Laman

Sabtu, 01 Mei 2010

Tongkat Ajaib Peri Lili



Dimuat di Majalah BOBO 22 April 2010

Lola adalah salah satu peri muda yang tinggal di Kampung Peri. Lola bukan peri yang nakal. Hanya saja ia sering malas. Ia selalu ingin cepat-cepat mendapat suatu hasil tanpa perlu bekerja giat. Lola membayangkan punya tongkat ajaib seperti Peri Lili.
“Pasti asyik, jika aku punya tongkat ajaib! Tak perlu belajar, nilaiku di sekolah bisa bagus. Tak perlu menyapu, kamarku sudah bersih.” pikir Lola.
Lola tidak tahu bahwa tongkat ajaib Peri Lili bukan untuk hal-hal semacam itu. Tapi untuk menolong peri-peri yang sedang kesusahan. Tanggungjawab memiliki tongkat ajaib itu sangat besar. Hanya peri terbaik, pandai, jujur dan bijaksana yang diberikan kuasa oleh pemimpin peri untuk memiliki tongkat ajaib itu.
Lola ingin sekali meminjam diam-diam tongkat ajaib Peri Lili itu. Ya, harus diam-diam. Karena jika ia minta ijin Peri Lili, pasti tidak akan dipinjamkan. Tetapi Peri Lili tidak pernah meninggalkan tongkatnya. Selalu saja dibawa kemana pun Peri Lili pergi.

Setiap pulang dari sekolah peri, Lola selalu mampir ke pondok Peri Lili untuk mengintip ke dalam pondok Peri Lili diam-diam, berharap peri Lili meninggalkan tongkatnya. Selama ini Lola tak pernah melihat tongkat ajaib itu tertinggal. Tapi hari ini berbeda. Ketika Lola mengintip melaui jendela ke dalam kamar tidur Peri Lili, Lola melihat tongkat ajaib Peri Lili tergeletak di atas meja riasnya! Baru kali ini Peri Lili meninggalkan tongkat ajaibnya begitu saja!
O, ya, di kampung peri, peri-peri terbiasa tidak mengunci pintu dan jendela ke mana pun mereka pergi. Karena di kampung peri tak pernah ada peri yang berani mencuri barang milik peri lain. Sepertinya Lola adalah peri pertama yang berani menyelinap diam-diam ke kamar peri lain dan mengambil barang milik peri lain!

