Laman

Selasa, 25 Mei 2010

MINUS TIGA


By : Arumi
Dimuat di Majalah TEEN edisi minngu kedua Mei 2010

Anka mengerjap-kerjapkan matanya. Aneh, rasanya tulisan Bu Sinta di papan tulis itu tak terbaca olehnya. Terlalu kecilkah?
“Fi, lo bisa baca nggak tulisan Bu Sinta?” bisiknya perlahan pada Fifi teman sebangkunya yang sedang asyik menyalin tulisan yang tertera di papan tulis.
“Bisa dong, kenapa? Memangnya lo nggak bisa baca tulisan Bu Sinta?”
“Kekecilan kali ya tulisannya?”
“Ah, tulisan Bu Sinta dari dulu memang segitu, Ka. Standar kok. Aneh, sudah beberapa kali ini lo selalu mengeluh nggak bisa baca tulisan di papan tulis. Maksud lo, agak-agak rabun gitu?”
“Huu…enak saja lo ngatain gue rabun. Tulisannya nih yang kekecilan.”
“Bukannya gue ngatain lo rabun, Ka. Tapi mungkin mata lo sekarang memang minus. Rabun jauh. Ya, lo harus pakai kacamata kalau mau melihat jauh dengan jelas.”
“Haa? Gue pakai kacamata? Kayak apa tampang gue? Bisa kelihatan culun kayak si Andi tuh? Nerdy look gitu? Nggak deh!”
“Lha, mending juga pakai kacamata daripada lo pusing nggak bisa baca tulisan di papan tulis. Mungkin mata lo sebenarnya sudah lama menurun kemampuan melihat jauhnya. Tapi karena selama ini lo duduk paling depan, lo nggak berasa. Sekarang lo dipindah duduk belakang, baru deh lo merasa agak rabun.”
“Ah, nggak deh! No way deh gue pakai kacamata! Kan gue masih bisa lihat tulisan lo he…he…”
“Yah…terserah lo deh Ka. Kan yang ngerasain enak nggak enaknya elo.”
“Gue lihat tulisan lo ya?”
“Ya lihat saja kalau mata lo belum rabun lihat tulisan gue.”
“Huu, kalau jarak segini sih, gue masih bisa lihat, Fi. Mata gue belum separah itu kok.”
“Iya, tapi kalau lo cuekin saja, nggak lo periksa, mata lo bisa makin rabun!”
“Ih, Fifi! Jangan nakut-nakutin gue dong....”
Fifi hanya cengar-cengir.
***

Anka mengerjap-kerjapkan matanya. Duh, dari tempatnya duduk ini, ia mulai tak dapat membaca teks terjemahan Bahasa Indonesia film serial Korea yang sedang ditontonnya. Anka beringsut maju lima puluh senti meter. Duh, masih belum jelas juga. Ia pun maju sedikit lagi.
“Anka, kamu ngapain? Nonton TV kok dekat sekali begitu? Nanti mata kamu rusak.” tegur Mama yang mendadak datang ke ruang keluarga dan melihat Anka menonton TV.
“Mm, nggak kok Ma. Tulisannya agak kurang jelas.”
“Kurang jelas? Aduh, jangan-jangan mata kamu sekarang minus, Ka.” kata Mama. Nada suaranya sedikit cemas.
“Nggak kok Ma. Biasanya nggak apa-apa. Mata Anka memang rada capek rasanya. Anka mau tidur aja deh.” sahut Anka lalu cepat-cepat masuk ke kamarnya.
Gawat, kalau sampai Mama memaksanya ke dokter mata untuk memeriksakan matanya, bisa berabe! Kalau dia benar-benar minus, mama pasti akan memaksanya memakai kacamata. Duh, nggak deh. Reputasinya selama ini sebagai cewek berwajah foto model yang modis dan trendi bisa anjlok kalau tiba-tiba dia pakai kacamata. Bisa cupu abis tampangnya.
***

