Laman

Selasa, 14 September 2010

Telah terbit (lagi) Buku Antologiku : ANAK KOS GOKIL



Judul buku : ANAK KOS GOKIL
Penerbit : Gradien Mediatama
Tebal buku : 228 Halaman

Telah nongkrong dengan manisnya buku ANAK KOS GOKIL di toko buku2 kesayangan anda, Terdiri dari 25 kisah anak kos yang gokil abis, dijamin membacanya sambil ketawa guling2 koming. Kisahku di sisni berjudul : ANAK KOS DILARANG ALERGI, cekidot my friends...^^

Sabtu, 11 September 2010

Telah terbit buku antologiku berikutnya : LOVELY RAMADAN


Pada Sabtu sore yang cerah, diadakan acara launching buku LOVELY RAMADHAN terbitan Indie Publishing, bertempat di Toko Buku Leksika.

Buku ini berisi sekitar 60 cerita seputar Ramadhan yang manis dan inspiratif.

Harga : Rp. 35.000,- / buku belum termasuk ongkir.
* Ukuran: 14 x 21 cm
* Tebal: 320 hlm
* Isi: book paper bw
* Cover: art cartoon 210 gr, laminating glossy, bindding, wrapping

Cerpenku : Panjat Pinang

Dimuat di majalah Say! Edisi Agustus 2010

By : Arumi Ekowati

“Lela, berapa kali sih mesti gue bilang, elo nggak boleh ikutan lomba ini!” teriak Bang Jali lantang.
Sebagai ketua karang taruna RW 01, para remaja yang ingin ikut memeriahkan acara perayaan tujuh belas Agustusan haruslah mendaftarkan diri kepadanya.
“Apa alasan Bang Jali Lela nggak boleh ikutan?” tanya Nurlela tak kalah lantangnya.
“Karena ini lomba bukannya buat perempuan!”
“Jadi ini lomba khusus buat laki-laki?”
Bang Jali mengangguk mantap.

“Apa pasalnya ini lomba cuma buat anak lelaki? Itu namanya melanggar hak asasi manusia, Bang!” protes Nurlela.
“Melanggar hak asasi manusia gimana?”
“Yang namanya acara tujuh belasan kan harusnya buat semua warga, kenapa lomba ini diskriminatif? Anak lelaki aja boleh ikut lomba bikin nasi goreng, masukin benang ke lobang jarum, main bola pake daster perempuan, kan?”
“Lela, lomba ini tuh bahaya buat perempuan.”
“Dimana bahayanya, Bang?”

“Lela, seumur-umur di sini belom pernah ada anak perempuan ikut lomba panjat pinang! Emangnya elo mau uyel-uyelan sama anak-anak lelaki yang belepotan oli dan telanjang dada? Nggak malu apa lo?” suara Bang Jali semakin berapi-api, mungkin terinspirasi pahlawan Nasional Bung Tomo.
“Nggak, Lela nggak malu! Pokoknya Lela mau daftar ikut lomba panjat pinang!”
“Lela, pesertanya tuh anak lelaki semua, kalo elo ikut, cuma elo satu-satunya anak perempuan, nggak takut lo?”
“Lela nggak takut!” Lela tetap bertahan dengan pemdiriannya.

“Gue bisa dimarahin Nyak Babe lo kalo sampe gue ijinin anak perawannya ikut lomba panjat pinang. Udah deh, elo ikut balap karung aja! Seru juga, kan?”
“Nggak mau, pokoknya Lela maunya ikut panjat pinang!”
“Lagian lo mau ikut lomba ini emangnya elo bisa manjat batang pohon?”
“Ye, Bang, Lela mah udah biasa manjat pohon. Hampir tiap siang Lela manjat pohon jambunya Haji Sadeli.”
“Lela, pohon jambu mah banyak dahannya. Ini batang pohon pinang! Batangnya lurus licin, belum lagi ntar kalo dilumurin oli. Tingginya aja lima meter. Kebayang nggak lo?”
“Pokoknya Lela yakin pasti bisa. Lela kan emang tukang manjat.”