“Aku hanya ingin meminjam tongkat ini sebentar.” Lola membela dirinya sendiri.
Segera Lola menyelinap keluar pondok Peri Lili sambil menyembunyikan tongkat ajaib itu di balik bajunya. Baru saja Lola terbang beberapa kepakan sayap, terdengar suara menegurnya,
“Lola, sedang apa kamu di sini?”
Lola terkejut. Di hadapannya telah ada Peri Lili yang baru saja pulang dari tugasnya.
“Aku...eh...aku hanya lewat saja, Peri Lili.”
“Hm, kamu baru pulang sekolah, ya? Jangan bermain-main terlalu jauh. Lekaslah pulang. Ayah ibumu pasti sudah menunggu di rumah.” kata Peri Lili lembut.
Peri Lili memang terkenal sebagai peri yang baik hati. Lola mengangguk lalu cepat-cepat berlalu dari hadapan Peri Lili. Jangan sampai Peri Lili tahu apa yang telah dilakukannya.
“Tapi, eh, tadi kok sepertinya Peri Lili masih membawa tongkat ajaibnya?” pikir Lola bingung. Ia mengintip tongkat ajaib Peri Lili yang tadi diambilnya. Masih ada dibalik jaketnya. Lalu yang tadi dibawa Peri Lili tongkat ajaib siapa?
“Oh, aku tahu! Peri Lili pasti mempunyai dua tongkat ajaib! Hebat! Aku satu tongkat ajaib saja tak punya! Peri Lili malah punya dua!” Lola membuat kesimpulan sendiri.
“Ini pasti kembaran tongkat ajaib yang biasa dibawa Peri Lili. Oh, aku sudah tak sabar ingin menguji keajaibannya!” pekik Lola dalam hati.
Ia segera terbang menuju rumahnya. Sesampai di rumah, ayah ibu dilaluinya begitu saja. Tak dihiraukannya panggilan ibu menyuruhnya makan siang. Ia langsung menuju kamarnya.
“Ah, kalau sudah punya tongkat ajaib ini, untuk apa lagi aku capek-capek makan siang. Akan kusihir perutku, supaya aku merasa kenyang tanpa perlu capek-capek makan.” pikir Lola.
Duh, Lola! Saking malasnya, sampai makan pun ia malas.
Lola mencoba menyihir kamarnya agar menjadi bersih tanpa perlu capek-capek membersihkannya.
“Tapi, aku lupa...apa mantra yang biasa diucapkan Peri Lili setiap ia menyihir dengan tongkat ajaibnya?” Lola bertanya-tanya sendiri.
“Sim Salabim!” ucap Lola.
Tak ada reaksi apa pun. Kamarnya tetap saja berantakan.
“Abrakadabra!” ucap Lola lagi. Tetap tak ada perubahan.
“Hokus pokus!” ucap Lola lagi.
Lola melihat ke sekeliling kamarnya. Tak ada yang bergerak. Mainannya tetap tergeletak di lantai. Buku-buku yang semalam habis dibacanya masih tetap berhamburan di atas tempat tidurnya.
“Buku-buku! Aku mau kalian kembali ke rak buku!” perintah Lola sambil mengayunkan tongkat ajaib itu ke arah buku-bukunya.
Buku-bukunya bergerak. Lola tersenyum senang. Tapi, lho, kok bergeraknya tidak ke arah rak buku? Tapi justru ke arah Lola.
“Bukk!” Buku-buku itu malah jatuh menimpa kepala Lola.
“Aduh!” jerit Lola kesakitan.
“Lola, ada apa?” terdengar teriakan ibu dari balik kamar Lola.
“Tidak ada apa-apa, Bu! Aku sedang membereskan kamar!” jawab Lola dengan berteriak tanpa membuka pintu. Uh, sungguh tidak sopan, ya, Lola ini!
“Mainan, ayo, kembali kalian ke keranjang mainan!” perintah Lola sambil mengayunkan tongkat ajaib itu ke arah mainan-mainannya.
“Plokk! Bukk! Plakk!” Mainan-mainan itu malah menimpuk tubuh Lola. Lola mengaduh lagi kesakitan.
“Ah, tongkat ajaib tolol!” maki Lola. “Sekarang buat perutku kenyang tanpa harus makan!” kata Lola sambil mengayunkan tongkat ajaib itu ke arah perutnya.
“Aduh! Aduh! Ayah! Ibu! Tolong!” teriak Lola kesakitan.
Tongkat ajaib itu bukannya membuat perut Lola kenyang, tapi malah membuat perut Lola melilit kesakitan. Mendengar teriakan kesakitan Lola, ibu segera masuk ke kamar Lola. Dan meminta ayah memanggil Peri Lili untuk menyembuhkan Lola.

Tak lama, ayah datang bersama Peri Lili. Peri Lili menyembuhkan sakit perut Lola dengan tongkat ajaibnya. Ajaib! Dalam sekejap, perut Lola tidak sakit lagi. Justru kini Lola merasa sangat sehat. Biru-biru di tubuhnya karena tertimpuk mainan dan buku pun menghilang.
“Maafkan, Lola, Peri Lili.” kata Lola takut-takut.
“Lho, kenapa? Memangnya Lola salah apa? Kamu sakit perut pasti karena telat makan siang, kan? Jangan sengaja menunda makan siang, Lola. Makan siang itu harus.” kata Peri Lili lembut.

Lola ragu untuk menceritakan yang sebenarnya. Tapi, Lola ingin tahu, menagapa ia selalu gagal menggunakan tongkat ajaib itu? Padahal Peri Lili terlihat sangat mahir.
“Semua ini karena kembaran tongkat ajaib Peri Lili...” kata Lola perlahan.
Kemudian diceritakannya apa yang telah dilakukannya. Tapi Peri Lili tidak marah.
“Hm, Peri Lili yang salah karena meletakkan tongkat ajaib sembarangan. Tongkat itu memang kembaran tongkat ajaib yang sering aku bawa. Tapi tongkat ajaib yang kamu pinjam itu memiliki fungsi yang berbeda. Tongkat yang ini untuk menyembuhkan, tongkat yang kau pinjam itu untuk melawan kejahatan.” Peri Lili menjelaskan.
Lola mengangguk mengerti.

