Laman

Minggu, 16 Desember 2007

Semburat Jingga di Mega Mendung


BAB I
MASIH ADAKAH ASA


By : Arumi

Keheningan lumayan panjang melingkupi kedua gadis yang terpaut jarak usia delapan tahun itu. Mereka duduk saling berhadapan dihalangi sebuah meja kerja yang dipenuhi tumpukan-tumpukan kertas.
Gadis pertama, yang memiliki nama indah Naning Widyastuti, berpenampilan feminin dan dewasa. Mengenakan blazer berwarna hijau pastel dengan bawahan rok sepanjang mata kaki berwarna hijau tua. Penampilan gadis ini dilengkapi dengan kerudung berwarna hijau pastel juga, berbunga-bunga kecil-kecil berwarna hijau tua. Penampilannya tampak serasi, menunjukkan bahwa gadis ini pandai memadu-padankan pakaian yang dikenakannya.
Ia menjabat Sekretaris merangkap General Affair di perusahaan konsultan disain, PT. Narendra Perkasa ini. Usianya sudah tiga puluh satu tahun, tetapi masih berstatus lajang. Dan telah bekerja di perusahaan milik Ir. Narendra Prakoso ini selama dua belas tahun.
Sementara gadis yang duduk dihadapannya, berpenampilan lebih santai dan sedikit tomboi, dengan wajah tampak sedikit kekanak-kanakan. Berkemeja putih bergaris–garis tipis coklat, rompi coklat tua, dan mengenakan bawahan celana pantolan berwarna senada. Ia adalah Alia Damayanti. Usianya baru dua puluh tiga tahun. Baru tujuh bulan bekerja sebagai Arsitek Junior di perusahaan ini. Sebelumnya, Alia tidak memiliki pengalaman bekerja sebagai seorang Arsitek. Ini adalah pekerjaan pertamanya setelah sempat merasakan menganggur selama delapan bulan.
“Jadi, perusahaan ini akan ditutup?” tanya Alia akhirnya setelah beberapa saat lamanya mereka saling terdiam.
Rasa lapar yang semula akan mereka tuntaskan dengan makan siang di Warung Padang dekat kantor seperti biasanya, perlahan menghilang. Desas-desus yang telah hampir seminggu beredar di perusahaan ini, telah meresahkan hati keduanya.
“Bukan ditutup, hanya berganti bidang.”
“Bukan konsultan disain lagi? Lantas apa? Tapi Pak Narendra seorang Arsitek, kan?”
Naning menatap Alia prihatin.
Gadis ini baru saja bersemangat merajut asa…
Setelah enam tahun berselang, ternyata PT. Narendra Perkasa masih tak dapat lepas dari dampak krisis moneter yang pernah melanda negeri ini. Sebelum masa krisis, perusahaan konsultan disain ini merupakan salah satu perusahaan yang sangat maju. Memiliki banyak proyek baik di dalam mau pun di luar kota Jakarta dan berkantor di sebuah gedung milik pribadi yang lumayan besar berlantai lima. Namun pada akhirnya, jumlah karyawan yang semula banyak, terpaksa harus dipensiun dini satu persatu.
Krisis yang terasa semakin membelit kemudian memaksa Pak Narendra mengalihkan bidang usahanya untuk sementara menjadi supplier bahan-bahan konstruksi selama empat tahun. Barulah di tahun 2003 Pak Narendra mencoba kembali menekuni bidang konsultan disain.
Tetapi ternyata memang tidak mudah meraih kembali kejayaan di masa lalu. Proyek yang datang tidaklah sebanyak dan sebesar dulu. Yang mereka tangani kini, hanyalah proyek skala kecil, seperti renovasi atau membangun baru rumah tinggal.
Tim konsultan desain yang dahulu terdiri dari banyak orang, kini hanya dipegang oleh Ir. Narendra Prakoso sebagai Arsitek Senior sekaligus pemimpin perusahaan dan Alia Damayanti sebagai Arsitek Junior yang baru lulus dari jurusan Arsitektur satu setengah tahun yang lalu.