Bang Jali geleng-geleng kepala menghadapi tingkah Nurlela yang tak mau mengalah, “Ntar gue rembukan dulu sama anak-anak yang lain deh!” kata Bang Jali

“Ya udah, kalo gitu Lela balik dulu deh, Bang.” kata Nurlela akhirnya, lalu beranjak pergi diiringi tatapan prihatin Bang Jali.

***

“Pokoknya kita harus ngadain unjuk rasa! Bang Jali seenaknya aja melarang kaum perempuan ikut lomba panjat pinang.” seru Nurlela di depan sekumpulan anak-anak perempuan se-RT-nya.
“Tapi kalo dipikir-pikir, La, emang kayaknya nggak pantes deh anak perempuan ikut panjat pinang. Lagian, kan manjat pinang susah.” sahut Reni salah satu teman Nurlela.

“Oh, jadi lo takut? Kayak gini nih yang bikin perempuan susah maju. Selalu berpikir nggak bisa atau nggak pantas melakukan hal yang biasa dikerjakan lelaki. Mana kita tau kalo nggak dicoba. Zaman Nabi aja, perempuan tuh diajarin naik kuda dan memanah, nggak cuma masak dan menjahit doang.” kata Nurlela setengah sinis.

“Tapi, nggak diajarin manjat pohon pinang, kan?” Reni masih mencoba membantah.
“Kali kalo di Arab diajarin manjat pohon kurma.” Nila mulai ikut berkomentar.

Semua mata pun memandang ke arah Nila sambil membayangkan perempuan-perempuan Arab berlomba memanjat pohon kurma...Ah, ada-ada saja!

“Udah deh, jadi gimana, lo pada mau ndukung gue gak?” tanya Nurlela minta kepastian.
“Kalo gue setuju banget sama Lela.” ujar Ida yang sama tomboinya dengan Nurlela.

Mereka berdua memang sama-sama hobi manjat pohon. Mulai dari pohon jambu air, jambu batu sampai jambu monyet. Kadang Nurlela dan Ida juga betah nongkrong di pucuk-pucuk dahan pohon jamblang sambil mengunyah buah asli Betawi yang berwarna ungu itu. Mereka malah lomba ungu-unguan lidah.

“Udah saatnya kita menjadi pelopor gerombolan wanita pertama yang ikut panjat pinang. Dijamin kita bakal dikenang sepanjang masa.” lanjut Ida.

Reni dan Nila saling berpandangan, sama-sama kurang yakin.

“Gini aja, biar gue sama Ida aja yang ikutan panjat pinang. Tapi buat temen-temen yang lain, plis deh, bantuin kita unjuk rasa ya? Tunjukkanlah solidaritas temen-temen sebagai sesama kaum perempuan.” bujuk Nurlela.

“Oh, kalo cuma unjuk rasa sih, gue mau aja ikutan, La.” kata Reni sambil menghela nafas lega.
“Lha iya, kalo unjuk rasa sih gue dukung.” Nila ikut memberi dukungan.
“Kalo lo gimana, Nis? Mau ikutan kan?” tanya Nurlela kepada Anisa yang sejak tadi diam saja.
“Eh, unjuk rasanya nuntut apaan ya?” tanya Anisa yang telat mikir seperti biasanya.
“Anak perempuan nggak boleh dilarang ikut panjat pinang! Lo setuju, kan?” jawab Nurlela berusaha sabar.

“Ane akan selalu mendukung segala usaha untuk menegakkan keadilan dan hak asasi perempuan selama dilakukan dengan cara-cara yang damai.” jawab Anisa dengan suara lembut seperti kebiasaannya, sangat kontras dengan suara Nurlela yang selalu berapi-api.

“Oke deh, minggu pagi besok Bang Jali dan para panitia mau ngadain rapat di rumah Pak RW. Kita unjuk rasa di depan rumah Pak RW. Nanti bantuin gue bikin posternya, ya?”

Nurlela mulai menyusun rencana. Teman-temannya hanya bisa manggut-manggut. Siapalah yang mampu menolak permintaan Nurlela anak Pak RT tempat mereka tinggal. Bisa-bisa nanti dipersulit ketika mengurus KTP baru. Beberapa bulan lagi kan mereka harus sudah mulai membuat KTP.