“Lola, tidak mudah mengendalikan tongkat ajaib ini. Dan tongkat ajaib tidak bisa membuatmu pintar tanpa harus belajar. Bahkan untuk mempelajari cara mengendalikan tongkat ajaib juga ada sekolahnya, lho!” kata Peri Lili lagi.
Oh, Lola tahu memang tidak mudah menggunakan tongkat ajaib itu. Butuh keahlian khusus seperti yang dimiliki Peri Lili. Lola sudah merasakan sendiri betapa susahnya! Mulai saat ini ia harus belajar jika ingin nilai sekolahnya bagus. Dan harus membereskan sendiri kamarnya. Juga harus mengunyah makanannya sendiri jika ingin merasa kenyang!

- Tamat -

Kamis, 15 April 2010

Tak Selamanya Langsing Itu Indah


By : Arumi

Dimuat di Majalah Teen edisi ke-2 April 2010

Sita melempar tasnya begitu saja ke atas meja belajarnya. Kemudian ia rebahkan tubuhnya ke tempat tidurnya dengan kasar.
“Nuno nyebelin!” makinya kesal.
Sita teringat kata-kata Nuno di sekolah tadi ketika dia sedang memesan bakso.
“Kamu pesen baksonya setengah mangkok aja ya, say. Kan kamu sudah gemuk.”

Begitu komentar Nuno tadi siang. Dan beberapa teman yang mendengarnya pun menertawainya. Saat itu Sita ngambek dan langsung meninggalkan kantin, tak jadi memesan makanan. Tak dipedulikannya Nuno yang sibuk setengah mati meminta maaf karena perkataannya telah menyinggung perasaan Sita.
Berulang kali Sita berusaha meyakinkan dirinya bahwa tak ada yang salah dengan ukuran tubuhnya. Oke, dia memang tak selangsing Luna Maya. Tapi kan proporsi tingginya masih seimbang dengan lebarnya.
“Nuno jahaaaat!” maki Sita lagi.
“Sita?” tiba-tiba datang mama membuka pintu kamar Sita dan mengajaknya makan siang.
“Sita nggak lapar, Ma.”
“Memangnya Sita sudah makan di sekolah?” tanya Mama.
Sita menggeleng. “Sita lagi nggak nafsu makan, Ma…”

Sita masih menelungkup di atas tempat tidurnya. Menangis kesal karena Nuno kekasihnya tega-teganya ikut menghina kelebihan berat tubuhnya.
HP-nya berdering. Dari Nuno. Sudah sepuluh kali lebih Nuno berusaha menelpon Sita. Tapi Sita tak berniat menerimanya. Ia masih kesal pada Nuno.
Setelah beberapa lama meratap sendirian, tiba-tiba Sita bangkit dan berjalan menuju cermin. Mematut-matut pantulan bayangan tubuhnya di cermin. Menilai dirinya sendiri.
“Hm, aku cantik. Beberapa orang mengakuinya. Mataku indah. Hidungku mancung. Apa sih salahnya memiliki tinggi tubuh 168 sentimeter dan memiliki berat 58 kilogram di usia 16 tahun?” pikir Sita.
Sita kembali memandangi bayangan tubuhnya di cermin. Kemudian ekspresi wajahnya berubah.
“Baiklah! Akan kubuktikan aku juga bisa langsing. Awas ya, Nuno! Kamu bakal nyesel kalau nanti aku terlihat makin cantik!”
Sorenya, Mama menyampaikan bahwa Nuno datang ingin bertemu Sita. Tapi Sita tak ingin menemui Nuno dan memohon mamanya meminta Nuno pulang saja. Biar Nuno Tahu rasa!
***
Esok paginya Sita bangun pagi sekali. Selesai sholat subuh, Sita langsung memakai pakaian olahraga dan sepatu kets-nya. Kemudian jogging keliling komplek. Sita yakin setelah selama sejam berlari-lari keliling komplek, pasti beratnya telah sedikit turun. Agar hasilnya semakin nyata, Sita menolak sarapan dan memilih hanya minum susu non fat. Lalu segera melesat pergi menuju sekolah menolak diantar papa dengan mobil seperti biasanya. Sita memilih berjalan kaki sampai ke ujung komplek rumahnya yang lumayan jauh kemudian naik angkutan umum. Mama dan papa terheran-heran melihat perubahan sikap Sita.
“Sita?” panggil Nuno ketika jam istirahat dan teman-teman Sita telah beranjak pergi menuju kantin.
Sita hanya menoleh sekilas kemudian kembali mengalihkan pandangannya dari Nuno. Pura-pura sibuk membaca sebuah majalah.
“Sita…aku tahu kamu marah banget sama aku…Aku minta maaf, Sit… Aku harus minta maaf berapa kali lagi sampai kamu mau memaafkan aku?”
“Ya sudah, kalau kamu bosen minta maaf, kita putus saja!” jawab Sita ketus.
Nuno terkejut. Ia beringsut mendekati Sita, duduk di samping Sita.
“Duh, Sita sayang, jangan putus dong, aku masih sayang sama kamu.” bujuk Nuno.
Sita menoleh dan memandang tajam ke arah Nuno.
“Kalau sayang, kenapa kamu menghina aku di depan teman-teman? Kamu tega banget! Dan itu bukan yang pertama kali!” Sita tanpa ragu menumpahkan kekesalannya kepada Nuno.
“Sita, aku nggak bermaksud menghina kamu. Aku cuma sedikit bercanda. Jangan sensitif dong. Aku suka kamu apa adanya kok. Kamu cantik, manis, baik hati, sedikit gemuk, tapi aku suka…” rayu Nuno sambil mencoba memberi senyum termanis.
“Oho…jadi aku gemuk yaaa?” sahut Sita dengan nada sinis.
“Eh, maksudku..sedikiiit aja kok…tapi kamu tetep keren kok say…” Nuno tak menyerah mencoba merayu Sita agar tak lagi marah padanya.
Sita tak tergerak.
“Aku nggak suka kamu meledek aku seperti itu!”
“Maafkan aku Sita. Aku janji nggak akan menggoda kamu lagi deh. Suerrr!” kata Nuno sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya berbarengan.
“Aku nggak mau langsung menerima maaf kamu. Buktikan dulu kalau kamu memang benar-benar sudah berubah”
“Baik, akan kubuktikan, Sit. Mm…sekarang kita makan siang dulu yuk. Aku traktir.” ajak Nuno.
“Aku nggak lapar. Kamu makan saja sendiri!” jawab Sita masih dengan nada ketus.