Alia baru saja mulai belajar mempraktekkan secara langsung ilmu-ilmu Arsitektur yang selama ini dipelajarinya. Bekerja di lapangan sesungguhnya secara langsung, ternyata tidaklah semudah teori. Banyak yang ia pelajari selama terlibat dalam satu proyek renovasi sebuah rumah mewah dan pembangunan baru sebuah rumah tinggal yang tidak terlalu mewah. Alia begitu bersemangat menyelesaikan tugas-tugasnya, menikmati proses belajarnya.
“Sudah sebulan ini tak ada proyek yang datang. Dan Pak Endra juga sepertinya memang tidak berniat mencari proyek baru.” kata Naning lagi.
Pak Endra adalah sebutan singkat untuk Pak Narendra. Naning telah mendampingi Pak Narendra sejak pertama kali Pak Narendra mendirikan perusahaan ini. Sehingga layaklah apabila kemudian Naning menjadi orang kepercayaan Pak Narendra nomor satu, yang mengurus hampir semua masalah manajerial perusahaan, mulai dari administrasi, keuangan, serta mengurus karyawan yang kini tinggal berjumlah empat orang.
“Minggu lalu ada tamu yang datang menemui Pak Endra. Sepertinya pemilik pertanian di daerah Bogor.” Naning melanjutkan.
Alia masih tak menyahut. Gadis itu sibuk berkutat dengan pikirannya sendiri. Agak lama kemudian Naning kembali melanjutkan ceritanya,
“Aku sudah lama mendampingi Pak Endra. Sudah tiga puluh tahun Pak Endra menekuni bidang disain bangunan. Mulai dari hanya menjadi pegawai orang selama hampir delapan belas tahun, sampai kemudian beliau memberanikan diri membuka usaha konsultan disain sendiri. Aku sudah bergabung sejak awal perusahaan ini berdiri, sejak aku masih kuliah. Secara tidak langsung, Pak Endra berjasa membantuku membiayai kuliahku. Kini, Pak Endra merasa sudah saatnya berhenti menekuni bidang ini. Sepertinya ia ingin berusaha di bidang yang lebih tenang sambil menikmati hari tuanya. Bagaimana pun, aku akan selalu mendukungnya.”
“Usaha apakah yang tenang itu, Mbak Ning?” tanya Alia akhirnya, tak urung pikirannya terusik menjadi galau memikirkan bagaimanan kelanjutan karirnya di perusahaan ini. Naning, yang akrab dipanggil Alia, Mbak Ning, tersenyum, berusaha menenangkan hati Alia.
“Beberapa teman Pak Endra telah menawarkannya untuk mencoba usaha bertani organik.” jawabnya.
“Bertani organik?” tanya Alia diiringi ekspresi wajah keheranan.
“Kalau nggak salah dengar, bertani cabai keriting organik. Katanya, saat ini prospeknya cerah, sangat menguntungkan dan tidak terlalu sulit pengelolaannya. Pak Endra sepertinya tertarik. Apalagi tanah pertaniannya terletak di tempat yang sejuk, Mega Mendung.”
Naning berhenti sebentar, memandangi Alia. Dan ketika dilihatnya Alia tidak menunjukkan tanda-tanda ingin berkomentar, ia melanjutkan,
“Pak Endra membayangkan itu adalah pekerjaan yang tenang. Tidak banyak intrik seperti di konsultan disain. Menurut Pak Endra, ini adalah usaha yang tepat untuk mengisi hari-hari tuanya, anggap saja pensiun jadi Arsitek.”
Walau pun hanya duduk diam, sambil membiarkan matanya berkelana memandangi semua benda yang ada di ruang kerja Naning itu satu-persatu, namun sesungguhnya Alia menyimak kata-kata Naning.
Dan setelah sekian lama diam mendengarkan, Alia masih tak tahu harus berkomentar apa. Sepertinya, apa yang didengarnya dari Naning tadi tidak masuk akal. Pak Narendra, seorang Arsitek, ingin menjadi petani cabai? Lantas, bagaimana dengan nasibnya? Bagaimana dengan impiannya? Ia baru saja akan mulai merintis karir. Semangatnya yang menggebu-gebu ketika pertama kali menjejakkan kakinya di kantor ini, perlahan menguap setelah mendengar penuturan Naning tadi.
