Laman

Sabtu, 12 September 2009

Buku harian Anjelika


By : Arumi

Yoan mengerutkan keningnya ketika membaca tulisan yang tertera dalam sebuah buku yang tampak lusuh. Tulisan itu adalah cerita kejadian yang dialami seorang gadis bernama Anjelika pada tanggal 12 Februari 1990.
“Aneh, apa yang aku alami hari ini sama persis seperti yang tertulis dalam buku harian Anjelika tujuh belas tahun yang lalu!” seru Yoan pada dirinya sendiri.
Yoan menemukan buku harian itu di halaman belakang sekolahnya. Dalam sebuah kotak dari plastik yang terkubur di dekat pohon jambu biji yang sudah agak besar. Ketika itu Yoan sedang menggali lubang di tanah untuk menanam pohon sumbangan bagi sekolahnya. Pemilik buku itu bernama Anjelika. Buku harian itu menceritakan kehidupan sehari-hari Anjelika di tahun 1990. Pada saat itu Anjelika berumur enam belas tahun, persis seperti Yoan sekarang. Dahulu, Angelika murid di sekolah Yoan juga.
Yoan membalik halaman-halaman sebelumnya saat pertama kali ia menemukan buku harian itu.


...Continued.

Pacarku Superhero


By : Arumi

Rama telat lagi. Nadia sudah menunggu lebih dari satu jam di depan twenty one. Padahal Nadia sudah berbaik hati tidak minta dijemput di rumah. Nadia tidak keberatan mereka langsung ketemu di bioskop. Tapi Rama benar-benar kelewatan. Film yang rencananya akan mereka tonton sudah mulai sejak empat puluh lima menit yang lalu.
Nadia menitikkan air mata. Ya, Nadia sudah tak tahan lagi. Selama ini Nadia selalu memaklumi kesalahan-kesalahan Rama. Padahal Nadia sudah mendapat nasihat dari teman-temannya. Nadia juga sudah sering membaca di beberapa majalah cewek yang membahas ciri-ciri cowok tidak sayang lagi sama ceweknya.
Tapi Nadia berusaha menepis kenyataan itu. Dan berusaha tetap yakin bahwa perasaan Rama kepadanya tetap tak berubah. Tetap seperti setahun yang lalu. Ketika dengan manis Rama menyatakan cintanya. Di bawah percikan kembang api. Di malam tahun baru. Nadia tak peduli walau diledek norak oleh teman-temannya ketika ia menceritakan kisahnya itu.
“Berasa sinetron banget nggak siyy…” komentar Sheri ketika itu. Tapi Nadia tak sependapat. Menurutnya, itu adalah peristiwa paling romantis di sepanjang hidupnya.
“Rama, tega banget sih kamu. Apa benar kamu sudah nggak sayang aku lagi?” tanya Nadia kepada dirinya, “ Rama, aku ingin kita seperti dulu.”
Dengan perasaan duka Nadia melangkah pulang. Sudah dua jam dia menunggu. Rama tak juga datang. Tidak memberi kabar pula. Kelewatan! Kali ini Nadia tak akan memaafkan. Tak ada alasan yang bisa diterimanya. Apa pun itu.

...to be continued

Dimuat di KaWanku

Rabu, 09 September 2009

Mahluk Manis di Halte Bis


By : Arumi


“Suer deh, Rem. Seram banget! Awalnya hantu itu terlihat manis.”
Remy cuma mesam-mesem mendengar cerita Bubut (Nama aslinya Budi, tapi Bubut pasrah ketika teman-teman satu sekolah memaksa memanggilnya Bubut) tentang pertemuannya dengan mahluk halus di Jembatan Poncol yang letaknya tidak jauh dari sekolah mereka.
“Jadi, sayang kan, kalau gue lewatin begitu saja. Apalagi suasananya sunyi sepi nggak ada mahluk lain, hanya kami berdua.” kata Bubut lagi sambil matanya menerawang mengenang kembali kejadian malam itu.
“Terus, elo pasti ngajak cewek itu kenalan dan minta nomor handphonenya, kan?” tebak Remy.
“Iyalah, kan gue kira memang benar-benar cewek manis.”
“Terus…”
“He..he, ternyata elo tertarik juga ya, Rem. Tumben, biasanya lo paling nggak percaya cerita-cerita hantu.”
“Gue tertarik karena mahluk itu lo bilang cakep. Kalau hantunya ancur kayak elo, nggak gue pikirin deh.”
“Reseh lo, Rem. Nanti kalau elo lihat sendiri baru kelabakan. Pasti bakalan lari terbirit-birit juga. Cewek itu taringnya bisa numbuh jadi panjang banget. Kayak vampir! Seram banget! Kalau gue nggak cepat kabur, darah gue sudah habis dihisap kali!”
Remy bukannya merinding malah tertawa ngakak. Bubut jadi keki berat!
“But, elo memang benar-benar ngaco. Di Indonesia nggak ada vampir. Yang ada katanya sih, sundel bolong, kuntilanak, genderuwo. Hantu model paling baru ada juga suster ngesot. Itu juga nggak perlu ditakutin. Hantunya ngesot gitu, nggak mungkin bisa mengejar kita. Kita tinggal lari juga masih ngesot-ngesot doang.”


