Laman

Kamis, 15 April 2010

Tak Selamanya Langsing Itu Indah


By : Arumi

Dimuat di Majalah Teen edisi ke-2 April 2010

Sita melempar tasnya begitu saja ke atas meja belajarnya. Kemudian ia rebahkan tubuhnya ke tempat tidurnya dengan kasar.
“Nuno nyebelin!” makinya kesal.
Sita teringat kata-kata Nuno di sekolah tadi ketika dia sedang memesan bakso.
“Kamu pesen baksonya setengah mangkok aja ya, say. Kan kamu sudah gemuk.”

Begitu komentar Nuno tadi siang. Dan beberapa teman yang mendengarnya pun menertawainya. Saat itu Sita ngambek dan langsung meninggalkan kantin, tak jadi memesan makanan. Tak dipedulikannya Nuno yang sibuk setengah mati meminta maaf karena perkataannya telah menyinggung perasaan Sita.
Berulang kali Sita berusaha meyakinkan dirinya bahwa tak ada yang salah dengan ukuran tubuhnya. Oke, dia memang tak selangsing Luna Maya. Tapi kan proporsi tingginya masih seimbang dengan lebarnya.
“Nuno jahaaaat!” maki Sita lagi.
“Sita?” tiba-tiba datang mama membuka pintu kamar Sita dan mengajaknya makan siang.
“Sita nggak lapar, Ma.”
“Memangnya Sita sudah makan di sekolah?” tanya Mama.
Sita menggeleng. “Sita lagi nggak nafsu makan, Ma…”

Sita masih menelungkup di atas tempat tidurnya. Menangis kesal karena Nuno kekasihnya tega-teganya ikut menghina kelebihan berat tubuhnya.
HP-nya berdering. Dari Nuno. Sudah sepuluh kali lebih Nuno berusaha menelpon Sita. Tapi Sita tak berniat menerimanya. Ia masih kesal pada Nuno.
Setelah beberapa lama meratap sendirian, tiba-tiba Sita bangkit dan berjalan menuju cermin. Mematut-matut pantulan bayangan tubuhnya di cermin. Menilai dirinya sendiri.
“Hm, aku cantik. Beberapa orang mengakuinya. Mataku indah. Hidungku mancung. Apa sih salahnya memiliki tinggi tubuh 168 sentimeter dan memiliki berat 58 kilogram di usia 16 tahun?” pikir Sita.
Sita kembali memandangi bayangan tubuhnya di cermin. Kemudian ekspresi wajahnya berubah.
“Baiklah! Akan kubuktikan aku juga bisa langsing. Awas ya, Nuno! Kamu bakal nyesel kalau nanti aku terlihat makin cantik!”
Sorenya, Mama menyampaikan bahwa Nuno datang ingin bertemu Sita. Tapi Sita tak ingin menemui Nuno dan memohon mamanya meminta Nuno pulang saja. Biar Nuno Tahu rasa!
***
Esok paginya Sita bangun pagi sekali. Selesai sholat subuh, Sita langsung memakai pakaian olahraga dan sepatu kets-nya. Kemudian jogging keliling komplek. Sita yakin setelah selama sejam berlari-lari keliling komplek, pasti beratnya telah sedikit turun. Agar hasilnya semakin nyata, Sita menolak sarapan dan memilih hanya minum susu non fat. Lalu segera melesat pergi menuju sekolah menolak diantar papa dengan mobil seperti biasanya. Sita memilih berjalan kaki sampai ke ujung komplek rumahnya yang lumayan jauh kemudian naik angkutan umum. Mama dan papa terheran-heran melihat perubahan sikap Sita.
“Sita?” panggil Nuno ketika jam istirahat dan teman-teman Sita telah beranjak pergi menuju kantin.
Sita hanya menoleh sekilas kemudian kembali mengalihkan pandangannya dari Nuno. Pura-pura sibuk membaca sebuah majalah.
“Sita…aku tahu kamu marah banget sama aku…Aku minta maaf, Sit… Aku harus minta maaf berapa kali lagi sampai kamu mau memaafkan aku?”
“Ya sudah, kalau kamu bosen minta maaf, kita putus saja!” jawab Sita ketus.
Nuno terkejut. Ia beringsut mendekati Sita, duduk di samping Sita.
“Duh, Sita sayang, jangan putus dong, aku masih sayang sama kamu.” bujuk Nuno.
Sita menoleh dan memandang tajam ke arah Nuno.
“Kalau sayang, kenapa kamu menghina aku di depan teman-teman? Kamu tega banget! Dan itu bukan yang pertama kali!” Sita tanpa ragu menumpahkan kekesalannya kepada Nuno.
“Sita, aku nggak bermaksud menghina kamu. Aku cuma sedikit bercanda. Jangan sensitif dong. Aku suka kamu apa adanya kok. Kamu cantik, manis, baik hati, sedikit gemuk, tapi aku suka…” rayu Nuno sambil mencoba memberi senyum termanis.
“Oho…jadi aku gemuk yaaa?” sahut Sita dengan nada sinis.
“Eh, maksudku..sedikiiit aja kok…tapi kamu tetep keren kok say…” Nuno tak menyerah mencoba merayu Sita agar tak lagi marah padanya.
Sita tak tergerak.
“Aku nggak suka kamu meledek aku seperti itu!”
“Maafkan aku Sita. Aku janji nggak akan menggoda kamu lagi deh. Suerrr!” kata Nuno sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya berbarengan.
“Aku nggak mau langsung menerima maaf kamu. Buktikan dulu kalau kamu memang benar-benar sudah berubah”
“Baik, akan kubuktikan, Sit. Mm…sekarang kita makan siang dulu yuk. Aku traktir.” ajak Nuno.
“Aku nggak lapar. Kamu makan saja sendiri!” jawab Sita masih dengan nada ketus.

