Laman

Tampilkan postingan dengan label Cerpenku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpenku. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 11 September 2010

Cerpenku : Panjat Pinang

Dimuat di majalah Say! Edisi Agustus 2010

By : Arumi Ekowati

“Lela, berapa kali sih mesti gue bilang, elo nggak boleh ikutan lomba ini!” teriak Bang Jali lantang.
Sebagai ketua karang taruna RW 01, para remaja yang ingin ikut memeriahkan acara perayaan tujuh belas Agustusan haruslah mendaftarkan diri kepadanya.
“Apa alasan Bang Jali Lela nggak boleh ikutan?” tanya Nurlela tak kalah lantangnya.
“Karena ini lomba bukannya buat perempuan!”
“Jadi ini lomba khusus buat laki-laki?”
Bang Jali mengangguk mantap.

“Apa pasalnya ini lomba cuma buat anak lelaki? Itu namanya melanggar hak asasi manusia, Bang!” protes Nurlela.
“Melanggar hak asasi manusia gimana?”
“Yang namanya acara tujuh belasan kan harusnya buat semua warga, kenapa lomba ini diskriminatif? Anak lelaki aja boleh ikut lomba bikin nasi goreng, masukin benang ke lobang jarum, main bola pake daster perempuan, kan?”
“Lela, lomba ini tuh bahaya buat perempuan.”
“Dimana bahayanya, Bang?”

“Lela, seumur-umur di sini belom pernah ada anak perempuan ikut lomba panjat pinang! Emangnya elo mau uyel-uyelan sama anak-anak lelaki yang belepotan oli dan telanjang dada? Nggak malu apa lo?” suara Bang Jali semakin berapi-api, mungkin terinspirasi pahlawan Nasional Bung Tomo.
“Nggak, Lela nggak malu! Pokoknya Lela mau daftar ikut lomba panjat pinang!”
“Lela, pesertanya tuh anak lelaki semua, kalo elo ikut, cuma elo satu-satunya anak perempuan, nggak takut lo?”
“Lela nggak takut!” Lela tetap bertahan dengan pemdiriannya.

“Gue bisa dimarahin Nyak Babe lo kalo sampe gue ijinin anak perawannya ikut lomba panjat pinang. Udah deh, elo ikut balap karung aja! Seru juga, kan?”
“Nggak mau, pokoknya Lela maunya ikut panjat pinang!”
“Lagian lo mau ikut lomba ini emangnya elo bisa manjat batang pohon?”
“Ye, Bang, Lela mah udah biasa manjat pohon. Hampir tiap siang Lela manjat pohon jambunya Haji Sadeli.”
“Lela, pohon jambu mah banyak dahannya. Ini batang pohon pinang! Batangnya lurus licin, belum lagi ntar kalo dilumurin oli. Tingginya aja lima meter. Kebayang nggak lo?”
“Pokoknya Lela yakin pasti bisa. Lela kan emang tukang manjat.”

Bang Jali geleng-geleng kepala menghadapi tingkah Nurlela yang tak mau mengalah, “Ntar gue rembukan dulu sama anak-anak yang lain deh!” kata Bang Jali

“Ya udah, kalo gitu Lela balik dulu deh, Bang.” kata Nurlela akhirnya, lalu beranjak pergi diiringi tatapan prihatin Bang Jali.

***

“Pokoknya kita harus ngadain unjuk rasa! Bang Jali seenaknya aja melarang kaum perempuan ikut lomba panjat pinang.” seru Nurlela di depan sekumpulan anak-anak perempuan se-RT-nya.
“Tapi kalo dipikir-pikir, La, emang kayaknya nggak pantes deh anak perempuan ikut panjat pinang. Lagian, kan manjat pinang susah.” sahut Reni salah satu teman Nurlela.

“Oh, jadi lo takut? Kayak gini nih yang bikin perempuan susah maju. Selalu berpikir nggak bisa atau nggak pantas melakukan hal yang biasa dikerjakan lelaki. Mana kita tau kalo nggak dicoba. Zaman Nabi aja, perempuan tuh diajarin naik kuda dan memanah, nggak cuma masak dan menjahit doang.” kata Nurlela setengah sinis.

“Tapi, nggak diajarin manjat pohon pinang, kan?” Reni masih mencoba membantah.
“Kali kalo di Arab diajarin manjat pohon kurma.” Nila mulai ikut berkomentar.

Semua mata pun memandang ke arah Nila sambil membayangkan perempuan-perempuan Arab berlomba memanjat pohon kurma...Ah, ada-ada saja!

“Udah deh, jadi gimana, lo pada mau ndukung gue gak?” tanya Nurlela minta kepastian.
“Kalo gue setuju banget sama Lela.” ujar Ida yang sama tomboinya dengan Nurlela.

Mereka berdua memang sama-sama hobi manjat pohon. Mulai dari pohon jambu air, jambu batu sampai jambu monyet. Kadang Nurlela dan Ida juga betah nongkrong di pucuk-pucuk dahan pohon jamblang sambil mengunyah buah asli Betawi yang berwarna ungu itu. Mereka malah lomba ungu-unguan lidah.

“Udah saatnya kita menjadi pelopor gerombolan wanita pertama yang ikut panjat pinang. Dijamin kita bakal dikenang sepanjang masa.” lanjut Ida.

Reni dan Nila saling berpandangan, sama-sama kurang yakin.

“Gini aja, biar gue sama Ida aja yang ikutan panjat pinang. Tapi buat temen-temen yang lain, plis deh, bantuin kita unjuk rasa ya? Tunjukkanlah solidaritas temen-temen sebagai sesama kaum perempuan.” bujuk Nurlela.

“Oh, kalo cuma unjuk rasa sih, gue mau aja ikutan, La.” kata Reni sambil menghela nafas lega.
“Lha iya, kalo unjuk rasa sih gue dukung.” Nila ikut memberi dukungan.
“Kalo lo gimana, Nis? Mau ikutan kan?” tanya Nurlela kepada Anisa yang sejak tadi diam saja.
“Eh, unjuk rasanya nuntut apaan ya?” tanya Anisa yang telat mikir seperti biasanya.
“Anak perempuan nggak boleh dilarang ikut panjat pinang! Lo setuju, kan?” jawab Nurlela berusaha sabar.

“Ane akan selalu mendukung segala usaha untuk menegakkan keadilan dan hak asasi perempuan selama dilakukan dengan cara-cara yang damai.” jawab Anisa dengan suara lembut seperti kebiasaannya, sangat kontras dengan suara Nurlela yang selalu berapi-api.

“Oke deh, minggu pagi besok Bang Jali dan para panitia mau ngadain rapat di rumah Pak RW. Kita unjuk rasa di depan rumah Pak RW. Nanti bantuin gue bikin posternya, ya?”

Nurlela mulai menyusun rencana. Teman-temannya hanya bisa manggut-manggut. Siapalah yang mampu menolak permintaan Nurlela anak Pak RT tempat mereka tinggal. Bisa-bisa nanti dipersulit ketika mengurus KTP baru. Beberapa bulan lagi kan mereka harus sudah mulai membuat KTP.

***

Tepat pukul sepuluh teng di hari Minggu pagi nan cerah, empat minggu menjelang tanggal Tujuh Belas Agustus, Nurlela dan teman-temannya muncul di halaman rumah Pak RW sambil mengusung lembaran-lembaran kertas karton bertuliskan suara hati mereka.

Ada yang bertuliskan, IJINKAN PEREMPUAN IKUT LOMBA PANJAT PINANG!

Lainnya bertuliskan: JANGAN KEKANG HAK ASASI PEREMPUAN!

Juga ada yang bertuliskan: BUAH MANGGA BUAH KEDONDONG, PEREMPUAN BOLEH IKUTAN DONG? Nggak nyambung ya?

“Para panitia acara tujuh belasan yang terhormat! Kami kaum perempuan RT 09 ingin menuntut hak kami!” teriak Nurlela lantang.
“Bang Jali tersayang, dengarkanlah suara hati kami!” Ida ikut berteriak.
“Ijinkanlah kami ikut lomba panjat pinang!” Reni tanpa ragu ikut berteriak walaupun masih ragu apakah ingin ikutan lomba panjat pinang?
“Jangan biarkan lomba panjat pinang dimonopoli kaum lelaki!” Nila juga mencoba menyuarakan pendapatnya.

“Assalammu ‘alaikum kakak-kakak panitia, teruslah bekerja untuk mewujudkan acara tujuh belasan yang sukses, jangan lupa istirahat dan makan yang cukup.” ucap Anisa lembut.

Serentak teman-temannya menoleh ke arahnya dengan dahi berkerut.

“Nisa, sebenarnya lo ndukung siapa sih?” tegur Nurlela.
“Ane mendukung kalian semua.” jawab Anisa masih dengan intonasi suara yang lembut.

Tak lama kemudian pintu rumah Pak RW terbuka dan keluarlah Bang Jali dan teman-teman sesama panitia acara tujuh belasan.

“Aduh, elo semua pada ngapain sih?” tanya Bang Jali dengan suara agak keras.

Pandangan matanya tertuju ke arah Nurlela. Bang Jali punya firasat, ini pasti ulah nekadnya Nurlela.

“Lela, pasti ini ide lo kan? Elo bener-bener kelewatan, Lela!” tuduh Bang Jali.
“Sebagai warga RW 01, kami punya hak untuk menyuarakan pendapat kami, Bang!” jawab Nurlela dengan suara yakin bahwa tindakannya benar.
“Iya, tapi bukan dengan protes-protes begini, kan?”
“Ini bukan protes, Bang! Ini unjuk rasa.” jawab Nila.
“Sama saja! Sama-sama menimbulkan keributan. Untung Pak RW lagi pergi. Kalian kan bisa datang baik-baik. Kalau emang mau, kalian boleh ikut rapat kok!”

Anak-anak perempuan yang sedang berunjuk rasa itu seketika terdiam karena Nurlela sang pemimpin juga terdiam.

“Yee, Bang Jali…kenapa nggak bilang-bilang kalau kita boleh ikutan rapat?” tanya Nurlela akhirnya.
“Yee, kenapa nggak nanya?” sahut Bang Jali.
“Sudah ah! Adik-adik, masuk saja yuk? Kita ngobrol di dalam.” kata Kak Desi yang manis dengan suara penuh kasih.

Anak-anak perempuan itu mengangguk setuju. Mereka semua masuk ke rumah Pak RW.

“Lela, Bang Jali udah sampein ke panitia permintaan elo untuk ikut lomba panjat pinang. Dan kami sudah rembukan.” kata Bang Jali setelah mereka semua duduk lesehan di ruang tamu Pak RW.
“Dan keputusannya gimana, Bang?” Nurlela menatap Bang Jali penuh harap
“Panitia memutuskan lomba panjat pinang akan di bagi menjadi dua sesi. Sesi pertama pesertanya perempuan semua. Kita kasih waktu satu jam. Setelah itu baru giliran anak lelaki.”
“Para lelaki dikasih waktu berapa jam, Bang?” tanya Nurlela masih merasa belum puas.
“Sampe hadiahnya abis.” jawab Bang Jali.
“Waah, nggak adil dong Bang! Kalo perempuan cuma dikasih waktu satu jam, laki-laki juga dikasih waktu satu jam dong!” protes Nurlela.

Bang Jali tak langsung menjawab. Panitia pun sibuk berdiskusi. Nurlela dan teman-temannya sabar menunggu.

“Perjuangan menegakkan keadilan memang butuh kesabaran.” pikir mereka kompak.

“Baiklah adik-adik!” kali ini Kak Desi sang humas acara yang bicara. Suaranya tentu terdengar jauh lebih enak daripada suara Bang Jali yang serak-serak kering.
“Kami sepakat menetapkan, anak perempuan dapat waktu dua jam, anak lelaki juga dua jam. Jika masih ada hadiah yang tertinggal, akan dikembalikan kepada panitia.” lanjut Kak Desi.
“Wah, keenakan panitia dong! Nggak perlu capek-capek manjat pinang dapet hadiah sisa.” protes Nurlela lagi.

“Makanya, kalian usahain deh bisa ngambil semua hadiah. Dan inget, anak perempuan dilarang bertelanjang dada seperti anak lelaki!” kata Bang Jali.
“Huu, siapa yang mau bertelanjang dada? Enak aja!” sahut Nila.
“Kali aja si Lela nekad. Lela kan emang suka sableng!” jawab Bang Jali.

Nurlela mencibir sambil menyahut,“Setuju! Kalo gitu, udah dulu ya Bang, dan kakak-kakak yang laen, kita mau permisi, makasih suara kita udah didenger.”
Tumben suara Nurlela terdengar agak lembut.

“Kapok deh ada warga kayak Nurlela. Untung cuma ada satu!” pikir Bang Jali.

***

Tujuh belas Agustus tiba. Acara panjat pinang akan dilaksanakan jam satu siang sampai jam lima sore nanti. Lapangan tempat batang pinang berdiri sudah dipadati warga. Warga yang menonton lebih banyak dari biasanya. Karena baru kali ini ada kesempatan menonton perempuan memanjat pohon pinang. Batang pinang itu tingginya tujuh meter dan penuh dilumuri oli. Di ujung paling atas bergantungan berbagai hadiah.

Nurlela sudah menyusun strategi. Semua sudah diatur dari ukuran tubuh yang paling besar sampai yang paling kecil. Nurlela akan menjadi pemungut hadiah karena memang ia bertubuh paling ringan dan paling gesit. Mereka bersiap-siap menempati posisi masing-masing. Bang Jali pun mulai memasang pengatur waktu.

