuan dan ibunya. Setelah selesai ia berpamitan lalu melangkah keluar rumah.

Tak ada yang tahu, sesungguhnya hari ini ia tidak pergi ke tempatnya biasa bekerja. Sudah hampir dua minggu ini ia tidak lagi bekerja di tempat biasa, sebuah galeri pakaian kecil di daerah Insadong. Toko kecil itu menjelang bangkrut. Kini hanya menjual pakaian produksi pabrik. Artinya, keahliannya sebagai perancang mode pakaian tidak dibutuhkan lagi di tempat itu. Ibu dan adiknya tak boleh tahu ia sudah tak bekerja lagi. Mereka pasti akan khawatir. Sejak ayahnya meninggal, Hyo Ri bertugas menjadi tulang punggung keluarga. Butuh banyak biaya untuk membayar uang sewa kamar flat dan biaya sekolah adiknya.
Hyo Ri menghela napas pasrah. Hidupnya benar-benar sempurna. Sempurna kacaunya. Kehilangan kekasih sekaligus kehilangan pekerjaan. Ah, benarkah ia sudah kehilangan kekasih? Lenyapnya Dong Hee tanpa kabar memang telah mengantarkan firasat buruk dalam hati Hyo Ri. 

Ia berjalan perlahan. Sengaja ia memilih berjalan kaki untuk sekedar menghabiskan waktu. Rute perjalanannya sejak hampir dua minggu ini masih tetap sama. Ia berpura-pura pergi ke arah Insadong tempat bekerjanya dulu. Di Insadong ia melihat-lihat lagi pertokoan di situ. Melewati tempat kerjanya sebuah galeri kecil yang kini berubah nama menjadi Chic Store. Kemudian ia berjalan menyusuri pedestrian di pinggir Cheonggyecheon Stream, sungai sepanjang delapan kilometer yang mengalir di tengah-tengah Kota Seoul. 

Hyo Ri duduk di salah satu batu undakan. Menghirup udara segar pagi hari dalam-dalam. Lalu mengembuskannya perlahan. Bunga warna-warni musim panas tampak bermekaran menambah semarak suasana di tempat ini. Hyo Ri tersenyum menatap pemandangan indah ini. Suasana damai ini cukup menenangkan pikirannya yang sedikit kalut saat ia melangkah keluar rumah tadi.

Setelah puas beristirahat, Hyo Ri melanjutkan perjalanannya sembari sesekali menikmati dekorasi-dekorasi unik yang terdapat di dinding sisi kanan kiri sungai. Dinding itu menampilkan foto-foto Cheonggyecheon dari masa ke masa. Kemudian Hyo Ri sengaja berhenti di depan tembok harapan yang menampilkan ribuan potongan porselen keramik yang setiap potongannya memuat gambar dan pesan-pesan dari warga Korea di seluruh penjuru dunia. Ia membaca beberapa harapan yang tertulis di situ. Ah, apakah ia masih punya harapan masa depan yang lebih baik? Dong Hee, di mana dia? Bertemu Dong Hee adalah harapannya satu-satunya saat ini.

Hyo Ri melanjutkan lagi langkahnya. Sengaja ia mengukur jalan sambil merenungi nasibnya. Ia masih tak tahu apa yang akan dilakukannya. Ia belum terpikir ingin segera mencari pekerjaan baru. Ia ingin bertemu Dong Hee dahulu. Membicarakan rencana masa depan mereka, barulah kemudian ia akan putuskan akan mencari pekerjaan baru di mana. Sembari menyusun pikiran di dalam kepalanya, tak terasa langkah Hyo Ri sampai juga ke daerah Myeongdong, kawasan shopping modern yang letaknya sekitar tiga puluh menit berjalan kaki dari Insadong. Lagi-lagi ia menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan berkeliling kawasan itu. 

Rasanya ia sudah cukup banyak berjalan. Tapi waktu baru menunjukkan pukul dua belas siang. Saatnya beristirahat makan siang. Sebenarnya Hyo Ri merasa malas jika ia berhenti beristirahat. Karena pada saat beristirahat seperti itu, ia semakin merasakan kehampaan. Ia masih tak mengerti mengapa Dong Hee bisa menghilang begitu saja. Apakah Dong Hee memang sengaja menghindarinya? Tetapi mengapa? Tak ada tanda-tanda sedikit pun Dong Hee berniat lari darinya. Ataukah Hyo Ri yang kurang peka?

Hyo Ri mulai mencari-cari tempat untuk makan siang. Pilihannya jatuh pada sebuah restoran yang menyajikan kimbap. Ini adalah makanan termurah di tempat ini. Ia harus menghemat sisa gajinya terakhir. Karena setelah ini, ia masih belum tahu akan mencari uang kemana lagi. Baru saja ia berniat memasukkan potongan kimbap pesanannya yang telah tersaji di meja ke dalam mulutnya, ia melihat sosok yang sangat di kenalnya berjalan di luar restoran itu, tak jauh dari tempatnya duduk.

Hyo Ri mengerjapkan matanya. Penglihatannya tidak salah. Itu adalah Dong Hee! Kekasih yang ditunggunya tiga hari lalu di bandara Incheon! Ternyata ia ada di sini! Hyo Ri membelalakkan matanya. Dan Dong Hee tidak sendiri, ia berjalan mesra dengan seorang perempuan cantik…

“Kurang ajar!” maki Hyo Ri dalam hati. 