Dimuat di tabloid Teen

BULAN DAN BINTANG


By : Arumi

“Wah, Nicolas Saputra keren banget ya Bin. Apalagi di film 3 Doa 3 Cinta tadi, kelihatan alim, ganteng, duh, gue tambah jatuh cinta nih!” seru Bulan sambil merem melek begitu kedua gadis itu keluar dari 21.
“Iya, iya deh. Udah ah, yuk temenin gue cari poster Jerry Yan terbaru. Lo udah janji kan, Lan?” sahut Bintang cuek.
Buat Bintang, Nicolas Saputra nggak ada bedanya dengan cowok-cowok lain. Paling top buat dia ya Jerry Yan. Bintang Taiwan yang ngetop di film Meteor Garden itu. Walau si Jerry sudah lama tak pernah muncul di saluran televisi Indonesia, tapi perasaan Bintang tidak pernah basi. Ia tetap menjadi penggemar setia Jerry. Sering ia sibuk berburu film-film bajakan Jerry. Walau pun Bulan anti barang bajakan, tapi demi melengkapi koleksi Bintang, Bulan pun selalu siap sedia mengantar Bintang berburu barang-barang berbau Jerry Yan.
Ya, Bulan dan Bintang memang sahabat karib yang tak terpisahkan. Kemana-mana selalu bersama. Sejak SD hingga kelas satu SMU sekarang ini. Walau pun mereka memiliki banyak perbedaan dan hanya sedikit persamaan, tetapi mereka selalu kompak dan saling mendukung.
Bulan bulat seperti bulan, Bintang kurus tinggi. Bulan berambut lurus berkulit sawo matang. Bintang berambut keriting berkulit putih. Bulan suka makan bakso, Bintang suka makan mie ayam. Bulan suka Linking Park, Bintang suka lagu mandarin. Bulan kursus bahasa Perancis, Bintang kursus bahasa Mandarin. Bintang memang penggemar berat segala hal yang berhubungan dengan Mandarin.
Makanya, selera mereka soal cowok pun berbeda sekali. Bulan suka cowok bertampang indo mirip Nicolas Saputra, Bintang suka cowok yang bertampang oriental mirip Jerry Yan. Bisa ditebak kan, mengapa mereka sampai sekarang masih jomblo?
Persamaan mereka hanya satu. Mereka sama-sama suka membuat puisi. Mereka sering berbalas puisi. Bahkan mereka sering mengobrol dengan berpuisi. Membuat teman-teman mereka geleng-geleng kepala. Tapi Bulan dan Bintang tanpa malu-malu malah mengaku sebagai cewek paling romantis sedunia!
“Nama kita saja romantis banget, kan? Bulan Bintang. Benda langit yang paling sering disebut-sebut dalam puisi dan lagu.”
Begitu alasan Bintang bila ada teman mereka yang protes apabila mereka mengaku sebagai cewek paling romantis.
“Huu, sok tau lo Bin.” protes Dani sebal.
“Lho, memang iya kok. Ada lagunya Ibu Sud Ambilkan Bulan Bu, ada lagu Bintang kecil. Ada lagu Temani Aku Rembulan Krisdayanti. Ada lagu Titi DJ, Bintang-bintang.”
“Yee, lebih sering pelangi dong. Ada Pelangi di matamu Zamrud, ada Pelangi-Pelangi Pak Kasur, ada Pelangi Engkau Pelangi Koes Plus.”
Bulan dan Bintang kompak menjulurkan lidahnya.
***
Namun sudah seminggu ini Bulan dan Bintang tak saling menyapa. Jangankan sms-an, selama di sekolah pun mereka saling berdiam diri. Padahal mereka duduk sebangku. Kejadian ini berawal sejak kedatangan murid cowok baru bernama Raga. Meski pun baru seminggu bersekolah di sini, kehadiran Raga telah mencuri perhatian hampir seluruh penghuni sekolah.