Jika memang benar adanya kabar ini, berarti dirinya tidak lagi dibutuhkan di perusahaan ini. Berarti ia akan kembali tanpa pekerjaan. Terkenang kembali tujuh bulan lalu ketika ia terseok-seok kelelahan mencari pekerjaan sebagai Arsitek di Jakarta.
Masihkah ada asa baginya di sini?
***
Ragu Alia mengetuk pintu ruang kerja Pak Narendra. Begitu ingin Alia berbincang. Ada yang ingin ia sampaikan. Ada yang ingin ia tanyakan. Sepertinya pagi ini adalah saat yang tepat. Semua karyawan sedang ke luar gedung. Termasuk Naning yang harus mengurus pembayaran beberapa hal di Bank. Pak Narendra juga sepertinya tidak sedang sibuk. Tidak sedang ada tamu. Alia menghela nafas agak panjang.
Tok…Tok… Tok….
Alia mengetuk pintu teakwood itu perlahan sebanyak tiga kali. Hening sesaat. Tak terdengar sahutan.
Halo? Adakah Bapak di dalam sana?
Lima menit kemudian…
“Ya, masuk!”
Akhirnya terdengar suara menyahut dari dalam ruangan. Alia menekan pegangan pintu itu perlahan. Tanpa suara, pintu itu terbuka. Tampak di dalam ruangan, Pak Narendra sedang duduk di kursinya menghadapi secarik kertas di atas meja kerjanya yang besar terbuat dari kayu jati berukir indah.
Aroma wangi menerpa lubang hidung Alia. Wangi bunga lavender yang dipercaya dapat menjadi aroma terapi yang menenangkan. Alia menghirup wangi itu perlahan, mencoba mencuri aromanya, berharap agar pikirannya dapat lebih tenang.
“Selamat pagi, Pak.” Alia menyapa lembut.
Wajah Pak Narendra sama sekali tak beranjak dari memandang kertas di atas meja itu. Jari jemarinya malah mulai mengetuk-ngetukan bolpointnya ke meja. Lima menit lagi Alia menunggu…
“Ya?”
Wajah separuh baya yang berwibawa milik Pak Narendra kini menghadap wajah Alia yang tiba-tiba berubah gugup.
“Ada apa, Alia?” tanya Pak Narendra lagi.
Alia maju selangkah. Ragu untuk memutuskan, apakah ia akan tetap berdiri di sini, ataukah duduk di kursi di hadapan meja Pak Narendra tanpa perlu menunggu di persilakan?
“Ayo, silakan duduk!”
Hm, ternyata Pak Narendra mampu membaca pikiran Alia. Alia pun menarik kursi beroda empat itu, kemudian duduk perlahan di atasnya.
“Bagaimana?”
“Ada yang ingin saya bicarakan, Pak, apabila Bapak ada waktu…”
Pak Narendra tersenyum. Jarinya tak lagi mengetuk-ngetukan bolpoint ke atas meja.
“Silakan…”
“Semua pekerjaan telah saya selesaikan.” kata Alia.
Hening sesaat. Tampaknya Pak Narendra menunggu kelanjutan kalimat Alia. Namun Alia tak ingin mengatakan apa-apa lagi.
Atau haruskah?
“Bagus!”
Hanya itu komentar Pak Narendra. Alia tergugu bingung.
“Apalagi yang harus saya kerjakan, Pak?” tanyanya akhirnya.
Kembali hening. Kali Ini Pak Narendra menatap Alia dalam-dalam.
“Saya sedang mengurus sesuatu”
“Proyek baru, Pak?”
“Proyek lain….”
Alia mengerutkan kening.
Apakah seperti kabar itu? Apakah seperti yang aku kira?
Tak sabar Alia menunggu kepastian.
“Maksud Bapak?”
Pak Narendra menghela nafas panjang. Kembali menatap Alia dalam-dalam.
“Saya punya rencana ingin berusaha di bidang lain.”