Ia kembali mengarahkan pandangannya ke sosok lelaki setinggi kurang lebih seratus tujuh puluh lima senti dan bentuk tubuh proporsional itu. Lelaki itu terlihat menawan dalam setelan jas lengkap dengan dasinya. Rambutnya tampak baru saja dicukur rapi. Hyo Ri tidak mungkin salah mengenali orang. Itu benar-benar Dong Hee.

“Apa yang dilakukannya di sini? Bersama perempuan itu?”

Hyo Ri mendadak merasakan sakit dalam hatinya. Dong Hee telah tega membuatnya khawatir selama tiga hari ini, mengira ia kecelakaan pesawat, ternyata Dong Hee sudah berada di Seoul dan terlihat bahagia bersama perempuan lain. Apa arti semua ini? 

“Dong Hee…Awas kau Dong Hee! Berani-beraninya kau menghianati aku!” ujar Hyo Ri dalam hati. Perasaannya kacau seketika.

Apakah ada penjelasan lain dari pemandangan yang dilihatnya ini? Dong Hee dan perempuan itu memang tidak berangkulan, bahkan tidak bergandengan tangan, tapi mereka saling menatap, tersenyum dan berbicara satu sama lain seperti sepasang kekasih. Tidak, rekan bisnis tidak akan saling memandang dengan cara seperti itu. Hyo Ri yakin sekali ada hubungan spesial di antara keduanya. 

“Dong Hee menghianati aku?” kata itu diulanginya lagi, kali ini ia ucapkan dengan suara berbisik pada dirinya sendiri.

Lalu matanya menatap tajam ke arah Dong Hee yang kini berjarak sekitar sepuluh meter darinya. Kemarahannya tiba-tiba saja meluap.

“Lelaki itu berani-beraninya bermain di belakangku? Setelah pengorbananku selama ini untuknya? Keterlaluan! Awas kau Dong Hee!” bisiknya lagi dengan nada geram.

Ingin sekali ia mendatangi Dong Hee saat ini juga, lalu menampar wajahnya. Hampir saja ia nekat benar-benar melakukan itu saat kemudian ia ingat, itu hanya akan merugikan dirinya sendiri. Setelah mengatur nafasnya yang memburu, menghirup udara dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan, Hyo Ri mulai sedikit tenang. Logikanya mulai berjalan lebih jernih. Sebuah rencana tiba-tiba saja terbetik dibenaknya. Lebih baik ia pura-pura belum melihat Dong Hee. Ia akan mendatangi Dong Hee seolah-olah bertemu di sini tanpa sengaja. Hyo Ri ingin tahu bagaimana nanti reaksi Dong Hee jika mendadak melihatnya di sini. 

Terpaksa Hyo Ri meninggalkan kimbap yang baru dimakannya seiris. Ia bangkit dari duduknya dan mengikuti Dong Hee dan perempuan itu yang tampaknya baru selesai makan siang. Mereka berdua melangkah perlahan sambil mengobrol akrab hingga masuk ke sebuah butik, La Moda. 

“Ah, apa yang akan mereka lakukan di sana? Apakah Dong Hee akan membelikan perempuan itu gaun mahal? Keterlaluan! Hutangnya padaku banyak, dia malah ingin membelikan pakaian mewah kepada gadis itu?” gerutu Hyo Ri dalam hati.

Hyo Ri ragu ingin ikut masuk ke butik itu. Hyo Ri memilih menunggu di luar. Beberapa menit kemudian, Dong Hee keluar hanya sendirian! Di mana gadis tadi? Hyo Ri segera bersiap-siap ingin mencegat Dong Hee.

“안녕하세요 (Annyeonghaseyo) Apa kabar, Dong Hee kekasihku!” ucap Hyo Ri tiba-tiba muncul di depan Dong Hee. 
Dong Hee segera menghentikan langkahnya. Wajahnya tampak sangat terkejut. 
“Hyo Ri? Sedang apa kau di sisni?” tanya Dong Hee sedikit kikuk.
Hyo Ri tak langsung menjawab. Ia tersenyum lebar.
“Harusnya aku yang bertanya padamu, sedang apa kau di sini? Bukankah tiga hari lalu kau harusnya muncul di bandara Incheon seperti janjimu padaku?” jawab Hyo Ri, nada suaranya jelas menyindir.
Dong Hee menelan ludah. 
“Aku…maaf, aku baru datang keesokan harinya. Aku tak sempat memberitahumu karena aku datang bersama teman, sama-sama dari London. Aku harus langsung menemaninya di Seoul ini. 
“Teman perempuan?” tanya Hyo Ri dengan nada suara terdengar aneh.
Dong Hee tak langsung menjawab.
“Kalian bertemu dan berkenalan di London?”
Dong Hee masih diam. Bola matanya bergerak-gerak ke sana kemari, jelas sekali ia tampak gugup.
“Aku melihat kalian tadi,” kata Hyo Ri lagi, telak sekali.
Kali ini bola mata Dong Hee berhenti bergerak. Pandangannya menuju satu titik, wajah Hyo Ri yang terlihat berusaha tenang
“Melihatku dengan siapa?”
Hyo Ri tersenyum sinis.
“Jangan mengelak lagi, Dong Hee. Aku melihatmu bersama perempuan lain.”
Dong Hee tak langsung menjawab. Ia masih memperhatikan raut wajah Hyo Ri yang mulai tampak sedikit emosi.
“Hyo Ri, aku akan jelaskan semuanya padamu. Sebaiknya kita mencari tempat untuk berbicara.”
“Memang sebaiknya begitu. Kau harus menjelaskan semuanya.”