Nuno mati kutu. Tak mampu lagi ia mengubah pendirian Sita. Dengan penuh penyesalan terpaksa ia meninggalkan Sita sendiri.
***
Siang itu Sita hanya makan buah dan sayur. Tanpa nasi dan lauk. Mama yang melihatnya menjadi resah.
“Sita, apa kenyang kamu hanya makan buah saja?”
Sita mengangguk.
“Kamu kenapa sih, Sita? Biasanya kamu paling suka steak ayam bumbu teriyaki buatan mama.” tanya mama heran.
“Sita lagi punya target, Ma.”
“Target? Target apa?”
“Turun sepuluh kilo dalam seminggu.”
“Ha?? Apa yang turun?”
“Berat badan Sita, Ma. Sita bosan dibilang gemuk!”
“Sita, jangan macam-macam ah! Mana mungkin berat kamu bisa turun sepuluh kilo dalam seminggu? Nanti kamu sakit. Lagipula, kamu nggak gemuk kok. Hanya nggak kurus.” kata mama benar-benar cemas.
“Aaah, Mama! Nggak kurus itu ya berarti gemuk. Uh, sebel! Pokoknya Sita nggak mau makan lagi!” seru Sita lalu segera beranjak meninggalkan meja makan.
Sorenya Sita kembali jogging keliling komplek tempat tinggalnya. Dua jam Sita memaksakan dirinya terus berlari tanpa henti. Kembali ke rumah rasanya lelah sekali dan perutnya mulai terasa lapar. Tapi tekad Sita terlalu kuat untuk mengalahkan rasa laparnya. Sita tetap tak mau makan walau mama telah membujuknya dan membuatkannya spagetti bumbu Itali kesukaannya. Mama memandang Sita cemas. Tapi juga tak mampu memaksa Sita untuk makan.