“Ka, gue punya ide cemerlang banget buat mengatasi masalah mata rabun lo itu.”
“Stt! Fi, elo bisa nggak sih bilang rabunnya pelan-pelan aja. Elo sengaja ya, pengen satu sekolah tau biar reputasi gue hancur?”
“Sorry, say! Lo mau dengar ide cemerlang gue nggak?”
“Apa sih ide cemerlang lo itu, sahabatku Fifi tersayang?” ledek Anka.
“Gimana kalau elo pakai contact lens? Keren banget, kan? Mata lo bakal kelihatan lebih cling, persis kayak seleb di TV. Makin memperkuat kesan wajah foto model lo, gitu loh!”
“Haaa? Contact lens? Bukannya mahal tuh?”
“Ayolah, Ka.. Masak lo kalah sih sama Yasmin. Yasmin tuh sekarang matanya hijau!”
“Maksud lo karena lihat tumpukan duit one million dollars?”
“Yaela, semua juga sudah tau, Ka. Kuper banget sih, lo. Gue juga sudah lihat sendiri. Yasmin sekarang pakai contact lens warna hijau cerah. Matanya jadi kelihatan keren banget. Lebih cling, pandangannya terlihat tajam, menghujam setiap mata yang memandanganya, He…he…”
“Nggak perlu di dramatisir gitu deh. Tapi Fi, mama gue mana mungkin mau beliin gue contact lens. Kan pasti mahal.”
“Ka, penampilan sempurna itu kan memang butuh pengorbanan. Lo nggak usah jajan. Kumpulin deh duit jajan lo buat beli contact lens.”
“Gue nggak jajan? Terus, nanti gue makan apa dong?”
“Duh, terserah lo deh, Ka. Pokoknya gue udah ngasih saran terbaik supaya elo bisa tetap melihat jelas, tapi nggak perlu jadi bertampang culun. Lo tinggal pilih, mau kelihatan cupu atau mau kelihatan makin keren.”
Anka terdiam. Sibuk berpikir. Benar juga kata Fifi. Jika ia memakai contact lens, pasti penampilannya akan semakin modis. Tapi…
***

“Apa? Kamu minta dibelikan contact lens? Itu kan mahal, Ka.” kata Mama terkejut ketika Anka menyampaikan niatnya ingin memakai contact lens.
“Ma, masak Mama tega Anka nggak bisa melihat tulisan di papan tulis. Nilai Anka bisa jeblok kalau kurang paham apa yang di tulis Pak guru dan Bu guru di papan tulis.” rajuk Anka.
“Supaya kamu bisa melihat jelas kan nggak harus pakai contact lens, Ka. Pakai kacamata juga bisa memperjelas penglihatan kamu. Lagipula, contact lens itu kan perawatannya nggak gampang. Harus benar-benar bersih. Harus disiplin. Mama nggak yakin kamu yang super sembrono bisa memakai contact lens dengan benar.”
“Ih, Mama jangan under estimate Anka gitu dong! Anka nggak mau pakai kacamata, Ma. Anka nggak mau kelihatan seperti kutu buku.”
“Lho, menurut mama kutu buku itu bagus. Berarti terlihat smart, rajin membaca buku. Iya, kan? Sudah, besok mama antarkan kamu ke optik. Mama belikan kamu kacamata minus.”
“Tapi, Ma…”
“Anka, nggak ada tapi. Kalau kamu mau melihat jelas, pakai kacamata. Kalau kamu nggak mau pakai kacamata, ya sudah, nggak usah melihat jelas.” kata Mama tegas. Anka mendengus kesal.
***

“Aduh, Fi…apa kata dunia kalau gue pakai kacamata. Gue sebel, sebel, sebel!”
“Weits, jangan berlagak drama queen gitu dong. Dunia baik-baik saja kok kalau elo pakai kacamata. Tetap saja dunia terancam global warming. He…he…”
Anka mendelik.
“Eh, tapi, menurut gue, pakai kacamata juga keren, Ka. Afgan aja pakai kacamata tetap kelihatan keren, kan?” kata Fifi sambil nyengir meledek.
“Tapi kan gue nggak mau kelihatan seperti Afgan. Gue pengen kelihatan seperti Luna Maya…”
“Lho, Luna Maya kalau pakai kacamata memangnya jadi kelihatan seperti Afgan?” ledek Fifi lagi.
“Fifi!” teriak Anka kesal.
“Serius, Ka. Menurut gue, tergantung lo milih model kacamatanya seperti apa. Jangan yang jadul dong. Pilih yang model retro. Kan lagi ngetrend juga, Ka. Siapa tau lo malah bisa jadi trendsetter di sekolah kita. Kelihatan makin keren pakai kacamata, gitu!”
Anka mulai terpengaruh kata-kata Fifi.
“Nggak tau deh. Ntar gue coba dulu. Mama gue maksa mau nganterin gue ke optik nanti sore.”
“Nah, gitu dong, say! Lo coba saja dulu. Siapa tau benar bisa kelihatan keren. Ingat, pilih yang model retro. Yang modis gitu. Jangan salah pilih.” pesan Fifi.
“Hmm, gue nggak sabar lihat penampilan baru lo besok!” kata Fifi lagi.
“Awas ya, kalau besok lo ngetawain gue…”
“Ya nggak lah. Kecuali kalau elo memang benar-benar kelihatan cupu abis, he..he..”
Anka mencubit pinggang Fifi gemas.
“Aww! Aduh, gue kan becanda, Ka!”
***