Dong Hee melangkah cepat menuju jalan raya. Diikuti Hyo Ri yang juga melangkah cepat. Dong Hee menghentikan taksi. Di dalam taksi, Hyo Ri hanya diam. Ia enggan bertanya Dong Hee hendak mengajaknya ke mana. Yang jelas Hyo Ri tahu, Dong Hee ingin membawanya jauh dari perempuan tadi. Taksi meluncur menuju Apkujong dan berhenti di sebuah restoran. Hyo Ri memesan secangkir teh ginseng. Sepertinya ia perlu meminumnya untuk menenangkan emosinya. Ia masih menunggu Dong Hee bicara sesuatu. Tapi Dong Hee malah sibuk memutar-mutar gelas sojunya.

“Kenapa kau tega sekali memperlakukan aku seperti ini, Dong Hee? Apa salahku padamu hingga kau berbuat sejahat ini?” ucap Hyo Ri akhirnya setelah ditunggunya sekian lama Dong Hee tidak bicara juga.
“Kau tahu berapa lama aku menunggumu di bandara Incheon? Aku tak sabar ingin melihat wajahmu, tapi hingga berjam-jam kemudian kau tidak datang juga. Kau tak memberi kabar, emailku tidak kau balas. Sampai kukira kau mati kecelakaan pesawat. Kau tahu bagaimana cemasnya aku? Kenapa kau tega sekali membuatku khawatir, sementara kau sudah ada di sini dan sedang bersenang-senang dengan perempuan lain. Bisakah kau bayangkan bagaimana perasaanku, Dong Hee?” cerocos Hyo Ri. 

Ia tumpahkan segala kekesalannya selama beberapa hari ini. Dong Hee masih menunduk. Ia menghela nafas. Lalu mengangkat wajahnya perlahan dan menatap wajah Hyo Ri.

“Maafkan aku Hyo Ri. Ini semua benar-benar diluar dugaanku,” kata Dong Hee akhirnya setelah ia menghela nafas panjang untuk kedua kalinya.

“Apa yang diluar dugaanmu?”
“Aku…bertemu dengannya di London. Awalnya kami hanya berteman sebagai sesama orang Korea yang sedang bertugas di luar negeri. Tentu saja aku ingat aku memilikimu di sini, Hyo Ri. Tapi cinta seringkali datang tak terduga. Tanpa kusadari tiba-tiba saja aku jatuh cinta padanya,” jawab Dong Hee perlahan.

Mendadak Hyo Ri bangkit berdiri. Ia menatap tajam Dong Hee. Dong Hee mengangkat wajahnya perlahan, menatap wajah Hyo Ri yang tampak marah sekali.

“Hah! Cinta datang tak terduga? Begitu mudahnya kau membenarkan perbuatanmu ini dengan alasan cinta? Kau benar-benar brengsek, Dong Hee!” ujar Hyo Ri dengan suara mulai terdengar keras.
Dong Hee tampak gusar menghadapi Hyo Ri  yang mulai emosi.
“Kau sadar, apa saja pengorbanan yang sudah kuberikan untukmu? Tujuh tahun, Dong Hee! Tujuh tahun! Dengan mudahnya kau lupakan tujuh tahun bersamaku hanya karena kau pikir kau jatuh cinta pada perempuan lain?” ujar Hyo Ri lagi dengan suara lebih keras dari tadi. Membuat pengunjung restoran lainnya menoleh ke arah mereka.

Dong Hee mulai terlihat kesal melihat reaksi Hyo Ri yang emosional.

“Hyo Ri! Duduklah! Semua orang melihat ke arah kita,”
“Lalu kenapa? Biar saja semua orang tau kau laki-laki brengsek! Penghianat!”
“Aku sudah bilang maaf, Hyo Ri! Aku juga tak menyangka bisa jatuh cinta pada perempuan lain. Maafkan aku.”
“Kau pikir cukup hanya dengan kata maaf? Aku tak bisa menerima ini, Dong Hee! Aku sangat mencintaimu, kau tahu itu. Aku rela berkorban apa saja demi kamu. Mengapa begini balasanmu padaku?” ucap Hyo Ri, suaranya sudah tak sekeras tadi. 

Airmata mulai menggenang di pelupuk matanya. Sementara Dong Hee terdiam. Ia tak tahu harus bicara apa lagi.

“Dong Hee…주세요 (juseyo) tolong katakan padaku, apa yang harus kulakukan agar kau tetap bersamaku?” pinta Hyo Ri dengan wajah menghiba. 

Dong Hee masih diam. Ia hanya memandangi wajah Hyo Ri yang mulai dibasahi air mata seolah tanpa rasa belas kasihan.

“죄송합니다 (Joesong-hamnida) Maafkan aku, Hyo Ri, aku tak akan kembali bersamamu. Jujur saja, sikapmu yang keras ini semakin meyakinkan aku, bahwa kita sudah tak cocok lagi. Aku tahu, mungkin ini membuatmu kecewa dan sakit hati, tapi aku mohon kau memahami perasaanku.”