“Yak, siap-siap, satu…dua…tiga…mulai!” teriak Bang Jali.

Para perempuan itu mulai beraksi. Warga bersorak sorai bergemuruh. Mbak Tinah dan Mbak Erna yang bertubuh paling besar merapatkan tubuh membentuk pondasi manusia yang kokoh. Setelah itu naiklah Reni. Disusul Anisa dengan tubuh agak gemetar. Selanjutnya naiklah dengan susah payah Lia dan Endah. Sulit sekali karena batang pohon pinang berlumur oli itu licin sekali. Sampai disini, susunan manusia itu mulai agak goyah.

“Ayo, Lia! Terus naik! Endah, cepetan! Udah jangan takut nggak apa-apa! Paling kalo jatuh ke bawah.” teriak Nurlela asal. “Nila, lo mulai naik deh!”

Nila mulai mengambil posisi. Tapi ketika tubuhnya memanjat tubuh Anisa, sepertinya Anisa tak sanggup menahan beban lagi. Tubuh Anisa melorot. Maka tubuh Endah dan Lia pun ikut merosot. Formasi itu pun berantakan!

“Aduh, gimana sih? Ayo, coba lagi temen-temen!” teriak Nurlela.
Tapi Anisa menggeleng.
“Aduh, Lela. Ane nyerah deh.” pinta Anisa.
“Kayaknya gue juga nggak kuat, Lela.” Endah ikut-ikutan.
Lia dan Reni juga menyerah. Ida kecewa karena belum sempat manjat.
“Gimana, masih mau dilanjutin nggak?” tanya Bang Jali.
Anak-anak perempuan itu menggeleng. Nurlela cemberut.
“Yak, para perempuan telah membatalkan diri. Sekarang giliran para lelaki!” teriak Bang Jali.

Warga pun bersorak, sebagian ada yang kecewa. Para lelaki itu mulai membentuk formasi dengan cepat.

“Bang Jali, Lela mau ikut dong!” rajuk Nurlela.
“Lela, elo kan tadi udah dikasih kesempatan.” tolak Bang Jali
“Lela pengen ngambil hadiah HP. Lela pengen banget punya HP.” bujuk Nurlela.
“Ha?! Jadi elo ngotot mau ikut panjat pinang cuma karena pengen punya HP?” tanya Bang Jali. Lela mengangguk.
“Elo tuh udah bikin repot semua orang! Pokoknya nggak boleh!”

Nurlela memandang formasi para lelaki yang semakin mantap. Tubuh mereka yang bertelanjang dada dipenuhi oli. Rohali yang bertugas mengambil hadiah telah mencapai puncak batang pinang. Dari bawah, Nurlela dapat melihat kardus HP bergelantungan diseutas tali. Betapa inginnya ia…Tiba-tiba Nurlela berlari ke arah batang pinang itu.

“Lela, elo mau kemana?” teriak Bang Jali.

Nurlela tak peduli. Ia tetap berlari. Tapi mendadak…Bletakkk! Sesuatu menimpa kepala Nurlela. Nurlela terkejut, tapi lalu tersenyum sambil memungut benda yang telah menimpa kepalanya tadi dan memeluknya erat-erat sebelum akhirnya ia tergeletak pingsan! Bang Jali menghampiri tubuh Nurlela dan geleng-geleng kepala melihat benda dalam pelukan Nurlela.

“Lela, Lela! Kesampean juga lo punya HP.” Bang Jali bicara sendiri sebelum kemudian ia meminta beberapa anggota panitia menggotong tubuh Nurlela pulang ke rumahnya.

Teman-teman Nurlela mengikuti dari belakang sambil menyebut-nyebut nama Nurlela. Warga terdengar riuh, tak sadar apa yang telah terjadi. Dari puncak batang pohon pinang, Rohali berteriak lantang.
“Woooi! Itu HP guee! HP gue jangan dibawaaa! Balikin HP gueee!”

-Tamat-

Senin, 26 Juli 2010

My Beautiful Name


Dimuat Di Majalah TEEN edisi Juli 2010

My Beautiful Name ( revisi )
Oleh : Arumi


Namaku Eko Radiamukti. Coba tebak, siapa aku? Aku adalah seorang cewek manis yang baru saja akan masuk SMU. Pasti nggak menyangka, kan? Karena namaku seperti nama cowok.
Aku benci namaku. Sebenarnya sejak aku baru lahir sampai sebulan yang lalu aku belum sadar kalau namaku itu nggak oke banget. Aku baru sadar ketika aku berkenalan dengan kapten basket sekolah lain.
“Hai, aku Evan. Kamu?” kata Evan ketika itu sambil mengulurkan tangannya untuk menyalamiku.
Aku menyambut uluran tangannya sambil tersenyum manis.
“Aku Eko.” jawabku.
Evan melotot terkejut. Melongo beberapa saat sebelum akhirnya tertawa keras sekali. Aku tidak mengerti mengapa ia tertawa.
“Eko? Ha…ha…ha…” tawanya.
Jujur, aku sedikit tersinggung mendengar tawanya yang tidak sopan itu.
“Kenapa? Ada yang lucu?” tanyaku sebal.
“Sori, he…he…aku kaget aja, nggak nyangka cewek semanis kamu namanya macho gitu.”
“Namaku macho?”
“Ya iyalah. Nama Eko kan biasanya nama laki-laki. Atau jangan-jangan kamu cewek jadi-jadian? He…he…”
Aku marah. Menyebalkan banget si konyol Evan ini. Aku langsung berbalik dan berlari pulang. Seumur hidup aku nggak mau ketemu dia lagi.
Sejak saat itulah aku mulai sadar kalau namaku tuh nggak banget. Aku harus ganti nama. Dan aku juga harus memilih SMU yang sangat jauh dari rumahku. Supaya aku nggak perlu lagi bertemu teman-temanku yang sudah biasa memanggilku Eko. Aku ingin memperkenalkan diri dengan nama yang baru. Nama yang lebih manis, sesuai dengan wajahku yang manis.



....Continued.

Minggu, 27 Juni 2010

Interview With Pocong


By : Arumi Ekowati

Dimuat di STORY Teenlit magazine, edisi Mei 2010

“Please ya Brem...kita nonton film horor saja. Mumpung aku ketemu teman-teman lamaku...” pinta Tania kepada Brema.
Malam ini benar-benar malam paling sial buat Brema. Rencana nonton film romantis berdua Tania pacar tersayangnya yang sudah dirancangnya jauh-jauh hari jadi berantakan. Gara-gara Tania bertemu geng sekolahnya waktu SMP yang memaksa Tania untuk ikut nonton sebuah film horor tentang Pocong.

“Tapi Tan, kita kan rencana mau nonton film Avatar. Kan sudah kita rencanain sejak lama. Lagipula, teman-teman kamu itu bakal merusak acara kencan kita nanti.” Brema mencoba menolak secara halus.
“Apa maksud kamu teman-temanku bakal merusak acara kencan kita? Oooh...kamu nggak suka ya, sama teman-temanku, Brem?” kata Tania sinis terlihat agak kesal sambil sedikit membelalakkan matanya yang memang sudah bulat.
“Ehm..maksudku...kita kan punya kesempatan jalan berdua belum tentu seminggu sekali, Tan. Saat ini kesempatan kita untuk menghabiskan waktu berdua saja. Kalau ada teman-teman kamu, nanti pasti kamu lebih sibuk ngobrol bersama mereka daripada sama aku.” Brema membela diri.

Tania menampakkan wajah cemberut.
“Sial! Emang dasar cantik, biar cemberut, tetap saja cantik!” rutuk Brema yang sering kesal pada dirinya sendiri karena selalu saja tak berdaya menghadapi Tania.
“Aku sudah lama nggak ketemu teman-teman SMP-ku ini. Nia, Sesya dan Donita sekolah di SMU lain. Kebetulan kami ketemu sekarang. Belum tentu besok-besok ketemu lagi. Ngertiin aku dong, Brem!” rajuk Tania lagi.

Brema hanya bisa terdiam menatap sayu wajah manis Tania.
“Ya sudah kalau kamu nggak mau ikut nonton. Kamu nonton Avatar sendiri saja sana! Aku mau nonton sama teman-temanku!” seru Tania akhirnya setelah beberapa saat Brema tetap terdiam tak tahu harus berkata apa.
Brema menelan ludah. Wah, repot kalau Tania sudah mulai ngambek.
“Eh, jangan ngambek dong, say! Bukannya aku nggak suka sama teman-teman kamu, tapi...” Brema berusaha menjelaskan.
“Nggak ada tapi-tapi...aku nggak keberatan kok nggak nonton sama kamu!” suara Tania masih saja ketus.

Brema terdiam sesaat. Terkadang ia ingin tak mau mengalah. Tapi setelah ia pikir-pikir lagi, tak apa-apa sekali-sekali mengalah demi pacar. Brema menghembuskan nafas berusaha melegakan rongga dadanya yang sesaat tadi terasa agak sesak.
“Iya deh, Tania sayang! Aku ikut nonton bareng kamu dan teman-teman kamu.” kata Brema akhirnya.
Mendadak wajah cemberut Tania berubah ceria. Tania tersenyum manis.
“Nah, gitu dong. Itu baru pacar teladan. Cepetan say, beli karcisnya buat lima orang!” kata Tania kali ini dengan suara lembut sambil tetap menampakkan senyum manisnya.
“Hah? Maksudnya, aku juga yang bayarin karcis mereka? Heh! Pacar teladan apaan?” rutuk Brema dalam hati.

Namun ia terpaksa melaksanakan permintaan Tania walau dengan wajah bersungut-sungut. Biarlah kali ini ia mengalah. Bukankah terkadang seseorang harus mengalah untuk menang? Walau pun Brema tak yakin apa yang akan ia menangkan. Sepertinya kali ini ia kalah telak!
Benar saja. Di dalam bioskop, Tania malah sibuk saling teriak dan berpelukan dengan sahabat-sahabat wanitanya itu. Brema merasa dilupakan. Jangan-jangan Tania memang lupa kalau ia juga ikut menonton film horor ini dan duduk di samping Tania. Brema merasa gelisah. Ia tak bisa menikmati film yang disuguhkan. Ia tak suka film horor Indonesia. Apalagi yang ada Pocongnya.

“Hiyy! Males banget liatnya!” keluh Brema dalam hati.
Brema memejamkan matanya. Berusaha untuk tak terlibat dengan keadaan sekelilingnya yang didominasi wanita-wanita menjerit ketakutan. Brema merasa aneh dengan tingkah penonton film ini. Sepertinya mereka memang sengaja ingin menikmati ditakut-takuti. Jangan-jangan mereka memiliki penyakit psikologis yang menganggap horor itu nikmat!
***



...Continued.

Selasa, 25 Mei 2010

MINUS TIGA


By : Arumi
Dimuat di Majalah TEEN edisi minngu kedua Mei 2010

Anka mengerjap-kerjapkan matanya. Aneh, rasanya tulisan Bu Sinta di papan tulis itu tak terbaca olehnya. Terlalu kecilkah?
“Fi, lo bisa baca nggak tulisan Bu Sinta?” bisiknya perlahan pada Fifi teman sebangkunya yang sedang asyik menyalin tulisan yang tertera di papan tulis.
“Bisa dong, kenapa? Memangnya lo nggak bisa baca tulisan Bu Sinta?”
“Kekecilan kali ya tulisannya?”
“Ah, tulisan Bu Sinta dari dulu memang segitu, Ka. Standar kok. Aneh, sudah beberapa kali ini lo selalu mengeluh nggak bisa baca tulisan di papan tulis. Maksud lo, agak-agak rabun gitu?”
“Huu…enak saja lo ngatain gue rabun. Tulisannya nih yang kekecilan.”
“Bukannya gue ngatain lo rabun, Ka. Tapi mungkin mata lo sekarang memang minus. Rabun jauh. Ya, lo harus pakai kacamata kalau mau melihat jauh dengan jelas.”
“Haa? Gue pakai kacamata? Kayak apa tampang gue? Bisa kelihatan culun kayak si Andi tuh? Nerdy look gitu? Nggak deh!”
“Lha, mending juga pakai kacamata daripada lo pusing nggak bisa baca tulisan di papan tulis. Mungkin mata lo sebenarnya sudah lama menurun kemampuan melihat jauhnya. Tapi karena selama ini lo duduk paling depan, lo nggak berasa. Sekarang lo dipindah duduk belakang, baru deh lo merasa agak rabun.”
“Ah, nggak deh! No way deh gue pakai kacamata! Kan gue masih bisa lihat tulisan lo he…he…”
“Yah…terserah lo deh Ka. Kan yang ngerasain enak nggak enaknya elo.”
“Gue lihat tulisan lo ya?”
“Ya lihat saja kalau mata lo belum rabun lihat tulisan gue.”
“Huu, kalau jarak segini sih, gue masih bisa lihat, Fi. Mata gue belum separah itu kok.”
“Iya, tapi kalau lo cuekin saja, nggak lo periksa, mata lo bisa makin rabun!”
“Ih, Fifi! Jangan nakut-nakutin gue dong....”
Fifi hanya cengar-cengir.
***