Raga murid pindahan dari Singapura. Sosoknya tinggi atletis. Prestasi akademiknya luar biasa. Raga juga ternyata atlit Kendo yang cukup berprestasi di Singapura. Segala kelebihan Raga itu tak kan mampu membuat Bulan dan Bintang berpaling seandainya saja wajah Raga tidak mirip idola Bulan dan Bintang. Ya, memang menakjubkan. Wajah Raga perpaduan Jerry Yan dan Nicolas Saputra. Duh, susah untuk dijelaskan. Pokoknya, menurut Bulan, Raga mirip Nicolas, tapi menurut Bintang, mirip Jerry.
Dan kelebihan lain dari Raga, ia adalah seorang yang rendah hati. Tidak sok ganteng, sok pintar atau pun sok jago. Dengan ramah, Raga menerima uluran perkenalan semua anak terutama cewek-cewek. Termasuk Bulan dan Bintang.
“Ga, katanya kamu belum pernah lihat Monas ya?” tanya Bulan memulai PDKTnya dengan Raga.
“Belum tuh. Monas itu lambang Jakarta, kan?” tanya Raga.
“Kalau kamu mau, aku bisa nganterin kamu lihat Monas. Apalagi kalau malam hari, di Monas ada air mancur menari.”
“Air mancur menari? Seperti apa itu?”
“Uh, bagus deh, Ga. Air mancurnya meliuk-liuk seperti menari disinari cahaya warna-warni. Sebagai warga Jakarta, kamu harus lihat, Ga. Kalau belum lihat, belum bisa dibilang warga Jakarta.” bujuk Bulan
Raga memang belum pernah tinggal di Jakarta. Ia lahir dan besar di Surabaya dan sejak kelas 1 SMP, keluarganya tinggal di Singapura karena ayahnya ditugaskan di sana. Baru sekarang ayahnya ditugaskan di Jakarta.
“Wah, berarti aku harus lihat dong. Boleh deh Lan. Makasih ya, kalau kamu bersedia mengantar aku ke sana.” jawab Raga antusias.
Bulan pun merona bahagia. Jadilah ia kencan dengan Raga. Sengaja Bulan memilih waktu di malam Minggu. Ha, pasti Bintang bakalan nangis bombay, pikir Bulan.
***
“Ga, aku mau bicara sebentar boleh?” tanya Bintang mencegat Raga yang baru saja akan masuk ke mobil jemputannya.
“Ya? Ada apa, Bin?”
“Kamu kan jago bahasa Mandarin. Dan aku dengar, kamu juga biasa menyanyi lagu Mandarin?”
“Iya, ada beberapa lagu Mandarin yang aku bisa. Karena aku sering terlibat dalam pertunjukan seni di sekolahku dulu. Memangnya kenapa, Bin?”
“Aku mau minta tolong nih. Klub kursus Bahasa Mandarinku malam minggu besok akan mengadakan malam amal pengumpulan dana untuk saudara-saudara kita di tanah air yang terkena musibah. Kamu mau kan menyumbangkan beberapa lagu untuk mengisi acara?” pinta Bintang.
“Hm, boleh juga. Memang sejak di Singapura aku sudah sering ikut kegiatan pengumpulan dana untuk membantu saudara-saudara kita yang terkena musibah di Indonesia. Baiklah, aku akan ikut acara kamu, Bin. Malam minggu besok ya?”
Bintang mengangguk bahagia. Ah, andai Raga tahu, bahwa acara pengumpulan dana itu sekaligus akan dijadikan momen kencannya dengan Raga.
Hm, Bulan bakalan kurus kering kalau tahu gue kencan sama Raga, pikir Bintang.
***
Bulan sudah sampai di depan pintu pagar tinggi mewah yang menurut alamat yang diberikan Raga, ini adalah rumahnya. Bulan sedang sibuk mencari-cari bel pintu ketika suara berdehem yang ia kenal mengagetkannya.
“Ehem!”
Bulan menoleh dan terkejut melihat Bintang sudah berdiri di hadapannya.
“Ngapain lo di sini?” tanya Bintang ketus. Oh, seumur hidup Bintang tak pernah bertampang menyebalkan seperti itu kepada sahabatnya.
“Lho, elo yang ngapain datang kemari?” Bulan menjawab tak kalah ketus.