Tangis Hyo Ri semakin deras. Ia marah sekali. Saking marahnya sampai ia tak tahu apa yang akan dilakukan untuk melampiaskan rasa marahnya. Dong Hee benar-benar keterlaluan. Dengan mudahnya melupakan tujuh tahun kebersamaan mereka hanya karena ditugaskan selama dua bulan di London. Keterlaluan! 

“Apa hebatnya perempuan itu, Dong Hee? Apa yang telah diberikan perempuan itu padamu yang tidak bisa aku berikan? Apakah pengorbananku selama ini tak cukup membuatmu hanya mencintai aku?” ucap Hyo Ri sembari terisak, menahan emosi yang rasanya ingin meluap.

Tapi Dong Hee seperti sudah tak punya kata-kata untuk diucapkan. Ia hanya diam dan menundukkan wajahnya.

“Kenapa kau tega sekali kepadaku…sebelum kau pergi ke London kau masih berjanji ingin menikahiku, mengapa kau berubah pikiran secepat ini? Apa yang telah dilakukan perempuan itu hingga membuatmu begini, Dong Hee?”
“Sudahlah, Hyo Ri. Jangan membicarakan dia terus. Aku menyesal hubungan kita harus berakhir begini. Tapi bukankah memang sebaiknya kita akhiri, daripada tetap kita paksakan tapi hatiku tidak lagi padamu.”
“Lalu, bagaimana dengan hatiku? Hatiku masih padamu, Dong Hee, Selama tujuh tahun ini aku setia padamu. Dan kau balas kesetiaanku ini dengan penghianatan.”
“Perasaan tak bisa dibohongi, Hyo Ri. Aku tak mungkin pura-pura masih mencintaimu. Itu hanya akan membuat hatimu semakin terluka.”
“Mungkin perasaanmu pada perempuan itu hanya perasaan sesaat saja, Dong Hee. Cobalah kau pikir-pikir dulu. Mungkin saja besok kau mencintaiku lagi,” 
Dong Hee memandang iba wajah Hyo Ri yang masih saja bersimbah airmata.
“Kau tentu tidak lupa, hutangmu padaku banyak. Kau sering meminjam uang jika kau kehabisan uang untuk membayar kuliah, atau makan, atau sewa kosmu.”
“Apakah semua kebaikanmu padaku dulu kau hitung sebagai hutang? Benarkah Hyo Ri?”
“Tentu saja tidak, aku berikan semua yang kau minta karena aku mencintaimu, Dong Hee. Dan ternyata semua itu tak ada gunanya.”

“Sekali lagi, maafkan aku Hyo Ri. Terserah kau mau menyebutku apa. Kau boleh menyebutku laki-laki brengsek. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Semua ini sudah terlanjur terjadi. Cobalah kau lupakan aku.”

Kini berganti, Hyo Ri yang tak tahu ingin bicara apa lagi. Saat itu ponsel Dong Hee berbunyi. Setelah melihat nama dilayar ponselnya, Dong Hee buru-buru mengangkatnya dengan wajah bahagia yang tampak jelas.
“애정 (aejeong) sayang?”

Hyo Ri menatap wajah bahagia Dong Hee itu dengan rasa kesal, marah, sakit hati bercampur benci…
“Hyo Ri, aku harus pergi sekarang, 안녕히 계세요 Annyong-hi gyeseyo (Selamat tinggal).” ucap Dong Hee, lalu melanjutkan pembicaraannya dengan perempuan itu lewat ponsel. Dong Hee buru-buru bangkit berdiri dan pergi begitu saja. Meninggalkan Hyo Ri yang masih bergulat dengan rasa sakit hatinya.

“Dong Hee sialaaaan!” ujarnya tertahan.

Ia segera menghapus airmatanya. Lelaki brengsek seperti Dong Hee sungguh tak pantas ia tangisi. Waktu baru saja menunjukkan pukul tiga sore. Ia tak tahu akan pergi ke mana lagi untuk menghibur hatinya yang terluka ini. Sampai akhirnya Hyo Ri memutuskan menghabiskan waktu ke pasar tradisional Dongdaemun. Ia memilih naik kereta, lalu turun di stasiun Jongno-5 dari kereta jalur 1. Begitu muncul dari pintu keluar, segera tampak pasar tradisional Dongdaemun yang terbuka dan ramai sekali. Hyo Ri berharap riuhnya suasana di pasar itu akan menghapuskan rasa sepi dan hampa di hatinya. Ia hanya berjalan-jalan menyusuri pasar itu sambil sesekali mendatangi kios yang menarik perhatiannya. Tapi sialnya, berjalan-jalan di sini mengingatkan Hyo Ri akan masa lalu bersama Dong Hee. Dahulu Dong Hee hanya mahasiswa pas-pasan di Kota Seoul ini. Ia hanya mampu berbelanja di pasar tradisional ini. 

Melihat odeng, sejenis makanan gorengan yang dijual dalam kereta tenda yang disebut pojangmacha, membuat Hyo Ri lagi-lagi terkenang kebersamaannya dengan Dong Hee di sini.  Dong Hee paling suka odeng ikan olahan yang direbus dalam kaldu dan disajikan dalam bentuk sate. Walau hanya makanan sederhana murah meriah, tapi menyantap odeng sambil menyeruput kuah kaldu panas-panas rasanya nikmat sekali. Dalam sekali makan, Hyo Ri bisa langsung menghabiskan empat tusuk, sementara Dong Hee yang lebih rakus bisa langsung menghabiskan delapan tusuk odeng sekaligus. 