Anka mengerjap-kerjapkan matanya. Duh, dari tempatnya duduk ini, ia mulai tak dapat membaca teks terjemahan Bahasa Indonesia film serial Korea yang sedang ditontonnya. Anka beringsut maju lima puluh senti meter. Duh, masih belum jelas juga. Ia pun maju sedikit lagi.
“Anka, kamu ngapain? Nonton TV kok dekat sekali begitu? Nanti mata kamu rusak.” tegur Mama yang mendadak datang ke ruang keluarga dan melihat Anka menonton TV.
“Mm, nggak kok Ma. Tulisannya agak kurang jelas.”
“Kurang jelas? Aduh, jangan-jangan mata kamu sekarang minus, Ka.” kata Mama. Nada suaranya sedikit cemas.
“Nggak kok Ma. Biasanya nggak apa-apa. Mata Anka memang rada capek rasanya. Anka mau tidur aja deh.” sahut Anka lalu cepat-cepat masuk ke kamarnya.
Gawat, kalau sampai Mama memaksanya ke dokter mata untuk memeriksakan matanya, bisa berabe! Kalau dia benar-benar minus, mama pasti akan memaksanya memakai kacamata. Duh, nggak deh. Reputasinya selama ini sebagai cewek berwajah foto model yang modis dan trendi bisa anjlok kalau tiba-tiba dia pakai kacamata. Bisa cupu abis tampangnya.
***

“Ka, gue punya ide cemerlang banget buat mengatasi masalah mata rabun lo itu.”
“Stt! Fi, elo bisa nggak sih bilang rabunnya pelan-pelan aja. Elo sengaja ya, pengen satu sekolah tau biar reputasi gue hancur?”
“Sorry, say! Lo mau dengar ide cemerlang gue nggak?”
“Apa sih ide cemerlang lo itu, sahabatku Fifi tersayang?” ledek Anka.
“Gimana kalau elo pakai contact lens? Keren banget, kan? Mata lo bakal kelihatan lebih cling, persis kayak seleb di TV. Makin memperkuat kesan wajah foto model lo, gitu loh!”
“Haaa? Contact lens? Bukannya mahal tuh?”
“Ayolah, Ka.. Masak lo kalah sih sama Yasmin. Yasmin tuh sekarang matanya hijau!”
“Maksud lo karena lihat tumpukan duit one million dollars?”
“Yaela, semua juga sudah tau, Ka. Kuper banget sih, lo. Gue juga sudah lihat sendiri. Yasmin sekarang pakai contact lens warna hijau cerah. Matanya jadi kelihatan keren banget. Lebih cling, pandangannya terlihat tajam, menghujam setiap mata yang memandanganya, He…he…”
“Nggak perlu di dramatisir gitu deh. Tapi Fi, mama gue mana mungkin mau beliin gue contact lens. Kan pasti mahal.”
“Ka, penampilan sempurna itu kan memang butuh pengorbanan. Lo nggak usah jajan. Kumpulin deh duit jajan lo buat beli contact lens.”
“Gue nggak jajan? Terus, nanti gue makan apa dong?”
“Duh, terserah lo deh, Ka. Pokoknya gue udah ngasih saran terbaik supaya elo bisa tetap melihat jelas, tapi nggak perlu jadi bertampang culun. Lo tinggal pilih, mau kelihatan cupu atau mau kelihatan makin keren.”
Anka terdiam. Sibuk berpikir. Benar juga kata Fifi. Jika ia memakai contact lens, pasti penampilannya akan semakin modis. Tapi…
***

“Apa? Kamu minta dibelikan contact lens? Itu kan mahal, Ka.” kata Mama terkejut ketika Anka menyampaikan niatnya ingin memakai contact lens.
“Ma, masak Mama tega Anka nggak bisa melihat tulisan di papan tulis. Nilai Anka bisa jeblok kalau kurang paham apa yang di tulis Pak guru dan Bu guru di papan tulis.” rajuk Anka.
“Supaya kamu bisa melihat jelas kan nggak harus pakai contact lens, Ka. Pakai kacamata juga bisa memperjelas penglihatan kamu. Lagipula, contact lens itu kan perawatannya nggak gampang. Harus benar-benar bersih. Harus disiplin. Mama nggak yakin kamu yang super sembrono bisa memakai contact lens dengan benar.”
“Ih, Mama jangan under estimate Anka gitu dong! Anka nggak mau pakai kacamata, Ma. Anka nggak mau kelihatan seperti kutu buku.”
“Lho, menurut mama kutu buku itu bagus. Berarti terlihat smart, rajin membaca buku. Iya, kan? Sudah, besok mama antarkan kamu ke optik. Mama belikan kamu kacamata minus.”
“Tapi, Ma…”
“Anka, nggak ada tapi. Kalau kamu mau melihat jelas, pakai kacamata. Kalau kamu nggak mau pakai kacamata, ya sudah, nggak usah melihat jelas.” kata Mama tegas. Anka mendengus kesal.
***

“Aduh, Fi…apa kata dunia kalau gue pakai kacamata. Gue sebel, sebel, sebel!”
“Weits, jangan berlagak drama queen gitu dong. Dunia baik-baik saja kok kalau elo pakai kacamata. Tetap saja dunia terancam global warming. He…he…”
Anka mendelik.
“Eh, tapi, menurut gue, pakai kacamata juga keren, Ka. Afgan aja pakai kacamata tetap kelihatan keren, kan?” kata Fifi sambil nyengir meledek.
“Tapi kan gue nggak mau kelihatan seperti Afgan. Gue pengen kelihatan seperti Luna Maya…”
“Lho, Luna Maya kalau pakai kacamata memangnya jadi kelihatan seperti Afgan?” ledek Fifi lagi.
“Fifi!” teriak Anka kesal.
“Serius, Ka. Menurut gue, tergantung lo milih model kacamatanya seperti apa. Jangan yang jadul dong. Pilih yang model retro. Kan lagi ngetrend juga, Ka. Siapa tau lo malah bisa jadi trendsetter di sekolah kita. Kelihatan makin keren pakai kacamata, gitu!”
Anka mulai terpengaruh kata-kata Fifi.
“Nggak tau deh. Ntar gue coba dulu. Mama gue maksa mau nganterin gue ke optik nanti sore.”
“Nah, gitu dong, say! Lo coba saja dulu. Siapa tau benar bisa kelihatan keren. Ingat, pilih yang model retro. Yang modis gitu. Jangan salah pilih.” pesan Fifi.
“Hmm, gue nggak sabar lihat penampilan baru lo besok!” kata Fifi lagi.
“Awas ya, kalau besok lo ngetawain gue…”
“Ya nggak lah. Kecuali kalau elo memang benar-benar kelihatan cupu abis, he..he..”
Anka mencubit pinggang Fifi gemas.
“Aww! Aduh, gue kan becanda, Ka!”
***

Ini kacamata ke sepuluh yang dicoba Anka. Tapi Anka belum juga merasa pas dengan kacamata-kacamata yang telah dicobanya itu.
“Ayo dong, Ka. Mama sudah hampir lumutan nih nunggu kamu. Hampir semua kacamata sudah kamu coba masak sih belum ada yang cocok?” Mama mulai protes.
“Sabar dong, Ma. Memilih kacamata yang tepat buat Anka itu penting, Ma. Kalau sampai Anka salah pilih, bisa hancur masa depan Anka.” jawab Anka kalem.
Mama menghela nafas berusaha sabar mengahadapi tingkah Anka.
“Coba tuh yang warna merah.” saran Mama.
Anka mencoba kacamata yang disarankan mamanya. Hm, benar! Yang ini terlihat oke. Pas membingkai wajah cantiknya. Anka tersenyum melihat bayangan wajahnya di cermin yang disediakan optik. Keren juga!
“Kamu terlihat makin cantik memakai kacamata itu.”
Terdengar suara yang rasanya Anka kenal. Dada Anka berdegup kencang. Perlahan ia menoleh ke arah sumber suara itu. Ia sungguh terkejut melihat sosok yang berdiri di samping kanannya.
“Ra…Ra..ma!?” seru Anka setengah tergagap.
Sosok tampan bertubuh atletis di sampingnya itu tersenyum mempesona.
“Aku nggak nyangka, Anka si cantik ternyata minus juga.”
“Rama, sedang apa kamu di sini?” Anka merasa malu. Malu sekali. Tampil seperti ini justru di depan Rama cowok satu sekolah yang sudah lama ditaksirnya. Hancur sudah harapannya. Terlihat kejelekannya di depan Rama.
“Sama seperti kamu lah. Mau beli kacamata minus.”
“Beli kacamata? U…untuk siapa?”
“Untuk aku dong!” jawab Rama datar.
“Untuk kamu?! Memangnya kamu minus juga?” tanya Anka tak percaya.
“Iya. Aku minus tiga.”
“Tapi, aku nggak pernah melihat kamu pakai kacamata. Aku pikir…”
“Kamu pikir aku cowok sempurna…ganteng, pintar, ngetop…”
“Ih, ge-er!”
“He…he…becanda, Ka, maksudku, selama ini aku memang menutupi keadaanku yang sebenarnya. Sebagai kapten tim bola basket sekolah kita, tentu saja aku nggak mungkin pakai kacamata. Selama ini aku pakai contact lens. Sejak kelas satu, aku memakai contact lens bening, makanya nggak ada yang sadar kalau aku sebenarnya minus.”
“Terus, kenapa sekarang kamu mau pakai kacamata?”
“Aku capek pakai contact lens. Karena perawatan memakai contact lens agak rumit, butuh ketelitian dan kedisiplinan menjaga kebersihan. Aku akan tetap memakainya tapi hanya ketika sedang main basket saja supaya nggak mengganggu gerakan. Lagipula, sekarang pakai kacamata kan lagi trend. Lihat saja Afgan tuh!”
“Ih, kamu tuh kayak Fifi. Sama-sama terpesona sama Afgan yang kelihatan keren pakai kacamata.”
“Enak saja, siapa yang terpesona sama Afgan. Aku kan cuma bilang contohnya Afgan. Aku terpesona sama kamu kok.” goda Rama.
“Gombal!” sahut Anka sedikit malu.
“Serius! Kamu terlihat makin cantik. Bisa-bisa aku naksir nih!”
“Gombal asli!”
“He…he…lihat saja apa komentar teman-teman besok melihat kita barengan pakai kacamata ke sekolah.” goda Rama lagi sambil mengedipkan sebelah matanya pada Anka.
Anka tersenyum tak bisa menyembunyikan rasa senangnya.
Lihat saja, apa komentar Fifi besok!

~ Fin ~

Rabu, 05 Mei 2010

SEKUNTUM CINTA UNTUK PIA



By : Arumi
Dimuat di Majalah Say! edisi Mei 2010

“Kenapa kamu suka aku?” tanya Pia, matanya menatap Elang lekat-lekat. Ada sedikit rasa tak percaya dalam pandangannya itu.
“Karena kamu baik.” jawab Elang singkat.
“Standar!” sahut Pia, juga singkat.
“Standar? Maksudmu?” tanya Elang tak mengerti.
“Jika alasanmu hanya karena menurutmu aku baik, maka aku nggak yakin bahwa aku adalah satu-satunya gadis yang kamu suka!” kali ini Pia menjawab panjang.
“Tentu saja bukan hanya baik, kamu...beda!” sahut Elang. Matanya tajam menatap wajah manis Pia. Seolah menyelidiki rasa hati Pia di balik wajah tak peduli yang ditunjukkannya.
“Beda? Hm, kedengarannya bukan hal yang positif!”
“Oke, bukan beda, kamu istimewa. Perasaanku sulit diurai dengan kata-kata, Pi. Aku hanya bisa merasakan. AKU SUKA KAMU! Aku sering memikirkan kamu. Aku suka berada dekat denganmu. Aku...”
“Kamu nggak tahu siapa aku sebenarnya, kan?” Pia langsung memotong celoteh Elang. Tak dibiarkannya Elang lebih jauh lagi mengumbar kata merayu.
“Aku tahu kamu, Pia. Kamu perempuan pemberani, cerdas, baik hati, unik, peduli dengan lingkungan dan sesama...”
“Aku anak yatim piatu dan tinggal di Panti Asuhan, Lang! Puas?” potong Pia lagi, kemudian segera berlalu pergi meninggalkan Elang yang masih berusaha menyelesaikan kalimatnya.
Elang mengejar Pia. Tak kan dibiarkannya gadis kesukaannya itu pergi darinya dalam keadaan marah.
“Pia, tunggu!”
***
“Asiik, Kak Pia udah pulang!” terdengar suara gadis kecil menyambut Pia yang baru saja melangkahkan kaki ke dalam Panti Asuhan Kasih Bunda. Di sinilah Pia tinggal selama enam belas tahun.
“Noni kok tau aja sih Kak Pia datang?” tanya Pia sambil meraih tangan gadis itu yang berusaha menggapainya.
“Noni kan udah hapal suara kaki Kak Pia...” jawab Noni.
Pia tersenyum. Digandengnya tangan Pia, mengajaknya melangkah ke kamarnya.
Kamar Pia hanya kamar mungil berukuran dua meter kali tiga meter. Tapi kamar itu sangat rapih dan selalu bersih. Pia meletakkan tas sekolahnya ke atas meja kecil di sisi tempat tidur. Lalu ia duduk di atas tempat tidurnya sambil menatap Pia yang sibuk membuka-buka buku cerita barunya. Di kamar ini ia tidur bersama Noni. Adiknya tersayang. Walau Noni bukan adik kandungnya, kebahagiaan Noni adalah tujuan hidupnya kini, melebihi kebahagiaannya sendiri.
Karena itu tadi sepulang sekolah Pia marah ketika Elang menyatakan cinta padanya. Pia tak peduli walau Elang adalah salah satu cowok pujaan banyak gadis di sekolahnya. Elang tidak penting. Noni lah yang paling penting.