***

Tepat pukul sepuluh teng di hari Minggu pagi nan cerah, empat minggu menjelang tanggal Tujuh Belas Agustus, Nurlela dan teman-temannya muncul di halaman rumah Pak RW sambil mengusung lembaran-lembaran kertas karton bertuliskan suara hati mereka.

Ada yang bertuliskan, IJINKAN PEREMPUAN IKUT LOMBA PANJAT PINANG!

Lainnya bertuliskan: JANGAN KEKANG HAK ASASI PEREMPUAN!

Juga ada yang bertuliskan: BUAH MANGGA BUAH KEDONDONG, PEREMPUAN BOLEH IKUTAN DONG? Nggak nyambung ya?

“Para panitia acara tujuh belasan yang terhormat! Kami kaum perempuan RT 09 ingin menuntut hak kami!” teriak Nurlela lantang.
“Bang Jali tersayang, dengarkanlah suara hati kami!” Ida ikut berteriak.
“Ijinkanlah kami ikut lomba panjat pinang!” Reni tanpa ragu ikut berteriak walaupun masih ragu apakah ingin ikutan lomba panjat pinang?
“Jangan biarkan lomba panjat pinang dimonopoli kaum lelaki!” Nila juga mencoba menyuarakan pendapatnya.

“Assalammu ‘alaikum kakak-kakak panitia, teruslah bekerja untuk mewujudkan acara tujuh belasan yang sukses, jangan lupa istirahat dan makan yang cukup.” ucap Anisa lembut.

Serentak teman-temannya menoleh ke arahnya dengan dahi berkerut.

“Nisa, sebenarnya lo ndukung siapa sih?” tegur Nurlela.
“Ane mendukung kalian semua.” jawab Anisa masih dengan intonasi suara yang lembut.

Tak lama kemudian pintu rumah Pak RW terbuka dan keluarlah Bang Jali dan teman-teman sesama panitia acara tujuh belasan.

“Aduh, elo semua pada ngapain sih?” tanya Bang Jali dengan suara agak keras.

Pandangan matanya tertuju ke arah Nurlela. Bang Jali punya firasat, ini pasti ulah nekadnya Nurlela.

“Lela, pasti ini ide lo kan? Elo bener-bener kelewatan, Lela!” tuduh Bang Jali.
“Sebagai warga RW 01, kami punya hak untuk menyuarakan pendapat kami, Bang!” jawab Nurlela dengan suara yakin bahwa tindakannya benar.
“Iya, tapi bukan dengan protes-protes begini, kan?”
“Ini bukan protes, Bang! Ini unjuk rasa.” jawab Nila.
“Sama saja! Sama-sama menimbulkan keributan. Untung Pak RW lagi pergi. Kalian kan bisa datang baik-baik. Kalau emang mau, kalian boleh ikut rapat kok!”

Anak-anak perempuan yang sedang berunjuk rasa itu seketika terdiam karena Nurlela sang pemimpin juga terdiam.

“Yee, Bang Jali…kenapa nggak bilang-bilang kalau kita boleh ikutan rapat?” tanya Nurlela akhirnya.
“Yee, kenapa nggak nanya?” sahut Bang Jali.
“Sudah ah! Adik-adik, masuk saja yuk? Kita ngobrol di dalam.” kata Kak Desi yang manis dengan suara penuh kasih.

Anak-anak perempuan itu mengangguk setuju. Mereka semua masuk ke rumah Pak RW.

“Lela, Bang Jali udah sampein ke panitia permintaan elo untuk ikut lomba panjat pinang. Dan kami sudah rembukan.” kata Bang Jali setelah mereka semua duduk lesehan di ruang tamu Pak RW.
“Dan keputusannya gimana, Bang?” Nurlela menatap Bang Jali penuh harap
“Panitia memutuskan lomba panjat pinang akan di bagi menjadi dua sesi. Sesi pertama pesertanya perempuan semua. Kita kasih waktu satu jam. Setelah itu baru giliran anak lelaki.”
“Para lelaki dikasih waktu berapa jam, Bang?” tanya Nurlela masih merasa belum puas.
“Sampe hadiahnya abis.” jawab Bang Jali.
“Waah, nggak adil dong Bang! Kalo perempuan cuma dikasih waktu satu jam, laki-laki juga dikasih waktu satu jam dong!” protes Nurlela.