Tak sadar Hyo Ri tersenyum mengingat kembali kenangan itu. Sekarang, entahlah apakah Dong Hee masih mau menyantap makanan ini. Hyo Ri baru sadar, Dong Hee memang sudah berubah. Ia kini bukan lagi mahasiswa pas-pasan seperti saat bersamanya dulu. Dong Hee sekarang bekerja di sebuah kantor yang bonafid. Gajinya pasti besar sekali. Karena itu seleranya akan perempuan pun berubah. Dong Hee sekarang lebih memilih gadis cantik dan berkelas seperti yang dilihat Hyo Ri tadi.
Hyo Ri membeli dua tusuk odeng, menyantapnya perlahan sambil meratapi nasibnya yang malang ini. Harusnya ia sadar, Dong Hee memang sudah berubah sejak pindah ke tempat kerjanya yang bonafid itu. Ah, mengapa Hyo Ri baru sadar sekarang?

Hyo Ri memutuskan  meninggalkan pasar Dangdaemun. Pasar itu tak bisa menghiburnya, malah membuatnya teringat kenangan pahit masa lalu. Ia melanjutkan perjalanannya kembali ke Cheonggye Plaza yang tadi pagi telah dikunjunginya. Tapi suasana lapangan ini di pagi hari dengan di sore hari tentu saja berbeda. Menjelang malam, suasana taman itu justru semakin semarak. Banyak yang sengaja datang ke sini sepulang kerja untuk menikmati suasana romantis dari lampu-lampu dekorasi. 

Ini pertama kalinya Hyo Ri merasakan patah hati. Maka ia pun tak tahu bagaimana cara mengobati rasa sakit hati ini dan melampiaskan marahnya. Sepanjang hari ini ia hanya menghabiskan waktu memandangi orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya dan memperhatikan segala kejadian yang ada di sekitarnya. Semua berjalan-biasa-biasa saja. Seolah hidup orang lain berjalan lancar, hanya Hyo Ri sendiri yang merasakan hidupnya hancur. 

Saat ia memandang hampa lapangan luas di depannya, di salah satu sudut lapangan Hyo Ri melihat sekumpulan anak-anak sedang berkerumun mengelilingi seorang lelaki bertubuh tinggi tegap dan berwajah menarik. Anak-anak itu seperti memperebutkan sesuatu. Dan lelaki itu seperti sedikit kewalahan menghadapi anak-anak yang berjumlah kira-kira sepuluh orang itu. Tetapi kemudian lelaki itu dengan sabar seperti menjelaskan sesuatu kepada anak-anak itu, hingga anak-anak itu menjadi tertib dan duduk rapi mengelilingi lelaki itu. Hyo Ri tersenyum melihatnya. Entah mengapa ia merasa terhibur dengan keseluruhan adegan itu. Betapa indah dilihat dari kejauhan sosok lelaki itu dinaungi lampu-lampu taman yang temaram.

.....

Ingin membaca kisah lengkapnya? Beli yuk, bukunya. 


Terima kasih teman-teman ^_^

Novel Korea karyaku terbaru "LONGEST LOVE LETTER"



Novel karyaku lainnya :


Minggu, 21 Juli 2013

I AM SHERLOCKED, falling in Love with Sherlock

This picture from facebook fanpage Benedict Cumberbatch


Mendadak jadi suka banget sama serial tv satu ini, "SHERLOCK". 

Sebenarnya aku sudah pernah menonton serial ini yang season 2. Tapi karena kemarin diulang lagi, bertepatan dengan ulang tahun Mr. Benedict Cumberbatch, 19 Juli, baru sadar Mr. Cumberbatch paling pas dan super keren memerankan tokoh Sherlock. 

Genius-nya terlihat. sikapnya yang dingin, sedikit arogan yang malah membuatnya tampak elegan. Percaya dirinya yang luar biasa menganggap dirinya manusia paling cerdas di London.

Dan aku baru menyadari dialog-dialog di seri televisi-nya menarik dan terkadang membuat tersenyum. Seperti saat aku menonton season 2 episode 2, "The Hounds Of Bakersville".

Banyak sekali dialog-dialog menarik dan adegan-adegan yang juga menarik. Watson yang setia dan menerima Sherlock apa adanya walau Sherlock sering menyombongkan kejeniusannya. 

Sherlock yang merasa super cerdas meragukan penglihatannya karena ia melihat sesuatu yang tidak masuk akal di the hollow. Seekor anjing raksasa bertampang buas. Sherlock terbiasa memikirkan segala hal secara logis. sesuatu yang ajaib atau aneh tidak bisa diterima oleh akalnya. 

Watson mencoba menenangkan Sherlock. 

"Mungkin karena gelap dan dingin, kamu jadi merasakan takut." 

Sherlock yang sedang sangat gusar membantah keras.

"Aku? Takut? Mana pernah aku takut. Itulah anehnya. Lihat tanganku gemetar, tubuhku mengkhianatiku. Tubuhku ketakutan padahal otakku tidak takut."

Watson memilih meninggalkan Sherlock yang sedang emosional sendirian, sementara ia melanjutkan penyelidikan dengan caranya sendiri. 

