Laman

Senin, 18 Januari 2010

Menanti realisasi sebuah janji


Ku impikan diriku berdiri di tepi pantai pasang
Kubiarkan pasir putih pantai menenggelamkan kedua telapak kakiku yang telanjang

Angin laut menghentak menampar wajah dan tubuhku
aku bertahan, aku tak tergoyahkan
Tak beranjak aku,
dari memandang mimpiku yang jauh di cakrawala

Ku impikan kau datang
menyambut uluran tanganku, kau genggam erat
lalu sesudah basa-basi itu
kau janjikan tak kan tinggalkan aku
kau janjikan jadi penjaga hatiku

Ku masih berdiri di pantai ini
kaki-kakiku semakin tenggelam dalam penantianku akan janjimu...

sebuah puisi sederhana oleh Arumi

Minggu, 10 Januari 2010

SATPAM SEKOLAH


Wouw! Senangnya...dimuat lagi untuk yang kedua kali cerpenku di KOMPAS ANAK Minggu ini, 10 Januari 2010...semakin menumbuhkan semangat untuk terus berkarya...Ayo semangat! Di mana ada kemauan, di situ ada jalan!

By : Arumi Ekowati

“Pak Rahmat satpam sekolah kita sudah diganti!” seru Reza memberi pengumuman kepada teman-teman sekelasnya di kelas IV B.
“Kenapa? Padahal Pak Rahmat baik. Kalau aku telat sedikit, masih dibolehkan masuk sebelum pintu gerbang sekolah dikunci.” kata Intan sedikit kecewa.
“Aku dengar karena Pak Rahmat sudah harus pensiun.” Reza menjelaskan.
“Wah, nggak bisa menyelinap diam-diam keluar pintu gerbang lagi deh. Pak Rahmat paling gampang dikecoh. Matanya sudah kurang awas.” sahut Kiki yang memang agak bandel dan sering mengelabui Pak Rahmat.
“Kamu memang tega sekali sering mengerjai Pak Rahmat, Ki. Kasihan Pak Rahmat. Semoga pengganti Pak Rahmat galak. Supaya nggak bisa lagi kamu bohongi!” kata Tiara sedikit kesal kepada Kiki.
“Ah, aku nggak takut sama Satpam sekolah. Dia kan kita yang bayar. Jadi, dia nggak boleh dong marahi kita!” sahut Kiki.
“Kita yang bayar? Maksud kamu?” tanya Tiara tak mengerti.
“Tiap bulan kan kita bayar uang keamanan sekolah.” jawab Kiki.
“Masa sih? Bukannya sekolah yang menggaji Satpam sekolah?” Tiara tak percaya celotehan Kiki. Kiki hanya menjulurkan lidahnya meledek Tiara. Tiara pun mendelik sebal.
“Pengganti Pak Rahmat siapa?” tanya Intan.
“Namanya Pak Beni!” jawab Reza.
Deg! Danu terkejut. Jangan-jangan...
Pulang sekolah, Kiki, Intan, Reza dan Tiara mampir ke Pos Satpam sekolah. Mereka bermaksud berkenalan dengan satpam sekolah yang baru, Pak Beni.
“Ayo, Danu! Kamu ikut, kan?” ajak Reza pada Danu.
“Maaf, aku nggak ikut. Aku harus cepat-cepat pulang nih!” Danu menggeleng lalu segera berjalan cepat-cepat menjauh dari pintu gerbang sekolah.
***

To be continued

Kamis, 07 Januari 2010

ALIS ALISA


By Arumi ( Rumieko )

Dimuat di majalah KaWanku edisi 31 Juli-6 Agustus 2006

“Jangan-jangan elo bisa lihat tuyul ya?”
Pertanyaan Shanda itu tak urung membuat mata Alisa kontan mendelik.
“Enak aja, memangnya gue paranormal bisa lihat tuyul segala.”
“Lho, katanya sih, kalau ada orang yang nggak punya alis, berarti dia bisa lihat tuyul.”
“Gue bukannya nggak punya alis, tapi alis gue nih agak tipis. Nanti juga lama-lama rimbun. Kan tiap hari udah gue olesin lidah buaya.”
“Udah berapa lama? Kok belum kelihatan hasilnya?”
“Sebulan!”