Ini kacamata ke sepuluh yang dicoba Anka. Tapi Anka belum juga merasa pas dengan kacamata-kacamata yang telah dicobanya itu.
“Ayo dong, Ka. Mama sudah hampir lumutan nih nunggu kamu. Hampir semua kacamata sudah kamu coba masak sih belum ada yang cocok?” Mama mulai protes.
“Sabar dong, Ma. Memilih kacamata yang tepat buat Anka itu penting, Ma. Kalau sampai Anka salah pilih, bisa hancur masa depan Anka.” jawab Anka kalem.
Mama menghela nafas berusaha sabar mengahadapi tingkah Anka.
“Coba tuh yang warna merah.” saran Mama.
Anka mencoba kacamata yang disarankan mamanya. Hm, benar! Yang ini terlihat oke. Pas membingkai wajah cantiknya. Anka tersenyum melihat bayangan wajahnya di cermin yang disediakan optik. Keren juga!
“Kamu terlihat makin cantik memakai kacamata itu.”
Terdengar suara yang rasanya Anka kenal. Dada Anka berdegup kencang. Perlahan ia menoleh ke arah sumber suara itu. Ia sungguh terkejut melihat sosok yang berdiri di samping kanannya.
“Ra…Ra..ma!?” seru Anka setengah tergagap.
Sosok tampan bertubuh atletis di sampingnya itu tersenyum mempesona.
“Aku nggak nyangka, Anka si cantik ternyata minus juga.”
“Rama, sedang apa kamu di sini?” Anka merasa malu. Malu sekali. Tampil seperti ini justru di depan Rama cowok satu sekolah yang sudah lama ditaksirnya. Hancur sudah harapannya. Terlihat kejelekannya di depan Rama.
“Sama seperti kamu lah. Mau beli kacamata minus.”
“Beli kacamata? U…untuk siapa?”
“Untuk aku dong!” jawab Rama datar.
“Untuk kamu?! Memangnya kamu minus juga?” tanya Anka tak percaya.
“Iya. Aku minus tiga.”
“Tapi, aku nggak pernah melihat kamu pakai kacamata. Aku pikir…”
“Kamu pikir aku cowok sempurna…ganteng, pintar, ngetop…”
“Ih, ge-er!”
“He…he…becanda, Ka, maksudku, selama ini aku memang menutupi keadaanku yang sebenarnya. Sebagai kapten tim bola basket sekolah kita, tentu saja aku nggak mungkin pakai kacamata. Selama ini aku pakai contact lens. Sejak kelas satu, aku memakai contact lens bening, makanya nggak ada yang sadar kalau aku sebenarnya minus.”
“Terus, kenapa sekarang kamu mau pakai kacamata?”
“Aku capek pakai contact lens. Karena perawatan memakai contact lens agak rumit, butuh ketelitian dan kedisiplinan menjaga kebersihan. Aku akan tetap memakainya tapi hanya ketika sedang main basket saja supaya nggak mengganggu gerakan. Lagipula, sekarang pakai kacamata kan lagi trend. Lihat saja Afgan tuh!”
“Ih, kamu tuh kayak Fifi. Sama-sama terpesona sama Afgan yang kelihatan keren pakai kacamata.”
“Enak saja, siapa yang terpesona sama Afgan. Aku kan cuma bilang contohnya Afgan. Aku terpesona sama kamu kok.” goda Rama.
“Gombal!” sahut Anka sedikit malu.
“Serius! Kamu terlihat makin cantik. Bisa-bisa aku naksir nih!”
“Gombal asli!”
“He…he…lihat saja apa komentar teman-teman besok melihat kita barengan pakai kacamata ke sekolah.” goda Rama lagi sambil mengedipkan sebelah matanya pada Anka.
Anka tersenyum tak bisa menyembunyikan rasa senangnya.
Lihat saja, apa komentar Fifi besok!