Saat keesokan harinya Sherlock mulai kembali berpikir jernih, ia yang mendatangi Watson. Sengaja menggoda Watson bermaksud melucu, sekaligus mencairkan suasana yang sudah dibuatnya canggung kemarin. 

"Tidak usah melucu. Kamu nggak pantas melucu. Bersikaplah dingin seperti biasanya," sindir John Watson.

Kemudian Watson secara tidak sengaja mengatakan sesuatu yang memunculkan ide Sherlock.

Sherlock bilang. "You're amazing! You're fantastic! Untuk ukuran bukan seorang jenius, kau memberi ide brilian padaku."

John Watson tetap sabar menghadapi sikap Sherlock. Ia hanya sesekali meledek Sherlock yang hobi menaikkan tulang pipinya dan menaikkan kerah jas hitamnya.

"Berhentilah berusaha terlihat keren dengan menaikkan tulang pipimu dan menarik kerah jasmu ke atas, Sherlock!" sindir John Watson.

John Watson juga tetap sabar saat ia tahu, ternyata saat ia ketakutan setengah mati di dalam lab rahasia Bakersville, itu adalah hasil kerjaan Sherlock yang menjadikannya sebagai bahan eksperimen. Sherlock dengan santainya hanya bilang. 

"Aku sudah tahu efek obat itu pada manusia berotak superior. Aku perlu mengujinya pada manusia dengan otak biasa."

Well, Mr. Holmes. Entah kenapa, khusus kamu, aku nggak keberatan kamu menyombongkan kejeniusanmu. Aku tetap cintaaa... ^_^  karena kamu memang truly genius. 

Dan aku selalu meleleh jika berhadapan dengan cowok genius. Mudah terpesona ... >.<


This picture from facebook fanpage Benedict Cumberbatch

Dan jika ada yang menganggap aneh cara berpikirnya yang out of the box, Sherlock dengan santai akan bilang begini :

"I am not a psycopath, Anderson. I am a highly functional sociopath. Do your research!" Sherlock said - A study in Pink.


This picture from facebook fanpage Benedict Cumberbatch

Dalam Sherlock season 2 episode 1 "Scandal In Belgravia", ada adegan yang menarik perhatianku. Sherlock is iceman. Dinginnya... ^_^.
Saat ia harus memecahkan password di ponsel Irene Adler yang berisi foto-foto keluarga kerajaan Inggris, dengan cerdas Sherlock bisa menebak password itu menunjukkan perasaan suka Irene padanya.

Dengan sinis Irene Adler menjawab.
"How pathetic, kau mengira aku sungguh-sungguh tertarik padamu?"

Sherlock mendekati Irene dan berbisik pada Irene
"Aku tahu pasti karena aku sudah memeriksa denyut nadimu, jelas itu denyut nadi seseorang yang jatuh cinta."

Cool, maaan...

Dan password itu adalah ... I am SHER locked ... artinya kira-kira : aku terpikat pada Sherlock. Hatiku terkunci padanya ...

Aku SHER locked jugaaa... ^_^


Tapi aku hanya suka karakter Sherlock yang diperankan Benedict Cumberbatch looh... ^_^ 
Jadi dengan kata lain, aku jatuh cinta sama Benedict Cumberbatch.

Aku juga sudah pernah menonton aktingnya dalam film "Atonement", walau pun di film ini Mr. Cumberbatch menjadi tokoh antagonis, but still okay to watch his acting in this film. He is a charismatic man.

Pengen nonton film terbarunya "STAR TREK : Into Darkness". Benedict menjadi villain juga di sini. Tapi tetep deh aku suka, a charismatic villain.

Dan Mr. Cumberbatch sudah syuting untuk serial "SHERLOCK" season 3 loh. Kabarnya cowok keren ini sudah menandatangani kontrak untuk juga bermain di SHERLOCK season 4.

Asyiiiiikkkkk.... Bakalan lihat sherlock Holmes yang pas banget untuk selanjutnya. Mr. Sherlock Cumberbatch, Mr. Benedict Holmes.

Benedict Cumberbatch and Martin Freeman
on the set of Sherlock 3
This picture from "Sherlock" facebook fanpage





Kamis, 27 Juni 2013

Novel teenlit Arumi E : JOJOBA, i'm single, i'm happy, so what?

Telah terbit tanggal 26 Juni 2013. #NovelTeenlit karya Arumi E terbaru di bulan Juni.

Arumi E tetap semangat berkarya. terus berusaha menyenangkan teman-teman pembaca karya-karyaku yang setia. Kupersembahkan karya terbaruku, novel teenlit dengan cover super unyu yang nge-pink abiss...




Judul : JOJOBA, Jomblo-jomblo bahagia

Penulis :  Arumi E

Penerbit : deTEENS, imprint Diva Press

Tebal : 327 halaman

Harga : Rp 40.000,-

Genre : novel remaja

Jika mau pesan edisi tandatangan boleh langsung ke aku. Ada diskon 10% menjadi 36.000. Kirim saja email pemesanan ke rumieko@yahoo.com ^_^



SINOPSIS

Cerita novel ini tentang serunya persahabatan lima cewek jomblo dengan bakat masing-masing yang super keren.

Terinspirasi pengalamanku saat menjadi volunteer Sea Games ke-26 di Jakarta, menjadi latar belakang persahabatan lima cewek jomblo tapi penuh percaya diri dan masing-masing memiliki cita-cita tinggi.