Alisa memang agak risau dan kurang percaya diri dengan alisnya yang tumbuh tipis. Alisa baru menyadari alisnya yang tipis ketika melihat koleksi foto-fotonya yang diambil dari jarak agak jauh. Wajahnya terlihat agak aneh. Alisa pernah mencoba memakai pensil penghitam alis milik mama, tapi ah, rasanya malu.

Shanda memperhatikan wajah Alisa.
“Mm, sebenarnya nggak apa-apa kok, Lis. Bisa ditutup pakai poni, kan? Dan bisa elo hitamkan sedikit pakai pensil alis.Lis, inilah untungnya jadi cewek. Kita boleh dandan untuk menutupi kekurangan kita dan menonjolkan kelebihan kita. Nggak bakal ada yang protes, malah kalau kita jadi terlihat tambah manis bakal dipuji habis-habisan. Iya, nggak?” hibur Shanda.
“Mm, apa benar begitu, Shan? Tapi kan malu kalau ketahuan dandan.” Alisa masih juga tidak percaya diri.

"Aduh, Lis! Kenapa mesti malu, sih? Suka dandan itu kan memang sisi feminin cewek. Kalau nggak suka dandan berarti tomboy.”
“Shan, andai alis gue setebal dan sehitam alis lo….” keluh Alisa sambil memandangi alis tebal melengkung milik Shanda. Shanda malah tertawa terkikik.

“Alisa sohib gue yang paling cantik, andai hidung gue semancung hidung lo! Lis, tiap gadis itu memiliki keunikan sendiri-sendiri yang membuat kita tampak menarik. Sudah ah, soal alis tipis nggak usah lo pikirin. Pokoknya elo tetap terlihat manis walau alis lo tipis. Buktinya Miska naksir berat sama elo. Buktinya Miska nggak pernah komplain, kan?”
“Justru itu yang bikin gue jadi bete, Shan. Miska mulai mengungkit-ngungkit soal alis gue. Akhir-akhir ini kalo gue sama Miska lagi asik-asik ngobrol tiba-tiba Miska nyeletuk, eh, ternyata alis lo tipis ya? Bete, kan?”
Shanda cekikikan.

“He…he…kalo dia komentar begitu lagi jitak aja jidat setengah jenongnya. Eits, jangan cemberut dong Non. Becanda kok! Tapi buktinya dia tetap sayang kan sama elo?”
“I…iya sih…”
“Berarti everything is okay dong. Tenang aja, entar gue ajarin deh trik-trik dandan biar lo terlihat tambah oke! Gue kan pakar dandan! ” seru Shanda penuh semangat.

Dan Shanda membuktikan ucapannya. Sabtu sore, Shanda mengajari cara-cara dandan ala remaja gaul. Dan memang benar, Alisa menjadi tampak semakin menarik.
“Nah, benar kan, elo jadi tambah cantik, Lis. Keren baget deh lo. Kalo lo ikut lomba gadis sampul bisa menang nih!” kata Shanda sambil ikut melihat pantulan wajah Alisa di cermin.

“Ngaco lo, Shan. Jangan ngegombal berlebihan gitu dong!” protes Alisa. Shanda cuma cekikikan.
“Eh, bener kok. Perhatiin dong baek-baek! Kalo bukan emang elonya yang cantik ya berarti guenya yang jago banget merias wajah gitu.”
“Huuu, narsis lo sih memang nggak ilang-ilang ya? Tapi memang sih gue salut sama hasil polesan lo. Gue harus banyak belajar dari elo ya?”