Nuno mati kutu. Tak mampu lagi ia mengubah pendirian Sita. Dengan penuh penyesalan terpaksa ia meninggalkan Sita sendiri.
***
Siang itu Sita hanya makan buah dan sayur. Tanpa nasi dan lauk. Mama yang melihatnya menjadi resah.
“Sita, apa kenyang kamu hanya makan buah saja?”
Sita mengangguk.
“Kamu kenapa sih, Sita? Biasanya kamu paling suka steak ayam bumbu teriyaki buatan mama.” tanya mama heran.
“Sita lagi punya target, Ma.”
“Target? Target apa?”
“Turun sepuluh kilo dalam seminggu.”
“Ha?? Apa yang turun?”
“Berat badan Sita, Ma. Sita bosan dibilang gemuk!”
“Sita, jangan macam-macam ah! Mana mungkin berat kamu bisa turun sepuluh kilo dalam seminggu? Nanti kamu sakit. Lagipula, kamu nggak gemuk kok. Hanya nggak kurus.” kata mama benar-benar cemas.
“Aaah, Mama! Nggak kurus itu ya berarti gemuk. Uh, sebel! Pokoknya Sita nggak mau makan lagi!” seru Sita lalu segera beranjak meninggalkan meja makan.
Sorenya Sita kembali jogging keliling komplek tempat tinggalnya. Dua jam Sita memaksakan dirinya terus berlari tanpa henti. Kembali ke rumah rasanya lelah sekali dan perutnya mulai terasa lapar. Tapi tekad Sita terlalu kuat untuk mengalahkan rasa laparnya. Sita tetap tak mau makan walau mama telah membujuknya dan membuatkannya spagetti bumbu Itali kesukaannya. Mama memandang Sita cemas. Tapi juga tak mampu memaksa Sita untuk makan.