Nggak punya pacar juga bisa tetap happy kok. Anka yang sibuk menulis novel sambil menyelesaikan kuliah arsitekturnya, Kanya yang sibuk memulai bisnis aksesorisnya, Ara malah asyik berkhayal menjadi ahli forensik seperti dalam film CSI favoritnya. Loli, mahasiswi jurnalistik juga memilih bersahabat saja dengan Yoga teman sekampusnya. Bahkan Rhea yang dijodohkan dengan cowok keren asal Jogja memilih menjadi jomblo saja untuk sementara...

Untuk sementara... karena itulah janji yang diikrarkan lima cewek geng Devici ini. The Volunteer Club, The VC, Devici. 

Jomblo tapi happy. Kejar dulu cita-cita, soal cinta belakangan. Setuju enggak?




"JOJOBA" sudah mejeng manis di Gramedia Pondok Indah Mal ^_^


Ini lagu yang pas banget sebagai soundtrack 
kisah dalam JOJOBA.
"Untuk Sahabat" Audy-Nindy ^_^

biarkan saja kekasihmu pergi
teruskan saja mimpi yang kau tunda
kita temukan tempat yang layak
sahabatku

kupercaya kan langkah bersamamu
tak kuragukan berbagi dengan mu
kita temukan
tempat yang layak sahabatku

kita mencari
jati diri
teman lautan mimpi

aku bernyanyi untuk sahabat
aku berbagi untuk sahabat
kita bisa jika bersama


Behind The Story :

Akhirnya... Terbit juga novel teenlit karyaku yang berjudul Jojoba, jomblo-jomblo bahagia. Saat deTEENS memberitahukan cover novel terbaruku ini, senangnya bukan main. Warnanya manis, merah muda, dengan siluet sosok seorang gadis berwarna putih. Simple tapi keren.

Teringat bagaimana awalnya aku menulis naskah ini. Bermula membaca pengumuman penerbit deTEENS melalui akun twitternya, menawarkan bagi siapa saja yang berminat menulis novel remaja yang berisi kisah persahabatan para remaja jomblo. Masing-masing tokoh memiliki karakter kuat. Mereka berprestasi di bidangnya dan tidak galau memikirkan kekasih. Tema besar novel pesanan ini adalah : Jomblo tapi happy. Keren kan?

Membaca pengumuman ini, aku langsung tertarik untuk ikut serta. Pertama, karena aku suka menulis cerita remaja, kedua karena aku juga jomblo tapi happy. Klop banget, menuliskan kisah ini akan menjadi cerita yang ‘gue banget’. Segera dengan penuh percaya diri, kukirimkan surat lamaranku berupa CV dan contoh tulisan dari novelku sebelumnya yang sudah terbit. 

Dalam waktu singkat, aku sudah mendapat jawaban email, ternyata aku terpilih menjadi kandidat penulis novel “Jojoba” ini bersama empat  penulis lainnya. 
Kemudian aku diminta mengirimkan outline dan sinopsis rencana ceritaku nantinya. Sempat berpikir lama, persahabatan berlatar belakang apa yang akan kutulis? Teman sekampus? Memiliki hobi yang sama? Atau memiliki ide yang sama? Sepertinya itu sudah pernah dibuat. Semalaman aku memikirkan alasan persahabatan yang unik dan tidak biasa di dalam kisahku nanti


Penampakan novel Jojoba yang eye catching   ^_^

Akhirnya aku mendapat ide, bagaimana jika latar belakang persahabatan karakter-kerakter dalam novelku nanti adalah sebagai sesama mantan volunteer Sea Games ke 26? Sepertinya ini belum pernah ditulis. Ide ini kudapatkan dari pengalamanku sendiri pernah menjadi volunteer dalam acara Sea Games ke-26 di Jakarta. Ketika itu aku bertugas sebagai volunteer venue sailing di Pantai Marina, Ancol. Aku teringat serunya selama bertugas sebagai volunteer. Bertemu teman-teman baru dari latar belakang berbeda dan dari kampus yang berbeda-beda pula.

Aku memutuskan membuat lima karakter tokoh perempuan berusia 19 dan 20 tahun yang kuliah di kampus berbeda-beda dengan jurusan yang juga berbeda-beda.

Ada Kanya mahasiswi jurusan bahasa Inggris yang kuliah di UNJ. Ia menanggung beban jika lulus nanti harus menjadi pegawai negeri. Karena bapak dan ibunya adalah pegawai negeri. Padahal Kanya tidak berniat kerja kantoran. Ia memiliki bakat merancang aksesoris dan fashion. Kanya memang senang sekali tampil modis dan seringkali menjadi polisi mode bagi teman-temannya. Obsesi terbesarnya adalah memiliki butik besar dan terkenal dengan label "KanYa". Karakter Kanya ini terinspirasi dari temanku lulusan sastra Inggris yang juga sangat modis dan pandai merancang pakaian serta aksesoris.

Karakter selanjutnya adalah Tayara, biasa dipanggil Ara. Ia mahasiswi jurusan kedokteran yang sangat menyukai serial televisi CSI. Saking sukanya film ini, Ara bercita-cita ingin menjadi ahli forensik yang kelak bekerja di bagian laboratorium forensik kriminal di kepolisian. Karakter Ara ini terinspirasi dari kesukaanku sendiri pada serial televisi CSI. Berikutnya ada Auroli, biasa dipanggil Loli, mahasiswi jurusan jurnalistik yang magang di sebuah majalah remaja, yang hobi sekali mewawancarai orang bahkan sahabat-sahabatnya sendiri. Karakter Loli juga terinspirasi dari temanku sesama volunteer Sea Games yang kuliah di jurusan komunikasi massa. 