~ Fin ~

Rabu, 05 Mei 2010

SEKUNTUM CINTA UNTUK PIA



By : Arumi
Dimuat di Majalah Say! edisi Mei 2010

“Kenapa kamu suka aku?” tanya Pia, matanya menatap Elang lekat-lekat. Ada sedikit rasa tak percaya dalam pandangannya itu.
“Karena kamu baik.” jawab Elang singkat.
“Standar!” sahut Pia, juga singkat.
“Standar? Maksudmu?” tanya Elang tak mengerti.
“Jika alasanmu hanya karena menurutmu aku baik, maka aku nggak yakin bahwa aku adalah satu-satunya gadis yang kamu suka!” kali ini Pia menjawab panjang.
“Tentu saja bukan hanya baik, kamu...beda!” sahut Elang. Matanya tajam menatap wajah manis Pia. Seolah menyelidiki rasa hati Pia di balik wajah tak peduli yang ditunjukkannya.
“Beda? Hm, kedengarannya bukan hal yang positif!”
“Oke, bukan beda, kamu istimewa. Perasaanku sulit diurai dengan kata-kata, Pi. Aku hanya bisa merasakan. AKU SUKA KAMU! Aku sering memikirkan kamu. Aku suka berada dekat denganmu. Aku...”
“Kamu nggak tahu siapa aku sebenarnya, kan?” Pia langsung memotong celoteh Elang. Tak dibiarkannya Elang lebih jauh lagi mengumbar kata merayu.
“Aku tahu kamu, Pia. Kamu perempuan pemberani, cerdas, baik hati, unik, peduli dengan lingkungan dan sesama...”
“Aku anak yatim piatu dan tinggal di Panti Asuhan, Lang! Puas?” potong Pia lagi, kemudian segera berlalu pergi meninggalkan Elang yang masih berusaha menyelesaikan kalimatnya.
Elang mengejar Pia. Tak kan dibiarkannya gadis kesukaannya itu pergi darinya dalam keadaan marah.
“Pia, tunggu!”
***
“Asiik, Kak Pia udah pulang!” terdengar suara gadis kecil menyambut Pia yang baru saja melangkahkan kaki ke dalam Panti Asuhan Kasih Bunda. Di sinilah Pia tinggal selama enam belas tahun.
“Noni kok tau aja sih Kak Pia datang?” tanya Pia sambil meraih tangan gadis itu yang berusaha menggapainya.
“Noni kan udah hapal suara kaki Kak Pia...” jawab Noni.
Pia tersenyum. Digandengnya tangan Pia, mengajaknya melangkah ke kamarnya.
Kamar Pia hanya kamar mungil berukuran dua meter kali tiga meter. Tapi kamar itu sangat rapih dan selalu bersih. Pia meletakkan tas sekolahnya ke atas meja kecil di sisi tempat tidur. Lalu ia duduk di atas tempat tidurnya sambil menatap Pia yang sibuk membuka-buka buku cerita barunya. Di kamar ini ia tidur bersama Noni. Adiknya tersayang. Walau Noni bukan adik kandungnya, kebahagiaan Noni adalah tujuan hidupnya kini, melebihi kebahagiaannya sendiri.
Karena itu tadi sepulang sekolah Pia marah ketika Elang menyatakan cinta padanya. Pia tak peduli walau Elang adalah salah satu cowok pujaan banyak gadis di sekolahnya. Elang tidak penting. Noni lah yang paling penting.


...Continued

Sabtu, 01 Mei 2010

Tongkat Ajaib Peri Lili



Dimuat di Majalah BOBO 22 April 2010

Lola adalah salah satu peri muda yang tinggal di Kampung Peri. Lola bukan peri yang nakal. Hanya saja ia sering malas. Ia selalu ingin cepat-cepat mendapat suatu hasil tanpa perlu bekerja giat. Lola membayangkan punya tongkat ajaib seperti Peri Lili.
“Pasti asyik, jika aku punya tongkat ajaib! Tak perlu belajar, nilaiku di sekolah bisa bagus. Tak perlu menyapu, kamarku sudah bersih.” pikir Lola.
Lola tidak tahu bahwa tongkat ajaib Peri Lili bukan untuk hal-hal semacam itu. Tapi untuk menolong peri-peri yang sedang kesusahan. Tanggungjawab memiliki tongkat ajaib itu sangat besar. Hanya peri terbaik, pandai, jujur dan bijaksana yang diberikan kuasa oleh pemimpin peri untuk memiliki tongkat ajaib itu.
Lola ingin sekali meminjam diam-diam tongkat ajaib Peri Lili itu. Ya, harus diam-diam. Karena jika ia minta ijin Peri Lili, pasti tidak akan dipinjamkan. Tetapi Peri Lili tidak pernah meninggalkan tongkatnya. Selalu saja dibawa kemana pun Peri Lili pergi.