“Ehem, sori ya. Gue sudah janjian sama Raga. Gue mau kencan malam ini.”
“Uh, jangan ngaku-ngaku deh. Gue yang mau kencan sama Raga. Raga ngajak gue ke Monas lihat air mancur menari.”
“Ih, mana mungkin! Raga malam ini akan menyanyi di acara gue!”
“Nggak mungkin! Raga janjinya sama gue.”
Kedua sahabat itu berhenti berdebat ketika tiba-tiba muncul sesosok laki-laki membuka pagar tinggi itu.
“Lho, ada apa ini? Eneng-eneng ini siapa? Mengapa ribut-ribut di depan pintu pagar?” tanya laki-laki itu.
“Ehem, saya pacarnya Raga, Pak. Raganya ada? Saya sudah janjian nih sama dia.” jawab Bintang dengan penuh percaya diri.
“Bukan, Pak! Saya yang pacarnya Raga. Tolong bilangin Raga ya, Pak. Bulan sudah datang menjemput. Kami mau ke Monas.”
“Enak saja! Bukan Pak. Tolong bilangin sama Raga. Bintang sudah datang.”
“Aduh, maaf Neng. Saya jadi bingung. Kalau eneng berdua mengaku pacarnya Den Raga, terus yang di dalam siapa dong?”
Mendadak Bulan dan Bintang berhenti saling membantah.
“Memangnya di dalam ada siapa, Pak?”
“Ada cewek yang sudah lebih dulu datang, Pak?”
Lelaki itu mengangguk.
“Cantik banget Neng. Namanya Sheren. Kata Den Raga sih itu pacarnya. Malam ini mereka baru saja mau keluar. Makanya saya mau buka pintu pagar.”
Bulan dan Bintang melongo. Dan semakin melongo ketika datang sosok Raga diiringi seorang gadis luar biasa cantik.
“Ada apa Pak Salim?” tanya Raga. Dan tampaklah wajah terkejutnya di bawah remang-remang sinar lampu taman.
“Bulan… Bintang…”
“Sheren…” kompak Bulan dan Bintang bersuara lirih.
Sheren, kelasnya bersebelahan dengan kelas Bulan dan Bintang.
“Duh, maaf, aku lupa dengan janjiku pada kalian.”
“Hai, Bulan, Bintang. Ga, mereka berdua itu terkenal paling puitis di sekolah. Aku pernah lho, minta dibuatkan puisi. Puisi yang pernah aku kirim valentin kemarin buat kamu, Ga?” kata Sheren.
“Oh, puisi itu buatan Bulan dan Bintang?”
Ternyata selama ini Raga telah mengenal dekat Sheren, salah satu murid cewek tercantik di sekolah. Bahkan mereka sudah dekat semenjak Raga masih di Singapura. Raga pindah ke sekolah mereka, justru karena ada Sheren.
Bulan dan Bintang tertunduk lesu. Malam ini langit tampak kelam. Tak terlihat bulan maupun satu bintang di langit.
***
“Bulan, maafin gue ya? Gue kok bodoh banget sih. Cuma gara-gara Raga sampai tega bertingkah menyebalkan sama elo.”
“Bintang, gue juga minta maaf. Gue malu banget.”
“Elo sadar nggak, Bin. Bahwa kita justru semakin kompak ketika kita berbeda.”
“Iya, ya. Ketika kita punya satu kesamaan saja, sama-sama naksir Raga, kita jadi ribut.”
“Bin, menurut gue, Raga tetap kalah keren dibanding Nicolas Saputra”
Bintang tersenyum,
“Apalagi kalau dibanding sama Jerry Yan. Duh, nggak level deh! “
“Ha..Ha..Ha!” tawa Bulan dan Bintang kompak.
“Bin, selama gue belum ketemu cowok yang mirip Nicolas saputra, gue nggak keberatan jadi Jojoba”
“Gue juga Lan.”
“Eh, juga apa? Tiba-tiba elo naksir Nicolas Saputra juga?”
“Huu, enak saja. Jerry Yan forever dong. Dan selama gue belum ketemu cowok yang mirip Jerry Yan, gue rela jadi Jojoba.”
Bulan dan Bintang tersenyum. Dan mendadak langit kembali terang. Tampak Bulan dan Bintang di langit berlomba-lomba memberikan sinarnya kepada bumi.

Dimuat di majalah Teen