Alisa tersenyum senang melihat wajahnya. Alisnya jadi terlihat indah. Ah, Shanda memang pintar merias.
Tetapi Alisa masih merasa belum puas. Pikirnya, bagaimana bila di sekolah? Rasanya tidak mungkin melukis alisnya dengan pensil alis. Pasti teman satu kelas bakal heboh.
***



...Continued.

Sabtu, 02 Januari 2010

CATATAN RAHASIA, dimuat di Majalah kaWanku edisi akhir tahun


Thanks KaWanku, memuat lagi satu cerpenku di edisi 30 Desember 2009-13 Januari 2010
Hadiah akhir tahun yang manis!

By : Arumi

“Huah! Segarnya setelah minum dua gelas air jeruk dingin!” seru Tara.
“Tara, kamu tadi tuh seperti nggak minum seminggu. Banyak banget minumnya.” sahut Vita teman sebangku Tara.
“Aku dehidrasi banget, Vit! Bayangkan saja, kita tadi lari dua setengah kilometer lho!” kata Tara.

Vita mengangguk setuju sambil membuka tasnya. Mengecek kembali uang kas kelas yang ditinggalkannya selama pelajaran olahraga tadi. Tiba-tiba Vita merasa tercekat. Ia panik! Uang kas kelas yang disimpan dalam tasnya hilang!
“Waduh, di mana ya? Rasanya tadi aku simpan di tas!” kata Vita dalam hati.
Ia segera membongkar tasnya. Mengeluarkan semua isinya satu persatu. Dompetnya masih ada tapi, uang kas kelas hilang!
“Ada apa Vit?” tanya Tara yang melihat kegelisahan Vita dan melihat Vita sibuk mengeluarkan semua isi tasnya.

“Mm..aku...mmm...” Vita ragu untuk menjawab.

Haruskah ia memberi tahu hal ini? Ah, bagaimana nanti bila semua teman sekelasnya tahu? Mereka pasti akan menganggapnya tak becus menjalankan tugas sebagai bendahara kelas. Atau sebaiknya ia simpan masalah ini sendiri? Dan diam-diam nanti akan digantinya uang kas kelas itu. Tak perlu ada yang tahu kalau uang kas kelas itu pernah hilang.

“Tapi aku tak punya uang sebanyak itu.” pikir Vita masih dalam hati.
Tujuh ratus ribu rupiah jumlah uang itu! Vita tak punya uang sebanyak itu untuk menggantinya. Minta kepada ibunya? Ah, ibu pasti tak mau memberikan uang sebanyak itu begitu saja kepadanya.

Vita kebingungan. Jika ia ingin melaporkan kehilangan ini, ia harus melapor sekarang. Agar jejak orang yang mengambil uang kas kelasnya masih bisa dilacak. Vita menelan ludah. Masih sedikit ragu untuk menceritakan apa yang terjadi pada Tara.
“Mm...Tara...please, jangan bilang siapa-siapa, ya?” pinta Vita dengan wajah cemas dipenuhi keraguan.

“Kenapa sih, Vit? Bilang saja deh terus terang.” desak Tara mulai tak sabar.
Vita membisikkan apa yang terjadi kepada Tara.
“Apa?” begitu reaksi Tara dengan suara agak keras.
“Sssttt! Tara, nggak usah teriak gitu dong!” protes Vita.
Tara tersadar ia berteriak agak keras ketika dilihatnya beberapa teman yang berada di sekitar mereka langsung menoleh ke arah mereka.
“Maaf, Vit. Aku nggak nyangka, kok bisa hilang?” kali ini Tara berbisik.
“Tadi kutinggal di kelas waktu kita sedang berolahraga.”
“Aduh, kenapa ditinggal, Vit! Kelas kita kan belum tentu aman.”
“Celana olahragaku baru, nggak ada kantongnya.”
“Kenapa nggak dititipkan ke aku?”
“Tadi nggak kepikiran...Bodoh ya?” Vita merasa menyesal sekali.