Setiap pulang dari sekolah peri, Lola selalu mampir ke pondok Peri Lili untuk mengintip ke dalam pondok Peri Lili diam-diam, berharap peri Lili meninggalkan tongkatnya. Selama ini Lola tak pernah melihat tongkat ajaib itu tertinggal. Tapi hari ini berbeda. Ketika Lola mengintip melaui jendela ke dalam kamar tidur Peri Lili, Lola melihat tongkat ajaib Peri Lili tergeletak di atas meja riasnya! Baru kali ini Peri Lili meninggalkan tongkat ajaibnya begitu saja!
O, ya, di kampung peri, peri-peri terbiasa tidak mengunci pintu dan jendela ke mana pun mereka pergi. Karena di kampung peri tak pernah ada peri yang berani mencuri barang milik peri lain. Sepertinya Lola adalah peri pertama yang berani menyelinap diam-diam ke kamar peri lain dan mengambil barang milik peri lain!

“Aku hanya ingin meminjam tongkat ini sebentar.” Lola membela dirinya sendiri.
Segera Lola menyelinap keluar pondok Peri Lili sambil menyembunyikan tongkat ajaib itu di balik bajunya. Baru saja Lola terbang beberapa kepakan sayap, terdengar suara menegurnya,
“Lola, sedang apa kamu di sini?”
Lola terkejut. Di hadapannya telah ada Peri Lili yang baru saja pulang dari tugasnya.
“Aku...eh...aku hanya lewat saja, Peri Lili.”
“Hm, kamu baru pulang sekolah, ya? Jangan bermain-main terlalu jauh. Lekaslah pulang. Ayah ibumu pasti sudah menunggu di rumah.” kata Peri Lili lembut.
Peri Lili memang terkenal sebagai peri yang baik hati. Lola mengangguk lalu cepat-cepat berlalu dari hadapan Peri Lili. Jangan sampai Peri Lili tahu apa yang telah dilakukannya.
“Tapi, eh, tadi kok sepertinya Peri Lili masih membawa tongkat ajaibnya?” pikir Lola bingung. Ia mengintip tongkat ajaib Peri Lili yang tadi diambilnya. Masih ada dibalik jaketnya. Lalu yang tadi dibawa Peri Lili tongkat ajaib siapa?
“Oh, aku tahu! Peri Lili pasti mempunyai dua tongkat ajaib! Hebat! Aku satu tongkat ajaib saja tak punya! Peri Lili malah punya dua!” Lola membuat kesimpulan sendiri.
“Ini pasti kembaran tongkat ajaib yang biasa dibawa Peri Lili. Oh, aku sudah tak sabar ingin menguji keajaibannya!” pekik Lola dalam hati.
Ia segera terbang menuju rumahnya. Sesampai di rumah, ayah ibu dilaluinya begitu saja. Tak dihiraukannya panggilan ibu menyuruhnya makan siang. Ia langsung menuju kamarnya.
“Ah, kalau sudah punya tongkat ajaib ini, untuk apa lagi aku capek-capek makan siang. Akan kusihir perutku, supaya aku merasa kenyang tanpa perlu capek-capek makan.” pikir Lola.
Duh, Lola! Saking malasnya, sampai makan pun ia malas.
Lola mencoba menyihir kamarnya agar menjadi bersih tanpa perlu capek-capek membersihkannya.
“Tapi, aku lupa...apa mantra yang biasa diucapkan Peri Lili setiap ia menyihir dengan tongkat ajaibnya?” Lola bertanya-tanya sendiri.
“Sim Salabim!” ucap Lola.
Tak ada reaksi apa pun. Kamarnya tetap saja berantakan.
“Abrakadabra!” ucap Lola lagi. Tetap tak ada perubahan.
“Hokus pokus!” ucap Lola lagi.
Lola melihat ke sekeliling kamarnya. Tak ada yang bergerak. Mainannya tetap tergeletak di lantai. Buku-buku yang semalam habis dibacanya masih tetap berhamburan di atas tempat tidurnya.
“Buku-buku! Aku mau kalian kembali ke rak buku!” perintah Lola sambil mengayunkan tongkat ajaib itu ke arah buku-bukunya.
Buku-bukunya bergerak. Lola tersenyum senang. Tapi, lho, kok bergeraknya tidak ke arah rak buku? Tapi justru ke arah Lola.
“Bukk!” Buku-buku itu malah jatuh menimpa kepala Lola.
“Aduh!” jerit Lola kesakitan.
“Lola, ada apa?” terdengar teriakan ibu dari balik kamar Lola.
“Tidak ada apa-apa, Bu! Aku sedang membereskan kamar!” jawab Lola dengan berteriak tanpa membuka pintu. Uh, sungguh tidak sopan, ya, Lola ini!
“Mainan, ayo, kembali kalian ke keranjang mainan!” perintah Lola sambil mengayunkan tongkat ajaib itu ke arah mainan-mainannya.
“Plokk! Bukk! Plakk!” Mainan-mainan itu malah menimpuk tubuh Lola. Lola mengaduh lagi kesakitan.
“Ah, tongkat ajaib tolol!” maki Lola. “Sekarang buat perutku kenyang tanpa harus makan!” kata Lola sambil mengayunkan tongkat ajaib itu ke arah perutnya.
“Aduh! Aduh! Ayah! Ibu! Tolong!” teriak Lola kesakitan.
Tongkat ajaib itu bukannya membuat perut Lola kenyang, tapi malah membuat perut Lola melilit kesakitan. Mendengar teriakan kesakitan Lola, ibu segera masuk ke kamar Lola. Dan meminta ayah memanggil Peri Lili untuk menyembuhkan Lola.