Lalu ada Marianka, biasa disebut Anka, mahasiswi jurusan arsitektur yang terobsesi ingin menjadi penulis novel terkenal. Tokoh Anka ini tentu saja terinspirasi dari diriku sendiri, hehehe. Ada lagi tokoh bernama Rhea, mahasiswi STT PLN Jakarta yang berasal dari Jogja dan tinggal di sebuah tempat kos. Karakter Rhea terinspirasi dari mahasiswi-mahasisiwi yang banyak tinggal di sekitar tempat tinggalku yang dekat dengan kampus STT PLN.

Lima karakter berbeda ini bertemu saat sama-sama bertugas sebagai volunteer Sea Games ke-26. Setelah setahun kemudian, persahabatan mereka tetap terjalin erat. Mereka bahkan membentuk sebuah genk mantan volunteer Sea Games tapi hanya khusus perempuan, hanya mereka berlima. Nama Genk mereka berasal dari kependekan The Volunteer, The VC, dibaca Devici. Jadilah mereka menamakan genk mereka Devici.
Lima mahasiswi ini harus menghadapi masalah masing-masing. Sibuk meraih cita-cita, dan mereka tetap happy walau pun belum punya pacar.

Dalam waktu singkat pula aku mendapat jawaban dari deTEENS, outline dan sinopsis-ku terpilih untuk dilanjutkan menjadi naskah novel utuh. Kemudian aku dikirimi kontrak yang isinya menyatakan kesanggupanku menyelesaikan naskah novel ini selama 60 hari. Sekali lagi dengan penuh percaya diri aku menyanggupinya. Awalnya memang sedikit tersendat, karena deTEENS mensyaratkan semua tokoh harus mendapat porsi yang sama, dan karakter masing-masing harus kuat. 

Namun setelah hari ke-30 dan naskah sudah mencapai separuhnya, aku mulai lancar menuliskan semua kisah karakter-karakternya, permasalahan mereka dan cara mereka mengatasi masalahnya tersebut. Walau pun aku sebelumnya sudah membuat outline naskah secara detail, tetapi akhirnya cerita berjalan sedikit berbeda. Tidak banyak melenceng dari outline yang sebelumnya sudah kubuat. Hanya ada penambahan ide-ide baru seiring berjalannya proses penulisan naskah ini.



Dalam menulis naskah ini aku terbantu dengan karakter-karakter yang terinspirasi dari orang-orang yang kukenal. Rasanya menulis kisah ini seolah aku mengenal sendiri karakter-karakternya. Setting yang kupilih pun adalah tempat-tempat yang sudah kukenal. Pengalaman naik Trans Jakarta, juga bisa dituangkan dalam ceritaku ini. Juga tentang kisah Rhea gadis asal Jogjakarta, aku memilih desa tempat tinggalnya adalah desa tempat Simbahku tinggal dahulu. Aku gambarkan suasana desa yang memang benar-benar nyata. Udaranya yang masih segar, asyiknya kegiatan menimba air di sumur. Alhamdulillah, aku bisa menyelesaikan naskah Jojoba ini di hari ke 50. Lalu segera aku kirimkan ke deTEENS.

Kurang lebih beberapa minggu kemudian, aku mendapat email dari deTEENS yang menyatakan naskah Jojoba karyaku diterima. Wah, senangnya bukan main. Akhirnya ide ceritaku ini akan diterbitkan menjadi sebuah buku.

 Apalagi ketika kemudian aku diberitahu covernya. Rasanya semakin senang. Aku sampaikan kabar baik ini kepada teman-temanku sesama mantan volunteer Sea Games ke-26. Mereka langsung antusias dan ingin segera membacanya. Aku harap, kehadiran novel ini akan menambah pengetahuan bagi yang membacanya, bagaimana serunya menjadi volunteer suatu perhelatan olahraga akbar di negeri ini dan semoga dapat memotivasi teman-teman berjiwa muda untuk juga bersemangat mengisi masa muda dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. 

Sebagai catatan, walau istilahnya volunteer, tetapi kami dibayar cukup lumayan loh hanya untuk masa tugas selama 13 hari. Belum lagi keuntungan lain, mendapat banyak teman baru dan terbuka wawasanku tentang apa itu olahraga sailing. Bagiku pribadi, masih ditambah pengalamanku ini kemudian dapat kumanfaatkan menjadi ide dasar novel teenlitku terbaru.

Yuk, teman-teman, beli dan baca novel baruku ini ya. Dijamin selain terhibur membaca kisahnya, juga menambah pengetahuan tentang kegiatan-kegiatan positif yang bisa diikuti kaum remaja. Jadi, jomblo? Siapa takut?

I am jomblo and I am happy

Karena aku punya banyak mimpi dan bakat untuk diwujudkan menjadi suatu karya yang berarti.

Kiriman foto dari pembaca asal Semarang.
JOJOBA eye catching banget covernya ^_^

Tia yang pesan langsung JOJOBA ke aku.
Makasih ya Tia ^_^

Makasih ya @Imaniaringe sudah beli dan baca #JOJOBA ^_^