Malamnya Sita kesulitan menghapal pelajaran sejarah untuk ulangan besok. Perutnya terasa melilit. Dan ternyata Sita juga kesulitan tidur karena semakin malam, perutnya semakin melilit bahkan berbunyi kruikk! Kruikk!
“Hm, spagetti buatan mama tadi masih ada nggak ya?” Sita mulai membayangkan lezatnya makanan buatan mama kesukaannya itu.
“Tapi ah, tidak! Aku nggak boleh tergoda. Sia-sia nanti usahaku. Padahal sepertinya hari ini beratku turun dua kilo!” ucap Sita pada dirinya sendiri dengan yakin.
***
Gawat! Sita tak ingat satu pun pelajaran sejarah yang dihapalnya semalam. Lebih gawat lagi, Sita merasa ngantuk sejak tadi pagi. Sita melirik diam-diam ke arah kanan kirinya. Sepertinya teman-temannya yang lain lancar mengerjakan soal-soal ulangan ini. Sita mulai merasakan efek samping dietnya yang terlalu ketat.
“Ampuuun...kayaknya nilai ulangan sejarahku kali ini bakalan jelek nih!” keluh Sita pada Meida teman sebangkunya setelah ulangan sejarah hari itu usai.
“Kenapa memangnya Sit? Ulangan tadi nggak terlalu susah kok. Kamu nggak belajar semalam?”
“Aku nggak hapal-hapal...” jawab Sita sedikit resah.
“Ah, sudahlah! Yuk, kita makan dulu. Sudah jam istirahat. Kalau jelek juga kan nanti ada ulangan perbaikan.” Hibur Meida.
Sita mengangguk. Kali ini ia menyerah. Perutnya semakin melilit. Sejak kemarin tak diisi nasi. Hanya buah dan sayur. Hm, makan soto ayam panas sepertinya enak.
Gawat! Setelah makan, rasanya perut Sita semakin tak karuan. Ia malah merasa mual dan ingin muntah. Segera ia minta ijin ke toilet. Dan benar saja! Nasi soto yang dimakannya waktu istirahat tadi kini keluar lagi. Sita merasa tubuhnya sangat lemas. Pandangannya berkunang-kunang. Dan kemudian ia tak ingat lagi apa yang selanjutnya terjadi.
***
Sita mengerjap-kerjapkan matanya. Ia terbangun. Menyadari tubuhnya tergeletak di atas tempat tidur di ruang kesehatan sekolah.
“Sita! Kamu sudah sadar?” tanya sebuah suara.

...Continued.

Rabu, 10 Maret 2010

MISS JIPLAK... dimuat di TEEN


By : Arumi

Dimuat di Majalah TEEN 6 Maret 2010


Neni melotot melihat tas baru Riana. Persis sekali dengan tasnya yang baru mulai dipakainya dua hari yang lalu.
“Nen, si Riana nyamain elo lagi tuh!” komentar Sili teman sebangkunya.
Kalau minggu lalu Neni kaget karena Riana memotong rambutnya dengan model yang sama seperti rambutnya, Neni masih maklum. Mungkin memang kebetulan Riana sedang ingin tampil dengan model rambut shaggy sepundak.
Ketika Riana memakai sepatu yang persis seperti sepatunya, Neni juga masih maklum. Warnanya yang sama-sama hitam pun tidak mengganggu Riana karena peraturan sekolah memang mengharuskan siswa memakai sepatu berwarna hitam.
Tapi kali ini ketika Riana memakai tas yang Persis sama model dan warnanya dengan tas yang dipakainya sekarang, Neni mulai merasa terganggu. Kalau modelnya saja yang sama masih bolehlah. Tapi kenapa sih, warnanya juga sama?

“Sorry Nen, Gimana ya, gue suka warna pink gitu loh. Dan kemarin adanya tinggal yang model ini.” Begitu jawab Riana ketika salah satu teman mereka menanyakan mengapa tas mereka berdua bisa sama persis.
Makin lama Neni semakin tidak tahan karena Riana selalu memakai dan melakukan hal yang sama dengannya. Mulai dari jam tangan, handphone, anting, kalung, ikat rambut, sampai makanan yang dimakan di kantin pun, Riana selalu menyamai Neni.

“He…he…asal jangan Riana nyamain punya pacar mirip pacar lo aja.” ledek Sili.
Neni bergidik.
“Jangan-jangan sebenarnya Riana tuh kembaran elo, Nen” ledek Sili lagi.
“Huuu, ya enggak lah yauw. Cantikan gue kemana-mana dong.” jawab Neni setengah keki.
“Nah, lo sadar. Gimana pun Riana berusaha nyamain elo, nggak bakal bisa nyamain kecantikan dan kepandaian lo. Tapi nggak tau juga ya, kalau si Riana nekad operasi plastik supaya wajahnya mirip elo.” Sekali lagi Sili meledek sambil nyengir.
“Ih, amit-amit deh. Kalau sampai dia nekad begitu, sakit jiwa berarti tuh anak.”



...Continued.

Selasa, 02 Februari 2010

KARMA





Ia perdayai aku
Ia rayu aku dengan tipu muslihatnya
Ia cemarkan aku
Ia sembilu bermata seribu
Yang ditancapkan tepat ke jantungku

Ku tiada daya
Menyesal pun tiada guna
Hanya doa seorang teraniaya
Jika karma memang ada,
biar karma yang membalasnya


By : Arumi