...Continued

Sabtu, 01 Mei 2010

Tongkat Ajaib Peri Lili



Dimuat di Majalah BOBO 22 April 2010

Lola adalah salah satu peri muda yang tinggal di Kampung Peri. Lola bukan peri yang nakal. Hanya saja ia sering malas. Ia selalu ingin cepat-cepat mendapat suatu hasil tanpa perlu bekerja giat. Lola membayangkan punya tongkat ajaib seperti Peri Lili.
“Pasti asyik, jika aku punya tongkat ajaib! Tak perlu belajar, nilaiku di sekolah bisa bagus. Tak perlu menyapu, kamarku sudah bersih.” pikir Lola.
Lola tidak tahu bahwa tongkat ajaib Peri Lili bukan untuk hal-hal semacam itu. Tapi untuk menolong peri-peri yang sedang kesusahan. Tanggungjawab memiliki tongkat ajaib itu sangat besar. Hanya peri terbaik, pandai, jujur dan bijaksana yang diberikan kuasa oleh pemimpin peri untuk memiliki tongkat ajaib itu.
Lola ingin sekali meminjam diam-diam tongkat ajaib Peri Lili itu. Ya, harus diam-diam. Karena jika ia minta ijin Peri Lili, pasti tidak akan dipinjamkan. Tetapi Peri Lili tidak pernah meninggalkan tongkatnya. Selalu saja dibawa kemana pun Peri Lili pergi.

Setiap pulang dari sekolah peri, Lola selalu mampir ke pondok Peri Lili untuk mengintip ke dalam pondok Peri Lili diam-diam, berharap peri Lili meninggalkan tongkatnya. Selama ini Lola tak pernah melihat tongkat ajaib itu tertinggal. Tapi hari ini berbeda. Ketika Lola mengintip melaui jendela ke dalam kamar tidur Peri Lili, Lola melihat tongkat ajaib Peri Lili tergeletak di atas meja riasnya! Baru kali ini Peri Lili meninggalkan tongkat ajaibnya begitu saja!
O, ya, di kampung peri, peri-peri terbiasa tidak mengunci pintu dan jendela ke mana pun mereka pergi. Karena di kampung peri tak pernah ada peri yang berani mencuri barang milik peri lain. Sepertinya Lola adalah peri pertama yang berani menyelinap diam-diam ke kamar peri lain dan mengambil barang milik peri lain!

“Aku hanya ingin meminjam tongkat ini sebentar.” Lola membela dirinya sendiri.
Segera Lola menyelinap keluar pondok Peri Lili sambil menyembunyikan tongkat ajaib itu di balik bajunya. Baru saja Lola terbang beberapa kepakan sayap, terdengar suara menegurnya,
“Lola, sedang apa kamu di sini?”
Lola terkejut. Di hadapannya telah ada Peri Lili yang baru saja pulang dari tugasnya.
“Aku...eh...aku hanya lewat saja, Peri Lili.”
“Hm, kamu baru pulang sekolah, ya? Jangan bermain-main terlalu jauh. Lekaslah pulang. Ayah ibumu pasti sudah menunggu di rumah.” kata Peri Lili lembut.
Peri Lili memang terkenal sebagai peri yang baik hati. Lola mengangguk lalu cepat-cepat berlalu dari hadapan Peri Lili. Jangan sampai Peri Lili tahu apa yang telah dilakukannya.
“Tapi, eh, tadi kok sepertinya Peri Lili masih membawa tongkat ajaibnya?” pikir Lola bingung. Ia mengintip tongkat ajaib Peri Lili yang tadi diambilnya. Masih ada dibalik jaketnya. Lalu yang tadi dibawa Peri Lili tongkat ajaib siapa?
“Oh, aku tahu! Peri Lili pasti mempunyai dua tongkat ajaib! Hebat! Aku satu tongkat ajaib saja tak punya! Peri Lili malah punya dua!” Lola membuat kesimpulan sendiri.
“Ini pasti kembaran tongkat ajaib yang biasa dibawa Peri Lili. Oh, aku sudah tak sabar ingin menguji keajaibannya!” pekik Lola dalam hati.
Ia segera terbang menuju rumahnya. Sesampai di rumah, ayah ibu dilaluinya begitu saja. Tak dihiraukannya panggilan ibu menyuruhnya makan siang. Ia langsung menuju kamarnya.
“Ah, kalau sudah punya tongkat ajaib ini, untuk apa lagi aku capek-capek makan siang. Akan kusihir perutku, supaya aku merasa kenyang tanpa perlu capek-capek makan.” pikir Lola.
Duh, Lola! Saking malasnya, sampai makan pun ia malas.
Lola mencoba menyihir kamarnya agar menjadi bersih tanpa perlu capek-capek membersihkannya.
“Tapi, aku lupa...apa mantra yang biasa diucapkan Peri Lili setiap ia menyihir dengan tongkat ajaibnya?” Lola bertanya-tanya sendiri.
“Sim Salabim!” ucap Lola.
Tak ada reaksi apa pun. Kamarnya tetap saja berantakan.
“Abrakadabra!” ucap Lola lagi. Tetap tak ada perubahan.
“Hokus pokus!” ucap Lola lagi.
Lola melihat ke sekeliling kamarnya. Tak ada yang bergerak. Mainannya tetap tergeletak di lantai. Buku-buku yang semalam habis dibacanya masih tetap berhamburan di atas tempat tidurnya.
“Buku-buku! Aku mau kalian kembali ke rak buku!” perintah Lola sambil mengayunkan tongkat ajaib itu ke arah buku-bukunya.
Buku-bukunya bergerak. Lola tersenyum senang. Tapi, lho, kok bergeraknya tidak ke arah rak buku? Tapi justru ke arah Lola.
“Bukk!” Buku-buku itu malah jatuh menimpa kepala Lola.
“Aduh!” jerit Lola kesakitan.
“Lola, ada apa?” terdengar teriakan ibu dari balik kamar Lola.
“Tidak ada apa-apa, Bu! Aku sedang membereskan kamar!” jawab Lola dengan berteriak tanpa membuka pintu. Uh, sungguh tidak sopan, ya, Lola ini!
“Mainan, ayo, kembali kalian ke keranjang mainan!” perintah Lola sambil mengayunkan tongkat ajaib itu ke arah mainan-mainannya.
“Plokk! Bukk! Plakk!” Mainan-mainan itu malah menimpuk tubuh Lola. Lola mengaduh lagi kesakitan.
“Ah, tongkat ajaib tolol!” maki Lola. “Sekarang buat perutku kenyang tanpa harus makan!” kata Lola sambil mengayunkan tongkat ajaib itu ke arah perutnya.
“Aduh! Aduh! Ayah! Ibu! Tolong!” teriak Lola kesakitan.
Tongkat ajaib itu bukannya membuat perut Lola kenyang, tapi malah membuat perut Lola melilit kesakitan. Mendengar teriakan kesakitan Lola, ibu segera masuk ke kamar Lola. Dan meminta ayah memanggil Peri Lili untuk menyembuhkan Lola.

Tak lama, ayah datang bersama Peri Lili. Peri Lili menyembuhkan sakit perut Lola dengan tongkat ajaibnya. Ajaib! Dalam sekejap, perut Lola tidak sakit lagi. Justru kini Lola merasa sangat sehat. Biru-biru di tubuhnya karena tertimpuk mainan dan buku pun menghilang.
“Maafkan, Lola, Peri Lili.” kata Lola takut-takut.
“Lho, kenapa? Memangnya Lola salah apa? Kamu sakit perut pasti karena telat makan siang, kan? Jangan sengaja menunda makan siang, Lola. Makan siang itu harus.” kata Peri Lili lembut.

Lola ragu untuk menceritakan yang sebenarnya. Tapi, Lola ingin tahu, menagapa ia selalu gagal menggunakan tongkat ajaib itu? Padahal Peri Lili terlihat sangat mahir.
“Semua ini karena kembaran tongkat ajaib Peri Lili...” kata Lola perlahan.
Kemudian diceritakannya apa yang telah dilakukannya. Tapi Peri Lili tidak marah.
“Hm, Peri Lili yang salah karena meletakkan tongkat ajaib sembarangan. Tongkat itu memang kembaran tongkat ajaib yang sering aku bawa. Tapi tongkat ajaib yang kamu pinjam itu memiliki fungsi yang berbeda. Tongkat yang ini untuk menyembuhkan, tongkat yang kau pinjam itu untuk melawan kejahatan.” Peri Lili menjelaskan.
Lola mengangguk mengerti.

“Lola, tidak mudah mengendalikan tongkat ajaib ini. Dan tongkat ajaib tidak bisa membuatmu pintar tanpa harus belajar. Bahkan untuk mempelajari cara mengendalikan tongkat ajaib juga ada sekolahnya, lho!” kata Peri Lili lagi.
Oh, Lola tahu memang tidak mudah menggunakan tongkat ajaib itu. Butuh keahlian khusus seperti yang dimiliki Peri Lili. Lola sudah merasakan sendiri betapa susahnya! Mulai saat ini ia harus belajar jika ingin nilai sekolahnya bagus. Dan harus membereskan sendiri kamarnya. Juga harus mengunyah makanannya sendiri jika ingin merasa kenyang!

- Tamat -

Kamis, 15 April 2010

Tak Selamanya Langsing Itu Indah


By : Arumi

Dimuat di Majalah Teen edisi ke-2 April 2010

Sita melempar tasnya begitu saja ke atas meja belajarnya. Kemudian ia rebahkan tubuhnya ke tempat tidurnya dengan kasar.
“Nuno nyebelin!” makinya kesal.
Sita teringat kata-kata Nuno di sekolah tadi ketika dia sedang memesan bakso.
“Kamu pesen baksonya setengah mangkok aja ya, say. Kan kamu sudah gemuk.”

Begitu komentar Nuno tadi siang. Dan beberapa teman yang mendengarnya pun menertawainya. Saat itu Sita ngambek dan langsung meninggalkan kantin, tak jadi memesan makanan. Tak dipedulikannya Nuno yang sibuk setengah mati meminta maaf karena perkataannya telah menyinggung perasaan Sita.
Berulang kali Sita berusaha meyakinkan dirinya bahwa tak ada yang salah dengan ukuran tubuhnya. Oke, dia memang tak selangsing Luna Maya. Tapi kan proporsi tingginya masih seimbang dengan lebarnya.
“Nuno jahaaaat!” maki Sita lagi.
“Sita?” tiba-tiba datang mama membuka pintu kamar Sita dan mengajaknya makan siang.
“Sita nggak lapar, Ma.”
“Memangnya Sita sudah makan di sekolah?” tanya Mama.
Sita menggeleng. “Sita lagi nggak nafsu makan, Ma…”

Sita masih menelungkup di atas tempat tidurnya. Menangis kesal karena Nuno kekasihnya tega-teganya ikut menghina kelebihan berat tubuhnya.
HP-nya berdering. Dari Nuno. Sudah sepuluh kali lebih Nuno berusaha menelpon Sita. Tapi Sita tak berniat menerimanya. Ia masih kesal pada Nuno.
Setelah beberapa lama meratap sendirian, tiba-tiba Sita bangkit dan berjalan menuju cermin. Mematut-matut pantulan bayangan tubuhnya di cermin. Menilai dirinya sendiri.
“Hm, aku cantik. Beberapa orang mengakuinya. Mataku indah. Hidungku mancung. Apa sih salahnya memiliki tinggi tubuh 168 sentimeter dan memiliki berat 58 kilogram di usia 16 tahun?” pikir Sita.
Sita kembali memandangi bayangan tubuhnya di cermin. Kemudian ekspresi wajahnya berubah.
“Baiklah! Akan kubuktikan aku juga bisa langsing. Awas ya, Nuno! Kamu bakal nyesel kalau nanti aku terlihat makin cantik!”
Sorenya, Mama menyampaikan bahwa Nuno datang ingin bertemu Sita. Tapi Sita tak ingin menemui Nuno dan memohon mamanya meminta Nuno pulang saja. Biar Nuno Tahu rasa!
***
Esok paginya Sita bangun pagi sekali. Selesai sholat subuh, Sita langsung memakai pakaian olahraga dan sepatu kets-nya. Kemudian jogging keliling komplek. Sita yakin setelah selama sejam berlari-lari keliling komplek, pasti beratnya telah sedikit turun. Agar hasilnya semakin nyata, Sita menolak sarapan dan memilih hanya minum susu non fat. Lalu segera melesat pergi menuju sekolah menolak diantar papa dengan mobil seperti biasanya. Sita memilih berjalan kaki sampai ke ujung komplek rumahnya yang lumayan jauh kemudian naik angkutan umum. Mama dan papa terheran-heran melihat perubahan sikap Sita.
“Sita?” panggil Nuno ketika jam istirahat dan teman-teman Sita telah beranjak pergi menuju kantin.
Sita hanya menoleh sekilas kemudian kembali mengalihkan pandangannya dari Nuno. Pura-pura sibuk membaca sebuah majalah.
“Sita…aku tahu kamu marah banget sama aku…Aku minta maaf, Sit… Aku harus minta maaf berapa kali lagi sampai kamu mau memaafkan aku?”
“Ya sudah, kalau kamu bosen minta maaf, kita putus saja!” jawab Sita ketus.
Nuno terkejut. Ia beringsut mendekati Sita, duduk di samping Sita.
“Duh, Sita sayang, jangan putus dong, aku masih sayang sama kamu.” bujuk Nuno.
Sita menoleh dan memandang tajam ke arah Nuno.
“Kalau sayang, kenapa kamu menghina aku di depan teman-teman? Kamu tega banget! Dan itu bukan yang pertama kali!” Sita tanpa ragu menumpahkan kekesalannya kepada Nuno.
“Sita, aku nggak bermaksud menghina kamu. Aku cuma sedikit bercanda. Jangan sensitif dong. Aku suka kamu apa adanya kok. Kamu cantik, manis, baik hati, sedikit gemuk, tapi aku suka…” rayu Nuno sambil mencoba memberi senyum termanis.
“Oho…jadi aku gemuk yaaa?” sahut Sita dengan nada sinis.
“Eh, maksudku..sedikiiit aja kok…tapi kamu tetep keren kok say…” Nuno tak menyerah mencoba merayu Sita agar tak lagi marah padanya.
Sita tak tergerak.
“Aku nggak suka kamu meledek aku seperti itu!”
“Maafkan aku Sita. Aku janji nggak akan menggoda kamu lagi deh. Suerrr!” kata Nuno sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya berbarengan.
“Aku nggak mau langsung menerima maaf kamu. Buktikan dulu kalau kamu memang benar-benar sudah berubah”
“Baik, akan kubuktikan, Sit. Mm…sekarang kita makan siang dulu yuk. Aku traktir.” ajak Nuno.
“Aku nggak lapar. Kamu makan saja sendiri!” jawab Sita masih dengan nada ketus.