Persis! Seperti desas-desus yang berhembus….seperti yang kutakutkan…
“Maaf, Pak, maksud Bapak?” Alia mengulang pertanyaanya. Kali ini ia harus mendapatkan jawaban yang benar-benar pasti, mengenai nasibnya kemudian.
Pak Narendra tak langsung menjawab. Kembali menatap Alia lekat-lekat. Menghunjamkan pandangan tajam matanya langsung ke mata Alia. Kemudian menghela nafas panjang.
“Ceritanya panjang, Alia! Tapi sepertinya saya memang harus menceritakan semuanya kepadamu.” ucap Pak Narendra.
Alia tak berkomentar. Menunggu kelanjutan kalimat itu.
“Kamu pasti sudah tau, setelah masa krisis, perusahaan ini banyak mengalami kesulitan. Susah payah saya berusaha mencoba untuk bangkit kembali. Tapi saya sudah terlalu tua, Alia! Saya ingin hidup tenang. Sekarang ini, usaha saya kebanyakan berupa investasi, saya tidak terjun langsung.”
Pak Narendra menjelaskan. Namun ceritanya masih jauh dari tuntas. Alia diam menunggu, mengharap Pak Narendra melanjutkan penjelasannya.
“Ada teman saya yang menawarkan usaha yang menarik. Tempatnya menarik pula. Alia, saya akan mencoba bertani cabai di Mega Mendung!”
Akhirnya, benarlah semua kabar itu…
“Apakah itu berarti perusahaan ini ditutup, Pak? Dan saya tak diperlukan lagi?”
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Alia tanpa bisa dicegah, sebagai ekspresi seluruh rasa gundah yang menggumpal di relung hatinya beberapa hari terakhir ini. Pak Narendra terdiam sesaat. Lalu menampakkan seulas senyum.
“Kamu memang tak dibutuhkan lagi sebagai Arsitek di sini karena saya tak berniat membangun apa-apa lagi. Saya ingin jadi petani, Alia!”
Alia dapat merasakan getar lembut gemuruh di dadanya. Segala yang ditakutkannya selama ini memang benar-benar terjadi.
Haruskah aku kembali menjadi pengangguran? Harus kembali berjuang dari awal mencari pekerjaan yang aku idamkan?
Pelupuk mata Alia menghangat.
Oh, jangan! Jangan jatuh air mataku di sini, dihadapan Pak Endra. Nanti saja di rumah. Di kamarku. Di atas tempat tidurku. Membasahi bantal gulingku. Please…
“Tapi saya membutuhkan kamu untuk menjadi pengawas lapangan di sana jika kamu berminat.” lanjut Pak Narendra.
Agak terkejut Alia, tak mempercayai pendengarannya. Perlahan diangkatnya wajahnya yang tertunduk. Untunglah air mata yang biasanya mudah tertumpah, kali ini mampu ditahannya.
“Maksud Bapak, pengawas pertanian? Tapi saya sama sekali tidak mengerti mengenai pertanian.”
“Kamu hanya mengawasi lapangan. Sebelum bibit-bibit cabai di tanam, tanah di sana diolah terlebih dahulu. Tanahnya berbukit. Lereng-lerengnya akan diratakan dibentuk teras-teras. Permukaan tanah harus rata. Waterpass, kamu tau, kan? Seperti jika akan membangun pondasi bangunan? Karena di sekeliling lahan akan dibuat parit-parit yang akan diisi air. Parit itu harus waterpass, agar air yang mengisi parit itu permukaannya rata dari ujung ke ujung. Jangan sampai ada bagian yang lebih tinggi dari yang lain. Bisa kamu bayangkan, Alia?”
Tergagap Alia menyerap penjelasan Pak Narendra yang panjang lebar itu. Mengertikah ia maksudnya? Apakah itu pekerjaan yang menyenangkan? Apakah ia mampu?
Terbayang kesulitan selama delapan bulan menganggur sebelum akhirnya ia diterima bekerja di sini. Ada beberapa panggilan wawancara, tetapi biasanya Alia tak mendapat kabar lagi setelah wawancara pertama. Alia sempat merasa putus asa sebelum akhirnya ia bertemu Pak Narendra. Ia pun diterima bekerja di sini. Mungkin karena ia tak keberatan digaji rendah, karena ia memang merasa belum berpengalaman.