Tak lama, ayah datang bersama Peri Lili. Peri Lili menyembuhkan sakit perut Lola dengan tongkat ajaibnya. Ajaib! Dalam sekejap, perut Lola tidak sakit lagi. Justru kini Lola merasa sangat sehat. Biru-biru di tubuhnya karena tertimpuk mainan dan buku pun menghilang.
“Maafkan, Lola, Peri Lili.” kata Lola takut-takut.
“Lho, kenapa? Memangnya Lola salah apa? Kamu sakit perut pasti karena telat makan siang, kan? Jangan sengaja menunda makan siang, Lola. Makan siang itu harus.” kata Peri Lili lembut.

Lola ragu untuk menceritakan yang sebenarnya. Tapi, Lola ingin tahu, menagapa ia selalu gagal menggunakan tongkat ajaib itu? Padahal Peri Lili terlihat sangat mahir.
“Semua ini karena kembaran tongkat ajaib Peri Lili...” kata Lola perlahan.
Kemudian diceritakannya apa yang telah dilakukannya. Tapi Peri Lili tidak marah.
“Hm, Peri Lili yang salah karena meletakkan tongkat ajaib sembarangan. Tongkat itu memang kembaran tongkat ajaib yang sering aku bawa. Tapi tongkat ajaib yang kamu pinjam itu memiliki fungsi yang berbeda. Tongkat yang ini untuk menyembuhkan, tongkat yang kau pinjam itu untuk melawan kejahatan.” Peri Lili menjelaskan.
Lola mengangguk mengerti.

“Lola, tidak mudah mengendalikan tongkat ajaib ini. Dan tongkat ajaib tidak bisa membuatmu pintar tanpa harus belajar. Bahkan untuk mempelajari cara mengendalikan tongkat ajaib juga ada sekolahnya, lho!” kata Peri Lili lagi.
Oh, Lola tahu memang tidak mudah menggunakan tongkat ajaib itu. Butuh keahlian khusus seperti yang dimiliki Peri Lili. Lola sudah merasakan sendiri betapa susahnya! Mulai saat ini ia harus belajar jika ingin nilai sekolahnya bagus. Dan harus membereskan sendiri kamarnya. Juga harus mengunyah makanannya sendiri jika ingin merasa kenyang!

- Tamat -

Kamis, 15 April 2010

Tak Selamanya Langsing Itu Indah


By : Arumi

Dimuat di Majalah Teen edisi ke-2 April 2010

Sita melempar tasnya begitu saja ke atas meja belajarnya. Kemudian ia rebahkan tubuhnya ke tempat tidurnya dengan kasar.
“Nuno nyebelin!” makinya kesal.
Sita teringat kata-kata Nuno di sekolah tadi ketika dia sedang memesan bakso.
“Kamu pesen baksonya setengah mangkok aja ya, say. Kan kamu sudah gemuk.”