Nuno mati kutu. Tak mampu lagi ia mengubah pendirian Sita. Dengan penuh penyesalan terpaksa ia meninggalkan Sita sendiri.
***
Siang itu Sita hanya makan buah dan sayur. Tanpa nasi dan lauk. Mama yang melihatnya menjadi resah.
“Sita, apa kenyang kamu hanya makan buah saja?”
Sita mengangguk.
“Kamu kenapa sih, Sita? Biasanya kamu paling suka steak ayam bumbu teriyaki buatan mama.” tanya mama heran.
“Sita lagi punya target, Ma.”
“Target? Target apa?”
“Turun sepuluh kilo dalam seminggu.”
“Ha?? Apa yang turun?”
“Berat badan Sita, Ma. Sita bosan dibilang gemuk!”
“Sita, jangan macam-macam ah! Mana mungkin berat kamu bisa turun sepuluh kilo dalam seminggu? Nanti kamu sakit. Lagipula, kamu nggak gemuk kok. Hanya nggak kurus.” kata mama benar-benar cemas.
“Aaah, Mama! Nggak kurus itu ya berarti gemuk. Uh, sebel! Pokoknya Sita nggak mau makan lagi!” seru Sita lalu segera beranjak meninggalkan meja makan.
Sorenya Sita kembali jogging keliling komplek tempat tinggalnya. Dua jam Sita memaksakan dirinya terus berlari tanpa henti. Kembali ke rumah rasanya lelah sekali dan perutnya mulai terasa lapar. Tapi tekad Sita terlalu kuat untuk mengalahkan rasa laparnya. Sita tetap tak mau makan walau mama telah membujuknya dan membuatkannya spagetti bumbu Itali kesukaannya. Mama memandang Sita cemas. Tapi juga tak mampu memaksa Sita untuk makan.

Malamnya Sita kesulitan menghapal pelajaran sejarah untuk ulangan besok. Perutnya terasa melilit. Dan ternyata Sita juga kesulitan tidur karena semakin malam, perutnya semakin melilit bahkan berbunyi kruikk! Kruikk!
“Hm, spagetti buatan mama tadi masih ada nggak ya?” Sita mulai membayangkan lezatnya makanan buatan mama kesukaannya itu.
“Tapi ah, tidak! Aku nggak boleh tergoda. Sia-sia nanti usahaku. Padahal sepertinya hari ini beratku turun dua kilo!” ucap Sita pada dirinya sendiri dengan yakin.
***
Gawat! Sita tak ingat satu pun pelajaran sejarah yang dihapalnya semalam. Lebih gawat lagi, Sita merasa ngantuk sejak tadi pagi. Sita melirik diam-diam ke arah kanan kirinya. Sepertinya teman-temannya yang lain lancar mengerjakan soal-soal ulangan ini. Sita mulai merasakan efek samping dietnya yang terlalu ketat.
“Ampuuun...kayaknya nilai ulangan sejarahku kali ini bakalan jelek nih!” keluh Sita pada Meida teman sebangkunya setelah ulangan sejarah hari itu usai.
“Kenapa memangnya Sit? Ulangan tadi nggak terlalu susah kok. Kamu nggak belajar semalam?”
“Aku nggak hapal-hapal...” jawab Sita sedikit resah.
“Ah, sudahlah! Yuk, kita makan dulu. Sudah jam istirahat. Kalau jelek juga kan nanti ada ulangan perbaikan.” Hibur Meida.
Sita mengangguk. Kali ini ia menyerah. Perutnya semakin melilit. Sejak kemarin tak diisi nasi. Hanya buah dan sayur. Hm, makan soto ayam panas sepertinya enak.
Gawat! Setelah makan, rasanya perut Sita semakin tak karuan. Ia malah merasa mual dan ingin muntah. Segera ia minta ijin ke toilet. Dan benar saja! Nasi soto yang dimakannya waktu istirahat tadi kini keluar lagi. Sita merasa tubuhnya sangat lemas. Pandangannya berkunang-kunang. Dan kemudian ia tak ingat lagi apa yang selanjutnya terjadi.
***
Sita mengerjap-kerjapkan matanya. Ia terbangun. Menyadari tubuhnya tergeletak di atas tempat tidur di ruang kesehatan sekolah.
“Sita! Kamu sudah sadar?” tanya sebuah suara.

...Continued.

Rabu, 10 Maret 2010

MISS JIPLAK... dimuat di TEEN


By : Arumi

Dimuat di Majalah TEEN 6 Maret 2010


Neni melotot melihat tas baru Riana. Persis sekali dengan tasnya yang baru mulai dipakainya dua hari yang lalu.
“Nen, si Riana nyamain elo lagi tuh!” komentar Sili teman sebangkunya.
Kalau minggu lalu Neni kaget karena Riana memotong rambutnya dengan model yang sama seperti rambutnya, Neni masih maklum. Mungkin memang kebetulan Riana sedang ingin tampil dengan model rambut shaggy sepundak.
Ketika Riana memakai sepatu yang persis seperti sepatunya, Neni juga masih maklum. Warnanya yang sama-sama hitam pun tidak mengganggu Riana karena peraturan sekolah memang mengharuskan siswa memakai sepatu berwarna hitam.
Tapi kali ini ketika Riana memakai tas yang Persis sama model dan warnanya dengan tas yang dipakainya sekarang, Neni mulai merasa terganggu. Kalau modelnya saja yang sama masih bolehlah. Tapi kenapa sih, warnanya juga sama?

“Sorry Nen, Gimana ya, gue suka warna pink gitu loh. Dan kemarin adanya tinggal yang model ini.” Begitu jawab Riana ketika salah satu teman mereka menanyakan mengapa tas mereka berdua bisa sama persis.
Makin lama Neni semakin tidak tahan karena Riana selalu memakai dan melakukan hal yang sama dengannya. Mulai dari jam tangan, handphone, anting, kalung, ikat rambut, sampai makanan yang dimakan di kantin pun, Riana selalu menyamai Neni.

“He…he…asal jangan Riana nyamain punya pacar mirip pacar lo aja.” ledek Sili.
Neni bergidik.
“Jangan-jangan sebenarnya Riana tuh kembaran elo, Nen” ledek Sili lagi.
“Huuu, ya enggak lah yauw. Cantikan gue kemana-mana dong.” jawab Neni setengah keki.
“Nah, lo sadar. Gimana pun Riana berusaha nyamain elo, nggak bakal bisa nyamain kecantikan dan kepandaian lo. Tapi nggak tau juga ya, kalau si Riana nekad operasi plastik supaya wajahnya mirip elo.” Sekali lagi Sili meledek sambil nyengir.
“Ih, amit-amit deh. Kalau sampai dia nekad begitu, sakit jiwa berarti tuh anak.”



...Continued.

Senin, 25 Januari 2010

JEANS NO.29 dimuat di majalah Teen 23 januari 2010


“Sy, kamu tuh nggak gemuk. Kamu cuma agak gede.” hibur Dian setiap Sissy mengeluhkan ukuran badannya.
“Iya, malah seksi kelihatan montok begitu.” Ira menambahkan.
“Sy, cewek kan memang lain-lain kecepatan perkembangan tubuhnya. Kalau kamu memang lebih cepat dari kita-kita. Nanti juga lama-lama kita nyusul… He..he…” Nita ikut nimbrung.

Sissy masih cemberut.
“Ah, seberkembang-berkembangnya kalian, paling juga beratnya nggak lebih dari 50!”
Sissy paling panik jika teman-teman se-gank-nya mengajak berbelanja pakaian bersama-sama di Mal. Yang membuat Sissy panik adalah karena ukuran pakaiannya selalu ukuran large, tidak seperti teman-temannya yang imut, yang bisa mengenakan pakaian ukuran small atau medium. Bukan berarti Sissy overweight, tapi Sissy memang ditakdirkan lahir dengan struktur tulang besar. Dengan tinggi 168 sentimeter dan berat 58 kilogram, sosok Sissy masih proporsional, tapi ya begitu itu, big size.
Nita dan Rena bisa muat memakai celana panjang jeans ukuran 27. Ira biasa memakai ukuran 28. Dian yang paling imut malah dapat memakai ukuran 26. Sementara Sissy? Rasanya malu sekali, karena harus memakai ukuran 30! Sepatu Sissy pun bernomor 40!
“Tahu nggak sih, sebenarnya kita juga ingin punya tampang cakep kayak kamu. Hidung mancung, mata belok, bulu mata super lentik. Menurutku, sebenarnya kamu justru beruntung.” Dian masih berusaha menghibur.
“Iya Sy. Kalau kamu casting main sinetron, pasti langsung diterima.” Ira ikut-ikutan memberi komentar.

Tapi semua kata-kata menghibur teman-temannya itu tak juga membuat hati Sissy lega. Sissy tetap saja enggan belanja pakaian bersama teman-temannya.
“Lebih baik belanja sendiri deh. Bisa mencoba-coba sendiri.” ucap Sissy dalam hati. Dan tak perlu merasa malu jika pakaian yang dicobanya ternyata tidak muat.
Minggu sore, Sissy pergi ke Mal untuk berburu celana jeans idamannya. Sissy sudah mempersiapkan tubuhnya untuk celana jeans baru nanti. Selama seminggu ini Sissy diet agak ketat Sissy ingin sendirian berburu celana jeans idamannya supaya bisa konsentrasi penuh. Pokoknya, Sissy berniat tidak akan pulang sebelum menemukan celana panjang jeans model hipster, pipa lurus dengan bagian bawah agak cutbrai berukuran 29 yang muat dipakai olehnya!

Sissy memilih beberapa celana jeans ukuran 29. Membawanya dua potong ke kamar pas karena memang batas maksimum hanya dua potong. Padahal, jika boleh, Sissy ingin membawa sepuluh potong sekaligus agar tidak perlu bolak-balik.
Sissy memilih celana jeans pipa lurus karena menurut pakar mode, akan menyamarkan ukuran paha yang besar menjadi tampak lebih langsing. Atau bukan justru semakin memperjelas ukuran pahanya yang besar? Ah, yang jelas berdasarkan pengalaman Sissy, jangan nekad memakai celana jeans model baggy! Itu lho, model celana yang menggembung dibagian paha dan justru mengecil dibagian pergelangan kaki. Swear, membuat pahanya tampak semakin besar!
Sissy mencoba celana pertama. Berwarna biru dongker. Dimasukkannya kedua kakinya ke pipa-pipa celana itu. Ah, sampai lutut lancar. Tapi begitu mencapai bawah pinggul, sungguh tak bisa bergerak lebih ke atas lagi! Bagian pinggang celana jeans itu macet di bawah pinggul! Sissy melepas kembali celana itu dengan perasaan kesal. Dicobanya yang satu lagi. Sama saja!

“Padahal kelihatan lebih besar…” gumam Sissy. Dengan perasaan kesal yang tertahan, Sissy membawa celana-celana itu kembali keluar kamar pas. Di luar, ternyata gadis penjaga stand melihatnya meletakkan kembali celana-celana itu ke tempatnya semula.
”Nggak muat ya, Mbak?” tanya gadis penjaga itu tanpa rasa bersalah, sama sekali tak tahu bahwa komentarnya itu telah membuat Sissy tambah kesal.
“Terlalu ketat. Malu kelihatan seksi!” Begitu alasan Sissy.
“Coba saja yang nomor 30!” Sang penjaga stand mencoba menawarkan solusi. Oh, seandainya ia tahu, kalimatnya itu benar-benar membuat Sissy agak tersinggung.
“Nggak deh. Saya coba merek lain saja!” jawab Sissy ketus.
Sissy beralih ke stand merek lain. Beruntung, ada stand merk terkenal yang terlihat tanpa penjaga. Sissy hanya ingin dibiarkan sendiri mencoba-coba, tanpa ada yang peduli apalagi sampai memberi komentar.
“Please, leave me alone!” teriaknya dalam hati.
“Aku hanya ingin dibiarkan sendiri mencari celana jeans idamanku!”
Untunglah, kemudian keinginan Sissy itu terkabul. Sissy bisa bebas bolak-balik mencoba-coba celana-celana jeans itu. Hingga dua puluh potong sudah yang ia coba.