Malamnya Sita kesulitan menghapal pelajaran sejarah untuk ulangan besok. Perutnya terasa melilit. Dan ternyata Sita juga kesulitan tidur karena semakin malam, perutnya semakin melilit bahkan berbunyi kruikk! Kruikk!
“Hm, spagetti buatan mama tadi masih ada nggak ya?” Sita mulai membayangkan lezatnya makanan buatan mama kesukaannya itu.
“Tapi ah, tidak! Aku nggak boleh tergoda. Sia-sia nanti usahaku. Padahal sepertinya hari ini beratku turun dua kilo!” ucap Sita pada dirinya sendiri dengan yakin.
***
Gawat! Sita tak ingat satu pun pelajaran sejarah yang dihapalnya semalam. Lebih gawat lagi, Sita merasa ngantuk sejak tadi pagi. Sita melirik diam-diam ke arah kanan kirinya. Sepertinya teman-temannya yang lain lancar mengerjakan soal-soal ulangan ini. Sita mulai merasakan efek samping dietnya yang terlalu ketat.
“Ampuuun...kayaknya nilai ulangan sejarahku kali ini bakalan jelek nih!” keluh Sita pada Meida teman sebangkunya setelah ulangan sejarah hari itu usai.
“Kenapa memangnya Sit? Ulangan tadi nggak terlalu susah kok. Kamu nggak belajar semalam?”
“Aku nggak hapal-hapal...” jawab Sita sedikit resah.
“Ah, sudahlah! Yuk, kita makan dulu. Sudah jam istirahat. Kalau jelek juga kan nanti ada ulangan perbaikan.” Hibur Meida.
Sita mengangguk. Kali ini ia menyerah. Perutnya semakin melilit. Sejak kemarin tak diisi nasi. Hanya buah dan sayur. Hm, makan soto ayam panas sepertinya enak.
Gawat! Setelah makan, rasanya perut Sita semakin tak karuan. Ia malah merasa mual dan ingin muntah. Segera ia minta ijin ke toilet. Dan benar saja! Nasi soto yang dimakannya waktu istirahat tadi kini keluar lagi. Sita merasa tubuhnya sangat lemas. Pandangannya berkunang-kunang. Dan kemudian ia tak ingat lagi apa yang selanjutnya terjadi.
***
Sita mengerjap-kerjapkan matanya. Ia terbangun. Menyadari tubuhnya tergeletak di atas tempat tidur di ruang kesehatan sekolah.
“Sita! Kamu sudah sadar?” tanya sebuah suara.

...Continued.

Rabu, 10 Maret 2010

MISS JIPLAK... dimuat di TEEN


By : Arumi

Dimuat di Majalah TEEN 6 Maret 2010


Neni melotot melihat tas baru Riana. Persis sekali dengan tasnya yang baru mulai dipakainya dua hari yang lalu.
“Nen, si Riana nyamain elo lagi tuh!” komentar Sili teman sebangkunya.
Kalau minggu lalu Neni kaget karena Riana memotong rambutnya dengan model yang sama seperti rambutnya, Neni masih maklum. Mungkin memang kebetulan Riana sedang ingin tampil dengan model rambut shaggy sepundak.
Ketika Riana memakai sepatu yang persis seperti sepatunya, Neni juga masih maklum. Warnanya yang sama-sama hitam pun tidak mengganggu Riana karena peraturan sekolah memang mengharuskan siswa memakai sepatu berwarna hitam.
Tapi kali ini ketika Riana memakai tas yang Persis sama model dan warnanya dengan tas yang dipakainya sekarang, Neni mulai merasa terganggu. Kalau modelnya saja yang sama masih bolehlah. Tapi kenapa sih, warnanya juga sama?

“Sorry Nen, Gimana ya, gue suka warna pink gitu loh. Dan kemarin adanya tinggal yang model ini.” Begitu jawab Riana ketika salah satu teman mereka menanyakan mengapa tas mereka berdua bisa sama persis.
Makin lama Neni semakin tidak tahan karena Riana selalu memakai dan melakukan hal yang sama dengannya. Mulai dari jam tangan, handphone, anting, kalung, ikat rambut, sampai makanan yang dimakan di kantin pun, Riana selalu menyamai Neni.