Bang Jali tak langsung menjawab. Panitia pun sibuk berdiskusi. Nurlela dan teman-temannya sabar menunggu.

“Perjuangan menegakkan keadilan memang butuh kesabaran.” pikir mereka kompak.

“Baiklah adik-adik!” kali ini Kak Desi sang humas acara yang bicara. Suaranya tentu terdengar jauh lebih enak daripada suara Bang Jali yang serak-serak kering.
“Kami sepakat menetapkan, anak perempuan dapat waktu dua jam, anak lelaki juga dua jam. Jika masih ada hadiah yang tertinggal, akan dikembalikan kepada panitia.” lanjut Kak Desi.
“Wah, keenakan panitia dong! Nggak perlu capek-capek manjat pinang dapet hadiah sisa.” protes Nurlela lagi.

“Makanya, kalian usahain deh bisa ngambil semua hadiah. Dan inget, anak perempuan dilarang bertelanjang dada seperti anak lelaki!” kata Bang Jali.
“Huu, siapa yang mau bertelanjang dada? Enak aja!” sahut Nila.
“Kali aja si Lela nekad. Lela kan emang suka sableng!” jawab Bang Jali.

Nurlela mencibir sambil menyahut,“Setuju! Kalo gitu, udah dulu ya Bang, dan kakak-kakak yang laen, kita mau permisi, makasih suara kita udah didenger.”
Tumben suara Nurlela terdengar agak lembut.

“Kapok deh ada warga kayak Nurlela. Untung cuma ada satu!” pikir Bang Jali.

***

Tujuh belas Agustus tiba. Acara panjat pinang akan dilaksanakan jam satu siang sampai jam lima sore nanti. Lapangan tempat batang pinang berdiri sudah dipadati warga. Warga yang menonton lebih banyak dari biasanya. Karena baru kali ini ada kesempatan menonton perempuan memanjat pohon pinang. Batang pinang itu tingginya tujuh meter dan penuh dilumuri oli. Di ujung paling atas bergantungan berbagai hadiah.

Nurlela sudah menyusun strategi. Semua sudah diatur dari ukuran tubuh yang paling besar sampai yang paling kecil. Nurlela akan menjadi pemungut hadiah karena memang ia bertubuh paling ringan dan paling gesit. Mereka bersiap-siap menempati posisi masing-masing. Bang Jali pun mulai memasang pengatur waktu.

“Yak, siap-siap, satu…dua…tiga…mulai!” teriak Bang Jali.

Para perempuan itu mulai beraksi. Warga bersorak sorai bergemuruh. Mbak Tinah dan Mbak Erna yang bertubuh paling besar merapatkan tubuh membentuk pondasi manusia yang kokoh. Setelah itu naiklah Reni. Disusul Anisa dengan tubuh agak gemetar. Selanjutnya naiklah dengan susah payah Lia dan Endah. Sulit sekali karena batang pohon pinang berlumur oli itu licin sekali. Sampai disini, susunan manusia itu mulai agak goyah.

“Ayo, Lia! Terus naik! Endah, cepetan! Udah jangan takut nggak apa-apa! Paling kalo jatuh ke bawah.” teriak Nurlela asal. “Nila, lo mulai naik deh!”

Nila mulai mengambil posisi. Tapi ketika tubuhnya memanjat tubuh Anisa, sepertinya Anisa tak sanggup menahan beban lagi. Tubuh Anisa melorot. Maka tubuh Endah dan Lia pun ikut merosot. Formasi itu pun berantakan!

“Aduh, gimana sih? Ayo, coba lagi temen-temen!” teriak Nurlela.
Tapi Anisa menggeleng.
“Aduh, Lela. Ane nyerah deh.” pinta Anisa.
“Kayaknya gue juga nggak kuat, Lela.” Endah ikut-ikutan.
Lia dan Reni juga menyerah. Ida kecewa karena belum sempat manjat.
“Gimana, masih mau dilanjutin nggak?” tanya Bang Jali.
Anak-anak perempuan itu menggeleng. Nurlela cemberut.
“Yak, para perempuan telah membatalkan diri. Sekarang giliran para lelaki!” teriak Bang Jali.

Warga pun bersorak, sebagian ada yang kecewa. Para lelaki itu mulai membentuk formasi dengan cepat.