Sissy masih bertahan ingin mendapatkan jeans nomor 29. Sehingga sudah sebanyak itu celana jeans yang dicobanya, belum juga ada yang pas untuknya.
Sissy kembali membawa dua potong celana jeans. Tetap model hipster, pipa lurus, bagian bawah agak cutbrai. Dan tetap nomor 29. Celana pertama, masih mengecewakan. Sissy mencoba celana kedua. Yap! Akhirnya, kali ini bagian pinggang celana ini mampu melewati pinggulnya. Sissy mencoba mengancingkan celana itu dengan susah payah. Sip! Bisa! Tapi ups, agak susah menarik ritsletingnya. Wah, hanya sampai ke tengah! Sissy mencoba dengan agak paksa menarik sisa ritsleting yang belum tertutup. Sissy menahan nafas, mengempiskan perut…..sreeet! Hore! Akhirnya!

Sissy memandang cermin dalam kamar pas itu. Terpantul bayangan tubuhnya yang mengenakan celana jeans baru berwarna biru dongker model hipster, pipa lurus, bagian bawah agak cutbrai, bernomor 29! Wuih, kereeen! Memang Sissy harus mengempiskan perutnya. Tapi Sissy yakin, jika ia melanjutkan program dietnya satu minggu lagi, pasti ia dapat lebih nyaman mengenakan celana idamannya itu.
“Akhirnya….” ucap Sissy penuh haru, “Aku bisa punya celana jeans nomor 29 yang muat kupakai!” lanjutnya dalam hati. Tak sia-sia pengorbanannya sesore ini!
***

“Wuih, celana baru nih! Suit! Suit!” goda Dian ketika menyadari celana baru yang dipakai Sissy. Mereka sedang mengantri karcis di twenty-one. Teman-teman Sissy yang lain serentak menoleh ke arah Sissy.
“Ehem! Keren!” kata Nita.
“Nomor 29 nih!” seru Sissy bangga. Teman-temannya melongo, memandang tak percaya.
“Mm, memang muat ya?” komentar Ira.
“Iyalah! Kan aku sudah kurusan. Kelihatan, kan?”
Semua teman Sissy kompak memandang Sissy dari ujung kepala sampai kaki. Bagian tubuh Sissy yang mana ya, yang menjadi lebih kurus?
“Eh, iya ya. Kenapa kamu Sy? Sakit?” tanya Nita
“Nggak kok. Memang aku sengaja diet supaya ukuran tubuhku agak normal” jawab Sissy.
Semua temannya terdiam. Tapi kemudian semua kompak tertawa.
“Sissy manis, memang siapa sih yang menganggap kamu nggak normal?” tanya Rena sambil terkikik.
“Iya Sy. Bagaimana pun keadaan kamu kita tetap cinta, kok! Lagipula kita-kita kan sudah bilang, kamu itu cakep bin keren, kok nggak percaya? Kapan sih, kamu sadar sama kelebihan kamu, say?” sahut Dian sambil merangkul Sissy.
Sissy hanya menghela nafas. Seandainya salah satu dari temannya itu ada yang sebesar dirinya, pastilah Sissy akan merasa lebih lega. Bisa sama-sama mencoba celana jeans ukuran 30, bisa sama-sama mencari sepatu ukuran 40, bisa sama-sama memakai kaos ukuran L. Seandainya…
Ketika gadis-gadis itu menunggu waktu pemutaran film dimulai dengan asyik mengobrol satu sama lain, tiba-tiba seorang cowok lumayan menarik mendekati Sissy. Sejak tadi Sissy memang merasakan curi pandang cowok itu kepadanya. Menimbulkan sensasi GR dihatinya. Dan ketika cowok itu mendekatinya, Rasa deg-deg-an semakin menguasai hatinya.
“Ehem, sorry nih. Kayaknya ritsleting celana kamu terbuka deh…” Bisik cowok itu perlahan kepada sissy setelah tubuhnya mendekat.
Wajah Sissy mendadak menghangat dan pastilah warnanya memerah karena malu. Oh, rasanya Sissy ingin pingsan saat itu juga agar tak perlu merasakan malu sehebat ini. Perlahan diliriknya ritsleting celananya. Ha? Benar, ritsletingnya telah terbuka. Entah sejak kapan. Sesal Sissy, mengapa harus cowok menarik itu yang melihatnya? Sungguh sial! Segera Sissy menutupi bagian depan celana jeansnya dengan tasnya. Dan dengan perlahan ia berbisik kepada Ira yang berdiri di sebelahnya dan menjadi teman ngobrolnya sejak tadi.

“Ra? Kayaknya aku nggak jadi nonton deh. Aku mendadak sakit perut nih. Aku pulang dulu ya? Sori Ra, tolong pamitin sama yang lain, aku sudah nggak tahan”
Belum sempat Ira menjawab, Sissy telah melesat pergi terburu-buru.
“Sissy, karcis kamu gimana dong?”
Sissy sudah tak mendengar lagi teriakan Ira. Tiba-tiba saja Sissy sangat membenci celana jeans no.29 yang semula dibanggakannya itu!

- Tamat -

Minggu, 10 Januari 2010

SATPAM SEKOLAH


Wouw! Senangnya...dimuat lagi untuk yang kedua kali cerpenku di KOMPAS ANAK Minggu ini, 10 Januari 2010...semakin menumbuhkan semangat untuk terus berkarya...Ayo semangat! Di mana ada kemauan, di situ ada jalan!

By : Arumi Ekowati

“Pak Rahmat satpam sekolah kita sudah diganti!” seru Reza memberi pengumuman kepada teman-teman sekelasnya di kelas IV B.
“Kenapa? Padahal Pak Rahmat baik. Kalau aku telat sedikit, masih dibolehkan masuk sebelum pintu gerbang sekolah dikunci.” kata Intan sedikit kecewa.
“Aku dengar karena Pak Rahmat sudah harus pensiun.” Reza menjelaskan.
“Wah, nggak bisa menyelinap diam-diam keluar pintu gerbang lagi deh. Pak Rahmat paling gampang dikecoh. Matanya sudah kurang awas.” sahut Kiki yang memang agak bandel dan sering mengelabui Pak Rahmat.
“Kamu memang tega sekali sering mengerjai Pak Rahmat, Ki. Kasihan Pak Rahmat. Semoga pengganti Pak Rahmat galak. Supaya nggak bisa lagi kamu bohongi!” kata Tiara sedikit kesal kepada Kiki.
“Ah, aku nggak takut sama Satpam sekolah. Dia kan kita yang bayar. Jadi, dia nggak boleh dong marahi kita!” sahut Kiki.
“Kita yang bayar? Maksud kamu?” tanya Tiara tak mengerti.
“Tiap bulan kan kita bayar uang keamanan sekolah.” jawab Kiki.
“Masa sih? Bukannya sekolah yang menggaji Satpam sekolah?” Tiara tak percaya celotehan Kiki. Kiki hanya menjulurkan lidahnya meledek Tiara. Tiara pun mendelik sebal.
“Pengganti Pak Rahmat siapa?” tanya Intan.
“Namanya Pak Beni!” jawab Reza.
Deg! Danu terkejut. Jangan-jangan...
Pulang sekolah, Kiki, Intan, Reza dan Tiara mampir ke Pos Satpam sekolah. Mereka bermaksud berkenalan dengan satpam sekolah yang baru, Pak Beni.
“Ayo, Danu! Kamu ikut, kan?” ajak Reza pada Danu.
“Maaf, aku nggak ikut. Aku harus cepat-cepat pulang nih!” Danu menggeleng lalu segera berjalan cepat-cepat menjauh dari pintu gerbang sekolah.
***

To be continued

Kamis, 07 Januari 2010

ALIS ALISA


By Arumi ( Rumieko )

Dimuat di majalah KaWanku edisi 31 Juli-6 Agustus 2006

“Jangan-jangan elo bisa lihat tuyul ya?”
Pertanyaan Shanda itu tak urung membuat mata Alisa kontan mendelik.
“Enak aja, memangnya gue paranormal bisa lihat tuyul segala.”
“Lho, katanya sih, kalau ada orang yang nggak punya alis, berarti dia bisa lihat tuyul.”
“Gue bukannya nggak punya alis, tapi alis gue nih agak tipis. Nanti juga lama-lama rimbun. Kan tiap hari udah gue olesin lidah buaya.”
“Udah berapa lama? Kok belum kelihatan hasilnya?”
“Sebulan!”

Alisa memang agak risau dan kurang percaya diri dengan alisnya yang tumbuh tipis. Alisa baru menyadari alisnya yang tipis ketika melihat koleksi foto-fotonya yang diambil dari jarak agak jauh. Wajahnya terlihat agak aneh. Alisa pernah mencoba memakai pensil penghitam alis milik mama, tapi ah, rasanya malu.

Shanda memperhatikan wajah Alisa.
“Mm, sebenarnya nggak apa-apa kok, Lis. Bisa ditutup pakai poni, kan? Dan bisa elo hitamkan sedikit pakai pensil alis.Lis, inilah untungnya jadi cewek. Kita boleh dandan untuk menutupi kekurangan kita dan menonjolkan kelebihan kita. Nggak bakal ada yang protes, malah kalau kita jadi terlihat tambah manis bakal dipuji habis-habisan. Iya, nggak?” hibur Shanda.
“Mm, apa benar begitu, Shan? Tapi kan malu kalau ketahuan dandan.” Alisa masih juga tidak percaya diri.

"Aduh, Lis! Kenapa mesti malu, sih? Suka dandan itu kan memang sisi feminin cewek. Kalau nggak suka dandan berarti tomboy.”
“Shan, andai alis gue setebal dan sehitam alis lo….” keluh Alisa sambil memandangi alis tebal melengkung milik Shanda. Shanda malah tertawa terkikik.

“Alisa sohib gue yang paling cantik, andai hidung gue semancung hidung lo! Lis, tiap gadis itu memiliki keunikan sendiri-sendiri yang membuat kita tampak menarik. Sudah ah, soal alis tipis nggak usah lo pikirin. Pokoknya elo tetap terlihat manis walau alis lo tipis. Buktinya Miska naksir berat sama elo. Buktinya Miska nggak pernah komplain, kan?”
“Justru itu yang bikin gue jadi bete, Shan. Miska mulai mengungkit-ngungkit soal alis gue. Akhir-akhir ini kalo gue sama Miska lagi asik-asik ngobrol tiba-tiba Miska nyeletuk, eh, ternyata alis lo tipis ya? Bete, kan?”
Shanda cekikikan.

“He…he…kalo dia komentar begitu lagi jitak aja jidat setengah jenongnya. Eits, jangan cemberut dong Non. Becanda kok! Tapi buktinya dia tetap sayang kan sama elo?”
“I…iya sih…”
“Berarti everything is okay dong. Tenang aja, entar gue ajarin deh trik-trik dandan biar lo terlihat tambah oke! Gue kan pakar dandan! ” seru Shanda penuh semangat.

Dan Shanda membuktikan ucapannya. Sabtu sore, Shanda mengajari cara-cara dandan ala remaja gaul. Dan memang benar, Alisa menjadi tampak semakin menarik.
“Nah, benar kan, elo jadi tambah cantik, Lis. Keren baget deh lo. Kalo lo ikut lomba gadis sampul bisa menang nih!” kata Shanda sambil ikut melihat pantulan wajah Alisa di cermin.

“Ngaco lo, Shan. Jangan ngegombal berlebihan gitu dong!” protes Alisa. Shanda cuma cekikikan.
“Eh, bener kok. Perhatiin dong baek-baek! Kalo bukan emang elonya yang cantik ya berarti guenya yang jago banget merias wajah gitu.”
“Huuu, narsis lo sih memang nggak ilang-ilang ya? Tapi memang sih gue salut sama hasil polesan lo. Gue harus banyak belajar dari elo ya?”

Alisa tersenyum senang melihat wajahnya. Alisnya jadi terlihat indah. Ah, Shanda memang pintar merias.
Tetapi Alisa masih merasa belum puas. Pikirnya, bagaimana bila di sekolah? Rasanya tidak mungkin melukis alisnya dengan pensil alis. Pasti teman satu kelas bakal heboh.
***



...Continued.

Sabtu, 02 Januari 2010

CATATAN RAHASIA, dimuat di Majalah kaWanku edisi akhir tahun


Thanks KaWanku, memuat lagi satu cerpenku di edisi 30 Desember 2009-13 Januari 2010
Hadiah akhir tahun yang manis!

By : Arumi

“Huah! Segarnya setelah minum dua gelas air jeruk dingin!” seru Tara.
“Tara, kamu tadi tuh seperti nggak minum seminggu. Banyak banget minumnya.” sahut Vita teman sebangku Tara.
“Aku dehidrasi banget, Vit! Bayangkan saja, kita tadi lari dua setengah kilometer lho!” kata Tara.