“Sudahlah! Sudah terlanjur. Kita laporkan saja, Vit. Supaya segera bisa dilacak siapa yang mengambilnya. Mumpung belum terlalu lama hilangnya.” usul Tara.
“Tapi, aku takut kalau teman-teman lain tahu mereka akan marah padaku. Please, Tara, bisa nggak pinjami saja aku uang untuk menggantinya?”
“Wah, maaf, Vit. Aku nggak punya uang sebanyak itu. Kita lapor Bu Diana saja deh. Yuk, aku antar!” ajak Tara.

Vita menyerah dan mengikuti saran Tara menemui Bu Diana wali kelas mereka.
“Hilang?” tanya Bu Diana setelah Vita melaporkan kehilangannya.
“Benar, Bu.” jawab Vita sambil tertunduk malu.
“Mungkin kamu lupa tertinggal di rumahmu?”
“Saya tidak lupa, Bu. Uang kas selalu saya bawa setiap hari. Saya masukkan dalam dompet saya. Biasanya pada saat pelajaran olahraga saya bawa, Bu. Tapi hari ini celana olahraga saya baru, tidak ada sakunya. Jadi, dompet saya tidak saya bawa.”
“Kenapa tidak kamu titipkan ibu? Atau Pak Soni guru olahragamu?”
“Saya pikir, di kelas pasti aman. Karena semua murid ikut olahraga.”
Bu Diana menghelas nafas.
“Ya sudah. Nanti ibu bicarakan dengan guru yang lain. Kamu kembali saja dulu ke kelas.”
“Baik, Bu.” jawab Vita lalu bersama Tara bergegas kembali masuk kelas.

Tak lama, Bu Diana masuk ke dalam kelas Vita. Bu Diana mengumumkan bahwa Vita kehilangan uang kas kelas yang disimpan dalam tasnya pada saat pelajaran olahraga. Bu Diana bertanya, apakah ada anak yang melihat uang kas itu. Uang itu sejumlah delapan lembar uang lima puluh ribu, sepuluh lembar uang dua puluh ribu, lima lembar uang sepuluh ribu dan sepuluh lembar uang lima ribu. Semua uang itu digulung dan diikat karet gelang berwarna merah.

Dompet Vita tidak hilang, tapi gulungan uang kas kelas yang disisipkan dalam dompet Vita itu hilang. Bu Diana terpaksa menggeledah tas semua anak dalam kelas. Tapi setelah semua tas diperiksa, gulungan uang kas itu tetap tidak ditemukan.

“Jangan-jangan kamu cuma pura-pura hilang, Vit! Tapi sebenarnya kamu pakai untuk keperluan kamu sendiri.” tuduh Desi dengan suara sinis.
“Nggak, Des! Sungguh! Demi Tuhan, uang itu memang benar-benar hilang!” Vita membela diri.
“Kamu jangan menuduh sembarangan, Des!” Tara membela Vita.
“Kamu menyusahkan kita, Vit! Tas kita semua jadi digeledah. Padahal aku kan nggak mengambil. Memangnya tampangku kayak maling?” Jeni ikut menyindir.
“Maaf teman-teman, kejadian ini sudah membuat repot kita semua. Aku yakin kok nggak mungkin yang mengambil dari kalangan kita sendiri. Pasti ada maling yang masuk kelas kita ketika kita semua sedang berolahraga di luar.” kata Vita perlahan dengan rasa penuh penyesalan.