Begitu komentar Nuno tadi siang. Dan beberapa teman yang mendengarnya pun menertawainya. Saat itu Sita ngambek dan langsung meninggalkan kantin, tak jadi memesan makanan. Tak dipedulikannya Nuno yang sibuk setengah mati meminta maaf karena perkataannya telah menyinggung perasaan Sita.
Berulang kali Sita berusaha meyakinkan dirinya bahwa tak ada yang salah dengan ukuran tubuhnya. Oke, dia memang tak selangsing Luna Maya. Tapi kan proporsi tingginya masih seimbang dengan lebarnya.
“Nuno jahaaaat!” maki Sita lagi.
“Sita?” tiba-tiba datang mama membuka pintu kamar Sita dan mengajaknya makan siang.
“Sita nggak lapar, Ma.”
“Memangnya Sita sudah makan di sekolah?” tanya Mama.
Sita menggeleng. “Sita lagi nggak nafsu makan, Ma…”

Sita masih menelungkup di atas tempat tidurnya. Menangis kesal karena Nuno kekasihnya tega-teganya ikut menghina kelebihan berat tubuhnya.
HP-nya berdering. Dari Nuno. Sudah sepuluh kali lebih Nuno berusaha menelpon Sita. Tapi Sita tak berniat menerimanya. Ia masih kesal pada Nuno.
Setelah beberapa lama meratap sendirian, tiba-tiba Sita bangkit dan berjalan menuju cermin. Mematut-matut pantulan bayangan tubuhnya di cermin. Menilai dirinya sendiri.
“Hm, aku cantik. Beberapa orang mengakuinya. Mataku indah. Hidungku mancung. Apa sih salahnya memiliki tinggi tubuh 168 sentimeter dan memiliki berat 58 kilogram di usia 16 tahun?” pikir Sita.
Sita kembali memandangi bayangan tubuhnya di cermin. Kemudian ekspresi wajahnya berubah.
“Baiklah! Akan kubuktikan aku juga bisa langsing. Awas ya, Nuno! Kamu bakal nyesel kalau nanti aku terlihat makin cantik!”
Sorenya, Mama menyampaikan bahwa Nuno datang ingin bertemu Sita. Tapi Sita tak ingin menemui Nuno dan memohon mamanya meminta Nuno pulang saja. Biar Nuno Tahu rasa!
***
Esok paginya Sita bangun pagi sekali. Selesai sholat subuh, Sita langsung memakai pakaian olahraga dan sepatu kets-nya. Kemudian jogging keliling komplek. Sita yakin setelah selama sejam berlari-lari keliling komplek, pasti beratnya telah sedikit turun. Agar hasilnya semakin nyata, Sita menolak sarapan dan memilih hanya minum susu non fat. Lalu segera melesat pergi menuju sekolah menolak diantar papa dengan mobil seperti biasanya. Sita memilih berjalan kaki sampai ke ujung komplek rumahnya yang lumayan jauh kemudian naik angkutan umum. Mama dan papa terheran-heran melihat perubahan sikap Sita.
“Sita?” panggil Nuno ketika jam istirahat dan teman-teman Sita telah beranjak pergi menuju kantin.
Sita hanya menoleh sekilas kemudian kembali mengalihkan pandangannya dari Nuno. Pura-pura sibuk membaca sebuah majalah.
“Sita…aku tahu kamu marah banget sama aku…Aku minta maaf, Sit… Aku harus minta maaf berapa kali lagi sampai kamu mau memaafkan aku?”
“Ya sudah, kalau kamu bosen minta maaf, kita putus saja!” jawab Sita ketus.
Nuno terkejut. Ia beringsut mendekati Sita, duduk di samping Sita.
“Duh, Sita sayang, jangan putus dong, aku masih sayang sama kamu.” bujuk Nuno.
Sita menoleh dan memandang tajam ke arah Nuno.
“Kalau sayang, kenapa kamu menghina aku di depan teman-teman? Kamu tega banget! Dan itu bukan yang pertama kali!” Sita tanpa ragu menumpahkan kekesalannya kepada Nuno.
“Sita, aku nggak bermaksud menghina kamu. Aku cuma sedikit bercanda. Jangan sensitif dong. Aku suka kamu apa adanya kok. Kamu cantik, manis, baik hati, sedikit gemuk, tapi aku suka…” rayu Nuno sambil mencoba memberi senyum termanis.
“Oho…jadi aku gemuk yaaa?” sahut Sita dengan nada sinis.
“Eh, maksudku..sedikiiit aja kok…tapi kamu tetep keren kok say…” Nuno tak menyerah mencoba merayu Sita agar tak lagi marah padanya.
Sita tak tergerak.
“Aku nggak suka kamu meledek aku seperti itu!”
“Maafkan aku Sita. Aku janji nggak akan menggoda kamu lagi deh. Suerrr!” kata Nuno sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya berbarengan.
“Aku nggak mau langsung menerima maaf kamu. Buktikan dulu kalau kamu memang benar-benar sudah berubah”
“Baik, akan kubuktikan, Sit. Mm…sekarang kita makan siang dulu yuk. Aku traktir.” ajak Nuno.
“Aku nggak lapar. Kamu makan saja sendiri!” jawab Sita masih dengan nada ketus.