Vita mengangguk setuju sambil membuka tasnya. Mengecek kembali uang kas kelas yang ditinggalkannya selama pelajaran olahraga tadi. Tiba-tiba Vita merasa tercekat. Ia panik! Uang kas kelas yang disimpan dalam tasnya hilang!
“Waduh, di mana ya? Rasanya tadi aku simpan di tas!” kata Vita dalam hati.
Ia segera membongkar tasnya. Mengeluarkan semua isinya satu persatu. Dompetnya masih ada tapi, uang kas kelas hilang!
“Ada apa Vit?” tanya Tara yang melihat kegelisahan Vita dan melihat Vita sibuk mengeluarkan semua isi tasnya.

“Mm..aku...mmm...” Vita ragu untuk menjawab.

Haruskah ia memberi tahu hal ini? Ah, bagaimana nanti bila semua teman sekelasnya tahu? Mereka pasti akan menganggapnya tak becus menjalankan tugas sebagai bendahara kelas. Atau sebaiknya ia simpan masalah ini sendiri? Dan diam-diam nanti akan digantinya uang kas kelas itu. Tak perlu ada yang tahu kalau uang kas kelas itu pernah hilang.

“Tapi aku tak punya uang sebanyak itu.” pikir Vita masih dalam hati.
Tujuh ratus ribu rupiah jumlah uang itu! Vita tak punya uang sebanyak itu untuk menggantinya. Minta kepada ibunya? Ah, ibu pasti tak mau memberikan uang sebanyak itu begitu saja kepadanya.

Vita kebingungan. Jika ia ingin melaporkan kehilangan ini, ia harus melapor sekarang. Agar jejak orang yang mengambil uang kas kelasnya masih bisa dilacak. Vita menelan ludah. Masih sedikit ragu untuk menceritakan apa yang terjadi pada Tara.
“Mm...Tara...please, jangan bilang siapa-siapa, ya?” pinta Vita dengan wajah cemas dipenuhi keraguan.

“Kenapa sih, Vit? Bilang saja deh terus terang.” desak Tara mulai tak sabar.
Vita membisikkan apa yang terjadi kepada Tara.
“Apa?” begitu reaksi Tara dengan suara agak keras.
“Sssttt! Tara, nggak usah teriak gitu dong!” protes Vita.
Tara tersadar ia berteriak agak keras ketika dilihatnya beberapa teman yang berada di sekitar mereka langsung menoleh ke arah mereka.
“Maaf, Vit. Aku nggak nyangka, kok bisa hilang?” kali ini Tara berbisik.
“Tadi kutinggal di kelas waktu kita sedang berolahraga.”
“Aduh, kenapa ditinggal, Vit! Kelas kita kan belum tentu aman.”
“Celana olahragaku baru, nggak ada kantongnya.”
“Kenapa nggak dititipkan ke aku?”
“Tadi nggak kepikiran...Bodoh ya?” Vita merasa menyesal sekali.

“Sudahlah! Sudah terlanjur. Kita laporkan saja, Vit. Supaya segera bisa dilacak siapa yang mengambilnya. Mumpung belum terlalu lama hilangnya.” usul Tara.
“Tapi, aku takut kalau teman-teman lain tahu mereka akan marah padaku. Please, Tara, bisa nggak pinjami saja aku uang untuk menggantinya?”
“Wah, maaf, Vit. Aku nggak punya uang sebanyak itu. Kita lapor Bu Diana saja deh. Yuk, aku antar!” ajak Tara.

Vita menyerah dan mengikuti saran Tara menemui Bu Diana wali kelas mereka.
“Hilang?” tanya Bu Diana setelah Vita melaporkan kehilangannya.
“Benar, Bu.” jawab Vita sambil tertunduk malu.
“Mungkin kamu lupa tertinggal di rumahmu?”
“Saya tidak lupa, Bu. Uang kas selalu saya bawa setiap hari. Saya masukkan dalam dompet saya. Biasanya pada saat pelajaran olahraga saya bawa, Bu. Tapi hari ini celana olahraga saya baru, tidak ada sakunya. Jadi, dompet saya tidak saya bawa.”
“Kenapa tidak kamu titipkan ibu? Atau Pak Soni guru olahragamu?”
“Saya pikir, di kelas pasti aman. Karena semua murid ikut olahraga.”
Bu Diana menghelas nafas.
“Ya sudah. Nanti ibu bicarakan dengan guru yang lain. Kamu kembali saja dulu ke kelas.”
“Baik, Bu.” jawab Vita lalu bersama Tara bergegas kembali masuk kelas.

Tak lama, Bu Diana masuk ke dalam kelas Vita. Bu Diana mengumumkan bahwa Vita kehilangan uang kas kelas yang disimpan dalam tasnya pada saat pelajaran olahraga. Bu Diana bertanya, apakah ada anak yang melihat uang kas itu. Uang itu sejumlah delapan lembar uang lima puluh ribu, sepuluh lembar uang dua puluh ribu, lima lembar uang sepuluh ribu dan sepuluh lembar uang lima ribu. Semua uang itu digulung dan diikat karet gelang berwarna merah.

Dompet Vita tidak hilang, tapi gulungan uang kas kelas yang disisipkan dalam dompet Vita itu hilang. Bu Diana terpaksa menggeledah tas semua anak dalam kelas. Tapi setelah semua tas diperiksa, gulungan uang kas itu tetap tidak ditemukan.

“Jangan-jangan kamu cuma pura-pura hilang, Vit! Tapi sebenarnya kamu pakai untuk keperluan kamu sendiri.” tuduh Desi dengan suara sinis.
“Nggak, Des! Sungguh! Demi Tuhan, uang itu memang benar-benar hilang!” Vita membela diri.
“Kamu jangan menuduh sembarangan, Des!” Tara membela Vita.
“Kamu menyusahkan kita, Vit! Tas kita semua jadi digeledah. Padahal aku kan nggak mengambil. Memangnya tampangku kayak maling?” Jeni ikut menyindir.
“Maaf teman-teman, kejadian ini sudah membuat repot kita semua. Aku yakin kok nggak mungkin yang mengambil dari kalangan kita sendiri. Pasti ada maling yang masuk kelas kita ketika kita semua sedang berolahraga di luar.” kata Vita perlahan dengan rasa penuh penyesalan.

“Nggak tau juga yaaa...kamu kan memang sering kesulitan uang, Vit. Aku kan sudah ingatkan kepada teman-teman, kalau memilih bendahara kelas yang kaya dong! Supaya uang kas kelas kita aman.” Desi melanjutkan tuduhannya yang menyakitkan.
Vita rasanya ingin menangis dituduh begitu oleh Desi.
“Jangan sembarangan ngomong ya, Des! Akan kami buktikan bahwa uang kas kelas kita memang diambil maling!” kata Tara berusaha membela Vita.
Desi tak melanjutkan lagi kata-katanya. Karena kemudian Pak Danu guru matematika datang untuk menyampaikan pelajaran selanjutnya.
***


“Vit, pulang sekolah nanti, ada waktu sebentar nggak? Ada yang ingin kubicarakan sama kamu.” Dika mendadak mencegat Vita sesaat sebelum ia melangkah ke dalam kelas sehabis makan siang di kantin.
“Ada apa, Dik?” tanya Vita terheran-heran.

Ia tak terlalu akrab dengan Dika teman sekelasnya yang duduk paling belakang. Karenanya Vita terheran-heran Dika mengajak bertemu sepulang sekolah.
“Nanti aku ceritakan.” Hanya itu jawaban Dika.

Vita mengangguk. “Baiklah, aku tunggu sepulang sekolah.” jawab Vita.
Sepulang sekolah, Vita menolak pulang bareng Tara.
“Kenapa, Vit? Tumben nggak mau pulang bareng aku. Oh, jangan-jangan kamu mau pulang bareng Dika, ya? ” tebak Tara sambil nyengir.

Vita terkejut. Bagaimana Tara bisa tahu?
“Kok kamu nuduh aku begitu sih, Ra?” tanya Vita.
“Aku tadi lihat Dika bisik-bisik sama kamu. Hehehe...ayo, ngaku saja Vit, kamu ada janji sama Dika, kan?” ledek Tara.
“Eh, bukan...nggak kok. Cuma...kata Dika ada yang ingin dia bicarakan sama aku.” jawab Vita sedikit tersipu.

“Nah, kan? Pasti Dika mau nembak kamu tuh, Vit. Kalau aku perhatikan, Dika memang ada perhatian sama kamu.” kata Tara sok tahu.
“Jangan ngaco, Ra! Nggak ada apa-apa kok.” Vita membela diri.
“Pokoknya nanti hasil pembicaraan kalian ceritain ke aku lho, Vit! Awas kalau nggak. Eh, aku pulang duluan deh. Sepertinya pengagummu sudah datang tuh!” kata Tara sambil mengedipkan mata kirinya lalu segera melangkah menjauhi Vita.

Vita menoleh ke arah pandangan Tara tadi. Dika berjalan mendekatinya. Mengapa Vita merasa sedikit berdebar? Memang diakuinya, walau pun Dika cenderung pendiam, tak bisa disangkal Dika seorang cowok yang menarik. Tapi Vita tak pernah menyangka bahwa suatu hari Dika akan mengajaknya berbicara hanya berdua saja. Apa ya kira-kira yang ingin dibicarakan Dika?

“Hai, Vit! Bagaimana kalau kita ke Kafe Buku? Sepertinya ngobrol di sana lebih asyik. Lebih tenang.” ajak Dika setelah ia berada tepat di hadapan Vita.
Vita semakin berdebar. Di Kafe Buku? Ah, kafe itu tak jauh dari sekolah. Kafe murah tapi nyaman karena bisa makan minum sambil membaca buku bahkan internetan. Vita mengangguk setuju.
“Kamu ingat uang iuran untuk kas kelas yang aku berikan pada kamu seminggu yang lalu, Vit?” tanya Dika setelah mereka duduk di kursi Kafe Buku.

Vita menghentikan keasyikannya menyeruput orange float pesanannya. Berusaha mengingat kejadian seminggu yang lalu. Ya, Vita ingat, ketika itu Dika memberikan uang selembar dua puluh ribu untuk membayar iuran kas kelas. Dika membayar sekaligus untuk empat bulan.

“Iya, aku ingat. Memangnya kenapa, Dik?”
“Kamu baca catatan rahasia yang aku tulis di uang itu?”
Vita mencoba mengingat-ingat. Catatan rahasia?

...Continued.

Senin, 14 Desember 2009

SUMUR AJAIB, satu lagi cerpenku yang dimuat di BOBO minggu ini, edisi 10 Desember


Sungguh tak menyangka...cerpenku bisa dimuat di BOBO empat minggu berturut2...semangat semakin meluap-luap untuk terus berkarya, menulis lagi cerita anak sebanyak2nya...AYO SEMANGAT!

SUMUR AJAIB

By : Arumi Ekowati

Ada sumur ajaib di rumah Kakek. Raya dan Sandi yang menceritakannya kepada Dafa. Raya dan Sandi adalah sepupu Dafa yang mengaku menyaksikan sendiri keajaiban sumur di rumah Kakek. Sumur itu sudah lama ada. Rumah kakek di sebuah kampung di daerah Sukabumi yang masih asri. Air sumurnya masih bagus dan jernih. Dan tak pernah kering walau di musim kemarau.

Liburan kali ini Dafa bertekad akan menginap selama seminggu di rumah kakek. Ia ingin menyaksikan sendiri kesaktian sumur kakeknya itu. Ayah terheran-heran ketika mendengar rencana Dafa itu. Biasanya, Dafa selalu saja menolak bila diajak berlama-lama berlibur di rumah kakek. Dafa tidak pernah menginap di rumah kakek lebih dari satu hari. Dafa lebih senang menghabiskan masa liburannya di rumah dengan bermain PS bersama teman-temannya.

“Kamu yakin tidak akan menangis kalau Ayah tinggal, Dafa?” tanya Ayah sebelum pergi setelah mengantar Dafa ke rumah kakek.
“Jemput saja Dafa minggu depan, Yah!” jawab Dafa mantap. Ayah melirik Kakek. Dan Kakek mengangguk-angguk. Sesudah itu, Ayah pun pergi meninggalkan Dafa.

to be continued

Kamis, 03 Desember 2009

Alhamdulillah...cerpenku dimuat lagi di BOBO edisi 19 November 2009


Alhamdulillah, cerpenku yang berjudul WARUNG NENEK SALMA dimuat di BOBO edisi 19 November...jadi semakin semangat untuk terus menghasilkan karya...Ayo maju!

WARUNG NENEK SALMA

By : Arumi Ekowati

Dede, Danang dan Caka adalah tiga murid Sekolah Dasar Kejora. Mereka duduk di kelas 4. Mereka bertiga dikenal sebagai anak yang paling kreatif dan sering punya ide-ide kegiatan yang menarik. Sebenarnya mereka bukan anak yang nakal. Tapi kadang-kadang, ide-ide mereka malah membuat kacau suasana. Ide kali ini, datangnya dari Danang.

“Aku perhatikan, Nek Salma setiap jam 1 siang, pasti tidur di warungnya. Pada saat itu, dia tidak akan tahu kalau kita mengambil kue selain mengambil tiga buah permen tapi hanya membayar tiga buah permen. Lumayan kan, dapat kue gratis.” kata Danang dengan mata berbinar, yakin bahwa idenya kali ini sangat cemerlang.
“Tapi, bukankah itu sama saja dengan mencuri?” tanya Caka ragu.
“Ah, apalah artinya sebungkus wafer. Lagipula Nek Salma terlalu mahal menghargai permen jualannya.”
“Aku tidak setuju, Nang. Kasihan Nek Salma.” protes Caka.



to be continued

Kamis, 12 November 2009

Dimuat di BOBO dua minggu berturut2? Duh, senangnya!