Ketika itu, Alia merasa begitu bersyukur dan berjanji akan bekerja sebaik-baiknya. Harapan Alia menggunung. Apalagi Pak Narendara baik dan sabar. Tidak keberatan mengajari Alia yang belum berpengalaman. Alia pun semakin paham. Semakin terampil.
Kini, haruskah segala impian dan harapannya itu berakhir? Apakah pengalamannya sudah cukup untuk melamar pekarjaan sebagai Arsitek di konsultan disain lain? Alia sadar betapa saat ini begitu sulit mencari pekerjaan. Begitu ketatnya persaingan antar pencari kerja.
Atau sebaiknya ia terima saja tawaran Pak Narendra ini? Mengawasi lapangan pertanian, apakah itu pekerjaan yang menyenangkan? Tetapi lokasinya memang terdengar menyenangkan, Mega Mendung, tempat warga Jakarta melepas lelah diakhir pekan. Banyak villa-villa bertengger di perbukitan sana…
“Apakah di sana tersedia tempat tinggal, Pak?” tanya Alia kemudian.
“Ada bangunan mess di sana. Lumayan bagus. Jika kamu setuju, kamu akan tinggal di sana dan pulang ke Jakarta sebulan sekali.”
Alia terkejut. Pulang ke Jakarta hanya sebulan sekali?
Sungguh, Alia belum pernah jauh dari keluarga sampai selama itu. Ketika kuliah dahulu, kampus Alia tidak jauh dari rumahnya, sehingga Alia tidak perlu kos, karena perjalanan pulang-pergi kampus masih dapat dicapai dari rumahnya dengan mudah dan cepat. Belum pernah Alia merasakan hidup sendiri, mandiri. Selama ini ia selalu bernaung aman dalam rumah Bapak dan ibunya. Tinggal bersama Bapak dan ibu yang akan selalu siap sedia apabila ia butuhkan.
Tapi aku sudah dewasa. Memang sudah saatnya untuk belajar hidup mandiri. Untuk maju memang dibutuhkan perjuangan. Bukankah ini sebuah tantangan yang menarik?
“Dengan siapakah saya akan tinggal di sana, Pak?” Alia bertanya lagi.
“Tentu saja dengan Ning!” jawab Pak Narendra tegas.
“Oh, Mbak Ning akan tinggal di sana juga?”
“Saya memang berharap kamu setuju saya tempatkan di sana. Selain saya membutuhkan pengawas lapangan, juga sekalian untuk menemani Ning. Karena Ning memang harus tinggal di lapangan, agar dapat mengelola semua urusan manajerial pertanian secara langsung. Alia, saat ini kamu pasti sudah lebih paham mengenai persiapan lahan, pembersihan dan perataan lahan, kan? Prosesnya tidak jauh berbeda dengan persiapan lahan untuk membangun gedung.”
“Tapi saya…”
“Kamu meragukan kemampuanmu sendiri, Alia? Alia, kamu harus yakin dan percaya diri. Apa yang saya ajarkan selama ini pasti ada hasilnya, kan?”
Alia terdiam. Perkataan Pak Narendra tadi benar-benar terasa menohok. Ya, ia harus membuktikan bahwa dirinya mampu. Ia telah dewasa. Maka, haruslah bertindak dewasa, berani mengambil keputusan dan berani menanggung segala akibatnya.
“Maaf, Pak, tapi, apakah banyak kesulitan di sana?”
“Alia, kesulitan adalah tantangan! Kita membutuhkannya untuk membuat hidup kita menjadi lebih bergairah. Tingkat kedewasaan seseorang, dapat diukur dari bagaimana cara orang itu mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Seseorang yang berhasil mengatasi kesulitannya, berarti ia telah lulus dalam menjalani satu babak kehidupannya, dan layak memasuki babak kehidupannya selanjutnya.”
Kata-kata Pak Narendra yang penuh muatan filosofis itu, tak dapat dicerna dengan baik oleh Alia.