Nuno mati kutu. Tak mampu lagi ia mengubah pendirian Sita. Dengan penuh penyesalan terpaksa ia meninggalkan Sita sendiri.
***
Siang itu Sita hanya makan buah dan sayur. Tanpa nasi dan lauk. Mama yang melihatnya menjadi resah.
“Sita, apa kenyang kamu hanya makan buah saja?”
Sita mengangguk.
“Kamu kenapa sih, Sita? Biasanya kamu paling suka steak ayam bumbu teriyaki buatan mama.” tanya mama heran.
“Sita lagi punya target, Ma.”
“Target? Target apa?”
“Turun sepuluh kilo dalam seminggu.”
“Ha?? Apa yang turun?”
“Berat badan Sita, Ma. Sita bosan dibilang gemuk!”
“Sita, jangan macam-macam ah! Mana mungkin berat kamu bisa turun sepuluh kilo dalam seminggu? Nanti kamu sakit. Lagipula, kamu nggak gemuk kok. Hanya nggak kurus.” kata mama benar-benar cemas.
“Aaah, Mama! Nggak kurus itu ya berarti gemuk. Uh, sebel! Pokoknya Sita nggak mau makan lagi!” seru Sita lalu segera beranjak meninggalkan meja makan.
Sorenya Sita kembali jogging keliling komplek tempat tinggalnya. Dua jam Sita memaksakan dirinya terus berlari tanpa henti. Kembali ke rumah rasanya lelah sekali dan perutnya mulai terasa lapar. Tapi tekad Sita terlalu kuat untuk mengalahkan rasa laparnya. Sita tetap tak mau makan walau mama telah membujuknya dan membuatkannya spagetti bumbu Itali kesukaannya. Mama memandang Sita cemas. Tapi juga tak mampu memaksa Sita untuk makan.

Malamnya Sita kesulitan menghapal pelajaran sejarah untuk ulangan besok. Perutnya terasa melilit. Dan ternyata Sita juga kesulitan tidur karena semakin malam, perutnya semakin melilit bahkan berbunyi kruikk! Kruikk!
“Hm, spagetti buatan mama tadi masih ada nggak ya?” Sita mulai membayangkan lezatnya makanan buatan mama kesukaannya itu.
“Tapi ah, tidak! Aku nggak boleh tergoda. Sia-sia nanti usahaku. Padahal sepertinya hari ini beratku turun dua kilo!” ucap Sita pada dirinya sendiri dengan yakin.
***
Gawat! Sita tak ingat satu pun pelajaran sejarah yang dihapalnya semalam. Lebih gawat lagi, Sita merasa ngantuk sejak tadi pagi. Sita melirik diam-diam ke arah kanan kirinya. Sepertinya teman-temannya yang lain lancar mengerjakan soal-soal ulangan ini. Sita mulai merasakan efek samping dietnya yang terlalu ketat.
“Ampuuun...kayaknya nilai ulangan sejarahku kali ini bakalan jelek nih!” keluh Sita pada Meida teman sebangkunya setelah ulangan sejarah hari itu usai.
“Kenapa memangnya Sit? Ulangan tadi nggak terlalu susah kok. Kamu nggak belajar semalam?”
“Aku nggak hapal-hapal...” jawab Sita sedikit resah.
“Ah, sudahlah! Yuk, kita makan dulu. Sudah jam istirahat. Kalau jelek juga kan nanti ada ulangan perbaikan.” Hibur Meida.
Sita mengangguk. Kali ini ia menyerah. Perutnya semakin melilit. Sejak kemarin tak diisi nasi. Hanya buah dan sayur. Hm, makan soto ayam panas sepertinya enak.
Gawat! Setelah makan, rasanya perut Sita semakin tak karuan. Ia malah merasa mual dan ingin muntah. Segera ia minta ijin ke toilet. Dan benar saja! Nasi soto yang dimakannya waktu istirahat tadi kini keluar lagi. Sita merasa tubuhnya sangat lemas. Pandangannya berkunang-kunang. Dan kemudian ia tak ingat lagi apa yang selanjutnya terjadi.
***
Sita mengerjap-kerjapkan matanya. Ia terbangun. Menyadari tubuhnya tergeletak di atas tempat tidur di ruang kesehatan sekolah.
“Sita! Kamu sudah sadar?” tanya sebuah suara.

...Continued.