Alhamdulillah, cerpenku dimuat lagi di BOBO minggu ini. Dua minggu berturut-turut. Senangnya bukan main. Membakar semangat untuk terus berkarya sebanyak-banyak. Terutama ingin membuat cerita anak yang menarik, menghibur dan memberi hikmah serta pengetahuan buat anak-anak. Aku cinta anak-anak. Masa terindahku adalah masa kanak-kanak.

MARIANKA

By : Arumi Ekowati

Dita sebal sekali kepada Marianka. Semenjak ada Marianka di rumah ini, sikap Papa dan Mama kepadanya berubah. Mereka tak peduli lagi kepada Dita. Mama hanya sibuk mengurus Marianka. Memandikannya setiap pagi dan sore, membuatkan makanan spesial, bahkan Mama sering menyanyi untuk Marianka sebelum ia tidur. Begitu juga dengan Papa. Sesampainya di rumah sepulang dari bekerja, Papa langsung berteriak,
” Mana Marianka? Marianka sedang apa?”

? Uh, jangan-jangan Papa lupa kalau punya anak bernama Dita.
Tante Erna, Om Adit, Kakek dan Nenek juga sekarang hampir setiap Sabtu atau Minggu datang ke rumah Dita. Tapi yang ditanya, tentu saja Marianka, bukan Dita.
“Marianka sudah bisa apa sekarang?” tanya Tante Erna
“Duh, pintar ya, Marianka. Sudah bisa mengangkat badannya!” kata Nenek.
“Ini, Om Adit bawakan boneka cantik!” kata Om Adit sambil membawakan boneka panda lucu.
“Makin cantik seperti ibunya.” komentar Kakek.

Begitulah tingkah Om Adit, Tante Erna, Nenek dan Kakek setiap datang ke rumah Dita. Marianka, Marianka, selalu saja Marianka! Dita sebal, sebal sekali.

To be continued...

Kamis, 05 November 2009

Dimuat lagi di majalah Bobo


Alhamdulillah, senangnya...cerpen anak karyaku dimuat lagi di majalah Bobo edisi 5 November...Judulnya : Trio Pembasmi Hantu. Jadi semakin semangat untuk menghasilkan karya-karya lain. Ayo semangat berkarya!

TRIO PEMBASMI HANTU

By : Arumi Ekowati

“Reza, kamu jalan di depan, ya? Aku dan Lena di tengah, Adit di belakang.” kata Helen mulai mengatur posisi mereka berempat. Reza dan Adit mengangguk mantap. Lena menghela nafas sedikit gugup.

Sabtu malam minggu ini, Helen dan kedua sepupunya Reza dan Adit menginap di villa Helen. Tanpa sepengetahuan Papa dan Mama Helen yang sedang pergi ke kota, mereka berencana memburu hantu di villa yang tekenal berhantu di desa ini. Letak villa itu tak jauh dari villa milik orangtua Helen.

Sekarang jam delapan tepat. Mereka telah siap berburu hantu. Walau Helen, Reza dan Adit hanya murid kelas enam Sekolah Dasar, mereka tidak takut hantu. Mereka malah menyebut diri mereka sebagai trio pembasmi hantu. Hanya Lena yang takut tapi dipaksa ikut untuk menunjukkan jalan menuju villa itu. Lena adalah anak penduduk desa ini yang sering membantu membersihkan villa Helen setiap pulang sekolah. Lena mengaku pernah melihat hantu di villa itu.

to be continued

Kamis, 08 Oktober 2009

Kalung berliontin huruf N



By : Arumi Ekowati

Dimuat di KOMPAS ANAK 9 November 2008

Nana terlihat murung. Ia merasa kesepian. Belum lama Nana tinggal di rumah barunya mengikuti Ayah yang pindah tugas ke kota ini. Walau baru tiga hari Nana berpisah dengan teman-temannya, tetapi Nana sudah merasa rindu sekali.

“Nana, lihatlah di luar. Ayah membawakan hadiah untukmu.” Panggil Ibu sambil mengajaknya beranjak ke luar rumah. Dengan sedikit enggan, Nana mengikuti Ibu. Di teras depan, telah berdiri sebuah sepeda mini yang indah sekali berwarna merah muda, warna kesukaan Nana.

“Nana, ini sepeda barumu. Persis seperti yang kamu minta, kan?” kata ayah.
Ya, Nana memang ingin sepeda berwarna merah muda. Ah, rasa sedih Nana sedikit terobati.

“Ayah, boleh aku coba sepedanya di jalan sekitar rumah?” pinta Nana.
Ayah mengangguk,”Tapi jangan terlalu jauh, ya?” jawab Ayah.
Dengan riang Nana membawa sepeda barunya ke jalan di depan rumah. Ia segera mengayuh sepeda merah mudanya itu. Setelah cukup lama bolak-balik di jalanan depan rumahnya, Nana tergoda untuk mengayuh sepedanya lebih jauh lagi. Apalagi dilihatnya Ayah dan Ibu sudah masuk ke dalam rumah dan tidak memperhatikannya lagi.

Nana membelok ke kanan. Jalanan di komplek rumah barunya ini cukup lebar. Sepi sekali saat ini. Tak ada satu pun kendaraan yang lewat. Tanaman di kanan kiri jalan masih terlihat rimbun. Tiba-tiba Nana melihat ada benda berkilauan di kejauhan. Nana mengayuh sepedanya dengan cepat menghampiri benda berkilat itu.
“Sebuah kalung.” kata Nana sambil memungut benda itu. Nana melirik ke kanan dan ke kiri. Tak ada seorang pun. Segera Nana mengantungi benda itu dan bergegas mengayuh sepedanya pulang.
***

to be continue...

Sabtu, 03 Oktober 2009

I Know What U Did...


By : Arumi

Dimuat di Majalah Hai Januari 2007

“I know what u did last Friday!!”
Begitulah isi sms yang tertera di ponsel Rafi. Pesan singkat itu dikirim dari nomor 099. Nomor yang aneh.
Rafi tertegun. Ingatannya melayang pada hari Jum’at lalu. Apa yang telah terjadi pada hari Jum’at lalu? Apa yang telah dilakukannya pada hari itu?
Rafi mengetik sms balasan,
“Who are u? What do u mean?” lalu dikirimnya ke nomor 099…
“Teeett!”…pesan tak terkirim….
Rafi menatap nanar layar ponselnya. Dicobanya mengirim sekali lagi. Tetap tak terkirim. Lagi, juga tak terkirim. Rafi mendengus kesal,
“Sms sialan!” makinya.
Rafi mencoba menelepon nomor itu, tak terdengar nada apapun.
“Memangnya apa yang kulakukan pada hari Jum’at lalu?” lagi-lagi pertanyaan itu mengusik pikiran Rafi. Namun akhirnya Rafi memutuskan untuk tak peduli dengan sms aneh itu.
“Paling-paling ini jenis penipuan model baru. Sorry deh ya, aku nggak bakal tertipu!” seru Rafi mantap.
***
“Nit,nit! Nit,nit!”
Ponsel Rafi berbunyi nyaring menunjukkan ada pesan yang masuk. Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Rafi telah tertidur tanpa sempat mematikan ponselnya. Dengan mata masih setengah terpejam, Rafi membuka pesan yang masuk itu dan membaca isinya,
“Did u remember now, what u did last Friday?” Pengirim….099!
“Brengsek!” maki Rafi kesal, “Siapa sih pengirim sms ini? Sok bahasa Inggris segala lagi. Apa nggak bisa bahasa Indonesia?”
Secepatnya Rafi mengetik sms balasan,
“Go to the hell!” dipilihnya kirim, kemudian ditekannya tombol ok.
“Teett!” lagi-lagi pesan tak terkirim. Rafi mendengus kesal. Tak sabar diulangnya mengirim sms balasan itu sebanyak sepuluh kali. Dan kesepuluh sms balasan itu tak terkirim!
Dengan kasar Rafi mematikan ponselnya. Malam ini Rafi tak dapat melanjutkan tidurnya. Rasa kantuknya telah musnah!
***
“Still didn’t know what u did last Friday?”
Sms aneh itu muncul lagi. Ingin Rafi tak peduli. Tapi hatinya memang telah dibuat penasaran oleh sms aneh itu. Jika memang sms nyasar, mungkinkah sampai terkirim 3 kali? Rafi mencoba menjawab,
“Be gentle! Show u up! What do u mean?”
Lagi-lagi sms balasan itu tak dapat terkirim.
Muncul lagi sms dari nomor 099,
“Kamulah yang seharusnya be gentle, Rafi! Akuilah kesalahanmu!”
Aneh, padahal sms balasannya tak pernah terkirim, tapi kok bisa ada balasan dari smsnya tadi? Aha! Ternyata memang bukan sms nyasar karena nama Rafi mulai disebutkan. Dan…hm, pengirim misterius itu sudah mulai menggunakan bahasa Indonesia. Ada satu petunjuk, pengirim misterius itu dapat berbahasa Indonesia. Mungkin malah orang Indonesia.
Tiba-tiba dia tersadar. Apakah…pengirim misterius ini…? Bagaimana ia bisa tahu?
***
Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuh Rafi. Kepalanya benar-benar terasa berat. Dia benar-benar panik. Masa depannya sangat bergantung pada tes akhir mata pelajaran fisika ini. Namun tak satu pun soal yang dia pahami.
Rafi memang lemah di mata pelajaran fisika. Semua ulangan hariannya bernilai buruk. Jika ujian akhir ini Rafi mendapat nilai dibawah enam, maka sudah dapat dipastikan, angka lima berwarna merah akan tertera di rapornya. Dan kemungkinan Rafi akan tinggal kelas! Karena itulah Rafi bertekad akan berjuang mati-matian untuk sukses menyelesaikan ujian akhir ini.
Ekor matanya melirik anak yang duduk disamping kirinya, Rizal terlihat gelisah. Pasti dia juga mengalami kesulitan. Neni yang duduk disamping kanannya, juga tampak gelisah. Kemudian pandangan Rafi jatuh ke anak yang duduk di depannya. Izza yang mungil…
Izza, gadis yang paling cerdas di kelas. Selalu juara kelas. Nilai-nilai mata pelajaran phisic Izza selalu sempurna. Dan kelihatannya gadis itu begitu tenang. Menunduk dalam-dalam, menyelesaikan soal-soal sambil sibuk mencorat-coret hitung-hitungan di kertas buram.
Rafi menemukan jalan keluar, setitik harapan. Tubuh Rafi yang tinggi, menyebabkan kertas jawaban Izza mudah terlihat oleh Rafi. Semua nomor soal-soal pilihan ganda mulai dari nomor sebelas sampai nomor lima puluh, terbaca jelas!
Waktu tinggal dua puluh lima menit lagi. Secepat kilat Rafi menyalin jawaban soal-soal itu, pastinya tanpa disadari oleh Izza karena Izza masih saja membungkuk dalam-dalam sibuk menghitung-hitung soal-soal essai…
Itulah, yang terjadi Jum’at lalu!
“Nit,nit! Nit,nit!” bunyi ponsel yang disertai getaran lembut menyadarkan Rafi dari ingatannya akan kejadian Jum’at lalu itu.
Ha! Sms lagi dari nomor 099!
“Kau telah melakukan kecurangan! Akuilah kesalahanmu!”
Ah, cuma sms! Lagipula nggak ada bukti, pikir Rafi yakin.
“Nit,nit! Nit,nit!” Kembali ponselnya berbunyi.
“Kau adalah ketua Osis! Tak pantas berbuat curang begitu!”
Rafi heran, bagaimana sms ini bisa tahu?! Ia terpaksa berbuat curang karena tak sanggup menanggung malu bila harus tinggal kelas. Bagaimana imej-nya sebagai Ketua Osis? Manakah yang lebih memalukan, Ketua Osis yang bodoh atau Ketua Osis yang curang?
Ah, pesan misterius ini telah membuatnya pusing tujuh keliling! Tak ada jalan lain. Ia harus mengganti nomor ponselnya!
***
Beberapa hari terakhir ini, Rafi sibuk mengirim sms kepada semua temannya dari nomor ponselnya yang baru, sebagai pemberitahuan bahwa nomor ponselnya telah diganti. Hatinya pun lega karena sudah seminggu ini tak ada lagi sms dari nomor 099.
Kadang Rafi ingin tahu siapa yang telah mengiriminya sms dari nomor aneh itu. Rafi berharap ada penjelasan logis tentang nomor 099 itu. Ataukah penjelasannya tidak logis?
“Nit,nit!Nit,nit!”
Ponsel Rafi berbunyi. Tanda ada sms yang masuk. Rafi tersenyum. Ia yakin itu adalah sms jawaban dari Ryan teman satu SMP dahulu yang sekarang bersekolah di SMU berbeda. Dengan semangat Rafi membuka menu pesan masuk. Tapi mendadak ia terkejut. Pengirim sms itu… Nomor itu…099!
“Apa-apaan nih?!!” teriaknya gusar.
Namun dibukanya juga pesan itu,
“Aku tak akan berhenti mengingatkanmu sebelum kau mengakui kesalahanmu!”
Kemudian muncul berturut-turut sepuluh pesan dari nomor 099! …99? Apakah sms ini dari….
Genggaman tangan Rafi melemah.
“Brakkk!”
Dentuman keras terdengar bersamaan dengan ponsel yang pecah berantakan!