“He…he…asal jangan Riana nyamain punya pacar mirip pacar lo aja.” ledek Sili.
Neni bergidik.
“Jangan-jangan sebenarnya Riana tuh kembaran elo, Nen” ledek Sili lagi.
“Huuu, ya enggak lah yauw. Cantikan gue kemana-mana dong.” jawab Neni setengah keki.
“Nah, lo sadar. Gimana pun Riana berusaha nyamain elo, nggak bakal bisa nyamain kecantikan dan kepandaian lo. Tapi nggak tau juga ya, kalau si Riana nekad operasi plastik supaya wajahnya mirip elo.” Sekali lagi Sili meledek sambil nyengir.
“Ih, amit-amit deh. Kalau sampai dia nekad begitu, sakit jiwa berarti tuh anak.”



...Continued.

Selasa, 02 Februari 2010

KARMA





Ia perdayai aku
Ia rayu aku dengan tipu muslihatnya
Ia cemarkan aku
Ia sembilu bermata seribu
Yang ditancapkan tepat ke jantungku

Ku tiada daya
Menyesal pun tiada guna
Hanya doa seorang teraniaya
Jika karma memang ada,
biar karma yang membalasnya


By : Arumi

Senin, 25 Januari 2010

JEANS NO.29 dimuat di majalah Teen 23 januari 2010


“Sy, kamu tuh nggak gemuk. Kamu cuma agak gede.” hibur Dian setiap Sissy mengeluhkan ukuran badannya.
“Iya, malah seksi kelihatan montok begitu.” Ira menambahkan.
“Sy, cewek kan memang lain-lain kecepatan perkembangan tubuhnya. Kalau kamu memang lebih cepat dari kita-kita. Nanti juga lama-lama kita nyusul… He..he…” Nita ikut nimbrung.

Sissy masih cemberut.
“Ah, seberkembang-berkembangnya kalian, paling juga beratnya nggak lebih dari 50!”
Sissy paling panik jika teman-teman se-gank-nya mengajak berbelanja pakaian bersama-sama di Mal. Yang membuat Sissy panik adalah karena ukuran pakaiannya selalu ukuran large, tidak seperti teman-temannya yang imut, yang bisa mengenakan pakaian ukuran small atau medium. Bukan berarti Sissy overweight, tapi Sissy memang ditakdirkan lahir dengan struktur tulang besar. Dengan tinggi 168 sentimeter dan berat 58 kilogram, sosok Sissy masih proporsional, tapi ya begitu itu, big size.
Nita dan Rena bisa muat memakai celana panjang jeans ukuran 27. Ira biasa memakai ukuran 28. Dian yang paling imut malah dapat memakai ukuran 26. Sementara Sissy? Rasanya malu sekali, karena harus memakai ukuran 30! Sepatu Sissy pun bernomor 40!
“Tahu nggak sih, sebenarnya kita juga ingin punya tampang cakep kayak kamu. Hidung mancung, mata belok, bulu mata super lentik. Menurutku, sebenarnya kamu justru beruntung.” Dian masih berusaha menghibur.
“Iya Sy. Kalau kamu casting main sinetron, pasti langsung diterima.” Ira ikut-ikutan memberi komentar.

Tapi semua kata-kata menghibur teman-temannya itu tak juga membuat hati Sissy lega. Sissy tetap saja enggan belanja pakaian bersama teman-temannya.
“Lebih baik belanja sendiri deh. Bisa mencoba-coba sendiri.” ucap Sissy dalam hati. Dan tak perlu merasa malu jika pakaian yang dicobanya ternyata tidak muat.
Minggu sore, Sissy pergi ke Mal untuk berburu celana jeans idamannya. Sissy sudah mempersiapkan tubuhnya untuk celana jeans baru nanti. Selama seminggu ini Sissy diet agak ketat Sissy ingin sendirian berburu celana jeans idamannya supaya bisa konsentrasi penuh. Pokoknya, Sissy berniat tidak akan pulang sebelum menemukan celana panjang jeans model hipster, pipa lurus dengan bagian bawah agak cutbrai berukuran 29 yang muat dipakai olehnya!