“Alia, nanti kamu akan merasakan, bahwa bertani itu jauh lebih mudah daripada membangun gedung. Item pekerjaannya lebih sederhana. Hanya mengenai pekerjaan mempersiapkan lahan, pembibitan, penanaman bibit, pemeliharaan bibit melingkupi penyiraman dan pemupukan, dan terakhir pemetikan hasil panen sebelum akhirnya pendistribusian hasil panen itu. Sederhana, kan?”
Sederhana? Mengapa bagi Alia terdengar sulit? Ia sama sekali tidak paham mengenai pertanian.
“Apakah Bapak…maaf, Pak, sudah berpengalaman bertani?”
Terkejut Alia ketika pertanyaannya itu disambut ledakan tawa Pak Narendra.
“Ha…ha…ha… Hm, Alia, kamu pasti belum mengenal saya, ya? Saya tidak akan mengatakan bahwa saya jagonya, nanti kamu akan tau sendiri.”
“Eh, maaf, Pak. Saya tidak bermaksud….”
“Alia, saya sudah sangat berpengalaman usaha apa saja. Sebelum saya memutuskan untuk melakukan usaha tertentu, saya selalu melakukan survey dulu. Ya, saya pernah mencoba bertani cabai. Tapi dulu hanya sedikit dan untuk coba-coba. Kali ini saya akan bertani besar-besaran, Alia. Saya investasikan usaha saya besar-besaran di bidang ini! Saya sudah menyewa 12 hektar lahan pertanian milik TNI-AL!” Suara Pak Narendra begitu tegas dan bersemangat. Penuh keyakinan.
Alia terpana. Sementara, ia masih ingin mempertimbangkan…
***
“Kamu akan tinggal di Mega Mendung?” tanya Bapak meminta kepastian Alia sekali lagi ketika Alia menyampaikan rencananya dan memohon ijin kepada ayah ibunya. Alia mengangguk.
“Iya, Pak! Alia boleh pulang sebulan sekali.”
“Tinggal dengan siapa kamu disana?” Ibu juga ikut bertanya.
“Mbak Ning. Teman sekantor yang sering Alia ceritakan, Bu!”
“Hanya kalian berdua?” tanya Bapak lagi. Alia menggeleng.
“Karena pertaniannya luas, pasti butuh banyak karyawan. Tapi memang, hanya Alia dan Mbak Ning karyawan wanita dari Jakarta. Sisanya akan memanfaatkan tenaga penduduk setempat. Kata Pak Endra, agar penduduk tidak mengganggu pertanian itu, Pak Endra harus melibatkan penduduk setempat. Agar mereka merasa dihargai.”
Bapak dan ibu terdiam serius mendengarkan.
“Kamu berani tinggal disana?” Pertanyaan ibu itu jelas mengandung kekuatiran yang dalam.
“Mega Mendung kan, tidak terlalu jauh dari Jakarta, Bu. Sesekali Bapak dan Ibu bisa menjenguk Alia, kan? Sekalian berakhir pekan?”
Bapak dan Ibu memandangi anak gadis mereka satu-satunya. Selama ini Alia tidak pernah jauh dari mereka lebih dari dua hari.
Alia memang sudah tumbuh dewasa. Bukan anak-anak lagi. Harus belajar mandiri. Memutuskan masa depannya sendiri, pikir Ibu
Sudah saatnya Alia harus belajar mandiri. Benar, kami masih dapat menjenguknya, bisa sekalian refresing. Tak perlu kuatir, kan? pikir Bapak.
“Jika memang ada Naning temanmu itu ikut menemani kamu, sepertinya nggak apa-apa. Bapak percaya dengan Naning. Ia kan sudah sangat berpengalaman dan dewasa. He..he..nggak bau kencur kayak kamu… Pasti bisa ngawasin kamu ya, kan?” kata Bapak akhirnya.
Alia jadi memberengut. Jadi, ia dianggap masih bau kencur?
“Handphone-mu harus selalu diaktifkan. Agar Bapak Ibu dapat menghubungi kapan saja. Pokoknya, kalau sampai nggak ada kabar, Ibu minta Bapak nyamperin kamu dan membawamu pulang.”Ibu mengingatkan.