“Bang Jali, Lela mau ikut dong!” rajuk Nurlela.
“Lela, elo kan tadi udah dikasih kesempatan.” tolak Bang Jali
“Lela pengen ngambil hadiah HP. Lela pengen banget punya HP.” bujuk Nurlela.
“Ha?! Jadi elo ngotot mau ikut panjat pinang cuma karena pengen punya HP?” tanya Bang Jali. Lela mengangguk.
“Elo tuh udah bikin repot semua orang! Pokoknya nggak boleh!”

Nurlela memandang formasi para lelaki yang semakin mantap. Tubuh mereka yang bertelanjang dada dipenuhi oli. Rohali yang bertugas mengambil hadiah telah mencapai puncak batang pinang. Dari bawah, Nurlela dapat melihat kardus HP bergelantungan diseutas tali. Betapa inginnya ia…Tiba-tiba Nurlela berlari ke arah batang pinang itu.

“Lela, elo mau kemana?” teriak Bang Jali.

Nurlela tak peduli. Ia tetap berlari. Tapi mendadak…Bletakkk! Sesuatu menimpa kepala Nurlela. Nurlela terkejut, tapi lalu tersenyum sambil memungut benda yang telah menimpa kepalanya tadi dan memeluknya erat-erat sebelum akhirnya ia tergeletak pingsan! Bang Jali menghampiri tubuh Nurlela dan geleng-geleng kepala melihat benda dalam pelukan Nurlela.

“Lela, Lela! Kesampean juga lo punya HP.” Bang Jali bicara sendiri sebelum kemudian ia meminta beberapa anggota panitia menggotong tubuh Nurlela pulang ke rumahnya.

Teman-teman Nurlela mengikuti dari belakang sambil menyebut-nyebut nama Nurlela. Warga terdengar riuh, tak sadar apa yang telah terjadi. Dari puncak batang pohon pinang, Rohali berteriak lantang.
“Woooi! Itu HP guee! HP gue jangan dibawaaa! Balikin HP gueee!”

-Tamat-

Senin, 26 Juli 2010

My Beautiful Name


Dimuat Di Majalah TEEN edisi Juli 2010

My Beautiful Name ( revisi )
Oleh : Arumi


Namaku Eko Radiamukti. Coba tebak, siapa aku? Aku adalah seorang cewek manis yang baru saja akan masuk SMU. Pasti nggak menyangka, kan? Karena namaku seperti nama cowok.
Aku benci namaku. Sebenarnya sejak aku baru lahir sampai sebulan yang lalu aku belum sadar kalau namaku itu nggak oke banget. Aku baru sadar ketika aku berkenalan dengan kapten basket sekolah lain.
“Hai, aku Evan. Kamu?” kata Evan ketika itu sambil mengulurkan tangannya untuk menyalamiku.
Aku menyambut uluran tangannya sambil tersenyum manis.
“Aku Eko.” jawabku.
Evan melotot terkejut. Melongo beberapa saat sebelum akhirnya tertawa keras sekali. Aku tidak mengerti mengapa ia tertawa.
“Eko? Ha…ha…ha…” tawanya.
Jujur, aku sedikit tersinggung mendengar tawanya yang tidak sopan itu.
“Kenapa? Ada yang lucu?” tanyaku sebal.
“Sori, he…he…aku kaget aja, nggak nyangka cewek semanis kamu namanya macho gitu.”
“Namaku macho?”
“Ya iyalah. Nama Eko kan biasanya nama laki-laki. Atau jangan-jangan kamu cewek jadi-jadian? He…he…”
Aku marah. Menyebalkan banget si konyol Evan ini. Aku langsung berbalik dan berlari pulang. Seumur hidup aku nggak mau ketemu dia lagi.
Sejak saat itulah aku mulai sadar kalau namaku tuh nggak banget. Aku harus ganti nama. Dan aku juga harus memilih SMU yang sangat jauh dari rumahku. Supaya aku nggak perlu lagi bertemu teman-temanku yang sudah biasa memanggilku Eko. Aku ingin memperkenalkan diri dengan nama yang baru. Nama yang lebih manis, sesuai dengan wajahku yang manis.



....Continued.