Sissy memilih beberapa celana jeans ukuran 29. Membawanya dua potong ke kamar pas karena memang batas maksimum hanya dua potong. Padahal, jika boleh, Sissy ingin membawa sepuluh potong sekaligus agar tidak perlu bolak-balik.
Sissy memilih celana jeans pipa lurus karena menurut pakar mode, akan menyamarkan ukuran paha yang besar menjadi tampak lebih langsing. Atau bukan justru semakin memperjelas ukuran pahanya yang besar? Ah, yang jelas berdasarkan pengalaman Sissy, jangan nekad memakai celana jeans model baggy! Itu lho, model celana yang menggembung dibagian paha dan justru mengecil dibagian pergelangan kaki. Swear, membuat pahanya tampak semakin besar!
Sissy mencoba celana pertama. Berwarna biru dongker. Dimasukkannya kedua kakinya ke pipa-pipa celana itu. Ah, sampai lutut lancar. Tapi begitu mencapai bawah pinggul, sungguh tak bisa bergerak lebih ke atas lagi! Bagian pinggang celana jeans itu macet di bawah pinggul! Sissy melepas kembali celana itu dengan perasaan kesal. Dicobanya yang satu lagi. Sama saja!

“Padahal kelihatan lebih besar…” gumam Sissy. Dengan perasaan kesal yang tertahan, Sissy membawa celana-celana itu kembali keluar kamar pas. Di luar, ternyata gadis penjaga stand melihatnya meletakkan kembali celana-celana itu ke tempatnya semula.
”Nggak muat ya, Mbak?” tanya gadis penjaga itu tanpa rasa bersalah, sama sekali tak tahu bahwa komentarnya itu telah membuat Sissy tambah kesal.
“Terlalu ketat. Malu kelihatan seksi!” Begitu alasan Sissy.
“Coba saja yang nomor 30!” Sang penjaga stand mencoba menawarkan solusi. Oh, seandainya ia tahu, kalimatnya itu benar-benar membuat Sissy agak tersinggung.
“Nggak deh. Saya coba merek lain saja!” jawab Sissy ketus.
Sissy beralih ke stand merek lain. Beruntung, ada stand merk terkenal yang terlihat tanpa penjaga. Sissy hanya ingin dibiarkan sendiri mencoba-coba, tanpa ada yang peduli apalagi sampai memberi komentar.
“Please, leave me alone!” teriaknya dalam hati.
“Aku hanya ingin dibiarkan sendiri mencari celana jeans idamanku!”
Untunglah, kemudian keinginan Sissy itu terkabul. Sissy bisa bebas bolak-balik mencoba-coba celana-celana jeans itu. Hingga dua puluh potong sudah yang ia coba.

Sissy masih bertahan ingin mendapatkan jeans nomor 29. Sehingga sudah sebanyak itu celana jeans yang dicobanya, belum juga ada yang pas untuknya.
Sissy kembali membawa dua potong celana jeans. Tetap model hipster, pipa lurus, bagian bawah agak cutbrai. Dan tetap nomor 29. Celana pertama, masih mengecewakan. Sissy mencoba celana kedua. Yap! Akhirnya, kali ini bagian pinggang celana ini mampu melewati pinggulnya. Sissy mencoba mengancingkan celana itu dengan susah payah. Sip! Bisa! Tapi ups, agak susah menarik ritsletingnya. Wah, hanya sampai ke tengah! Sissy mencoba dengan agak paksa menarik sisa ritsleting yang belum tertutup. Sissy menahan nafas, mengempiskan perut…..sreeet! Hore! Akhirnya!