“Nggak tau juga yaaa...kamu kan memang sering kesulitan uang, Vit. Aku kan sudah ingatkan kepada teman-teman, kalau memilih bendahara kelas yang kaya dong! Supaya uang kas kelas kita aman.” Desi melanjutkan tuduhannya yang menyakitkan.
Vita rasanya ingin menangis dituduh begitu oleh Desi.
“Jangan sembarangan ngomong ya, Des! Akan kami buktikan bahwa uang kas kelas kita memang diambil maling!” kata Tara berusaha membela Vita.
Desi tak melanjutkan lagi kata-katanya. Karena kemudian Pak Danu guru matematika datang untuk menyampaikan pelajaran selanjutnya.
***


“Vit, pulang sekolah nanti, ada waktu sebentar nggak? Ada yang ingin kubicarakan sama kamu.” Dika mendadak mencegat Vita sesaat sebelum ia melangkah ke dalam kelas sehabis makan siang di kantin.
“Ada apa, Dik?” tanya Vita terheran-heran.

Ia tak terlalu akrab dengan Dika teman sekelasnya yang duduk paling belakang. Karenanya Vita terheran-heran Dika mengajak bertemu sepulang sekolah.
“Nanti aku ceritakan.” Hanya itu jawaban Dika.

Vita mengangguk. “Baiklah, aku tunggu sepulang sekolah.” jawab Vita.
Sepulang sekolah, Vita menolak pulang bareng Tara.
“Kenapa, Vit? Tumben nggak mau pulang bareng aku. Oh, jangan-jangan kamu mau pulang bareng Dika, ya? ” tebak Tara sambil nyengir.

Vita terkejut. Bagaimana Tara bisa tahu?
“Kok kamu nuduh aku begitu sih, Ra?” tanya Vita.
“Aku tadi lihat Dika bisik-bisik sama kamu. Hehehe...ayo, ngaku saja Vit, kamu ada janji sama Dika, kan?” ledek Tara.
“Eh, bukan...nggak kok. Cuma...kata Dika ada yang ingin dia bicarakan sama aku.” jawab Vita sedikit tersipu.

“Nah, kan? Pasti Dika mau nembak kamu tuh, Vit. Kalau aku perhatikan, Dika memang ada perhatian sama kamu.” kata Tara sok tahu.
“Jangan ngaco, Ra! Nggak ada apa-apa kok.” Vita membela diri.
“Pokoknya nanti hasil pembicaraan kalian ceritain ke aku lho, Vit! Awas kalau nggak. Eh, aku pulang duluan deh. Sepertinya pengagummu sudah datang tuh!” kata Tara sambil mengedipkan mata kirinya lalu segera melangkah menjauhi Vita.

Vita menoleh ke arah pandangan Tara tadi. Dika berjalan mendekatinya. Mengapa Vita merasa sedikit berdebar? Memang diakuinya, walau pun Dika cenderung pendiam, tak bisa disangkal Dika seorang cowok yang menarik. Tapi Vita tak pernah menyangka bahwa suatu hari Dika akan mengajaknya berbicara hanya berdua saja. Apa ya kira-kira yang ingin dibicarakan Dika?

“Hai, Vit! Bagaimana kalau kita ke Kafe Buku? Sepertinya ngobrol di sana lebih asyik. Lebih tenang.” ajak Dika setelah ia berada tepat di hadapan Vita.
Vita semakin berdebar. Di Kafe Buku? Ah, kafe itu tak jauh dari sekolah. Kafe murah tapi nyaman karena bisa makan minum sambil membaca buku bahkan internetan. Vita mengangguk setuju.
“Kamu ingat uang iuran untuk kas kelas yang aku berikan pada kamu seminggu yang lalu, Vit?” tanya Dika setelah mereka duduk di kursi Kafe Buku.

Vita menghentikan keasyikannya menyeruput orange float pesanannya. Berusaha mengingat kejadian seminggu yang lalu. Ya, Vita ingat, ketika itu Dika memberikan uang selembar dua puluh ribu untuk membayar iuran kas kelas. Dika membayar sekaligus untuk empat bulan.

“Iya, aku ingat. Memangnya kenapa, Dik?”
“Kamu baca catatan rahasia yang aku tulis di uang itu?”
Vita mencoba mengingat-ingat. Catatan rahasia?

...Continued.