Alia mengangguk-angguk.
Oh, akan kubuktikan bahwa aku dapat dipercaya dan juga punya kemampuan. Aku sudah dewasa, bukan anak-anak lagi. Harus bisa!
***
“Ran,aku mo tinggal diMegaMendung. Aku dipindahin boss ke sana.” ketik Alia di HP-nya. Kemudian dikirimnya ke nomor HP Rana, sang kekasih yang berada nun jauh di Semarang sana.
Rana adalah teman satu kampusnya dahulu. Tetapi dari jurusan yang berbeda. Rana adalah mahasiswa jurusan Elektro, yang kemudian menjadi kekasihnya sejak tiga tahun lalu. Namun Rana lebih beruntung. Mungkin karena ia laki-laki. Karena sepertinya laki-laki memang lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Sebagian besar pemilik perusahaan memang lebih menyukai pekerja laki-laki untuk bidang-bidang engineering.
Sebulan setelah lulus dari program S1-nya, Rana langsung mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan komunikasi dan kini hampir dua tahun ditugaskan di Semarang. Selama bekerja di sana, Rana baru pulang ke Jakarta enam kali.
Hubungan mereka lebih sering hanya melaui sms atau sesekali menelepon. Tidak perlu terlalu sering menelepon untuk lebih menekan pengeluaran. Hubungan jarak jauh ini memang sering menimbun rindu yang mendalam. Tapi sejauh ini hubungan mereka masih baik-baik saja. Mereka masih saling percaya. Setidak-tidaknya, begitulah perkiraan Alia.
“Mulai kapan? Kok baru bilang?” terdengar suara Rana menjawab sms Alia langsung dengan menelepon ke handphone Alia.
“Memang keputusan Bos mendadak. Tapi, aku pikir nggak ada salahnya mencoba, sekalian mencari pengalaman, iya kan?” jawab Alia lagi.
“Boleh saja. Asik juga di Mega Mendung. Dingin dong?”
“Iya, pasti. Tapi seru, kan? Orang Jakarta cuma ke sana tiap malam minggu, aku malah bakal tinggal di sana tiap hari.”
“Ya sudah, kalau memang kamu mantap untuk mencoba bekerja di sana. Tapi hati-hati ya, Say? Kabari aku terus.”
“Iya, Honey! Nanti kalau pulang ke Jakarta mampir ke sana, ya? Sekalian refresing?”
“Oke, deh! Udah dulu ya? Aku mau kerja dulu. Bye!”
“Oke, bye juga. Miss you!”
“Miss you too…”
Kemudian telepon pun berakhir. Singkat saja. Ngirit.
Yang penting Rana sudah tau…
***
Butuh waktu satu bulan lamanya bagi Alia dan Naning untuk mempersiapkan segala kebutuhan mereka. Selain kebutuhan pribadi, juga kebutuhan pertanian. Kebutuhan pertanian telah lebih dahulu dikirim. Sebelumnya, Pak Narendra juga telah memberi gambaran kepada Alia dan Naning mengenai keadaan lahan pertanian di Mega Mendung, serta apa saja tugas-tugas yang harus mereka kerjakan nantinya.
Pak Narendra memang sepertinya begitu paham dan berpengalaman mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pertanian. Alia pun dibuat terkagum-kagum. Walaupun beliau adalah seorang Arsitek, namun ternyata pengetahuan dan keahliannya tidak hanya terbatas di bidang Arsitektur. Pengetahuannya begitu luas. Pak Narendra memang pengusaha sejati.
Pagi ini, mereka siap berangkat menuju tanah harapan, perbukitan Mega Mendung. Mobil Pak Narendra yang berkapasitas cukup besar, telah dipenuhi dengan gulungan kasur palembang, dua tas besar baju Alia dan Naning, serta kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya.
Kini, mobil itu mulai meluncur agak cepat mengarungi jalanan Ibukota yang mulai padat walau pun hari masih pagi, terus melaju menuju Cipayung, Bogor.
“Mega Mendung, here I came!” teriak Alia dalam hati penuh semangat dan harapan….
***