Sissy memandang cermin dalam kamar pas itu. Terpantul bayangan tubuhnya yang mengenakan celana jeans baru berwarna biru dongker model hipster, pipa lurus, bagian bawah agak cutbrai, bernomor 29! Wuih, kereeen! Memang Sissy harus mengempiskan perutnya. Tapi Sissy yakin, jika ia melanjutkan program dietnya satu minggu lagi, pasti ia dapat lebih nyaman mengenakan celana idamannya itu.
“Akhirnya….” ucap Sissy penuh haru, “Aku bisa punya celana jeans nomor 29 yang muat kupakai!” lanjutnya dalam hati. Tak sia-sia pengorbanannya sesore ini!
***

“Wuih, celana baru nih! Suit! Suit!” goda Dian ketika menyadari celana baru yang dipakai Sissy. Mereka sedang mengantri karcis di twenty-one. Teman-teman Sissy yang lain serentak menoleh ke arah Sissy.
“Ehem! Keren!” kata Nita.
“Nomor 29 nih!” seru Sissy bangga. Teman-temannya melongo, memandang tak percaya.
“Mm, memang muat ya?” komentar Ira.
“Iyalah! Kan aku sudah kurusan. Kelihatan, kan?”
Semua teman Sissy kompak memandang Sissy dari ujung kepala sampai kaki. Bagian tubuh Sissy yang mana ya, yang menjadi lebih kurus?
“Eh, iya ya. Kenapa kamu Sy? Sakit?” tanya Nita
“Nggak kok. Memang aku sengaja diet supaya ukuran tubuhku agak normal” jawab Sissy.
Semua temannya terdiam. Tapi kemudian semua kompak tertawa.
“Sissy manis, memang siapa sih yang menganggap kamu nggak normal?” tanya Rena sambil terkikik.
“Iya Sy. Bagaimana pun keadaan kamu kita tetap cinta, kok! Lagipula kita-kita kan sudah bilang, kamu itu cakep bin keren, kok nggak percaya? Kapan sih, kamu sadar sama kelebihan kamu, say?” sahut Dian sambil merangkul Sissy.
Sissy hanya menghela nafas. Seandainya salah satu dari temannya itu ada yang sebesar dirinya, pastilah Sissy akan merasa lebih lega. Bisa sama-sama mencoba celana jeans ukuran 30, bisa sama-sama mencari sepatu ukuran 40, bisa sama-sama memakai kaos ukuran L. Seandainya…
Ketika gadis-gadis itu menunggu waktu pemutaran film dimulai dengan asyik mengobrol satu sama lain, tiba-tiba seorang cowok lumayan menarik mendekati Sissy. Sejak tadi Sissy memang merasakan curi pandang cowok itu kepadanya. Menimbulkan sensasi GR dihatinya. Dan ketika cowok itu mendekatinya, Rasa deg-deg-an semakin menguasai hatinya.
“Ehem, sorry nih. Kayaknya ritsleting celana kamu terbuka deh…” Bisik cowok itu perlahan kepada sissy setelah tubuhnya mendekat.
Wajah Sissy mendadak menghangat dan pastilah warnanya memerah karena malu. Oh, rasanya Sissy ingin pingsan saat itu juga agar tak perlu merasakan malu sehebat ini. Perlahan diliriknya ritsleting celananya. Ha? Benar, ritsletingnya telah terbuka. Entah sejak kapan. Sesal Sissy, mengapa harus cowok menarik itu yang melihatnya? Sungguh sial! Segera Sissy menutupi bagian depan celana jeansnya dengan tasnya. Dan dengan perlahan ia berbisik kepada Ira yang berdiri di sebelahnya dan menjadi teman ngobrolnya sejak tadi.

“Ra? Kayaknya aku nggak jadi nonton deh. Aku mendadak sakit perut nih. Aku pulang dulu ya? Sori Ra, tolong pamitin sama yang lain, aku sudah nggak tahan”
Belum sempat Ira menjawab, Sissy telah melesat pergi terburu-buru.
“Sissy, karcis kamu gimana dong?”
Sissy sudah tak mendengar lagi teriakan Ira. Tiba-tiba saja Sissy sangat membenci celana jeans no.29 yang semula dibanggakannya itu!

- Tamat -